Jumat, 31 Mei 2013

MAHKAMAH KONSTITUSI PEMBUAT UU

MAHKAMAH KONSTITUSI PEMBUAT UU?
*)
                       
Sesuai agenda legislasi 2010, DPR kini tengah mempersiapkan RUU Perubahan UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan RUU Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang (PUU) yang diambil pada 2009 dan 2010 berkaitan dengan kedua UU tersebut. Karena itu, tidak heran jika muncul pertanyaan: bagian mana dari putusan MK yang wajib diikuti pembuat UU ketika melakukan perubahan kedua UU.

Pertanyaan ini muncul karena ada kecenderungan pada sejumlah putusan MK dalam merespons permohonan uji materi terhadap suatu UU, yang dapat dikategorikan sebagai mengambil alih tugas pembuat UU (DPR dan Presiden) serta mengambil alih tugas institusi yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (Mahkamah Agung). Kecenderungan ini dikemukakan berdasarkan pandangan tugas dan kewenangan MK dalam merespons permohonan uji materi suatu UU berdasarkan UUD lebih berupa negative legislator, yaitu menyatakan satu atau lebih pasal suatu UU tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD.

Pandangan ini disimpulkan dari rumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan MK ”mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD...”. Rumusan ini secara tegas menyatakan kewenangan MK dalam merespons permohonan uji materi suatu UU adalah menguji apakah pasal tertentu suatu UU sesuai atau bertentangan dengan UUD. UUD sama sekali tak memberi kewenangan MK mengajukan rumusan ketentuan sebagai pengganti rumusan ketentuan pasal yang dinyatakan tidak lagi berlaku.

Mengambil alih
UUD tidak memberi kewenangan membuat positive legislation kepada MK karena kewenangan membentuk UU sudah diberikan kepada DPR yang dipilih langsung oleh rakyat untuk membuat UU. Seorang presiden juga dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu, DPR (dan presiden) adalah legislator positif.

Sejumlah putusan MK mengenai PUU tidak saja menyatakan pasal tertentu tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD alias negative legislation, tetapi juga berisi rumusan ketentuan pengganti pasal yang dibatalkan MK (positive legislation). Pada sejumlah putusan MK, rumusan pengganti ketentuan yang dinyatakan tak lagi berlaku dinyatakan dalam amar putusan, tetapi pada sejumlah putusan MK lainnya rumusan pengganti itu dikemukakan dalam pertimbangan hukum (seperti amar putusan MK terhadap Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008).

Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 24C tersebut, putusan yang bersifat final sehingga mengikat pembuat UU adalah yang berupa negative legislation. Rumusan ketentuan yang diajukan MK sebagai pengganti rumusan pasal yang dibatalkan, baik yang dikemukakan dalam amar putusan maupun dalam pertimbangan hukum, lebih berupa rekomendasi kepada pembuat UU daripada perintah yang harus ditaati oleh pembuat UU.

Dengan demikian, DPR dan presiden tidak terikat pada pertimbangan hukum MK untuk mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, tetapi terikat pada amar putusan MK yang menyatakan Pasal 214 UU No 10/2008 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD. Yang dinyatakan bertentangan dengan UUD adalah tata cara penetapan calon terpilih campuran sebagaimana dirumuskan Pasal 214. Namun, kalau pembuat UU mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan nomor urut calon atau mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan urutan suara terbanyak,tak bertentangan dengan amar putusan MK.

Pembuat UU tidak terikat rumusan pengganti Pasal 93, 94, dan 95 sebagaimana dikemukakan MK dalam amar putusan karena bukan kewenangan MK membuat UU. Pembuat UU tidak terikat pertimbangan hukum MK yang menyatakan Bawaslu dan Dewan Kehormatan bagian dari penyelenggara pemilu tidak hanya karena pertimbangan hukum bukan putusan, tetapi juga pendapat hukum seperti ini tidak konstitusional karena apa yang dikerjakan Bawaslu merupakan tugas lembaga lain.

Namun, pembuat UU terikat pada amar putusan MK yang membatalkan Pasal 93, Pasal 94, dan Pasal 95 perihal mekanisme pencalonan anggota Panwas provinsi dan Panwas kabupaten/kota oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Kalau pembuat UU menetapkan sistem pengawasan pemilu yang dipandang jauh lebih efektif dan efisien dalam rangka penegakan peraturan pemilu, tetapi tanpa Bawaslu dan Panwaslu, kebijakan seperti ini tak bertentangan dengan amar putusan MK yang seharusnya hanya negative legislation.

Kewenangan MK dalam PUU yang seharusnya terbatas sebagai legislator negatif tidak hanya karena perintah Pasal 24C Ayat (1), tetapi juga karena hakim konstitusi bukan wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk membuat UU. Kecenderungan MK mengambil keputusan berupa positive legislation sangat berbahaya karena dua alasan. Pertama, MK yang seharusnya jadi pengawal konstitusi justru akan jadi perusak konstitusi karena mengambil alih tugas DPR. Kedua, MK akan jadi saluran kepentingan politik golongan atau kelompok yang gagal memasukkan kepentingannya menjadi bagian UU.

Penafsir UU
Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan kepada MA: ”..., menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang,...”. Dengan demikian, MA institusi yang berwenang menguji apakah suatu peraturan pemerintah ataupun peraturan KPU bertentangan atau sesuai dengan UU. Karena menguji berdasarkan UU, MA berwenang menafsirkan UU. Kalau dalam putusan MK dikatakan pasal tertentu dalam UU bersifat konstitusional sepanjang penafsirannya mengikuti penafsiran MK, MK tidak menafsirkan UUD, tetapi menafsirkan UU.

Menafsirkan UU untuk menguji suatu peraturan perundang- undangan di bawah UU merupakan kewenangan MA. Karena itu, Putusan MK Nomor 110-111-112/PUU-VII/2009 yang menyangkut permohonan uji materi terhadap Pasal 205 Ayat (4) mengenai apakah berdasarkan ”suara sekurang-kurangnya 50 persen dari BPP” atau berdasarkan ”sisa suara sekurang-kurangnya 50 persen dari BPP” serta putusan MK terhadap Pasal 206, Pasal 211 Ayat (3), dan Pasal 212 Ayat (3) UU No 10/2008 mengenai pengertian sisa suara dapat disimpulkan mengambil alih wewenang MA.

Karena itu, pembuat UU juga tidak terikat pada putusan MK yang justru menyimpang dari yurisdiksinya tersebut.

Bahkan, ada pula amar putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang isinya seperti amar putusan mengenai PUU. Amar Putusan MK Nomor 74-80-94-59-67/ PHPU.C-VII/2009 terhadap penerapan Pasal 205 Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7) berisi tidak hanya pembatalan Keputusan KPU tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilu karena dianggap keliru dan tidak tepat menurut hukum (tidak jelas menurut hukum yang mana), tetapi juga mengajukan rumusan penafsiran yang dianggap tepat terhadap ketiga ayat tersebut.

Bandingkan Putusan MK mengenai PHPU ini dengan Putusan MK Nomor 110-111-112/PUU- VII/2009 mengenai Pasal 205 Ayat (4). Putusan seperti ini tidak hanya janggal karena Putusan PHPU tetapi isinya PUU, tetapi juga mengambil alih tugas pembuat undang-undang (DPR) dan penafsir undang-undang (MA). Putusan seperti ini seharusnya tidak mengikat pembuat UU ataupun penyelenggara pemilu karena dibuat oleh pihak yang tidak berwenang.

Putusan MK dalam merespons permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ternyata tidak mengandung negative legislation, tetapi positive legislation. Amar putusan MK menyatakan, Pasal 28 dan Pasal 111 konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara tertentu (dirinci mulai dari poin 1 sampai dengan 5). Poin kelima syarat dan cara yang ditentukan berisi waktu penggunaan hak pilih: ”WNI yang menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau paspor dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS luar negeri setempat”.

Amar putusan seperti ini tidak saja mengambil alih tugas dan kewenangan pembuat UU karena berisi positive legislation, tetapi juga mengambil alih tugas MA karena berisi penafsiran UU. Bahkan, putusan yang sangat teknis itu mengambil alih tugas dan kewenangan KPU dalam membuat peraturan pelaksanaan teknis setiap tahapan pemilu. Singkat kata, legislasi positif yang diajukan MK seperti ini tidak hanya pada tataran UU, tetapi juga pada tataran pelaksanaan. Karena MK membuat putusan yang tidak termasuk yurisdiksi kewenangannya, maka putusan MK tersebut tidak saja tidak mengikat pembuat UU, tetapi juga tidak mengikat penyelenggara pemilu.

URL Source:

*) Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya                    
           

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG BERSIFAT FINAL (PERSPEKTIF POLITIK HUKUM)




Salah satu tuntutan aspirasi dalam era reformasi, adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat bangsa sehari-hari (Abdul Latif, 2007). Pilar fundamental yang diletakkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), dalam rangka memperkuat negara hukum yang demokratis dengan prinsip kedaulatan rakyat, diletakkan dalam perumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan, bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sehingga, Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam penyelenggaraan kenegaraan menyandarkan mekanisme demokrasinya kepada hukum, yaitu UUD 1945. Hak-hak yang diakui dalam UUD 1945 dan tata cara pelaksanaan demokrasi di dalamnya menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan demokrasi ( Azhary, 1995).

Perwujudan negara demokrasi membutuhkan instrumen pengaturan hukum sebagai suatu keharusan supaya konstitusi menganut prinsip negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain, yang mana hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yakni “Indonsia adalah negara hukum” yang dapat diartikan, bahwa setiap tindakan dari pemerintah dan segenap organ perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus berdasarkan hukum yang berlaku  (Eliiydar Chaidir, 2007).

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1), dan (2) UUD 1945 mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Adapun secara keseluruhan kompotensi MK sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, dan diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya di sebut UUMK), ialah (1) menguji materi undang-undang terhadap UUD 1945, (2) mengadili sengketa antar lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh UUD 1945, (3) menilai dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres telah melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wapres, (4) memutuskan pembubaran parpol, memeriksa dan (5) memutus sengketa hasil pemilihan umum, dengan mengadili pada tingkat prtama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Terkait dengan putusan MK yang bersifat final secara subtansial sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam kenyataannya seringkali menimbulkan persoalan baru, yang  mana dalam pelaksanaan putusan final tersebut dirasakan jauh dari perwujudan prinsip negara hukum. Bahkan di kalangan akademisi maupun praktisi hukum, timbul pandangan, bahwa MK telah menjadi lembaga superbody yang mana mengatasi persoalan secara sepihak, disebabkan ketiadaan mekanisme pengujian terhadap putusannya ketika dianggap bertentangan dengan hukum dan cita keadilan (Moh. Mahfud. MD,2010).

Argumentasi Filosofi Pengaturan

Pembentukan MK memang selalu dikaitkan dengan kewenangan untuk melakukan judicial review, bahkan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya MK hanya entitas yang mengikuti eksistensi pranata pengujian undang-undang terhadap UUD, ketika menilik dinamika yang terjadi di parlemen Indonesia dalam konteks penguatan terhadap kekuasaan kehakiman. Artinya, pengujian terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD merupakan persoalan utama untuk diadakan, dibanding pilihan terhadap MK sebagai lembaga atau institusi yang mutlak menyelenggarakan kewenangan tersebut. Hal ini dapat dipahami dengan mencermati usulan-usulan fraksi di parlemen yang kesemuanya menghendaki pelembagaan judicial review, dan mayoritas secara khusus pelembagaan judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD (Mahkamah Konstitusi RI, 2010).

Fakta tersebut hampir tidak berbeda dengan kehadiran MK di beberapa negara seperti yang diungkapkan Violaine Autheman dan Keith Henderson (Jimly Asshiddiqie, 2004) bahwa hal ini diakibatkan karena negara-negara yang telah mencapai tahap akhir dalam proses transisi demokrasinya telah menerima mekanisme konstitusi yang menjamin hak-hak fundamental warga negara dan membatasi peran, kekuasaan, dan tanggung jawab dari tiga cabang kekuasaan negara. Hak-hak dasar tersebut dituntut untuk dijewantahkan secara adil dan efektif dalam praktek, sehingga warga negara dapat menikmati secara penuh jaminan-jaminan yang tertulis dalam konstitusi .

Sehubungan dengan hal tersebut, dari keseluruhan usulan-usulan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi di parlemen dalam rangka perumusan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dengan perdebatan yang cukup panjang, baik menyangkut kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan maupun kewenangan yang akan diberikan, akan tetapi tidak terdapat satupun usulan yang secara khusus dan konprehensif membahas keberadaan putusan MK yang bersifat final. Hanya saja, dalam rapat Pleno PAH I ke- 51 BP MPR tanggal 29 Juli 2000, Fraksi PBB memberikan pandangan akhir yang mana di dalamnya sedikit menyentuh keberadaan putusan MK yang bersifat final ini, meskipun tidak menyinggung secara eksplisit (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010).

 Implikasi dari kesepakatan bahwa putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang jika ditilik dari prespektif politik hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Padmo Wahdjono, bahwa politik hukum adalah “kebijakan” penyelenggara negara mengenai apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu, maka patut untuk diketahui, adalah apakah landasan yang menopang sehingga menghasilkan pandangan bahwa putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dan tidak dapat dilkukan upaya hukum apapun untuk membatalkannya (Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2010).

Menurut Irman Putra Sidin (wawancara pada tanggal 6 Maret 2012), bahwa mengapa putusan MK harus bersifat final, dikernakan putusan final MK tersebut eksis bukan hanya sekadar dengan alasan sebagai satu-satunya lembaga atau institusi yang menjalankan kewenanganya tersebut. Akan tetapi lebih dari itu, yakni putusan MK yang bersifat final ini dilekatkan pada hakikat kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mana terhadap konstitusi tersebut tidak ada hukum lain yang lebih tinggi darinya. Makna dari uraian tersebut, adalah ketika suatu persoalan dihadapkan kepada MK dan konstitusi sebagai batu ujinya, maka putusan terhadap persoalan tersebut mutlak bersifat final. Disebabkan, para pihak telah menempuh suatu upaya mencari keadilan dan jaminan terhadap hak-haknya yang mana upaya tersebut ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi.
Jawaban terhadap persoalan hukum yang dihadapi oleh para pihak melalui upaya berperkara pada MK, diberikan oleh suatu hukum dengan derajat tertinggi. Konstitusi sebagai hukum dengan derajat tertingginya, memberikan jaminan kepada para pihak terhadap hak-haknya melalui sarana berperkara di MK, yang mana pemberian jaminan tersebut diselenggarakan oleh MK dalam suatu proses peradilan melalui hakim-hakimnya yang melakukan interpretasi terhadap konstitusi yang diakhiri oleh suatu putusan yang sifatnya putusan akhir. Pada konteks inilah dikatakan, bahwa sesungguhnya proses peradilan yang diselenggarakan di MK, merupakan proses peradilan terakhir, sebab penyelenggaraan peradilan ini tolok ukurnya adalah hukum tertinggi, yaitu konstitusi.

Rasionalitas suatu proses peradilan dengan hukum tertinggi sebagai tolok ukurnya, adalah putusan dari peradilan bersangkutan adalah putusan tingkat terakhir. Sebab, tidak ada lagi proses peradilan dengan hukum yang lebih tinggi derajatnya sebagai acuan untuk menguji putusan tersebut. MK merupakan institusi yang menjalankan peradilan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang merupakan konsekuensi logis dari eksistensi konstitusi sebagai hukum tertinggi.

SIFAT KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI



SIFAT Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi,Mahkamah Konstitusi mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut.
Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi  langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia.Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga omnes.
Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang berperkara harus menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai tolak ukur moral dan yuridis. Dengan demikian, dalam perkara penyelesaian impeachment, Majelis Permusyawaratan Rakyat harus mengikuti alur ini.
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.[1][1]
Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn[2][2] sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma dalam putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa maka  tepat pula jika dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, yang amarnya menyatakan “membenarkan pendapat DPR”, dalam perkara impeachment ini dipatuhi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berwenang memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dari jabatannya.
Namun hal tersebut sepertinya tidak sejalan dengan apa yang dinyatakan pada pasal 7B ayat (6), yaitu:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.”

Melalui bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terletak pada sifatnya yang relatif atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, kecuali dalam hal penyelenggaraan rapat paripurna sebagaimana usulan Dewan Perwakilan Rakyat.[3][3]
Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan memandang tidak tepat suatu pendapat yang menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara impeachment tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebab harus dibedakan antara proses politik dan proses hukum.[4][4] Sebagai suatu proses hukum, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan yang memuat sifat final putusan Mahkamah Konstitusi hanya empat kewenangan, sedangkan terhadap proses impeachment yang diatur dalam ayat (2) tidak disebutkan secara tegas maka ukuran untuk menentukan apakah putusan suatu peradilan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat ialah ada atau tidaknya badan yang berwenang secara hukum meninjau ulang (review) terhadap putusan tersebut serta ada atau tidak mekanisme dalam hukum acara mengenai siapa dan bagaimana cara melakukan review tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR ini wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan atau Wakil Presiden. Sementara bagi anggota DPR sendiri, putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi terkait perkara impeachment tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 adalah bersifat final secara yuridis dan mengikat selaku pihak yang mengajukan permohonan. Mengikat dalam hal ini hanya untuk menyelenggarakan sidang paripurna untuk melanjutkan usul tersebut. Karena yang berwenang untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut adalah hanya melalui proses politik di MPR. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7B ayat (5), yaitu:
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Akan tetapi, masih terdapat sisi lain akibat kekuatan hukum mengikat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Apakah seorang Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut masih bisa diajukan lagi dalam proses peradilan pidana yang akan memeriksa dan mengadilinya dengan dakwaan atas perbuatan yang telah diperiksa dan diputus Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Pasal 20 PMK No. 21 Tahun 2009, yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan DPR tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata, dan atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing”

Selain itu, standar due process of law yang diterapkan Mahkamah Konstitusi akan merujuk pada standar pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana. Keputusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang diajukan yang melahirkan keyakinan pada hakim konstitusi, sehingga tidak ada alasan untuk menyangsikan proses hukum yang berlangsung. Kalau dengan standar due process yang demikianseorang Presiden dan atau Wakil Presiden yang dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum masih akan dapat diadili di depan peradilan umum, kemungkinan asas nebis in idem yang berlaku universal tidak dipatuhi atau dilanggar.[5][5]
Peradilan Tata Negara di Mahkamah Konstitusi memiliki tujuan pokok untuk memecat seorang Presiden atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR harus diberhentikan dari jabatannya. Impeachment sesungguhnya adalah satu proses politik yang diinginkan memenuhi syarat proses yuridis dalam rangka mewujudkan prinsip konstitusionalisme dan rule of law dalam kehidupan bernegara.[6][6]
Peradilan Pidana adalah suatu proses memeriksa, mengadili, dan memutus kesalahan seorang terdakwa atas satu dakwaan yang didakwakan kepadanya, dan atas kesalahan terdakwa tersebut hakim menjatuhkan hukuman kepadanya baik yang bersifat perampasan kemerdekaan maupun sanksi lainnya. Hal demikian tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga Presiden dan atau Wakil Presiden yang dinyatakan bersalah tersebut dapat diajukan kembali pada peradilan umum.[7][7]
Asas nebis in idem tidak mencakup hasil putusan pengadilan tata negara karena peradilan yang dilakukan tidak memberikan hukuman atau sanksi pidana atas putusan impeachment. Pengadilan pidana yang mengadili seorang mantan Presiden/Wakil Presiden yang telah dinyatakan melakukan pelanggaran hukum oleh Mahkamah Konstitusi sebagai satu bukti yang mengikat atas dakwaan yang menyangkut perbuatan pidana yang sama. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan diberlakukan sebagai alat bukti yang mengikat pengadilan biasa secara umum, yaitu sebagai bukti otentik dengan kekuatan materil yang mengikat dan dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan yang bersangkutan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah didakwakan.[8][8]
Perbuatan demikian cukup adil karena tidak mengurangi hak asasi seorang Presiden/Wakil Presiden yang melakukan perbuatan melanggar hukum, secara relevan tidak melanggar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan tidak juga melanggar prinsip hukum nebis in idem. Akan tetapi jika dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan seorang Presiden dan atau Wakil Presiden bersalah melakukan pelanggaran hukum hanya memiliki akibat hukum pemecatan/pemberhentian tanpa harus memikul tanggung jawab pidana melekat pada kesalahan tersebut maka sikap demikian akan dirasa melanggar rasa keadilan masyarakat yang menjadi asas konstitusi.[9][9]
Tata cara pemakzulan juga diadopsi oleh beberapa negara di dunia dimana masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi. Namun secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata negara, yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Bagi negara-negara yang memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan bahwa Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment tersebut.
Beberapa negara yang memiliki sistem yang memiliki kemiripan dengan Indonesia adalah Korea Selatan dan Jerman. Pada konstitusi kedua negara tersebut, terdapat kepastian mengenai putusan yang dikeluarkan masing-masing lembaga negara terkait dengan perkara pemakzulan tersebut.
Di Korea Selatan, usulan pemakzulan dilakukan oleh parlemen (National Assembly) dengan persetujuan mayoritas anggota National Assembly dan disetujui minimal 2/3 anggota National Assembly. Setelah mosi dakwaan disetujui oleh parlemen, Presiden harus nonaktif  dari jabatannya sampai keluar putusan Mahkamah Konstitusi.[10][10] Mahkamah Konstitusi mempunyai yuridiksi atas Impeachment proceeding dan memiliki otoritas final atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding.
Berbeda dengan Indonesia, posisi Mahkamah Konstitusi tidak berada di tengah, tetapi berada posisi di akhir proses impeachment, sehingga kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi menguji apakah keputusan politik untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden sudah tepat atau tidak secara yuridis.
Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008) adalah Presiden Korea Selatan yang pertama kali didakwa melalui mosi parlemen karena didakwa melanggar prinsip netralitas dalam undang-undang pemilihan umum, yaitu dengan terang-terangan mendukung Partai Uri yang didirikannya dalam pemilihan anggota parlemen serta dakwaan yang menyatakan bahwa sanak keluarga dan para pembantu politiknya mengumpulkan dana illegal sebesar 10 juta dolar dari kalangan pengusaha untuk kemenangan kampanyenya.[11]
Setelah para anggota parlemen dari kelompok oposisi menyetujui dengan suara mutlak dalam pemungutan suara, dimana terdapat 193 suara dibanding 2 suara menolak untuk mengusir Roh. Berbeda dengan parlemen, rakyat justru mendukung Presiden Roh untuk tidak dimakzulkan. Hal ini menimbulkan kekacauan politik di Korea. Berbagai reaksi timbul akibat pendukung Roh tidak terima atas persetujuan parlemen sebagai lawan-lawan politiknya yang mencoba untuk memecatnya melalui impeachment. Ekspresi kemarahan dilampiaskan dalam demonstrasi besar. Sehari setelah parlemen mengadakan pemungutan suara, lebih dari 50.000 orang turun ke jalan-jalan Seoul, ibu kota negara, memprotes impeachment terhadap Roh. Pawai damai serupa pula dilakukan untuk menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan parlemen. Hasil jajak pendapat umum memperlihatkan, 75 persen responden menilai impeachment sebagai sesuatu yang salah.[12]
Mahkamah Konstitusional Korea Selatan juga berbeda dengan parlemen dimana Mahkamah menolak impeachment atas Presiden Roh Moo-Hyun. Demikian putusan akhir yang diumumkan Mahkamah Konstitusi. Dengan putusan ini, berarti Presiden Roh kembali memimpin negeri Ginseng itu. "Tidak ada alasan yang cukup berat untuk menggeser Presiden keluar sehingga Pengadilan menolak permintaan untuk impeachment ," tukas Yun Young-Chul, ketua mahkamah yang mengumumkan putusan ini. Mahkamah memiliki otoritas final atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding. Roh dihentikan sementara dari tugas-tugasnya dan dicabut dari kekuasaan eksekutifnya dengan dikeluarkannya putusan impeachment Majelis Nasional pada 12 Maret 2004. Namun dengan adanya putusan baru ini, Roh akan kembali menduduki kursi Kepresidenan.[13]
Selain itu, di Jerman, menurut konstitusi Jerman, ketentuan mengenai prosedur impeachment diatur dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Pasal 61 ayat (1) menentukan bahwa impeachment terhadap Presiden dapat diajukan oleh ¼ anggota bundestag ( house of representatives) atau ¼ jumlah suara dalam bundesrat (senat). Sidang impeachment dilakukan oleh bundestag atau bundesrat di depan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden benar-benar melanggar konstitusi atau Undang-Undang Federal lainnya. Keputusan untuk meng-Impeach Presiden ditetapkan sedikitnya 2/3 anggota Bundestag atau 2/3 jumlah suara di bundesrat. Pengumuman Impeachment dilakukan oleh seseorang yang ditunjuk oleh badan yang meng-Impeach.[14]
Selanjutnya, dalam Pasal 61 ayat (2) ditentukan pula bahwa, bila Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstitusi atau Undang-Undang Federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dicopot dari jabatannya. Setelah Impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan fungsi Kepresidenannya.
Dalam ketentuan konstitusi tersebut, prosedur Impeachment yang diberlakukan kepada Presiden diberikan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan bersalah atau tidaknya Presiden. Meskipun perkara Impeachment diajukan dan diputuskan oleh parlemen, namun hal itu lebih hanya sebagai keputusan politis saja sementara keputusan hukum berada di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal ayat 61 ayat (2) lebih mempertegas status hukum dari keputusan Mahkamah Konstitusi, karena kalaupun parlemen memutuskan yang berbeda dengan hasil temuan Mahkamah Konstitus, maka Mahkamah Konstitusi diberi instrument hukum untuk secara administratif memberhentikan Presiden dari jabatannya dan secara efektif “membekukan” fungsi Kepresidenan
Dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan impeachment Mahkamah Konstitusi Jerman belum pernah meng-Impeach Presiden atau hakim agung, yang dimasukkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman, sedangkan kewenangan yang berkaitan dengan Impeachment pegawai negeri tidak dimasukkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetap merupakan kewenangan pengadilan umum.
Selain itu, terdapat pula tata cara pemakzulan yang diatur dalam Konstitusi Republik Lithuania yang menganut sistem parlementer dimana perdana menteri sebagai kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan parlemen (Seimas) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Namun Presiden Republik Lithuania dapat dimakzulkan dari jabatannya berdasarkan keputusan parlemen dengan persetujuan minimal 3/5 anggota Seimas. Keputusan Seimas ini dapat dibawa kepada Mahkamah Konstitusi karena menurut konstitusinya MK Lithuania dapat membatalkan segala tindakan parlemen atau pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.[15]
Rolandas Paksas merupakan Presiden Republik Lithuania (Februari 2003-April 2004) yang dimakzulkan dalam jabatannya. Paksas dimakzulkan oleh Seimas karena dianggap telah melakukan sumpah palsu (perjury) yang dalam Konstitusi Republik Lithuania merupakan salah satu alasan dapat dilakukannya pemakzulan. Semasa menjabat, Presiden Paksas, menurut Seimas telah melakukan hubungan dengan mafia Rusia yang mengancam beberapa perusahaan privat dengan menekan para pemiliknya. Paksas juga memberikan kewarganegaraan Lithuania kepada Jurij Barisov, seorang kebangsaan Rusia yang dikenal sebagai pedagang senjata di negara-negara dunia ketiga  dan melanggar sumpahnya dengan memberikan rahasia negara kepada Barisov. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Paksas telah melakukan pelanggaran konstitusi, yaitu membuka rahasia yang dipercayakan negara kepadnya, memberikan kewarganegaraan secara illegal kepada pendukung finansial , Barisov, dengan kewarganegaraan Lithuania, dan secara illegal mempengaruhi beberapa perusahaan swasta.[16]
Namun, kasus ini menimbulkan persoalan konstitusional ketika Mahkamah agung Lithuaniia dalam kasus pidana dengan perkara yang sama memutuskan Paksas, setelah ia dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak terbukti melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya. Hingga saat ini, tidak ada penyelesaian yang memuaskan Paksas untuk mengembalikan kehormatan dalam jabatannya. Namun, menurut Hamdan Zoelva[11][17], putusan perkara pidana yang dijatuhkan setelah putusan pemakzulan tidak dapat menggugurkan putusan pemakzulan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Abdul Rasyid Thalib[12][18] dalam bukunya, menyatakan bahwa perbuatan hukum yang terumus dalam Pasal 7A UUD 1945 yang merupakan alasan dari pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, terutama mengenai “tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”, MPR harus terikat dan mengikatkan diri pada putusan Mahkamah Konstitusi. Karena persyaratan tersebut merupakan persyaratan utama yang termuat dalam UUD 1945 yang harus dipenuhi oleh seorang Presiden  dan atau Wakil Presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya bersifat final dan MPR sebagai pelaksana putusan atau sebagai eksekutor terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Dipaparkannya hal-hal tersebut oleh penulis adalah bertujuan untuk memperkuat argumentasi penulis yang menyatakan bahwa perlunya penegasan secara konstitusional atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan demikian proses hukum yang dilaksanakan benar-benar berperan secara tegas, tidak hanya berupa pertimbangan sebagaimana yang dianut dalam konstitusi negara Indonesia.


[13][11]  Ibid. hal. 56
[14][12]  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17823/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 30 Oktober 2011 pukul 21.18 WIB.
[15][13]  Ibid.
[16][14]  Ibid.
[17][15]  Hamdan Zoelva, op. cit. hal. 57
[18][16]  Ibid. hal. 58



[1][1]  Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosoļ¬ Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, hal. 114
[2][2]  Van Apeldoorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. XXIV, (terjemahan Oetarid Sadino), Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 4-5
[3][3]  Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, op. cit. hal. 59
[4][4]  Maruarar Siahaan, op. cit. hal. 13
[5][5]  Maruarar Siahaan, op. cit. hal. 232
[6][6]  Ibid. hal. 233
[7][7]  Ibid.
[8][8] Ibid.
[9][9]  Ibid. hal. 234
[10][10]  Hamdan Zoelva, op. cit. hal. 55
[11][17]  Ibid. hal. 59
[12][18]  Abdul Rasyid Thalib, op. cit. hal. 478