BAB 2
TEORI HUKUM
A. Pengertian Teori Hukum
Teori hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
theory of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie
mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di
dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam
kerangka memecahkan berbagai persoalan, di mana di dalam hukum normatif tidak
diatur. Pengertian teori hukum dapat dibaca dan pandangan yang dikemukakan oleh
Meuwissen, Jan Gijssels dan Mark van Hoccke, dan Bruggink. Meuwissen
mengartikan teori hukum adalah:
“Berada pada tataran abstraksi
yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum; ia mewujudkan peralihan ke filsafat
hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dan berbagai bentuk ilmu hukum.
Karena itu, teori hukum dapat dipandang sebagai suatu jenis filsafat ilmu dan
ilmu hukum. teori hukum mempersoalkan, apakah sosiologi hukum atau dogmatik
hukum harus dipandang sebagai ilmu empirik yang bersifat deskriptif atau
tidak”.[1]
Dalam definisi in teori hukum dikaji dan segi objek,
tugas dan metode. Objek kajian dan teori hukum, meliputi sosiologi hukum dan
dogmatik hukum. Tugas teori hukum, meliputi:
1.
menganalisis
dan menerangkan pengertian hukum (pengertian dan hukum) dan berbagai pengertian
hukum atau konsep yuridik (konsep yang digunakan dalam hukum).
Pengertian-pengertian itu, seperti hukum subjektif, hukum objektif, hubungan
hukum, asas hukum, hak milik, kontrak, hukuman, itikad baik, dan sejenisnya.
Pengertian ini dapat dijadikan objek penelitian hukum. Pada masa lalu, kajian
tentang pengertian dikenal sebagai ajaran hukum (“rechtsleer”).
2.
mengkaji
hubungan antara hukum dan logika;
3.
mengkaji
hal-hal yang bertalian dengan metodologi (ajaran metode).
Teori hukum yang tugasnya
mengkaji hal-hal yang bertalian dengan metodologi, menjadi ajaran metode
yuridik. Dalam teori hukum modern, maka ajaran tentang metode dan seni
interpretasi telah berkembang menjadi suatu teori argumentasi yuridik yang
penuh. Definisi yang dikemukakan oleh Meuwissen juga tidak jelas, karena Ia
melihat teori hukum dan aspek objek, tugas dan metodenya.
Jan Gijssels dan Mark van
Hoccke memberikan pengertian tentang teori hukum. Teori hukum adalah:
“Cabang dari ilmu hukum yang dalam suatu perspektif
interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dan gejala hukum
masing-masing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam
konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan
mengarah pada pemahaman yang lebih baik dalam dan suatu penjelasan yang jernih
atas bahan-bahan yuridikal terberi.”[2]
Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi teori
hukum mi,
meliputi:
1. teori hukum sebagai cabang ilmu hukum, yang
interdisipliner;
2. objek analisisnya tentang konsepsi teoretikal dan
praktikal.
Teori hukum sebagai cabang
ilmu hukum yang interdisipliner dimaknakan bahwa teori hukum dalam melakukan
analisis terhadap objeknya mencoba untuk mensintesiskan, mengintegrasikan,
mengglobalkan hasil hasil penelitian dan disiplin ilmu yang lain, seperti
sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, dan lainnya. Objek
analisisnya tentang konsepsi teoretikal dan praktikal dimaknakan bahwa objek
kajian teori hukum, tidak hanya yang bersifat normatif, tetapi juga mengkaji
dan menganalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat.
Bruggink mengartikan teori
hukum adalah:
“Suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan.”[3]
Pengertian teori hukum
dalam definisi ini bermakna ganda, karena teori hukum sebagai produk dan
proses, Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoretik bidang hukum.
Sedangkan teori hukum dapat dikatakan sebagai proses adalah karena perhatiannya
diarahkan pada kegiatan teoretik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian
teoretik bidang hukum sendiri, tidak pada hasil kegiatan-kegiatan itu. Dalam
pengertian ini tidak jelas, karena teori hukum tidak hanya mengkaji tentang
norma, tetapi juga hukum dalam kenyataannya.
Oleh karena definisi yang
disajikan oleh para ahli kurang lengkap, maka perlu dilakukan penyempurnaan
pengertian teori hukum. Pengertian teori hukum yang disajikan di sini adalah
didasarkan pada penggolongan teori hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen dan
Jan Gijsseis dan Mark van Hoccke. Teori hukum merupakan:
“Teori yang mengkaji dan
menganalisis hukum dan dimensi normatif, empirik, dan kekuatan mengikat dan
hukum”.
Kajian teori hukum dan
normatif merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis norma-norma dan
aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan pengadilan, maupun doktrin. Fokus kajiannya pada mengapa
norma-norma hukum itu dirumuskan seperti itu, misalnya tentang perbuatan
melawan hukum yang terdapat di dalam KUH Perdata. Pada saat dirumuskan
perbuatan melawan hukum, maka ajaran yang berkembang adalah ajaran legisme.
Ajaran ini, memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Teori hukum
dan dimensi empirik merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis hukum dan
keberlakuannya dalam masyarakat. Sementara itu, teori hukum dan dimensi
kekuatan mengikat merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa
masyarakat mematuhi aturan hukum, konsep tentang keadilan, dan lain-lain.
B. Sejarah Perkembangan Teori Hukum
Sejarah perkembangan teori
hukum tidak terlepas dan sejarah lahirnya ajaran hukum umum (ailgemeine
rechtslehre/general jurisprudence/ theorie generale du droit). Ajaran
hukum umum lahir pada abad ke-19 di Eropa Barat. Yang menjadi objek kajian
ajaran hukum umum adalah mengenai:
1.
asas-asas
hukum (seperti pacta sunt servanda, dan sebagainya);
2.
pengertian-pengertian
hukum (seperti hak milik, kedaulatan, sanksi, dan sebagainya);
3.
pembedaan-pembedaan
hukum (seperti antara hukum publik dan hukum privat, atau antara hukum
domestik/positif dan hukum internasional), yang dianggap terkandung dan
merupakan bagian mutlak dan semua sistem hukum/tertib hukum positif.[4]
Dengan kata lain, ajaran
hukum umum berupaya menemukan asas asas, pengertian-pengertian serta
pembedaan-pembedaan hukum yang bersifat ilmiah positif guna:
1.
merumuskan/mencari
unsur-unsur yang sama dalam semua tataran hukum (de grootsste gemene deler
(pembagian umum yang terbesar);
2.
mencari
unsur yang sama dalam isi;
3.
mencari
unsur yang sama dalam bentuknya.[5]
Para pelopor dan ajaran
hukum umum adalah:
1.
Jhon
Austin (1790-1859), yang juga menjadi peletak dasar mazhab analitik (analytical
jurisprudence)
2.
Adoif-Merkel
(Jerman) (1836-1896);
3.
Karl
Bergbohm (Jerman) (1849-1927);
4.
Ernst
Rudolf Bierling (Jerman) (1841-19 19);
5.
Rudolf
Stammler (Jerman) ((1856-1938);
6.
Felix
Somlo (Ceko) (1873-1920).
Titik tolak yang digunakan
oleh pelopor ajaran hukum umum, disajikan berikut ini.
1.
Para
pelopor ingin mengemukakan suatu disiplin ilmiah-positif yang baru, lebih
teoretikal ketimbang dogmatika hukum, namun lebih konkret dan lebih praktikal
ketimbang filsafat hukum. Austin, misalnya berbicara juga tentang suatu filsafat
hukum positif. Merkel tentang ‘bagian umum dan ilmu hukum, dan Stammler tentang
suatu ajaran hukum murni’).
2.
Objek
ajaran hukum umum. Para pelopor ajaran hukum berpendapat bahwa objek dan ajaran
hukum umum adalah menyelidiki tentang:
- struktur dasar;
- asas-asas dasar;
- pengertian-pengertian dasar yang dapat ditemukan kembali dalam setiap sistem hukum positif.
Maksud dan penyelidikan ini adalah melakukan
penelitian ilmiah tentang ciri-ciri khas dan hakiki dan hukum, bukan suatu
perenungan filosofikal yang spekulatif.
3.
Para
peletak dasar memandang ajaran hukum umum sebagai suatu disiplin bebas nilai
yang tidak normatif. Ajaran hukum umum bertugas untuk:
- menguraikan gejala-gejala hukum dengan cara yang secara metodikal dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dan dapat sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang secara faktual dapat diverifikasi dan didukung secara ilmiah;
- ajaran hukum umum harus tetap bebas dan setiap putusan (penilaian) pribadi atau titik tolak normatif dan para peneliti. Dengan kata lain, metodenya harus ilmiah positif dan bebas nilai;
- hasil penelitian harus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hakikat gejala hukum, dan harus (seyogianya) tidak merumuskan kaidah-kaidah yang akan dapat dipandang mengikat bagi praktik hukum;
- ajaran hukum umum meneliti (berupaya menemukan) apa yang sama pada semua sistem hukum dan bukan apa yang seharusnya sama.[6]
Sementara itu, teori hukum lahir pada perjaianan abad
ke-20. Teori hukum timbul dan merupakan kelanjutan dan ajaran hukum umum. Ada
dua aspek bahwa teori hukum merupakan kelanjutan yang berkenaan dengan ajaran
hukum umum. Kedua aspek itu, disajikan berikut ini.
1.
Teori
hukum sebagai kelanjutan dan ajaran hukum umum memiliki objek disiplin mandiri
suatu tempat di antara dogmatika hukum di satu sisi dan flisafat hukum di sisi
lain. Ajaran hukum umum oleh beberapa penulis (a.l. Adolf Merkel) masih
dipandang sebagai pengganti (penerus) ilmiah-positif dari filsafat hukum
metafIsikal yang tidak ilmiah. Dewasa ini teori hukum diakui sebagai disiplin
ketiga di samping, dan untuk melengkapi flisafat hukum dan dogmatika hukum.
Teori hukum, filsafat hukum dan dogmatika hukum yang masing-masing memiliki
(mempertahankan) wilayah sendiri dan nilai sendiri.
2.
Sama
seperti ajaran hukum umum dewasa itu teori hukum, setidaknya oleh kebanyakan,
dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai.[7]
Walaupun teori hukum
dianggap merupakan kelanjutan dan ajaran hukum umum, namun berbeda tujuan dan
tingkat kemandiriannya.
Perbedaan itu, disajikan berikut ini.
1.
Tujuan
teori hukum adalah menguraikan hukum secara ilmiah positif. Sementara itu, yang
menjadi tujuan ajaran hukum umum adalah berupaya menemukan ontologi dan hukum
dan hakikat hukum melalui jalan empirik.
2.
Teori
hukum telah diakui secara luas sebagai suatu disiplin yang mandiri. Sementara,
ajaran hukum umum belum dapat diakui sebagai suatu disiplin yang mandiri.
Ciri yang sama antara teori
hukum dengan ajaran hukum umum adalah :
- sama-sama berupaya menempatkan posisinya di antara filsafat hukum dan dogmatika hukum;
- sama-sama bebas nilai; dan
- sama-sama tidak bersifat normatif.
Walaupun teori hukum lahir
pada abad ke-20, namun perkembangan teori hukum mengalami kemandekan. Ada dua
penyebab timbulnya kemandekan dalam pengembangan teori hukum. Kedua penyebab
itu, meliputi:
1.
kemunculan
nasionalisme sosialisme (Nazi) di Jerman pada awal tahun 30-an;
2.
meletusnya
Perang Dunia II pada tahun 1938. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhir
tahun 1960-an/awal 1970-an.[8]
Secara tradisional daerah yang menggunakan bahasa jerman
dianggap, sebagai “centra ahli-ahli pikir” di bidang filsafat hukum dan teori
hukum. Kehadiran Nazi di Jerman dengan ideologi nasionalisme-sosialismenya
mendorong para ahli hukum Jerman secara sadar mengesampingkan
perundang-undangan yang ada sebelumnya. Sehingga secara terang terangan terjadi
pelanggaran terhadap tujuan dan arti perundang-undangan sebagaimana ditetapkan
oleh pembuatnya, dan telah terjadi pula penerapan perundang-undangan secara
imoral. Situasi hukum di Jerman pada masa Nazi mi dikenal sebagai masa
positivisme hukum.
Perkembangan kembali teori
hukum terjadi pada abad ke-20 ini. Latar belakang berkembangnya teori hukum
pada abad ke-20 adalah karena berkembangnya ilmu pengetahuan kemasyarakatan
baru atau cabang cabang baru dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang sudah ada
pada masa pasca Perang Dunia II, yang mengarahkan kajiannya pada kenyataan dan
gejala hukum, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum, logika
hukum, informatika hukum, dan sebagainya.
Masing-masing ilmu
pengetahuan baru tersebut memang mempunyai kesamaan sasaran kajian, yaitu
kenyataan dan gejala hukum, tetapi sudut pandang yang dipergunakan adalah
saling berbeda antara satu dengan lainnya tergantung pada sudut pandang yang
dipergunakan oleh induk pengetahuannya masing-masing. Karena pada hakikatnya
ilmu pengetahuan baru tersebut adalah tetap sosiologi, atau tetap sejarah atau
tetap antropologi dan seterusnya yang memfokuskan perhatiannya untuk mengkaji
secara khusus gejala hukum yang hidup di tengah masyarakat.
C. Objek Kajian Teori Hukum
Paul
Scholten telah mengkaji dan menganalisis tentang objek kajian teori hukum. Yang
diartikan dengan objek kajian adalah sasaran penyelidikan dan teori hukum.
Dalam kajiannya, Paul Scolten membandingkan objek kajian antara ilmu hukum
dengan teori hukum. Objek kajian itu, disajikan berikut ini.
1.
Objek
ilmu hukum adalah hukum positif dan suatu rakyat tertentu yang berlaku pada
suatu waktu tertentu. Objek teori hukum adalah bentuknya dan hukum positif,
yang menyebabkannya menjadi hukum.
2.
Ilmu
hukum mempersoalkan hal yang banyak (keberagaman, veelvul digheid).
Teori hukum mempersoalkan kesatuan (eenheid), walaupun ia hanya
dapat mengetahui kesatuan itu di dalam yang banyak.
3.
Teori
hukum meneliti suatu bagian dan jiwa manusia, yakni di dalam ungkapan-ungkapan
historikalnya, namun tidak demi ungkapan ungkapan itu pada dirinya sendiri,
melainkan demi kesatuan yang menjadi cirinya (yang menengarainya), ia demi jiwa
itu sendirilah yang menjadi urusannya.
4.
Ilmu
hukum menanyakan apa yang berlaku sebagai hukum. Teori hukum menanyakan apa
hukum itu.
5.
Ilmu
hukum mencari sistematika dan suatu hukum tertentu, misalnya hukum tata negara
Belanda pada masa kini. Teori hukum akan dapat menunjukkan batas-batas pada
kemungkinan itu.
6.
Teori
hukum berhadapan dengan pertanyaan apa arti keberadaan sebagai sistem
(kebersisteman) tersebut. Ilmu hukum tidak dapat ada tanpa pengandaian logikal
dan teori hukum.
7.
Teori
hukum memperoleh bahannya dan ilmu hukum.
8.
Teori
hukum tidak membentuk hukum. Ilmu hukum melakukannya secara teratur.[9]
Jan
Gijssels dan Mark van Hoccke juga mengkaji tentang objek kajian dan dogmatika
hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Objek kajian dan dogmatika hukum adalah
mempelajari hukum positif pada suatu waktu tertentu dan di suatu tempat
tertentu memiliki keküatan berlaku. Objek kajian atau studi teori hukum adalah
mempelajari persoalan-persoalan fundamental dalam kaitan dengan hukum positif,
misalnya sifat dan kaidah hukum, definisi dan hukum, hubungan antara hukum dan
moral, dan sejenisnya. Sedangkan objek kajian filsafat hukum adalah mengkaji
tentang nilai-nilai, kaidah-kaidah, ideologi-ideoiogi.[10]
D. Jenis-jenisTeori Hukum
Para
ahli tidak ada kesatuan pandangan tentang penggolongan teori hukum. Ada yang
mengkaji dan aspek ruang lingkupnya, analisisnya, dan pendekatannya. Kajian
tentang ketiga hal itu, disajikan berikut ini.
1. Teori Hukum dari Aspek Ruang Lingkupnya
Teori hukum dari aspek ruang lingkupnya merupakan
penggolongan teori hukum atas dasar cakupan wilayah kajiannya. Para ahli
mencoba membagi teori hukum berdasarkan ruang lingkupnya. Bruggink membagi
teori hukum menjadi dua macam, yaitu:
a.
teori
hukum dalam arti luas;
b.
teori
hukum dalam arti sempit.[11]
Teori hukum dalam arti luas, yaitu teori hukum yang
membicarakan tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dan hukum.
Yang termasuk teori hukum dalam arti luas, meliputi:
a.
sosiologi
hukum;
b.
teori
hukum;
c.
filsafat
hukum;
d.
dogmatika
hukum.
Teori
hukum dalam arti sempit, yaitu teori hukum yang membicarakan tentang keberlakuan
formal atau keberlakuan normatif dan hukum. Teori hukum dalam arti sempit
adalah teori hukum sendiri.
Jan
Gijssels dan Mark van Hoccke juga membagi teori hukum menjadi dua macam, yaitu:
a. teori hukum dalam arti sempit;
b. teori hukum dalam arti luas.[12]
Teori
hukum dalam arti sempit adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara
dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti sempit merupakan ilmu
eksplanasi hukum. Teori hukum dalam arti luas, meliputi dogmatik hukum, teori
hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.
Meuwissen
membagi teori hukum menjadi lima jenis. Kelima jenis teori hukum itu, meliputi:
a. teori sistem;
b. ajaran hukum fungsional;
c. teori hukum politik;
d. teori hukum empirik;
e. teori hukum Marxistik.[13]
2. Teori Hukum dan Aspek Analisisnya
Teori
hukum dan aspek analisisnya merupakan penggolongan teori hukum berdasarkan atas
uraian dan objek penelitiannya. Teori hukum berdasarkan analisisnya dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. teori hukum kritikal; dan
b. teori hukum analitikal.[14]
Teori
hukum kritikal mengemukakan bahwa teori hukum hanya dapat diemban secara
bermakna penuh (zinvol) dalam bentuk suatu teori global tentang hukum,
yang di dalamnya juga dogmatika hukum, sosiologi hukum, dan filsafat hukum.
Teori hukum analitikal membatasi medan penelitiannya yang dengan teori-teori
analitik-empirikal dapat diteliti dan dijelaskan.
Dengan
demikian, teori hukum sebagian besar terbatas pada suatu analisis struktur
logikal atas hukum. Menjadi ciri khas untuk aliran analitikal adalah bahwa
orang sangat mengembangkan analisis keilmu-bahasaan dan logikal atas
pengertian-pengertian dan teks-teks yuridikal.
3. Teori Hukum Berdasarkan Pendekatannya
Teori
hukum berdasarkan pendekatannya merupakan penggolongan teori hukum yang dilihat
dan aspek cara dalam rangka memperoieh data yang berkaitan dengan penelitian.
Teori hukum berdasarkan pendekatan nya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. emprikal; dan
b. normatif.[15]
Teori
hukum emprikal adalah suatu teori hukum yang tidak normatif kritikai. mi tidak
berarti bahwa pengemban teori hukum tidak mempunyai hak untuk menautkan
pikiran-pikiran politikal, ideologikal, dan filosofikal pada pertimbangan
ilmiahnya. Teori hukum normatif adalah suatu teori hukum yang mengkaji dan
menganalisis hukum dan norma atau aturan aturan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Apabila
disintesiskan (dipadukan) ketiga pandangan di atas, maka teori hukum dapat
dibedakan menjadi delapan macam, yang meliputi:
a.
sosiologi
hukum;
b.
dogmatika
hukum;
c.
filsafat
hukum
d.
teori
sistem;
e.
ajaran
hukum fungsional;
f.
teori
hukum politik;
g.
teori
hukum empirik; dan
h.
teori
hukum Marxistik.
Namun,
apabila dikaji objek kajian antara sosiologi hukum dengan teori hukum empirik,
sebagaimana dikemukakan oleh Meuwissen, maka kedua teori itu adalah sama-sama
mengkaji hubungan antara hukum dengan masyarakat. Oleh karena itu, yang akan
dijelaskan hanya yang berkaitan dengan sosiologi hukum, dogmatika hukum, dan
flisafat hukum. Sedang kan teori sistem, ajaran hukum fungsional, teori hukum
politik, dan teori hukum Marxistik akan dibahas pada bab tersendiri.
E. Sosiologi Hukum
Sosiologi
hukum menganalisis keberlakuan empirik atau faktual dan hukum. Sosiologi hukum
diarahkan pada kenyataan kemasyarakatan. Objek sosiologi hukum, yaitu:
1.
kenyataan
kemasyarakatan;
2.
kaidah-kaidah
hukum yang dengan saiah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan
kemasyarakatan.
Bruggink
mengemukakan bahwa sosiologi hukum sebagai teori tentang hubungan antara kaidah
hukum dan kenyataan kemasyarakatan. Hubungan hukum ini dapat dipelajari dengan
dua cara, yaitu:
1.
menjelaskan
kaidah hukum dan sudut kenyataan kemasyarakatan; dan
2.
menjelaskan
kenyataan kemasyarakatan dan sudut kaidah-kaidah hukum.[16]
Meuwissen
juga mengemukakan pandangannya tentang sosiologi hukum. Ia berpendapat bahwa
sosiologi hukum menjelaskan:
“Hukum positif yang berlaku
(artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan
bantuan faktor kemasyarakatan” [17]
Ada dua cara menghubungkan hukum dengan faktor
kemasyarakatan, yaitu:
1. hukum dapat dijelaskan dengan bantuan
faktor-faktor kemasyarakatan;
2. gejala-gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan
dengan bantuan hukum.
Yang
dimaksud dengan menjelaskan adalah memberikan penjelasan kausal konform
(sikap dan perilaku yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
berlaku) dengan pandangan yang berpengaruh dalam ilmu hukum empirik. J.
Griffiths memberikan sebuah kesimpulan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu
empirik yang setia hanya pada pemaparan fakta.
Kita
mencoba mengambil contoh sebuah kajian dan sosiologi hukum tentang pencurian.
Secara normatif ditentukan bahwa setiap orang yang mencuri harus dihukum.
Apabila A telah mencuri, maka dia harus di hukum. Tetapi, kita tidak pernah
mempersoalkan, kenapa A mencuri. Asumsi sementara bahwa faktor penyebab A
mencuri karena yang bersangkutan membutuhkan uang untuk membiayai biaya rumah
sakit atau keluarga yang bersangkutan tidak ada uang untuk membeli kebutuhan
sehari-hari atau yang bersangkutan mencuri karena hobi. Faktor penyebab inilah
yang dicoba untuk dikaji oleh sosiologi hukum.
F. Filsafat Hukum
Istilah
filsafat hukum berasal dan terjemahan bahasa Inggris, yaitu philosophy of
law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah filosofierecht.
Para ahli berbeda pandangannya tentang pengertian filsafat hukum. Ada ahli yang
memberikan definisi filsafat hukum dan objek kajiannya dan ada juga melihatnya
dan bekerjanya hukum. Bruggink memberikan definisi filsafat hukum sebagai
berikut. Filsafat hukum adalah:
“Induk dan semua disiplin
yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental
yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan
dengan masalah-masalah sedemikian fundamental sehingga bagi manusia tidak terpecahkan,
karena masalah-masalah itu akan melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat
hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba
memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu
adalah pertanyaan yang terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang
menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Orang memasukkan pertanyaan “Apakah
filsafat itu?” Dan situ disimpulkan bahwa dengan demikian terdapat banyak
kemungkinan penentuan batasan tentang apa yang orang pandang sebagai objek
filsafat. Sebuah penentuan batasan pengertian filsafat hukum yang dapat
diterima menurut saya adalah yang berikut ini. Filsafat hukum adalah teori
tentang dasar dasar dan batas-batas kaidah hukum”.[18]
Definisi
yang disajikan oleh Bruggink sangat panjang, namun Bruggink menyimpulkan bahwa
filsafat hukum adalah teori tentang dasar-dasar dan batas-batas kaidah hukum.
Sebagai contoh, untuk itu dapat disebut masalah keberlakuan materiil. Sebuah
kaidah hukum berdasarkan pengertian keberlakuan ini akan berlaku karena kaidah
itu secara substansial (dipandang dan isinya) layak.
Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah:
“Refleksi secara sistematikal
tentang kenyataan dan hukum. Kenya taan hukum harus dipikirkan sebagai
realisasi (perwujudan) dan ide hukum (cita hukum). Dalam hukum positif kita
selalu bertemu dengan empat bentuk, yaitu aturan hukum, putusan hukum, figur
hukum (pranata hukum); dan lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah
negara. Tetapi tidak hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus
direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuab “sistem terbuka”
yang di dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya” .[19]
Jan
Gijssels dan Mark van Hoccke memberikan pengertian tentang filsafat hukum.
Filsafat hukum adalah:
“Filsafat umum yang diterapkan
pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan
paling banyak dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur, dan
sejenisnya dan kenyataan. Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan mi
difokuskan pada keterberian yuridikal”.[20]
Jan
Gijssels dan Mark van Hoccke Van Hoecke mengemukakan tujuh wilayah filsafat
hukum. Ketujuh wilayah itu, disajikan berikut ini.
1.
Ontologi
hukum (ajaran tentang hal
ada, zijnsleer). Ontologi hukum meneliti tentang hakikat hukum
dan hubungan antara hukum dan moral;
2.
Aksiologi
hukum (ajaran nilai, waardenleer).
Ajaran tentang nilai itu, seperti keadilan, kepatutan, persamaan, kebebasan,
dan sebagainya.
3.
Ideologi
hukum (ajaran idea,
ideeenleer) . Pengolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat
yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi
pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum
seutuhnya atau bagian-bagian daninya (misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat,
filsafat hukum Marxistik).
4.
Epistemologi
hukum (ajaran pengetahuan).
Penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari
hukum, atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental Iainnya mungkin. Jadi, ini
adalah suatu bentuk dan metafilsafat.
5.
Teleologi
hukum (ajaran finalitas),
yaitu berkaitan dengan makna dan tujuan hukum.
6.
Ajaran
ilmu dari hukum ini adalah
meta-teori dan ilmu hukum, yang di dalamnya diajukan dan dijawab
pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan dengan kriteria bagi
keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu dimungkinkan?) dan
dalam hubungan dengan kiasifikasi ilmu hukum (bukan kiasifikasi hukumnya itu
sendiri). Juga metodologi dan filsafat hukum sendiri (dengan mengecualikan
metodologi dan cabang-cabang Hukum lain) juga dapat dimasukkan ke dalamnya.
7.
Logika
hukum. Penelitian tentang
aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yunidik, bangunan logikal serta
struktur sistem hukum. Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah cabang
filsafat hukum mandini. Bahkan menjadi sebuah disiplin sendini dalam ilmu
hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat sendini di samping filsafat hukum.
Yang
mencolok pada filsafat hukum adalah bahwa hasil-hasil dan penalarannya tidak
dapat diuji secara empirik.
G. Dogmatik Hukum
Istilah
dogmatika hukum berasal dan bahasa Inggnis, yaitu dogmatics law. Sedangkan
dalam bahasa Belanda, disebut den ganjuridische dogmatiek. Brugginks
mengartikan dogmatika hukum sebagai:
“Sistem konseptual aturan
hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban
kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum oleh
pengemban kewenangan hukum disebut pembentukan hukum (rechtsvorming).
Pengambilan keputusan hukum oleh pengemban kewenangan hukum disebut penemuan
hukum (rechtsvinding). Objek dogmatika hukum adalah hukum
positif.”[21]
Hukum
positif merupakan hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara atau nation
(bangsa). Hukum yang berlaku dalam suatu negara dapat digolongkan menjadi dua
macam, yaitu hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law). Living
law merupakan hukum yang tidak tertulis dan berlakunya setempat.
Walaupun hukum itu tidak tertulis, namun tingkat efektivitasnya tinggi, karena
selalu ditaati masyarakat sekitarnya. Sementara itu, Meuwissen mengartikan
dogmatik hukum sebagai:
“Kegiatan memaparkan,
menganalisis, mensistematisasi dan meng interpretasi hukum positif yang
berlaku. Dogmatik hukum ditemukan dalam buku-buku teks, monografi-monografi,
artikel-artikel dalam jurnal-jurnal hukum, dan terutama dalam anotasi-anotasi
pada putusan hakim. Jenis ilmu hukum ini diajarkan di fakultas-fakultas hukum.
Pendidikan hukum diarahkan untuk mengajarkan keahlian kepada mahasiswa agar
mereka dapat mengemban hukum di dalam praktik secara bertanggung jawab”.[22]
Ilmu
dogmatik hukum mempunyai karakter atau ciri tersendiri. Ia sebuah ilmu “sui
generis” yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk
ilmu lain yang mana pun. Ada enam ciri dan dogmatik hukum. Keenam ciri itu,
disajikan berikut ini.
1.
Empirikal
analitis. ini berarti bahwa
ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi dan struktur dan ilmu
hukum yang berlaku. Untuk menganalisis isi dan struktur itu dapat digunakan
metode metode empirik. Hal-hal yang dianalisis, meliputi pengertian-pengertian
dalam pertautan antara satu dengan yang lainnya. Pengertian itu dianalisis, dan
terutama dicoba untuk memahami pengertian atau makna dengan berlatar belakang
pada asas-asas hukum yang melandasinya.
2.
Mensistematisasi
gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis.
3.
Menginterpretasi
hukum yang berlaku.
4.
Menilai
hukum yang berlaku.
5.
Penerapan
hukum.
6.
Karakter
politik.[23]
Apabila
kita bandingkan kedua pandangan di atas, yaitu pandangan Brugginks dan
Meuwissen, maka dapat dikemukakan persamaan dari aspek objek yang dikaji oleh
dogmatik hukum, yaitu sama-sama mengkaji dan menganalisis hukum positif yang
sedang berlaku dalam suatu negara atau nation (bangsa).
H. Hubungan antara Dogmatika Hukum, Filsafat Hukum
dengan Teori Hukum
Dogmatika
hukum dan filsafat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori
hukum. Jan Gijsseis dan Mark van Hoccke mengemukakan hubungan antara dogmatika
hukum dengan teori hukum dan hubungan antara flisafat hukum dengan teori hukum.
Hubungan antara dogmatika hukum dengan teori hukum disajikan berikut ini.
1.
Dogmatika
hukum mempelajari
aturan-aturan hukum itu sendiri dan sudut pandangan teknikai. Teori hukum
mempelajari refleksi (cerminan) terhadap teknik hukum.
2.
Dogmatika
hukum berbicara tentang
hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengan ilmuwan hukum berbicara
tentang hukum, yang disebut antara bahasa, objek dan meta-bahasa.
3.
limuwan
dogmatika hukum berbicara tentang sesuatu berdasarkan hukum. Ilmuan teori hukum
berbicara tentang hukum bertolak dan perspektif (sudut pandang) bukan yuridik
(teknikal) dalam suatu bahasa bukan yuridik (teknikal).
4.
Dogmatika
hukum, menerapkan teks undang-undang melaiui teknik interpretasi tertentu.
Teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik
interpretasi, tentang sifat-sifat memaksa secara logikal dan penalaran
interpretasi dan sejenisnya.
5.
Ilmuwan
dogmatika hukum berbicara tentang masalah hukum konkret. Pakar teori hukum
membicarakan penalaran dan ahli (ilmuwan) hukum.
6.
Tujuan
dogmatika hukum memberikan suatu pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang
berlaku. Teori hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan
sistematisasi hukum positif yang berlaku.
7.
Dogmatika
hukum membangun suatu instrumentarium teknikal yuridik dan suatu sistem hukum
positif. Pakar teori hukum melakukan studi kritikal (kecaman) terhadap
penalaran dan ilmuwan hukum dan instrumentarium konsep-konsep yuridik,
teknik-teknik interpretasi dan kriteria untuk keberlakuan aturan hukum
(hierarki sumber-sumber hukum, dan sejenisnya) yang digunakannya.
8.
Dogmatika
hukum menemukan penyelesaian konkret terhadap masalah yuridik. Teori hukum tidak
mempersoalkan penyelesaian konkret, tetapi mengesampingkannya.[24]
Dogmatik
hukum tidak dapat dilepaskan dengan politik, terutama politik hukum, karena:
1.
politik
hukum menjelaskan momen-momen politik apa yang ikut terlibat dalam teori dan
praktik hukum;
2.
politik
hukum memainkan peranan pada pemikiran dan perancangan peraturan
perundang-undangan;
3.
politik
hukum mengkritik yurisprudensi dan memperjuangkan penyelesaian-penyelesaian
untuk kejadian-kejadian yang individual yang dihadapkan pada hakim.
Dengan
kata lain, politik hukum berkaitan dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum
dalam kenyataannya.
Filsafat hukum mempunyai hubungan dengan teori hukum.
Hubungan itu, disajikan berikut ini.
1.
Hubungan
flisafat hukum dengan teori hukum sebagai sebuah hubungan metadisiplin
(filsafat hukum) terhadap disiplin objek (teori hukum).
2.
Filsafat
hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran speku latif, sedangkan teori
hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum.
3.
Filsafat
hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri yang
keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didis kusikan. Sebaliknya teori
hukurn itu rasional (atau setidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar
kriteria umum, yang diterima oleh setiap orang.[25]
[1] Meuwissen, Tentang Pengembanan
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama,
2008), hlm. 7.
[2] Gijssels
dan Mark van Hoccke, What Is Rechtheorie (Apakah Teori Hukum
Itu), alih bahasa B. Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2000), hlm. 77.
[3] J.J.
H Bruggink, Rechts Refiectie, Grondbegrippen uit Rechtheorie (Refleksi
Tentang Hukum), alih bahasa B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Adytia
Bakti, 1999), hlm. 160.
[4] Muchyar
Yara, “Teori Hukum: (Suatu Rinjauan Singkat Tentang Posisi, Sejarah
Perkembangan dan Ruang Lingkupnya) “, Uakarta: Majalah Hukum dan
Pembangunan Nomor 1-3 Tahun XXVIII, 1988), hIm. 2.
[5] Scholten,
De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum), alih bahasa B.
Arief Sidharta, (Bandung: Alumni, 2005), hlm.38.
[19] Meuwissen,
Op.Cit., hlm. 19-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar