SIFAT Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang
dibentuk melalui konstitusi,Mahkamah Konstitusi mempunyai karakter khusus. Kekhususan
tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang
bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus
dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan
tersebut.
Sifat
final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh
(inkracht van gewijsde). Sifat
mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada
umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak
berperkara (interparties) maka
putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang
ada di Indonesia.Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif
legislator yang bersifat erga omnes.
Makna
mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang berperkara harus
menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip negara hukum dimana
tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk
mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai
tolak ukur moral dan yuridis. Dengan demikian, dalam perkara penyelesaian impeachment, Majelis Permusyawaratan Rakyat harus mengikuti alur ini.
Oleh
karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat dan final maka
putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan mempunyai
nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–nilai
keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan
menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.[1][1]
Mengacu pada pendapat Van
Apeldoorn[2][2] sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma dalam
putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa maka tepat pula jika dikatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, yang amarnya menyatakan
“membenarkan pendapat DPR”, dalam perkara impeachment
ini dipatuhi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berwenang memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden dari jabatannya.
Namun hal tersebut sepertinya
tidak sejalan dengan apa yang dinyatakan pada pasal 7B ayat (6), yaitu:
“Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.”
Melalui bunyi pasal tersebut
dapat dilihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terletak pada sifatnya yang
relatif atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, kecuali
dalam hal penyelenggaraan rapat paripurna sebagaimana usulan Dewan Perwakilan
Rakyat.[3][3]
Hakim Konstitusi, Maruarar
Siahaan memandang tidak tepat suatu pendapat yang menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara impeachment tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat, sebab harus dibedakan antara proses politik dan proses hukum.[4][4] Sebagai suatu proses hukum, Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan yang memuat sifat final putusan Mahkamah
Konstitusi hanya empat kewenangan, sedangkan terhadap proses impeachment yang diatur dalam ayat (2)
tidak disebutkan secara tegas maka ukuran untuk menentukan apakah putusan suatu
peradilan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat ialah ada atau
tidaknya badan yang berwenang secara hukum meninjau ulang (review) terhadap putusan tersebut serta ada atau tidak mekanisme
dalam hukum acara mengenai siapa dan bagaimana cara melakukan review tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pendapat DPR ini wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan atau
Wakil Presiden. Sementara bagi anggota DPR sendiri, putusan yang dikeluarkan
Mahkamah Konstitusi terkait perkara impeachment
tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 21 Tahun 2009 adalah bersifat final secara yuridis dan mengikat
selaku pihak yang mengajukan permohonan. Mengikat dalam hal ini hanya untuk
menyelenggarakan sidang paripurna untuk melanjutkan usul tersebut. Karena yang
berwenang untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut adalah
hanya melalui proses politik di MPR. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
7B ayat (5), yaitu:
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Akan tetapi, masih terdapat
sisi lain akibat kekuatan hukum mengikat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Apakah seorang Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut masih bisa diajukan
lagi dalam proses peradilan pidana yang akan memeriksa dan mengadilinya dengan
dakwaan atas perbuatan yang telah diperiksa dan diputus Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Pasal
20 PMK No. 21 Tahun 2009, yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan DPR tidak menutup
kemungkinan diajukannya Presiden dan atau Wakil Presiden dalam persidangan
pidana, perdata, dan atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara
masing-masing”
Selain itu, standar due process of law yang diterapkan
Mahkamah Konstitusi akan merujuk pada standar pembuktian yang dikenal dalam
hukum acara pidana. Keputusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang diajukan
yang melahirkan keyakinan pada hakim konstitusi, sehingga tidak ada alasan
untuk menyangsikan proses hukum yang berlangsung. Kalau dengan standar due process yang demikianseorang
Presiden dan atau Wakil Presiden yang dinyatakan melakukan perbuatan melanggar
hukum masih akan dapat diadili di depan peradilan umum, kemungkinan asas nebis in idem yang berlaku universal
tidak dipatuhi atau dilanggar.[5][5]
Peradilan Tata Negara di
Mahkamah Konstitusi memiliki tujuan pokok untuk memecat seorang Presiden atau
Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR harus diberhentikan dari jabatannya. Impeachment sesungguhnya adalah satu
proses politik yang diinginkan memenuhi syarat proses yuridis dalam rangka
mewujudkan prinsip konstitusionalisme dan rule
of law dalam kehidupan bernegara.[6][6]
Peradilan Pidana adalah suatu
proses memeriksa, mengadili, dan memutus kesalahan seorang terdakwa atas satu
dakwaan yang didakwakan kepadanya, dan atas kesalahan terdakwa tersebut hakim
menjatuhkan hukuman kepadanya baik yang bersifat perampasan kemerdekaan maupun
sanksi lainnya. Hal demikian tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga
Presiden dan atau Wakil Presiden yang dinyatakan bersalah tersebut dapat
diajukan kembali pada peradilan umum.[7][7]
Asas nebis in idem tidak mencakup hasil putusan pengadilan tata negara
karena peradilan yang dilakukan tidak memberikan hukuman atau sanksi pidana
atas putusan impeachment. Pengadilan
pidana yang mengadili seorang mantan Presiden/Wakil Presiden yang telah
dinyatakan melakukan pelanggaran hukum oleh Mahkamah Konstitusi sebagai satu
bukti yang mengikat atas dakwaan yang menyangkut perbuatan pidana yang sama.
Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan diberlakukan sebagai
alat bukti yang mengikat pengadilan biasa secara umum, yaitu sebagai bukti
otentik dengan kekuatan materil yang mengikat dan dijadikan sebagai dasar untuk
menyatakan yang bersangkutan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah didakwakan.[8][8]
Perbuatan demikian cukup adil
karena tidak mengurangi hak asasi seorang Presiden/Wakil Presiden yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, secara relevan tidak melanggar asas
persamaan di depan hukum (equality before
the law) dan tidak juga melanggar prinsip hukum nebis in idem. Akan tetapi jika dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan seorang Presiden dan atau Wakil Presiden bersalah
melakukan pelanggaran hukum hanya memiliki akibat hukum pemecatan/pemberhentian
tanpa harus memikul tanggung jawab pidana melekat pada kesalahan tersebut maka
sikap demikian akan dirasa melanggar rasa keadilan masyarakat yang menjadi asas
konstitusi.[9][9]
Tata cara pemakzulan juga
diadopsi oleh beberapa negara di dunia dimana masing-masing negara yang
mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda
mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi. Namun
secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan
tata negara, yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah
Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court). Bagi negara-negara yang memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan
yudikatif yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan
bahwa Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment
tersebut.
Beberapa negara yang memiliki
sistem yang memiliki kemiripan dengan Indonesia adalah Korea Selatan dan
Jerman. Pada konstitusi kedua negara tersebut, terdapat kepastian mengenai
putusan yang dikeluarkan masing-masing lembaga negara terkait dengan perkara
pemakzulan tersebut.
Di Korea Selatan, usulan
pemakzulan dilakukan oleh parlemen (National
Assembly) dengan persetujuan mayoritas anggota National Assembly dan disetujui minimal 2/3
anggota National Assembly. Setelah
mosi dakwaan disetujui oleh parlemen, Presiden harus nonaktif dari jabatannya sampai keluar putusan
Mahkamah Konstitusi.[10][10] Mahkamah Konstitusi mempunyai yuridiksi
atas Impeachment proceeding dan
memiliki otoritas final atas impeachment dengan tanpa hak untuk
banding.
Berbeda dengan Indonesia,
posisi Mahkamah Konstitusi tidak berada di tengah, tetapi berada posisi di
akhir proses impeachment, sehingga kedudukan dan fungsi Mahkamah
Konstitusi menguji apakah keputusan politik untuk memakzulkan Presiden dan/atau
Wakil Presiden sudah tepat atau tidak secara yuridis.
Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008) adalah Presiden Korea Selatan yang
pertama kali didakwa melalui mosi parlemen karena didakwa melanggar prinsip
netralitas dalam undang-undang pemilihan umum, yaitu dengan terang-terangan
mendukung Partai Uri yang didirikannya dalam pemilihan anggota parlemen serta
dakwaan yang menyatakan bahwa sanak keluarga dan para pembantu politiknya
mengumpulkan dana illegal sebesar 10 juta dolar dari kalangan pengusaha untuk
kemenangan kampanyenya.[11]
Setelah para anggota parlemen dari kelompok oposisi menyetujui dengan suara
mutlak dalam pemungutan suara, dimana terdapat 193 suara dibanding 2 suara
menolak untuk mengusir Roh. Berbeda dengan parlemen, rakyat justru mendukung
Presiden Roh untuk tidak dimakzulkan. Hal ini menimbulkan kekacauan politik di
Korea. Berbagai reaksi timbul akibat pendukung Roh tidak terima atas
persetujuan parlemen sebagai lawan-lawan politiknya yang mencoba untuk
memecatnya melalui impeachment. Ekspresi kemarahan dilampiaskan
dalam demonstrasi besar. Sehari setelah parlemen mengadakan pemungutan suara,
lebih dari 50.000 orang turun ke jalan-jalan Seoul, ibu kota negara, memprotes impeachment
terhadap Roh. Pawai damai serupa pula dilakukan untuk menyatakan
keprihatinan mendalam atas tindakan parlemen. Hasil jajak pendapat umum
memperlihatkan, 75 persen responden menilai impeachment sebagai sesuatu
yang salah.[12]
Mahkamah Konstitusional Korea Selatan juga berbeda dengan parlemen dimana
Mahkamah menolak impeachment atas Presiden Roh Moo-Hyun. Demikian
putusan akhir yang diumumkan Mahkamah Konstitusi. Dengan putusan ini, berarti
Presiden Roh kembali memimpin negeri Ginseng itu. "Tidak ada alasan yang
cukup berat untuk menggeser Presiden keluar sehingga Pengadilan menolak
permintaan untuk impeachment ," tukas Yun Young-Chul, ketua
mahkamah yang mengumumkan putusan ini. Mahkamah memiliki otoritas final atas impeachment
dengan tanpa hak untuk banding. Roh dihentikan sementara dari
tugas-tugasnya dan dicabut dari kekuasaan eksekutifnya dengan dikeluarkannya
putusan impeachment Majelis Nasional pada 12 Maret 2004. Namun dengan
adanya putusan baru ini, Roh akan kembali menduduki kursi Kepresidenan.[13]
Selain
itu, di Jerman, menurut konstitusi Jerman, ketentuan mengenai prosedur impeachment
diatur dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Pasal 61 ayat (1) menentukan
bahwa impeachment terhadap Presiden dapat diajukan oleh ¼ anggota bundestag
( house of representatives) atau ¼ jumlah suara dalam bundesrat (senat).
Sidang impeachment dilakukan oleh bundestag atau bundesrat di
depan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden
benar-benar melanggar konstitusi atau Undang-Undang Federal lainnya. Keputusan
untuk meng-Impeach Presiden ditetapkan sedikitnya 2/3
anggota Bundestag atau 2/3 jumlah suara di bundesrat.
Pengumuman Impeachment dilakukan oleh seseorang yang ditunjuk oleh
badan yang meng-Impeach.[14]
Selanjutnya,
dalam Pasal 61 ayat (2) ditentukan pula bahwa, bila Mahkamah Konstitusi
memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstitusi atau Undang-Undang
Federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dicopot
dari jabatannya. Setelah Impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat
mengeluarkan perintah pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan
fungsi Kepresidenannya.
Dalam
ketentuan konstitusi tersebut, prosedur Impeachment yang diberlakukan
kepada Presiden diberikan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan
bersalah atau tidaknya Presiden. Meskipun perkara Impeachment diajukan
dan diputuskan oleh parlemen, namun hal itu lebih hanya sebagai keputusan
politis saja sementara keputusan hukum berada di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
Pasal ayat 61 ayat (2) lebih mempertegas status hukum dari keputusan Mahkamah
Konstitusi, karena kalaupun parlemen memutuskan yang berbeda dengan hasil
temuan Mahkamah Konstitus, maka Mahkamah Konstitusi diberi instrument hukum
untuk secara administratif memberhentikan Presiden dari jabatannya dan secara
efektif “membekukan” fungsi Kepresidenan
Dalam
hal kewenangan yang berkaitan dengan impeachment Mahkamah Konstitusi
Jerman belum pernah meng-Impeach Presiden atau hakim agung, yang
dimasukkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman, sedangkan kewenangan
yang berkaitan dengan Impeachment pegawai negeri tidak dimasukkan dalam
kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetap merupakan kewenangan pengadilan umum.
Selain itu, terdapat pula tata cara pemakzulan yang
diatur dalam Konstitusi Republik Lithuania yang menganut sistem parlementer
dimana perdana menteri sebagai kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dengan persetujuan parlemen (Seimas) dan bertanggung jawab
kepada parlemen. Namun Presiden Republik Lithuania dapat dimakzulkan dari
jabatannya berdasarkan keputusan parlemen dengan persetujuan minimal 3/5
anggota Seimas. Keputusan Seimas ini dapat dibawa kepada Mahkamah
Konstitusi karena menurut konstitusinya MK Lithuania dapat membatalkan segala
tindakan parlemen atau pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.[15]
Rolandas Paksas merupakan Presiden Republik Lithuania
(Februari 2003-April 2004) yang dimakzulkan dalam jabatannya. Paksas
dimakzulkan oleh Seimas karena dianggap telah melakukan sumpah palsu (perjury)
yang dalam Konstitusi Republik Lithuania merupakan salah satu alasan dapat
dilakukannya pemakzulan. Semasa menjabat, Presiden Paksas, menurut Seimas
telah melakukan hubungan dengan mafia Rusia yang mengancam beberapa perusahaan
privat dengan menekan para pemiliknya. Paksas juga memberikan kewarganegaraan
Lithuania kepada Jurij Barisov, seorang kebangsaan Rusia yang dikenal sebagai
pedagang senjata di negara-negara dunia ketiga dan melanggar sumpahnya
dengan memberikan rahasia negara kepada Barisov. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Paksas telah melakukan pelanggaran konstitusi,
yaitu membuka rahasia yang dipercayakan negara kepadnya, memberikan
kewarganegaraan secara illegal kepada pendukung finansial , Barisov, dengan
kewarganegaraan Lithuania, dan secara illegal mempengaruhi beberapa perusahaan
swasta.[16]
Namun, kasus ini menimbulkan persoalan konstitusional
ketika Mahkamah agung Lithuaniia dalam kasus pidana dengan perkara yang sama
memutuskan Paksas, setelah ia dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak
terbukti melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya. Hingga saat ini,
tidak ada penyelesaian yang memuaskan Paksas untuk mengembalikan kehormatan
dalam jabatannya. Namun,
menurut Hamdan Zoelva[11][17], putusan perkara pidana yang dijatuhkan
setelah putusan pemakzulan tidak dapat menggugurkan putusan pemakzulan yang
telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Abdul Rasyid Thalib[12][18] dalam bukunya, menyatakan bahwa
perbuatan hukum yang terumus dalam Pasal 7A UUD 1945 yang merupakan alasan dari
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, terutama mengenai “tidak
memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”, MPR harus
terikat dan mengikatkan diri pada putusan Mahkamah Konstitusi. Karena persyaratan
tersebut merupakan persyaratan utama yang termuat dalam UUD 1945 yang harus
dipenuhi oleh seorang Presiden dan atau
Wakil Presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya, maka putusan Mahkamah
Konstitusi seharusnya bersifat final dan MPR sebagai pelaksana putusan atau
sebagai eksekutor terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Dipaparkannya hal-hal tersebut oleh penulis
adalah bertujuan untuk memperkuat argumentasi penulis yang menyatakan bahwa
perlunya penegasan secara konstitusional atas putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Dengan demikian proses hukum yang dilaksanakan benar-benar berperan
secara tegas, tidak hanya berupa pertimbangan sebagaimana yang dianut dalam
konstitusi negara Indonesia.
[14][12] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17823/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 30 Oktober 2011
pukul 21.18 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar