Salah satu tuntutan aspirasi
dalam era reformasi, adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem
hukum di bawah konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar dalam proses
penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat bangsa sehari-hari (Abdul
Latif, 2007). Pilar fundamental yang diletakkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), dalam
rangka memperkuat negara hukum yang demokratis dengan prinsip kedaulatan
rakyat, diletakkan dalam perumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan,
bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Sehingga, Indonesia
yang menganut asas demokrasi dalam penyelenggaraan kenegaraan menyandarkan
mekanisme demokrasinya kepada hukum, yaitu UUD 1945. Hak-hak yang diakui dalam
UUD 1945 dan tata cara pelaksanaan demokrasi di dalamnya menjadi rambu-rambu
bagi pelaksanaan demokrasi ( Azhary, 1995).
Perwujudan negara demokrasi
membutuhkan instrumen pengaturan hukum sebagai suatu keharusan supaya
konstitusi menganut prinsip negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara
demokrasi yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain, yang
mana hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yakni “Indonsia
adalah negara hukum” yang dapat diartikan, bahwa setiap tindakan dari
pemerintah dan segenap organ perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus
berdasarkan hukum yang berlaku (Eliiydar
Chaidir, 2007).
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah
Agung (selanjutnya disebut MA) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1),
dan (2) UUD 1945 mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi
dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945. Adapun secara keseluruhan kompotensi MK sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945, dan diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya di sebut UUMK), ialah (1)
menguji materi undang-undang terhadap UUD 1945, (2) mengadili sengketa antar
lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh UUD 1945, (3) menilai dan
memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres telah melakukan pelanggaran atau
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wapres, (4) memutuskan pembubaran
parpol, memeriksa dan (5) memutus sengketa hasil pemilihan umum, dengan
mengadili pada tingkat prtama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Terkait dengan putusan MK yang
bersifat final secara subtansial sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam
kenyataannya seringkali menimbulkan persoalan baru, yang mana dalam pelaksanaan putusan final tersebut
dirasakan jauh dari perwujudan prinsip negara hukum. Bahkan di kalangan
akademisi maupun praktisi hukum, timbul pandangan, bahwa MK telah menjadi
lembaga superbody yang mana mengatasi persoalan secara sepihak, disebabkan
ketiadaan mekanisme pengujian terhadap putusannya ketika dianggap bertentangan
dengan hukum dan cita keadilan (Moh. Mahfud. MD,2010).
Argumentasi Filosofi
Pengaturan
Pembentukan MK memang selalu
dikaitkan dengan kewenangan untuk melakukan judicial review, bahkan dapat
dikatakan bahwa pada dasarnya MK hanya entitas yang mengikuti eksistensi
pranata pengujian undang-undang terhadap UUD, ketika menilik dinamika yang
terjadi di parlemen Indonesia dalam konteks penguatan terhadap kekuasaan
kehakiman. Artinya, pengujian terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD merupakan persoalan utama untuk diadakan, dibanding pilihan terhadap
MK sebagai lembaga atau institusi yang mutlak menyelenggarakan kewenangan
tersebut. Hal ini dapat dipahami dengan mencermati usulan-usulan fraksi di
parlemen yang kesemuanya menghendaki pelembagaan judicial review, dan mayoritas
secara khusus pelembagaan judicial review terhadap undang-undang yang
bertentangan dengan UUD (Mahkamah Konstitusi RI, 2010).
Fakta tersebut hampir tidak
berbeda dengan kehadiran MK di beberapa negara seperti yang diungkapkan
Violaine Autheman dan Keith Henderson (Jimly Asshiddiqie, 2004) bahwa hal ini
diakibatkan karena negara-negara yang telah mencapai tahap akhir dalam proses
transisi demokrasinya telah menerima mekanisme konstitusi yang menjamin hak-hak
fundamental warga negara dan membatasi peran, kekuasaan, dan tanggung jawab
dari tiga cabang kekuasaan negara. Hak-hak dasar tersebut dituntut untuk
dijewantahkan secara adil dan efektif dalam praktek, sehingga warga negara
dapat menikmati secara penuh jaminan-jaminan yang tertulis dalam konstitusi .
Sehubungan dengan hal tersebut,
dari keseluruhan usulan-usulan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi di parlemen
dalam rangka perumusan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dengan perdebatan
yang cukup panjang, baik menyangkut kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan
maupun kewenangan yang akan diberikan, akan tetapi tidak terdapat satupun
usulan yang secara khusus dan konprehensif membahas keberadaan putusan MK yang
bersifat final. Hanya saja, dalam rapat Pleno PAH I ke- 51 BP MPR tanggal 29
Juli 2000, Fraksi PBB memberikan pandangan akhir yang mana di dalamnya sedikit
menyentuh keberadaan putusan MK yang bersifat final ini, meskipun tidak
menyinggung secara eksplisit (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010).
Implikasi dari kesepakatan bahwa putusan MK
merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang jika ditilik dari
prespektif politik hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Padmo Wahdjono, bahwa
politik hukum adalah “kebijakan” penyelenggara negara mengenai apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu, maka patut untuk diketahui,
adalah apakah landasan yang menopang sehingga menghasilkan pandangan bahwa
putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dan tidak dapat
dilkukan upaya hukum apapun untuk membatalkannya (Imam Syaukani dan A. Ahsin
Thohari, 2010).
Menurut Irman Putra Sidin
(wawancara pada tanggal 6 Maret 2012), bahwa mengapa putusan MK harus bersifat
final, dikernakan putusan final MK tersebut eksis bukan hanya sekadar dengan
alasan sebagai satu-satunya lembaga atau institusi yang menjalankan
kewenanganya tersebut. Akan tetapi lebih dari itu, yakni putusan MK yang
bersifat final ini dilekatkan pada hakikat kedudukan konstitusi sebagai hukum
tertinggi yang mana terhadap konstitusi tersebut tidak ada hukum lain yang
lebih tinggi darinya. Makna dari uraian tersebut, adalah ketika suatu persoalan
dihadapkan kepada MK dan konstitusi sebagai batu ujinya, maka putusan terhadap
persoalan tersebut mutlak bersifat final. Disebabkan, para pihak telah menempuh
suatu upaya mencari keadilan dan jaminan terhadap hak-haknya yang mana upaya
tersebut ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi.
Jawaban terhadap persoalan hukum
yang dihadapi oleh para pihak melalui upaya berperkara pada MK, diberikan oleh
suatu hukum dengan derajat tertinggi. Konstitusi sebagai hukum dengan derajat
tertingginya, memberikan jaminan kepada para pihak terhadap hak-haknya melalui
sarana berperkara di MK, yang mana pemberian jaminan tersebut diselenggarakan
oleh MK dalam suatu proses peradilan melalui hakim-hakimnya yang melakukan
interpretasi terhadap konstitusi yang diakhiri oleh suatu putusan yang sifatnya
putusan akhir. Pada konteks inilah dikatakan, bahwa sesungguhnya proses
peradilan yang diselenggarakan di MK, merupakan proses peradilan terakhir,
sebab penyelenggaraan peradilan ini tolok ukurnya adalah hukum tertinggi, yaitu
konstitusi.
Rasionalitas suatu proses
peradilan dengan hukum tertinggi sebagai tolok ukurnya, adalah putusan dari
peradilan bersangkutan adalah putusan tingkat terakhir. Sebab, tidak ada lagi
proses peradilan dengan hukum yang lebih tinggi derajatnya sebagai acuan untuk
menguji putusan tersebut. MK
merupakan institusi yang menjalankan peradilan tingkat pertama dan tingkat
terakhir yang merupakan konsekuensi logis dari eksistensi konstitusi sebagai
hukum tertinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar