Rabu, 17 Oktober 2018

Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis Akta Perjanjian


Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis
Akta Perjanjian

          Filosofi dibuatnya akta perjanjian adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang hak-hak dan kewajiban para pihak. Kepastian hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal certainty, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut rechtszekerheid adalah ketentuan ketentuan hukum atau klausula-klausula yang mampu menjamin hak dan kewajiban para pihak. Kepastian itu, meliputi:
1.    tanggal dibuatnya perjanjian;
2.    para pihaknya;
3.    kehendak para pihak atau objeknya; dan
4.    tanda tangan.

Pengaturan tentang akta perjanjian tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan berikut ini.
1.    Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Hukum Orang. Dalam buku I memuat tentang akta perjanjian kawin;
2.    Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memuat tentang jenis-jenis perjanjian tertentu;
3.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memuat tentang perjanjian kawin;
4.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat tentang akta perjanjian kredit; dan
5.    Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang mengatur sewa beli, leasing, dan lainnya.

          Di samping itu, pengaturan tentang akta perjanjian tercantum
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara lain,
seperti, yang tercantum dalam:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda;
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Rusia; dan
3.    Restatement (Second) of Contracts Amerika Serikat 1932.

          Secara sosiologis, tidak selamanya akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini disebabkan karena subjek hukum tidak melaksanakan dan mengindahkan substansi akta perjanjian secara konsisten. Hal ini dapat dicontohkan A telah memberikan kuasa kepada B untuk menjual benda bergerak, namun uang hasil penjualan itu tidak diserahkan kepada pemberi kuasa. Pihak A telah memberikan somasi atau teguran kepada B selama tiga kali berturut-turut, namun B tidak mengindahkannya. Oleh karena somasi itu tidak diindahkan, maka B dikatakan wanprestasi. Sehingga masalah itu diselesaikan oleh pengadilan. Biasanya, Pengadilan di dalam memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya selalu memerhatikan dan dijadikan dasar dalam putusannya, yaitu substansi akta yang dibuat oleh para pihak karena akta itu sebagai alat bukti yang sempurna. Kesempurnaan akta notariil sebagai alat bukti, maka harus dilihat apa adanya tidak perlu atau dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.[1]


[1]           Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, (Bandung,PT Refika Aditama, 2008), hlm 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar