Rabu, 17 Oktober 2018

JENIS-JENIS AKTA PERJANJIAN


Jenis-jenis Akta Perjanjian

Pada prinsipnya, perjanjian menurut namanya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.    perjanjian bernama; dan
2.    perjanjian tidak bernama.

Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang dikenal di dalam KUH Perdata. Ada 15 (lima belas) jenis perjanjian bernama, yang meliputi:

1.            jual beli;
2.            tukar menukar;
3.            sewa menyewa;
4.            perjanjian melakukan pekerjaan;
5.            persekutuan perdata;
6.            badan hukum;
7.            hibah;
8.            penitipan barang;
9.            pinjam pakai;
10.       pinjam meminjam;
11.       pemberian kuasa;
12.       bunga tetap atau abadi;
13.       perjanjian untung-untungan;
14.       penanggungan utang; dan
15.       perdamaian.

          Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang tidak dikenal dalam KUH Perdata, namun dikenal di dalam dan praktik kehidupan sosial kemasyarakatan dan tersebar dalam perundang-undangan Iainnya, selain KUH Perdata. Jenis perjanjian ini, cukup banyak, namun yang telah dikaji dan diidentifikasi hanya terdiri atas dua puluh jenis. Kedua puluh jenis perjanjian itu, meliputi:
1.            perjanjian internasional;
2.            perjanjian pinjaman internasional;
3.            perjanjian hibah internasional;
4.            kontrak karya;
5.            kontrak production sharing (KPS);
6.            perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B);
7.            perjanjian hibah daerah;
8.            kontrak pengadaan barang;
9.            kontrak produksi;
10.       standar kontrak;
11.       perjanjian kemitraan;
12.       perjanjian pembiayaan;
13.       kontrak konstruksi;
14.       kontrak surogasi;
15.       sewa beli;
16.       franchise;
17.       leasing;
18.       perjanjian kredit;
19.       kontrak joint venture; dan
20.       perjanjian pengikatan jual beli.

          Jenis perjanjian yang disajikan di atas, ada jenis perjanjian yang dibuatkan dalam bentuk akta di bawah tangan dan ada juga yang dibuatkan dalam bentuk akta autentik.

Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis Akta Perjanjian


Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis
Akta Perjanjian

          Filosofi dibuatnya akta perjanjian adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang hak-hak dan kewajiban para pihak. Kepastian hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal certainty, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut rechtszekerheid adalah ketentuan ketentuan hukum atau klausula-klausula yang mampu menjamin hak dan kewajiban para pihak. Kepastian itu, meliputi:
1.    tanggal dibuatnya perjanjian;
2.    para pihaknya;
3.    kehendak para pihak atau objeknya; dan
4.    tanda tangan.

Pengaturan tentang akta perjanjian tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan berikut ini.
1.    Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Hukum Orang. Dalam buku I memuat tentang akta perjanjian kawin;
2.    Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memuat tentang jenis-jenis perjanjian tertentu;
3.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memuat tentang perjanjian kawin;
4.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat tentang akta perjanjian kredit; dan
5.    Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang mengatur sewa beli, leasing, dan lainnya.

          Di samping itu, pengaturan tentang akta perjanjian tercantum
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara lain,
seperti, yang tercantum dalam:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda;
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Rusia; dan
3.    Restatement (Second) of Contracts Amerika Serikat 1932.

          Secara sosiologis, tidak selamanya akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini disebabkan karena subjek hukum tidak melaksanakan dan mengindahkan substansi akta perjanjian secara konsisten. Hal ini dapat dicontohkan A telah memberikan kuasa kepada B untuk menjual benda bergerak, namun uang hasil penjualan itu tidak diserahkan kepada pemberi kuasa. Pihak A telah memberikan somasi atau teguran kepada B selama tiga kali berturut-turut, namun B tidak mengindahkannya. Oleh karena somasi itu tidak diindahkan, maka B dikatakan wanprestasi. Sehingga masalah itu diselesaikan oleh pengadilan. Biasanya, Pengadilan di dalam memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya selalu memerhatikan dan dijadikan dasar dalam putusannya, yaitu substansi akta yang dibuat oleh para pihak karena akta itu sebagai alat bukti yang sempurna. Kesempurnaan akta notariil sebagai alat bukti, maka harus dilihat apa adanya tidak perlu atau dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.[1]


[1]           Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, (Bandung,PT Refika Aditama, 2008), hlm 49.

Jumat, 12 Oktober 2018

BAB 2 TEORI HUKUM


BAB 2

TEORI HUKUM

A. Pengertian Teori Hukum

Teori hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam kerangka memecahkan berbagai persoalan, di mana di dalam hukum normatif tidak diatur. Pengertian teori hukum dapat dibaca dan pandangan yang dikemukakan oleh Meuwissen, Jan Gijssels dan Mark van Hoccke, dan Bruggink. Meuwissen mengartikan teori hukum adalah:

“Berada pada tataran abstraksi yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum; ia mewujudkan peralihan ke filsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dan berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu, teori hukum dapat dipandang sebagai suatu jenis filsafat ilmu dan ilmu hukum. teori hukum mempersoalkan, apakah sosiologi hukum atau dogmatik hukum harus dipandang sebagai ilmu empirik yang bersifat deskriptif atau tidak”.[1]

Dalam definisi in teori hukum dikaji dan segi objek, tugas dan metode. Objek kajian dan teori hukum, meliputi sosiologi hukum dan dogmatik hukum. Tugas teori hukum, meliputi:
1.      menganalisis dan menerangkan pengertian hukum (pengertian dan hukum) dan berbagai pengertian hukum atau konsep yuridik (konsep yang digunakan dalam hukum). Pengertian-pengertian itu, seperti hukum subjektif, hukum objektif, hubungan hukum, asas hukum, hak milik, kontrak, hukuman, itikad baik, dan sejenisnya. Pengertian ini dapat dijadikan objek penelitian hukum. Pada masa lalu, kajian tentang pengertian dikenal sebagai ajaran hukum (“rechtsleer”).
2.      mengkaji hubungan antara hukum dan logika;
3.      mengkaji hal-hal yang bertalian dengan metodologi (ajaran metode).

Teori hukum yang tugasnya mengkaji hal-hal yang bertalian dengan metodologi, menjadi ajaran metode yuridik. Dalam teori hukum modern, maka ajaran tentang metode dan seni interpretasi telah berkembang menjadi suatu teori argumentasi yuridik yang penuh. Definisi yang dikemukakan oleh Meuwissen juga tidak jelas, karena Ia melihat teori hukum dan aspek objek, tugas dan metodenya.
     
Jan Gijssels dan Mark van Hoccke memberikan pengertian tentang teori hukum. Teori hukum adalah:
“Cabang dari ilmu hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dan gejala hukum masing-masing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada pemahaman yang lebih baik dalam dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal terberi.”[2]

Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi teori hukum mi,
meliputi:
1. teori hukum sebagai cabang ilmu hukum, yang interdisipliner;
2. objek analisisnya tentang konsepsi teoretikal dan praktikal.

Teori hukum sebagai cabang ilmu hukum yang interdisipliner dimaknakan bahwa teori hukum dalam melakukan analisis terhadap objeknya mencoba untuk mensintesiskan, mengintegrasikan, mengglobalkan hasil hasil penelitian dan disiplin ilmu yang lain, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, dan lainnya. Objek analisisnya tentang konsepsi teoretikal dan praktikal dimaknakan bahwa objek kajian teori hukum, tidak hanya yang bersifat normatif, tetapi juga mengkaji dan menganalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat.

Bruggink mengartikan teori hukum adalah:
“Suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan.”[3]

Pengertian teori hukum dalam definisi ini bermakna ganda, karena teori hukum sebagai produk dan proses, Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoretik bidang hukum. Sedangkan teori hukum dapat dikatakan sebagai proses adalah karena perhatiannya diarahkan pada kegiatan teoretik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoretik bidang hukum sendiri, tidak pada hasil kegiatan-kegiatan itu. Dalam pengertian ini tidak jelas, karena teori hukum tidak hanya mengkaji tentang norma, tetapi juga hukum dalam kenyataannya.

Oleh karena definisi yang disajikan oleh para ahli kurang lengkap, maka perlu dilakukan penyempurnaan pengertian teori hukum. Pengertian teori hukum yang disajikan di sini adalah didasarkan pada penggolongan teori hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen dan Jan Gijsseis dan Mark van Hoccke. Teori hukum merupakan:

“Teori yang mengkaji dan menganalisis hukum dan dimensi normatif, empirik, dan kekuatan mengikat dan hukum”.

Kajian teori hukum dan normatif merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis norma-norma dan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, maupun doktrin. Fokus kajiannya pada mengapa norma-norma hukum itu dirumuskan seperti itu, misalnya tentang perbuatan melawan hukum yang terdapat di dalam KUH Perdata. Pada saat dirumuskan perbuatan melawan hukum, maka ajaran yang berkembang adalah ajaran legisme. Ajaran ini, memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Teori hukum dan dimensi empirik merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis hukum dan keberlakuannya dalam masyarakat. Sementara itu, teori hukum dan dimensi kekuatan mengikat merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa masyarakat mematuhi aturan hukum, konsep tentang keadilan, dan lain-lain.


B. Sejarah Perkembangan Teori Hukum

Sejarah perkembangan teori hukum tidak terlepas dan sejarah lahirnya ajaran hukum umum (ailgemeine rechtslehre/general jurisprudence/ theorie generale du droit). Ajaran hukum umum lahir pada abad ke-19 di Eropa Barat. Yang menjadi objek kajian ajaran hukum umum adalah mengenai:
1.      asas-asas hukum (seperti pacta sunt servanda, dan sebagainya);
2.      pengertian-pengertian hukum (seperti hak milik, kedaulatan, sanksi, dan sebagainya);
3.      pembedaan-pembedaan hukum (seperti antara hukum publik dan hukum privat, atau antara hukum domestik/positif dan hukum internasional), yang dianggap terkandung dan merupakan bagian mutlak dan semua sistem hukum/tertib hukum positif.[4]

Dengan kata lain, ajaran hukum umum berupaya menemukan asas asas, pengertian-pengertian serta pembedaan-pembedaan hukum yang bersifat ilmiah positif guna:
1.      merumuskan/mencari unsur-unsur yang sama dalam semua tataran hukum (de grootsste gemene deler (pembagian umum yang terbesar);
2.      mencari unsur yang sama dalam isi;
3.      mencari unsur yang sama dalam bentuknya.[5]

Para pelopor dan ajaran hukum umum adalah:
1.      Jhon Austin (1790-1859), yang juga menjadi peletak dasar mazhab analitik (analytical jurisprudence)
2.      Adoif-Merkel (Jerman) (1836-1896);
3.      Karl Bergbohm (Jerman) (1849-1927);
4.      Ernst Rudolf Bierling (Jerman) (1841-19 19);
5.      Rudolf Stammler (Jerman) ((1856-1938);
6.      Felix Somlo (Ceko) (1873-1920).
Titik tolak yang digunakan oleh pelopor ajaran hukum umum, disajikan berikut ini.

1.      Para pelopor ingin mengemukakan suatu disiplin ilmiah-positif yang baru, lebih teoretikal ketimbang dogmatika hukum, namun lebih konkret dan lebih praktikal ketimbang filsafat hukum. Austin, misalnya berbicara juga tentang suatu filsafat hukum positif. Merkel tentang ‘bagian umum dan ilmu hukum, dan Stammler tentang suatu ajaran hukum murni’).

2.      Objek ajaran hukum umum. Para pelopor ajaran hukum berpendapat bahwa objek dan ajaran hukum umum adalah menyelidiki tentang:
  1. struktur dasar;
  2. asas-asas dasar;
  3. pengertian-pengertian dasar yang dapat ditemukan kembali dalam setiap sistem hukum positif.

Maksud dan penyelidikan ini adalah melakukan penelitian ilmiah tentang ciri-ciri khas dan hakiki dan hukum, bukan suatu perenungan filosofikal yang spekulatif.

3.      Para peletak dasar memandang ajaran hukum umum sebagai suatu disiplin bebas nilai yang tidak normatif. Ajaran hukum umum bertugas untuk:
  1. menguraikan gejala-gejala hukum dengan cara yang secara metodikal dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dan dapat sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang secara faktual dapat diverifikasi dan didukung secara ilmiah;
  2. ajaran hukum umum harus tetap bebas dan setiap putusan (penilaian) pribadi atau titik tolak normatif dan para peneliti. Dengan kata lain, metodenya harus ilmiah positif dan bebas nilai;
  3. hasil penelitian harus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hakikat gejala hukum, dan harus (seyogianya) tidak merumuskan kaidah-kaidah yang akan dapat dipandang mengikat bagi praktik hukum;
  4. ajaran hukum umum meneliti (berupaya menemukan) apa yang sama pada semua sistem hukum dan bukan apa yang seharusnya sama.[6]

Sementara itu, teori hukum lahir pada perjaianan abad ke-20. Teori hukum timbul dan merupakan kelanjutan dan ajaran hukum umum. Ada dua aspek bahwa teori hukum merupakan kelanjutan yang berkenaan dengan ajaran hukum umum. Kedua aspek itu, disajikan berikut ini.

1.      Teori hukum sebagai kelanjutan dan ajaran hukum umum memiliki objek disiplin mandiri suatu tempat di antara dogmatika hukum di satu sisi dan flisafat hukum di sisi lain. Ajaran hukum umum oleh beberapa penulis (a.l. Adolf Merkel) masih dipandang sebagai pengganti (penerus) ilmiah-positif dari filsafat hukum metafIsikal yang tidak ilmiah. Dewasa ini teori hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping, dan untuk melengkapi flisafat hukum dan dogmatika hukum. Teori hukum, filsafat hukum dan dogmatika hukum yang masing-masing memiliki (mempertahankan) wilayah sendiri dan nilai sendiri.

2.      Sama seperti ajaran hukum umum dewasa itu teori hukum, setidaknya oleh kebanyakan, dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai.[7]

Walaupun teori hukum dianggap merupakan kelanjutan dan ajaran hukum umum, namun berbeda tujuan dan tingkat kemandiriannya.
Perbedaan itu, disajikan berikut ini.
1.      Tujuan teori hukum adalah menguraikan hukum secara ilmiah positif. Sementara itu, yang menjadi tujuan ajaran hukum umum adalah berupaya menemukan ontologi dan hukum dan hakikat hukum melalui jalan empirik.
2.      Teori hukum telah diakui secara luas sebagai suatu disiplin yang mandiri. Sementara, ajaran hukum umum belum dapat diakui sebagai suatu disiplin yang mandiri.

Ciri yang sama antara teori hukum dengan ajaran hukum umum adalah :
  1. sama-sama berupaya menempatkan posisinya di antara filsafat hukum dan dogmatika hukum;
  2. sama-sama bebas nilai; dan
  3. sama-sama tidak bersifat normatif.

Walaupun teori hukum lahir pada abad ke-20, namun perkembangan teori hukum mengalami kemandekan. Ada dua penyebab timbulnya kemandekan dalam pengembangan teori hukum. Kedua penyebab itu, meliputi:
1.      kemunculan nasionalisme sosialisme (Nazi) di Jerman pada awal tahun 30-an;
2.      meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1938. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhir tahun 1960-an/awal 1970-an.[8]

Secara tradisional daerah yang menggunakan bahasa jerman dianggap, sebagai “centra ahli-ahli pikir” di bidang filsafat hukum dan teori hukum. Kehadiran Nazi di Jerman dengan ideologi nasionalisme-sosialismenya mendorong para ahli hukum Jerman secara sadar mengesampingkan perundang-undangan yang ada sebelumnya. Sehingga secara terang terangan terjadi pelanggaran terhadap tujuan dan arti perundang-undangan sebagaimana ditetapkan oleh pembuatnya, dan telah terjadi pula penerapan perundang-undangan secara imoral. Situasi hukum di Jerman pada masa Nazi mi dikenal sebagai masa positivisme hukum.

Perkembangan kembali teori hukum terjadi pada abad ke-20 ini. Latar belakang berkembangnya teori hukum pada abad ke-20 adalah karena berkembangnya ilmu pengetahuan kemasyarakatan baru atau cabang cabang baru dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang sudah ada pada masa pasca Perang Dunia II, yang mengarahkan kajiannya pada kenyataan dan gejala hukum, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum, logika hukum, informatika hukum, dan sebagainya.

Masing-masing ilmu pengetahuan baru tersebut memang mempunyai kesamaan sasaran kajian, yaitu kenyataan dan gejala hukum, tetapi sudut pandang yang dipergunakan adalah saling berbeda antara satu dengan lainnya tergantung pada sudut pandang yang dipergunakan oleh induk pengetahuannya masing-masing. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan baru tersebut adalah tetap sosiologi, atau tetap sejarah atau tetap antropologi dan seterusnya yang memfokuskan perhatiannya untuk mengkaji secara khusus gejala hukum yang hidup di tengah masyarakat.


C. Objek Kajian Teori Hukum

            Paul Scholten telah mengkaji dan menganalisis tentang objek kajian teori hukum. Yang diartikan dengan objek kajian adalah sasaran penyelidikan dan teori hukum. Dalam kajiannya, Paul Scolten membandingkan objek kajian antara ilmu hukum dengan teori hukum. Objek kajian itu, disajikan berikut ini.
1.      Objek ilmu hukum adalah hukum positif dan suatu rakyat tertentu yang berlaku pada suatu waktu tertentu. Objek teori hukum adalah bentuknya dan hukum positif, yang menyebabkannya menjadi hukum.

2.      Ilmu hukum mempersoalkan hal yang banyak (keberagaman, veelvul digheid). Teori hukum mempersoalkan kesatuan (eenheid), walaupun ia hanya dapat mengetahui kesatuan itu di dalam yang banyak.

3.      Teori hukum meneliti suatu bagian dan jiwa manusia, yakni di dalam ungkapan-ungkapan historikalnya, namun tidak demi ungkapan ungkapan itu pada dirinya sendiri, melainkan demi kesatuan yang menjadi cirinya (yang menengarainya), ia demi jiwa itu sendirilah yang menjadi urusannya.

4.      Ilmu hukum menanyakan apa yang berlaku sebagai hukum. Teori hukum menanyakan apa hukum itu.

5.      Ilmu hukum mencari sistematika dan suatu hukum tertentu, misalnya hukum tata negara Belanda pada masa kini. Teori hukum akan dapat menunjukkan batas-batas pada kemungkinan itu.

6.      Teori hukum berhadapan dengan pertanyaan apa arti keberadaan sebagai sistem (kebersisteman) tersebut. Ilmu hukum tidak dapat ada tanpa pengandaian logikal dan teori hukum.

7.      Teori hukum memperoleh bahannya dan ilmu hukum.

8.      Teori hukum tidak membentuk hukum. Ilmu hukum melakukannya secara teratur.[9]

            Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga mengkaji tentang objek kajian dan dogmatika hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Objek kajian dan dogmatika hukum adalah mempelajari hukum positif pada suatu waktu tertentu dan di suatu tempat tertentu memiliki keküatan berlaku. Objek kajian atau studi teori hukum adalah mempelajari persoalan-persoalan fundamental dalam kaitan dengan hukum positif, misalnya sifat dan kaidah hukum, definisi dan hukum, hubungan antara hukum dan moral, dan sejenisnya. Sedangkan objek kajian filsafat hukum adalah mengkaji tentang nilai-nilai, kaidah-kaidah, ideologi-ideoiogi.[10]


D. Jenis-jenisTeori Hukum

            Para ahli tidak ada kesatuan pandangan tentang penggolongan teori hukum. Ada yang mengkaji dan aspek ruang lingkupnya, analisisnya, dan pendekatannya. Kajian tentang ketiga hal itu, disajikan berikut ini.

1. Teori Hukum dari Aspek Ruang Lingkupnya

Teori hukum dari aspek ruang lingkupnya merupakan penggolongan teori hukum atas dasar cakupan wilayah kajiannya. Para ahli mencoba membagi teori hukum berdasarkan ruang lingkupnya. Bruggink membagi teori hukum menjadi dua macam, yaitu:
a.      teori hukum dalam arti luas;
b.      teori hukum dalam arti sempit.[11]

Teori hukum dalam arti luas, yaitu teori hukum yang membicarakan tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dan hukum. Yang termasuk teori hukum dalam arti luas, meliputi:
a.      sosiologi hukum;
b.      teori hukum;
c.      filsafat hukum;
d.      dogmatika hukum.

            Teori hukum dalam arti sempit, yaitu teori hukum yang membicarakan tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dan hukum. Teori hukum dalam arti sempit adalah teori hukum sendiri.

            Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga membagi teori hukum menjadi dua macam, yaitu:
a. teori hukum dalam arti sempit;
b. teori hukum dalam arti luas.[12]

            Teori hukum dalam arti sempit adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti sempit merupakan ilmu eksplanasi hukum. Teori hukum dalam arti luas, meliputi dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.
            Meuwissen membagi teori hukum menjadi lima jenis. Kelima jenis teori hukum itu, meliputi:
a. teori sistem;
b. ajaran hukum fungsional;
c. teori hukum politik;
d. teori hukum empirik;
e. teori hukum Marxistik.[13]


2. Teori Hukum dan Aspek Analisisnya

            Teori hukum dan aspek analisisnya merupakan penggolongan teori hukum berdasarkan atas uraian dan objek penelitiannya. Teori hukum berdasarkan analisisnya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. teori hukum kritikal; dan
b. teori hukum analitikal.[14]

            Teori hukum kritikal mengemukakan bahwa teori hukum hanya dapat diemban secara bermakna penuh (zinvol) dalam bentuk suatu teori global tentang hukum, yang di dalamnya juga dogmatika hukum, sosiologi hukum, dan filsafat hukum. Teori hukum analitikal membatasi medan penelitiannya yang dengan teori-teori analitik-empirikal dapat diteliti dan dijelaskan.

            Dengan demikian, teori hukum sebagian besar terbatas pada suatu analisis struktur logikal atas hukum. Menjadi ciri khas untuk aliran analitikal adalah bahwa orang sangat mengembangkan analisis keilmu-bahasaan dan logikal atas pengertian-pengertian dan teks-teks yuridikal.


3. Teori Hukum Berdasarkan Pendekatannya

            Teori hukum berdasarkan pendekatannya merupakan penggolongan teori hukum yang dilihat dan aspek cara dalam rangka memperoieh data yang berkaitan dengan penelitian. Teori hukum berdasarkan pendekatan nya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. emprikal; dan
b. normatif.[15]

            Teori hukum emprikal adalah suatu teori hukum yang tidak normatif kritikai. mi tidak berarti bahwa pengemban teori hukum tidak mempunyai hak untuk menautkan pikiran-pikiran politikal, ideologikal, dan filosofikal pada pertimbangan ilmiahnya. Teori hukum normatif adalah suatu teori hukum yang mengkaji dan menganalisis hukum dan norma atau aturan aturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

            Apabila disintesiskan (dipadukan) ketiga pandangan di atas, maka teori hukum dapat dibedakan menjadi delapan macam, yang meliputi:
a.      sosiologi hukum;
b.      dogmatika hukum;
c.      filsafat hukum
d.      teori sistem;
e.      ajaran hukum fungsional;
f.        teori hukum politik;
g.      teori hukum empirik; dan
h.      teori hukum Marxistik.

            Namun, apabila dikaji objek kajian antara sosiologi hukum dengan teori hukum empirik, sebagaimana dikemukakan oleh Meuwissen, maka kedua teori itu adalah sama-sama mengkaji hubungan antara hukum dengan masyarakat. Oleh karena itu, yang akan dijelaskan hanya yang berkaitan dengan sosiologi hukum, dogmatika hukum, dan flisafat hukum. Sedang kan teori sistem, ajaran hukum fungsional, teori hukum politik, dan teori hukum Marxistik akan dibahas pada bab tersendiri.


E. Sosiologi Hukum

            Sosiologi hukum menganalisis keberlakuan empirik atau faktual dan hukum. Sosiologi hukum diarahkan pada kenyataan kemasyarakatan. Objek sosiologi hukum, yaitu:
1.      kenyataan kemasyarakatan;
2.      kaidah-kaidah hukum yang dengan saiah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan.

            Bruggink mengemukakan bahwa sosiologi hukum sebagai teori tentang hubungan antara kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan. Hubungan hukum ini dapat dipelajari dengan dua cara, yaitu:
1.      menjelaskan kaidah hukum dan sudut kenyataan kemasyarakatan; dan
2.      menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dan sudut kaidah-kaidah hukum.[16]

            Meuwissen juga mengemukakan pandangannya tentang sosiologi hukum. Ia berpendapat bahwa sosiologi hukum menjelaskan:

“Hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor kemasyarakatan” [17]

Ada dua cara menghubungkan hukum dengan faktor kemasyarakatan, yaitu:
1. hukum dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan;
2. gejala-gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum.

            Yang dimaksud dengan menjelaskan adalah memberikan penjelasan kausal konform (sikap dan perilaku yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku) dengan pandangan yang berpengaruh dalam ilmu hukum empirik. J. Griffiths memberikan sebuah kesimpulan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu empirik yang setia hanya pada pemaparan fakta.

            Kita mencoba mengambil contoh sebuah kajian dan sosiologi hukum tentang pencurian. Secara normatif ditentukan bahwa setiap orang yang mencuri harus dihukum. Apabila A telah mencuri, maka dia harus di hukum. Tetapi, kita tidak pernah mempersoalkan, kenapa A mencuri. Asumsi sementara bahwa faktor penyebab A mencuri karena yang bersangkutan membutuhkan uang untuk membiayai biaya rumah sakit atau keluarga yang bersangkutan tidak ada uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau yang bersangkutan mencuri karena hobi. Faktor penyebab inilah yang dicoba untuk dikaji oleh sosiologi hukum.


F. Filsafat Hukum

            Istilah filsafat hukum berasal dan terjemahan bahasa Inggris, yaitu philosophy of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah filosofierecht. Para ahli berbeda pandangannya tentang pengertian filsafat hukum. Ada ahli yang memberikan definisi filsafat hukum dan objek kajiannya dan ada juga melihatnya dan bekerjanya hukum. Bruggink memberikan definisi filsafat hukum sebagai berikut. Filsafat hukum adalah:

“Induk dan semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalah-masalah itu akan melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Orang memasukkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?” Dan situ disimpulkan bahwa dengan demikian terdapat banyak kemungkinan penentuan batasan tentang apa yang orang pandang sebagai objek filsafat. Sebuah penentuan batasan pengertian filsafat hukum yang dapat diterima menurut saya adalah yang berikut ini. Filsafat hukum adalah teori tentang dasar dasar dan batas-batas kaidah hukum”.[18]

            Definisi yang disajikan oleh Bruggink sangat panjang, namun Bruggink menyimpulkan bahwa filsafat hukum adalah teori tentang dasar-dasar dan batas-batas kaidah hukum. Sebagai contoh, untuk itu dapat disebut masalah keberlakuan materiil. Sebuah kaidah hukum berdasarkan pengertian keberlakuan ini akan berlaku karena kaidah itu secara substansial (dipandang dan isinya) layak.

            Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum adalah:

“Refleksi secara sistematikal tentang kenyataan dan hukum. Kenya taan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dan ide hukum (cita hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk, yaitu aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum); dan lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah negara. Tetapi tidak hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuab “sistem terbuka” yang di dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya” .[19]

            Jan Gijssels dan Mark van Hoccke memberikan pengertian tentang filsafat hukum. Filsafat hukum adalah:

“Filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan paling banyak dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur, dan sejenisnya dan kenyataan. Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan mi difokuskan pada keterberian yuridikal”.[20]

            Jan Gijssels dan Mark van Hoccke Van Hoecke mengemukakan tujuh wilayah filsafat hukum. Ketujuh wilayah itu, disajikan berikut ini.
1.      Ontologi hukum (ajaran tentang hal ada, zijnsleer). Ontologi hukum meneliti tentang hakikat hukum dan hubungan antara hukum dan moral;

2.      Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer). Ajaran tentang nilai itu, seperti keadilan, kepatutan, persamaan, kebebasan, dan sebagainya.

3.      Ideologi hukum (ajaran idea, ideeenleer) . Pengolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian daninya (misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum Marxistik).

4.      Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan). Penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum, atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental Iainnya mungkin. Jadi, ini adalah suatu bentuk dan metafilsafat.

5.      Teleologi hukum (ajaran finalitas), yaitu berkaitan dengan makna dan tujuan hukum.

6.      Ajaran ilmu dari hukum ini adalah meta-teori dan ilmu hukum, yang di dalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan dengan kriteria bagi keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu dimungkinkan?) dan dalam hubungan dengan kiasifikasi ilmu hukum (bukan kiasifikasi hukumnya itu sendiri). Juga metodologi dan filsafat hukum sendiri (dengan mengecualikan metodologi dan cabang-cabang Hukum lain) juga dapat dimasukkan ke dalamnya.

7.      Logika hukum. Penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yunidik, bangunan logikal serta struktur sistem hukum. Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah cabang filsafat hukum mandini. Bahkan menjadi sebuah disiplin sendini dalam ilmu hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat sendini di samping filsafat hukum.

            Yang mencolok pada filsafat hukum adalah bahwa hasil-hasil dan penalarannya tidak dapat diuji secara empirik.


G. Dogmatik Hukum

            Istilah dogmatika hukum berasal dan bahasa Inggnis, yaitu dogmatics law. Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut den ganjuridische dogmatiek. Brugginks mengartikan dogmatika hukum sebagai:

“Sistem konseptual aturan hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum disebut pembentukan hukum (rechtsvorming). Pengambilan keputusan hukum oleh pengemban kewenangan hukum disebut penemuan hukum (rechtsvinding). Objek dogmatika hukum adalah hukum positif.”[21]

            Hukum positif merupakan hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara atau nation (bangsa). Hukum yang berlaku dalam suatu negara dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law). Living law merupakan hukum yang tidak tertulis dan berlakunya setempat. Walaupun hukum itu tidak tertulis, namun tingkat efektivitasnya tinggi, karena selalu ditaati masyarakat sekitarnya. Sementara itu, Meuwissen mengartikan dogmatik hukum sebagai:

“Kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan meng interpretasi hukum positif yang berlaku. Dogmatik hukum ditemukan dalam buku-buku teks, monografi-monografi, artikel-artikel dalam jurnal-jurnal hukum, dan terutama dalam anotasi-anotasi pada putusan hakim. Jenis ilmu hukum ini diajarkan di fakultas-fakultas hukum. Pendidikan hukum diarahkan untuk mengajarkan keahlian kepada mahasiswa agar mereka dapat mengemban hukum di dalam praktik secara bertanggung jawab”.[22]

            Ilmu dogmatik hukum mempunyai karakter atau ciri tersendiri. Ia sebuah ilmu “sui generis” yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang mana pun. Ada enam ciri dan dogmatik hukum. Keenam ciri itu, disajikan berikut ini.

1.      Empirikal analitis. ini berarti bahwa ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi dan struktur dan ilmu hukum yang berlaku. Untuk menganalisis isi dan struktur itu dapat digunakan metode metode empirik. Hal-hal yang dianalisis, meliputi pengertian-pengertian dalam pertautan antara satu dengan yang lainnya. Pengertian itu dianalisis, dan terutama dicoba untuk memahami pengertian atau makna dengan berlatar belakang pada asas-asas hukum yang melandasinya.

2.      Mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis.

3.      Menginterpretasi hukum yang berlaku.

4.      Menilai hukum yang berlaku.

5.      Penerapan hukum.

6.      Karakter politik.[23]

            Apabila kita bandingkan kedua pandangan di atas, yaitu pandangan Brugginks dan Meuwissen, maka dapat dikemukakan persamaan dari aspek objek yang dikaji oleh dogmatik hukum, yaitu sama-sama mengkaji dan menganalisis hukum positif yang sedang berlaku dalam suatu negara atau nation (bangsa).


H. Hubungan antara Dogmatika Hukum, Filsafat Hukum dengan Teori Hukum

            Dogmatika hukum dan filsafat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori hukum. Jan Gijsseis dan Mark van Hoccke mengemukakan hubungan antara dogmatika hukum dengan teori hukum dan hubungan antara flisafat hukum dengan teori hukum. Hubungan antara dogmatika hukum dengan teori hukum disajikan berikut ini.

1.      Dogmatika hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu sendiri dan sudut pandangan teknikai. Teori hukum mempelajari refleksi (cerminan) terhadap teknik hukum.
2.      Dogmatika hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengan ilmuwan hukum berbicara tentang hukum, yang disebut antara bahasa, objek dan meta-bahasa.
3.      limuwan dogmatika hukum berbicara tentang sesuatu berdasarkan hukum. Ilmuan teori hukum berbicara tentang hukum bertolak dan perspektif (sudut pandang) bukan yuridik (teknikal) dalam suatu bahasa bukan yuridik (teknikal).
4.      Dogmatika hukum, menerapkan teks undang-undang melaiui teknik interpretasi tertentu. Teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat-sifat memaksa secara logikal dan penalaran interpretasi dan sejenisnya.

5.      Ilmuwan dogmatika hukum berbicara tentang masalah hukum konkret. Pakar teori hukum membicarakan penalaran dan ahli (ilmuwan) hukum.

6.      Tujuan dogmatika hukum memberikan suatu pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang berlaku. Teori hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang berlaku.

7.      Dogmatika hukum membangun suatu instrumentarium teknikal yuridik dan suatu sistem hukum positif. Pakar teori hukum melakukan studi kritikal (kecaman) terhadap penalaran dan ilmuwan hukum dan instrumentarium konsep-konsep yuridik, teknik-teknik interpretasi dan kriteria untuk keberlakuan aturan hukum (hierarki sumber-sumber hukum, dan sejenisnya) yang digunakannya.

8.      Dogmatika hukum menemukan penyelesaian konkret terhadap masalah yuridik. Teori hukum tidak mempersoalkan penyelesaian konkret, tetapi mengesampingkannya.[24]

            Dogmatik hukum tidak dapat dilepaskan dengan politik, terutama politik hukum, karena:
1.      politik hukum menjelaskan momen-momen politik apa yang ikut terlibat dalam teori dan praktik hukum;
2.      politik hukum memainkan peranan pada pemikiran dan perancangan peraturan perundang-undangan;
3.      politik hukum mengkritik yurisprudensi dan memperjuangkan penyelesaian-penyelesaian untuk kejadian-kejadian yang individual yang dihadapkan pada hakim.

            Dengan kata lain, politik hukum berkaitan dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum dalam kenyataannya.
Filsafat hukum mempunyai hubungan dengan teori hukum. Hubungan itu, disajikan berikut ini.

1.      Hubungan flisafat hukum dengan teori hukum sebagai sebuah hubungan metadisiplin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek (teori hukum).

2.      Filsafat hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran speku latif, sedangkan teori hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum.

3.      Filsafat hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didis kusikan. Sebaliknya teori hukurn itu rasional (atau setidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima oleh setiap orang.[25]


[1]              Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 7.
[2]               Gijssels dan Mark van Hoccke, What Is Rechtheorie (Apakah Teori Hukum Itu), alih bahasa B. Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2000), hlm. 77.
[3]               J.J. H Bruggink, Rechts Refiectie, Grondbegrippen uit Rechtheorie (Refleksi Tentang Hukum), alih bahasa B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999), hlm. 160.
[4]             Muchyar Yara, “Teori Hukum: (Suatu Rinjauan Singkat Tentang Posisi, Sejarah Perkembangan dan Ruang Lingkupnya) “, Uakarta: Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 1-3 Tahun XXVIII, 1988), hIm. 2.
[5]               Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum), alih bahasa B. Arief Sidharta, (Bandung: Alumni, 2005), hlm.38.
[6]               GijsseIs dan Mark van Hoccke, Op.Cit., hlm. 38.
[7]               Ibid., him. 39.
[8]           Muchyar Yara, Op.Cit., hlm. 2.

[9]               Paul Schoiten, Op.Cit., hlm. 77-80.
[10]             Gijsseis dan Mark van Hoccke, Op.Cit., hlm. 51, 56.
[11]             Op.Cit., hlm. 160-161.
[12]             Gijsseis dan Mark van Hoccke, Op.Cit., him. 47.
[13]             Op.Cit., him. 32-34.
[14]             Gijssels dan Mark van Hoccke, Op.Cit., him. 78.
[15]             Gijsseis dan Mark van Hoccke, Op.Cit., him. 79.
[16]             Bruggink, Op.Cit., hlm. 163
[17]             Meuwissen, Op.Cit. hlm. 6.
[18]          Bruggink, Op.Cit., hIm. 178.

[19]             Meuwissen, Op.Cit., hlm. 19-20.
[20]             Gijssels dan Mark van Hoccke, Op.Cit., hlm. 79.
[21]          Brugginks, Op.Cit., hlm. 169.

[22]             Meuwissen, Op.Cit., him. 5.
[23]             Meuwissen, Op.Cit., hlm. 55-58.
[24]             Jan Gijssels dan Mark van Hoccke, Op.Cit., hlm. 51-56.
[25]             Jan Gijssels dan Mark van Hoccke, Op.Cit., him. 51-56.