MAHKAMAH KONSTITUSI PEMBUAT UU?
*)
Sesuai agenda legislasi 2010, DPR kini tengah mempersiapkan RUU Perubahan
UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan RUU Perubahan UU Nomor 10 Tahun
2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang (PUU)
yang diambil pada 2009 dan 2010 berkaitan dengan kedua UU tersebut. Karena itu,
tidak heran jika muncul pertanyaan: bagian mana dari putusan MK yang wajib
diikuti pembuat UU ketika melakukan perubahan kedua UU.
Pertanyaan ini muncul karena ada kecenderungan pada sejumlah putusan MK
dalam merespons permohonan uji materi terhadap suatu UU, yang dapat
dikategorikan sebagai mengambil alih tugas pembuat UU (DPR dan Presiden) serta
mengambil alih tugas institusi yang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah UU (Mahkamah Agung). Kecenderungan ini dikemukakan berdasarkan pandangan
tugas dan kewenangan MK dalam merespons permohonan uji materi suatu UU
berdasarkan UUD lebih berupa negative legislator, yaitu menyatakan satu atau
lebih pasal suatu UU tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD.
Pandangan ini disimpulkan dari rumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang
memberikan kewenangan MK ”mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD...”. Rumusan ini secara
tegas menyatakan kewenangan MK dalam merespons permohonan uji materi suatu UU
adalah menguji apakah pasal tertentu suatu UU sesuai atau bertentangan dengan
UUD. UUD sama sekali tak memberi kewenangan MK mengajukan rumusan ketentuan
sebagai pengganti rumusan ketentuan pasal yang dinyatakan tidak lagi berlaku.
Mengambil alih
UUD tidak memberi kewenangan membuat positive legislation kepada MK karena
kewenangan membentuk UU sudah diberikan kepada DPR yang dipilih langsung oleh
rakyat untuk membuat UU. Seorang presiden juga dipilih langsung oleh rakyat.
Karena itu, DPR (dan presiden) adalah legislator positif.
Sejumlah putusan MK mengenai PUU tidak saja menyatakan pasal tertentu tidak
lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD alias negative legislation, tetapi
juga berisi rumusan ketentuan pengganti pasal yang dibatalkan MK (positive
legislation). Pada sejumlah putusan MK, rumusan pengganti ketentuan yang
dinyatakan tak lagi berlaku dinyatakan dalam amar putusan, tetapi pada sejumlah
putusan MK lainnya rumusan pengganti itu dikemukakan dalam pertimbangan hukum
(seperti amar putusan MK terhadap Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008).
Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 24C tersebut, putusan yang bersifat final
sehingga mengikat pembuat UU adalah yang berupa negative legislation. Rumusan
ketentuan yang diajukan MK sebagai pengganti rumusan pasal yang dibatalkan,
baik yang dikemukakan dalam amar putusan maupun dalam pertimbangan hukum, lebih
berupa rekomendasi kepada pembuat UU daripada perintah yang harus ditaati oleh
pembuat UU.
Dengan demikian, DPR dan presiden tidak terikat pada pertimbangan hukum MK
untuk mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara
terbanyak, tetapi terikat pada amar putusan MK yang menyatakan Pasal 214 UU No
10/2008 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD. Yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD adalah tata cara penetapan calon terpilih campuran
sebagaimana dirumuskan Pasal 214. Namun, kalau pembuat UU mengadopsi tata cara
penetapan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan nomor urut calon atau
mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan urutan
suara terbanyak,tak bertentangan dengan amar putusan MK.
Pembuat UU tidak terikat rumusan pengganti Pasal 93, 94, dan 95 sebagaimana
dikemukakan MK dalam amar putusan karena bukan kewenangan MK membuat UU. Pembuat UU tidak terikat pertimbangan
hukum MK yang menyatakan Bawaslu dan Dewan Kehormatan bagian dari penyelenggara
pemilu tidak hanya karena pertimbangan hukum bukan putusan, tetapi juga
pendapat hukum seperti ini tidak konstitusional karena apa yang dikerjakan
Bawaslu merupakan tugas lembaga lain.
Namun, pembuat UU terikat pada amar putusan MK yang membatalkan Pasal 93,
Pasal 94, dan Pasal 95 perihal mekanisme pencalonan anggota Panwas provinsi dan
Panwas kabupaten/kota oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Kalau pembuat
UU menetapkan sistem pengawasan pemilu yang dipandang jauh lebih efektif dan
efisien dalam rangka penegakan peraturan pemilu, tetapi tanpa Bawaslu dan
Panwaslu, kebijakan seperti ini tak bertentangan dengan amar putusan MK yang
seharusnya hanya negative legislation.
Kewenangan MK dalam PUU yang seharusnya terbatas sebagai legislator negatif
tidak hanya karena perintah Pasal 24C Ayat (1), tetapi juga karena hakim
konstitusi bukan wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk membuat UU.
Kecenderungan MK mengambil keputusan berupa positive legislation sangat
berbahaya karena dua alasan. Pertama, MK yang seharusnya jadi pengawal
konstitusi justru akan jadi perusak konstitusi karena mengambil alih tugas DPR.
Kedua, MK akan jadi saluran kepentingan politik golongan atau kelompok yang
gagal memasukkan kepentingannya menjadi bagian UU.
Penafsir UU
Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan kepada MA: ”..., menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang,...”. Dengan demikian, MA institusi yang berwenang menguji apakah suatu
peraturan pemerintah ataupun peraturan KPU bertentangan atau sesuai dengan UU.
Karena menguji berdasarkan UU, MA berwenang menafsirkan UU. Kalau dalam putusan
MK dikatakan pasal tertentu dalam UU bersifat konstitusional sepanjang
penafsirannya mengikuti penafsiran MK, MK tidak menafsirkan UUD, tetapi
menafsirkan UU.
Menafsirkan UU untuk menguji suatu peraturan perundang- undangan di bawah
UU merupakan kewenangan MA. Karena itu, Putusan MK Nomor
110-111-112/PUU-VII/2009 yang menyangkut permohonan uji materi terhadap Pasal
205 Ayat (4) mengenai apakah berdasarkan ”suara sekurang-kurangnya 50 persen
dari BPP” atau berdasarkan ”sisa suara sekurang-kurangnya 50 persen dari BPP”
serta putusan MK terhadap Pasal 206, Pasal 211 Ayat (3), dan Pasal 212 Ayat (3)
UU No 10/2008 mengenai pengertian sisa suara dapat disimpulkan mengambil alih
wewenang MA.
Karena itu, pembuat UU juga tidak terikat pada putusan MK yang justru
menyimpang dari yurisdiksinya tersebut.
Bahkan, ada pula amar putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) yang isinya seperti amar putusan mengenai PUU. Amar Putusan MK Nomor
74-80-94-59-67/ PHPU.C-VII/2009
terhadap penerapan Pasal 205 Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7) berisi tidak
hanya pembatalan Keputusan KPU tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik
Peserta Pemilu karena dianggap keliru dan tidak tepat menurut hukum (tidak
jelas menurut hukum yang mana), tetapi juga mengajukan rumusan penafsiran yang
dianggap tepat terhadap ketiga ayat tersebut.
Bandingkan Putusan MK mengenai
PHPU ini dengan Putusan MK Nomor 110-111-112/PUU- VII/2009 mengenai Pasal 205
Ayat (4). Putusan seperti ini tidak hanya janggal karena Putusan PHPU tetapi
isinya PUU, tetapi juga mengambil alih tugas pembuat undang-undang (DPR) dan
penafsir undang-undang (MA). Putusan seperti ini seharusnya tidak mengikat
pembuat UU ataupun penyelenggara pemilu karena dibuat oleh pihak yang tidak
berwenang.
Putusan MK dalam merespons
permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ternyata tidak mengandung
negative legislation, tetapi positive legislation. Amar putusan MK menyatakan,
Pasal 28 dan Pasal 111 konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara
yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara tertentu (dirinci mulai
dari poin 1 sampai dengan 5). Poin kelima syarat dan cara yang ditentukan
berisi waktu penggunaan hak pilih: ”WNI yang menggunakan hak pilihnya dengan
KTP atau paspor dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di
TPS atau TPS luar negeri setempat”.
Amar putusan seperti ini tidak
saja mengambil alih tugas dan kewenangan pembuat UU karena berisi positive
legislation, tetapi juga mengambil alih tugas MA karena berisi penafsiran UU.
Bahkan, putusan yang sangat teknis itu mengambil alih tugas dan kewenangan KPU
dalam membuat peraturan pelaksanaan teknis setiap tahapan pemilu. Singkat kata,
legislasi positif yang diajukan MK seperti ini tidak hanya pada tataran UU,
tetapi juga pada tataran pelaksanaan. Karena MK membuat putusan yang tidak
termasuk yurisdiksi kewenangannya, maka putusan MK tersebut tidak saja tidak
mengikat pembuat UU, tetapi juga tidak mengikat penyelenggara pemilu.
URL Source:
*) Ramlan Surbakti Guru Besar
Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar