Landasan
Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis
Akta
Perjanjian
Filosofi
dibuatnya akta perjanjian adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang
hak-hak dan kewajiban para pihak. Kepastian hukum, yang dalam bahasa Inggris
disebut legal certainty, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut rechtszekerheid
adalah ketentuan ketentuan hukum atau klausula-klausula yang mampu menjamin hak
dan kewajiban para pihak. Kepastian itu, meliputi:
1.
tanggal dibuatnya perjanjian;
2.
para pihaknya;
3.
kehendak para pihak atau objeknya; dan
4.
tanda tangan.
Pengaturan tentang akta perjanjian
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan berikut ini.
1.
Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Hukum
Orang. Dalam buku I memuat tentang akta perjanjian kawin;
2.
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memuat
tentang jenis-jenis perjanjian tertentu;
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memuat
tentang perjanjian kawin;
4.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat tentang akta
perjanjian kredit; dan
5.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan, yang mengatur sewa beli, leasing, dan lainnya.
Di
samping itu, pengaturan tentang akta perjanjian tercantum
dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara lain,
seperti, yang tercantum dalam:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda;
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Rusia; dan
3.
Restatement (Second) of Contracts Amerika Serikat 1932.
Secara
sosiologis, tidak selamanya akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat
dilaksanakan dengan baik, hal ini disebabkan karena subjek hukum tidak
melaksanakan dan mengindahkan substansi akta perjanjian secara konsisten. Hal ini
dapat dicontohkan A telah memberikan kuasa kepada B untuk menjual benda
bergerak, namun uang hasil penjualan itu tidak diserahkan kepada pemberi kuasa.
Pihak A telah memberikan somasi atau teguran kepada B selama tiga kali
berturut-turut, namun B tidak mengindahkannya. Oleh karena somasi itu tidak
diindahkan, maka B dikatakan wanprestasi. Sehingga masalah itu diselesaikan
oleh pengadilan. Biasanya, Pengadilan di dalam memutuskan setiap perkara yang
diajukan kepadanya selalu memerhatikan dan dijadikan dasar dalam putusannya,
yaitu substansi akta yang dibuat oleh para pihak karena akta itu sebagai alat
bukti yang sempurna. Kesempurnaan akta notariil sebagai alat bukti, maka harus
dilihat apa adanya tidak perlu atau dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang
tertulis dalam akta tersebut.[1]
[1]
Habib
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, (Bandung,PT Refika Aditama, 2008), hlm 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar