Jumat, 04 Oktober 2013

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI NOTARIS DI INDONESIA BERIKUT SANKSINYA


Contoh pelanggaran terhadap kode etik Notaris oleh oknum Notaris dalam menjalankan jabatannya, yaitu :

1. Notaris menempatkan pegawai/asistennya di suatu tempat tertentu antara lain : di kantor perusahaan, kantor bank yang menjadi klien Notaris tersebut, untuk memproduksi akta-akta yang seolah-oleh sama dengan dan seperti akta yang memenuhi syarat formal;

2. Notaris lebih banyak waktu melakukan kegiatan diluar kantornya sendiri, dibandingkan dengan apa yang dilakukan di kantor serta wilayah jabatannya

3. Beberapa oknum Notaris untuk memperoleh kesempatan supaya dipakai jasanya oleh pihak yang berkepentingan antara lain instansi perbankan dan perusahaan real estate, berperilaku tidak etis atau melanggar harkat dan martabat jabatannya yaitu :
-memberikan jasa imbalan berupa uang komisi kepada instansi yang bersangkutan, bahkan dengan permufakatan menyetujui untuk dipotong langsung secara prosentase dari jumlah honorarium. Besarnya cukup bahkan ada yang sampai 60%. Atau mengajukan permohonan seperti dan semacam rekanan dan menandatangani suatu perjanjian dengan instansi yang sebetulnya adalah klien dari Notaris itu sendiri dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh instansi tersebut.

-Taktik banting harga yang terjadi di kalangan Notaris diakibatkan oleh Penumpukkan penempatan Notaris di suatu daerah tertentu. Hal ini menjadikan persaingan tidak sehat diantara kalangan Notaris. Hal ini akibat makin ketatnya persaingan pada profesi jabatan Notaris, sejalan dengan banyaknya berdiri praktik-praktik Notaris baru, oleh karena itu untuk menyiasati kondisi yang sedemikian sebagian Notaris memasang tarif untuk jasanya dengan harga dibawah standar.

Berdasarkan contoh di atas, rnasalah yang paling mendasar adalah etika dan moral seorang Notaris, yang notabene adalah seorang pejabat umum. Kalau menyangkut etika dan moral, sulit mengaturnya dalarn bentuk peraturan, bahkan di tingkat Kode Etik maupun tingkat Peraturan Umum sekalipun. Itu benar-benar menyangkut pribadi Notaris yang bersangkutan. Dampak dari kasus tersebut para Notaris telah menyelewengkan tugas jabatannya dan mengambil pekerjaan di luar wewenangnya.


Sanksi

Sanksi dalam Kode Etik tercantum dalam pasal 6 Kode Etik :

1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :

1.    teguran
2.    peringatan
3.    schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan
4.    onzetting ( pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan
5.    Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpufan


2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota.

Yang dimaksud sebagai sanksi adalah suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dalam menegakkan kode etik dan disiplin organisasi.

Penjatuhan sanksi terhadap anggota yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran kode etik termasuk didalamnya juga menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing (termuat dalam Pasal B)

Terhadap pelanggaran Notaris dilakukan pengawasan oleh organisasi Notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI) terhadap anggotanya, yang secara langsung mengontrol Notaris yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan, yang dalam

Pasal 1 angka (8) Kode Etik Notaris :

Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk :

-melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik;

-memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan rnasyarakat secara langsung

-memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris;

-Dewan Kehormatan memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang sifatnya "internal" atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung (pasal 1 ayat 8 bagian a)

Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Daerah yang baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya, setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari keperluan itu. Bila dalam Putusan Sidang Dewan Kehormatan Daerah terbukti adanya pelanggaran Kode Etik, maka sidang sekaligus "menentukan sanksi" terhadap pelanggarnya. (pasal 9 ayat (5)).

Sanksi teguran dan peringatan oleh Dewan Kehormatan Daerah tidak wajib konsultasi dahulu demgan Pengurus Daerahnya, tetapi sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan diputuskan dahulu dengan pengurus (Dasarnya (Pasaf 9 ayat (8)

Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Wilayah (Pasal 10). Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat diajukan/dimohonkan banding kepada Dewan Kehormatan Wilayah. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan tingkat banding.

Pemeriksaan dan Penjatuhan saksi pad a tingkat terakhir dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Pusat (pasal 11). Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukanl dimohonkan pemeriksaan pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.

Eksekusi atas sanksi-sanksi dalam pelanggaran kode etik berdasarkan putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Penqurus Daerah.

Dalam hal pemecatan sementara secara rind tertuang dalam pasal 13.

Dalam hal pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian juga sanksi onzetting maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota perkumpulan terhadap pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 diatas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.


KESIMPULAN

Notaris merupakan pejabat umum yang membuat akta otentik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Diperlukan tanggung jawab terhadap jabatannya, sehingga diperlukan lembaga kenotariatan untuk mengatur perilaku profesi notaris tersebut. Pada hakekatnya Kode Etik Notaris adalah merupakan penjabaran lebih lanjut apa yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris, mengingat Notaris dalam melaksanakan jabatannya harus tunduk dan mentaati segala ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur jabatannya.


Yang tercantum dalam kode etik notaris yang dibuat oleh organisasi INI yang merupakan satu-satunya organisasi notaris yang berbadan hukum sesuai dengan UUJN. Artinya seluruh notaris wajib tunduk kepada Kode Etik Notaris.


sumber :

- http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/12/kode-etik-notaris.html
- Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

PERATURAN DAERAH DASAR PEMBENTUKANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009[1] di Bidang Hukum khususnya, antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat

Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan[2]. Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat[3]. Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat[4].

Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah. Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.
Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara. Bentuk dan susunan suatu negara terkait dengan pembagian kekuasaan[5]. Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masingmasing.

pemerintah Indonesia melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk pendekatan. 
Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.20

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah21 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.22

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

B.     Identifikasi Masalah
1.      Apakah dasar konstitusional peraturan daerah?
2.      Bagaimana Prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Peraturan Daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan daerah) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Peraturan daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang.

Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah[6].
Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah[7], sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan daerah. 
Ada berbagai jenis Peraturan daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
1.      Pajak Daerah;
2.      Retribusi Daerah;
3.      Tata Ruang Wilayah Daerah;
4.      APBD;
5.      Rencana Program Jangka
6.      Menengah Daerah;
7.      Perangkat Daerah;
8.      Pemerintahan Desa;
9.      Pengaturan umum lainnya.

B.     Dasar Konstitusional Peraturan Daerah
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom. Regulasi Peraturan daerah merupakan bagian dari kegiatan legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang berkaitan dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

C.    Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala Daerah dan DPRD. Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Peraturan daerah merupakan hak legislasi konstitusional Pemda dan DPRD.
Rancangan Peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota (Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Rancangan Peraturan daerah harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama, rancangan Peraturan daerah tidak dibahas lebih lanjut.
Rancangan Peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai
Peraturan daerah. Penyampaian rancangan Peraturan daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan daerah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama (Pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam hal rancangan Peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka rancangan Peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Peraturan daerah dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi ‘Peraturan daerah dinyatakan sah’, dengan mencantumkan tanggal sahnya (Pasal 144 ayat (4), (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Peraturan daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama 7 hari setelah ditetapkan (Pasal 145 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

D.    Materi Muatan Peraturan Daerah
Peraturan daerah tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti halnya:
1.      politik luar negeri;
2.      pertahanan;
3.      keamanan;
4.      yustisi;
5.      moneter dan fiskal nasional; dan;
6.      agama[8]
Dalam pada itu, peraturan daerah mengatur semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. materi muatan peraturan daerah mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan[9].
Peraturan daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi peraturan daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan[10]

E.     Beberapa Asas Pembentukan Peraturan Daerah.
Di kala pembentukan peraturan daerah beberapa asas kiranya perlu diperhatikan, berikut ini:
1.      Muatan peraturan daerah mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas positivisme dan perspektif);
2.      Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat voor de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.
3.      Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.
4.      Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu[11].

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dasar konstitusional pembentukan peraturan daerah terdapat dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom.

Dalam pembentukan peraturan daerah harus harus seaui dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah tersebut seperti adanya materi muatan tentang peraturan daerah dan juga asas-asas dalam pembentukan peraturan daerah tersebut. Diamana peraturan daerah tersebut tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

[1] Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
[2] Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,200), hlm.5
[3] Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978, hlm.150-151.
[4]  Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 198, hlm. 52
[5] Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1980), hlm. 160.
[6] Lihat Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[7] Lihat Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[8]  Lihat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
[9] Lihat Pasal 138 ayat (1) UU. Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[10] Ibid Pasal 137
[11] Lihat jurnah HM. Laica Marzuki, Pembentukan Peraturan daerah 2008,