Minggu, 18 Desember 2011

PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BANK DENGAN NOTARIS DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS


Notaris Sebagai Pejabat Umum

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnyasebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (Dari Pasal 1 PeraturanJabatan Notaris dan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat diambilkesimpulan, bahwa tugas pokok Notaris).  Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare amtbtenarenyang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:

De notarissen zijn openbare ambetenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voor hebehouden is.

Dalam bahasa Indonesia bunyinya demikian:
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain (Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia :Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,cet. I, (Jakarta: Refika Aditama, 2008), hal. 12) membuat akta otentik untuk kepentingan masyarakat sehingga Notaris digolongkan sebagai pejabat umum (Pejabat umum yang ada di indonesia tidak hanya Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Lelang juga digolongkan sebagaipejabat umum. Menurut pasal 1 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah dinyatakan “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai pembuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”. Lihat: Indonesia,Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah,PP No. 28 Tahun 1998, LN No. Tahun 1998, TLN No. , ps. 1 ayat 1.)

Arti penting dari profesi Notaris ialah :
bahwa ia karena Undang-Undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.

Notaris sebagai pejabat umum juga dapat ditelusuri pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya” (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, cet. XXXIX, (Jakarta: Padya Paramita, 2008), hlm 475.)

Pandanganyang berbeda dalam mengungkapkan istilah Notaris sebagai penjabat umum dikemukakan oleh HABIB ADJIE. Beliau menyatakan “perlu diperhatikan bahwa istilahopenbaar abtenar dalam kontek ini tidak bermakna umum, tetapi bermakna publik. Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik. Dengan demikian jabatan notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut openbaar” (Habib Adjie,Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. II, (Jakarta: Refika Aditama, 2009), hal. 31.)

Berdasarkan rumusan tersebut HABIB ADJIE, memberi karateristik Notaris sebagai berikut:
1.       Sebagai Pejabat Negara. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara dan memiliki tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkup pekerjaan tetap;
2.       Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Kewenangan dari seorang pejabat (Notaris) ada aturan hukumnya agar tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya;
3.       Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah.Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dalam hal ini menteri yang membidangi hukum;
4.       Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi tidak menerima gaji, pensiun dari pemerintah, Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayani atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu; dan
5.       Akuntabilitas atas pekerjaan kepada masyarakat. Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat. Masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya ganti rugi, dan bunga jika teryata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat

Sejarah Notaris di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah Notariat di Nederland dan Prancis, karena bersumber dari hukum Notariat di Nederland atas dasar asasconcordantie, sedangkan ketentuan di Negeri Nederland mengambil ketentuan-ketentuan darihukum Notariat di Prancis (loi organique du notariat)

Notaris di Indonesia bermula pada saat di angkat sebagai Notaris pertama bernama MELCHIOR KERCHEM, menjabat sebagai sekretaris dari college van schepenen pada tanggal 27 Agustus 1620. Ia di tugaskan menjabat jabatan “notarius publicus” dalam wilayah kerja Kota Jakarta. Sebutan “notarius publicus” sesuai dengan tugasnya melayani kepentingan publik di wilayah Jakarta (Menurut Soegondo, ketika Nederland dibawah kekuasaan Prancis untuk para Notarisdiberlakukan ketentuan ventosewet, sehingga meskipun Nederland pada tahun 1813 telah mendapatkankemerdekaan kembali tetapi Peraturan Notaris dari ventoswet yang berasal dari Prancis masih tetap berlaku. R. Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat Di Indonesia : Suatu Penjelasan,cet. I, (Jakarta: CV Rajawali, 1982), hal. 22.)

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis sebagaimana telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya dengan menggunaan metodologi yang mengedepankan pengamatan yang mendalam terhadap literatur kepustakaan, maka kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang dimunculkan adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris mengarah kebentuk perjanjian kerja/ borongan karena memenuhi unsur-unsur perjanjian kerja yaitu melakukan pekerjaan tertentu, dibawah perintah, dengan upah dan dalam waktu tertentu. Selanjutnya perjanjian kerjasama ini tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai suatu sebab yang tidak terlarang, karenaberdasarkan analisis lebih mendalam terhadap substansi dan pelaksanaanperjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris terdapat pelanggaran dariUndang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.

Bentuk-bentuk dari pelanggaran tersebut meliputi: menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan atau ditentukan oleh Bankmelalui serangkaian intervensi(Pasal 4 angka 5 Kode EtikNotaris), membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan Bank, sehinggamenutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi (Pasal 4 angka 13 Kode Etik Notaris), menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh Bank dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan (Pasal 4 angka 10 Kode Etik Notaris), Notarisbekerja sama dengan Bank sebagaibadan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien yaitu nasabah Bank itu sendiri (Pasal 4 angka 4 Kode Etik Notaris) dan melakukan promosi diri, dengan mencantumkan nama dan jabatannya dalam bentuk kegiatan pemasaranya itu pengajuan penawaran kerjasama yang diajukan Notaris kepada Bank (Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris).

Pelanggaran tersebut dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat dengan sesama
rekan Notaris sebagaimana dilarangdalam penjelasan Pasal 17 huruf a Undang-Undang Jabatan Notarisdan Pasal 4 angka 9 Kode Etik Notaris.

Imbas dari persaingan yang tidak sehat berdampak pada penurunan kehormatan harkat dan jabatan Notaris.Beberapa praktisi Profesi Notaris dan pengurus Ikatan Notaris Indonesia yang memiliki kapabilitas dibidang Kenotariatan mempunyai pendapatyang samabahwa perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris terutama ketentuan Kode Etik Notaris. Pernyataan ini didasari pertimbangan bahwa Notaris kerap diminta Bank untuk membuat perjanjian kredit dibawah intervensi Bank. Klausul perjanjian pun lebih banyak ditentukan oleh Bank. Selain itupada dasarnya Notaris sebagai penjabat publik, tentunya harus melayani kepentingan masyarakat yang menghadap kepadanya tanpa harus ada pengikatan sebelumnya.

2. Notaris akan bertindak tidak mandiri dan cenderung berpihak pada Bank, apabila Perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris tetap dilaksanakan sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 4, Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris dan Pasal 3 angka 4 Kode Etik Notaris. Secara ringkas sikap tidak mandiri dan ketertidakpihakan tercermin dari sikap tunduk pada point-point perjanjian kerjasama yang diadakan Bank dengan Notaris. Sikap keberpihakkan Notaris kepada Bank tampak melalaui serangkaian intervensi Bank kepada Notaris seperti memuat klausul-klausul dari model perjanjian kredit Bank yang bersangkutan yang pada akhirnya menguntungkan kepentingan Bank dan disisi lain merugikan kepentingan nasabah. Dengan begitu Notaris tersebut melanggar sumpah janji jabatan Notaris dan Kewajiban Notaris yang tertuang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.

Pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dikenakan sanksi administratif dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris berupa: teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.

Sedangkan berdasarkan Pasal 6 Kode Etik Notaris Notaris, Notaris rekanan Bank dapat dikenakan sanksi indisipliner oleh Organisasi berupa: teguran, peringatan, pemecatan sementara dari keanggotaan Perkumpulan, pemecatan dari keanggotaan Perkumpulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.


Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka pada bagian akhir, penulis membahas dan mencarikan solusi permasalahan atas pokok permasalahan melalui saran-saranyang terurai dibawah iniadalah:

1.      Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi bagi para Notaris di Indonesia dapat memberikan suatu surat keputusan pengurus perkumpulan berupa surat edaran yang disampaikan kepada Pengurus IkatanNotarisIndonesia di seluruh Indonesia mengenai larangan bagi para Notaris membuat perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris maupun terhadap lembaga atau pihak lainnya. Sedangkan upaya selanjutnya Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris harus segera di revisi untuk memasukan ketentuan pelarangan bagi setiap Notaris membuat pengikatan melalui perjanjian kerjasama, baik dengan Bank maupun instansi lainnya.

2.      Notaris selaku pejabat umumwajib menolaksegala bentuk perjanjian kerjasama karena dapat membuat Notaris menjadi tidak mandiri dan berpihak kepada pihak tertentu. SeharusnyaNotaris yang dikualifikasikan sebagai pejabat umum wajib melayani semua lapisan masyarakat, pemerintah,swastadan Bank tanpa ada perjanjian terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Agar tidak terikat pada perjanjian dengan pihak lain, sebaiknya IkatanNotaris Indonesia menjalin kerja sama dengan asosiasi perbankan nasional yang tergabung dalam Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara). Tujuannya untuk meningkatkan posisi tawar Notaris terhadap Bank sehingga Notaris dapat membuatakta sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selasa, 01 Maret 2011

PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

Modul. Berikut adalah judul Modul yang dipakai dalam Diklat Penyusunan Peraturan Perundang-undangan:
1.      Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
2.      Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
3.      Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundangundangan
4.      Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
5.      Modul 5 - Bahasa Perundang-undangan
6.      Praktek - Penyusunan Rancangan Naskah Akademik dan Raperda.

1.      Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
  1. Konsep Negara Hukum.
1)      Sejarah Negara Hukum;
2)      Unsur-unsur negara hukum;
3)      Indonesia sebagai Negara Hukum.
  1. Landasan Penyusunan Peraturan Perundangan-undangan.
1)      Prinsip-prinsip Peraturan Perundang-undangan;
2)      Azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3)      Azas Pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan.
  1. Jenis Dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan.
1)      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
2)      Peraturan Pemerintah;
3)      Peraturan Presiden;
4)      Peraturan Daerah; dan
5)      Peraturan Perundang-Undangan lain.



2. Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
a. Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan.
1) Peraturan Perundang-undangan;
2) Lembaga Pembentuk Undang-Undang;
3) Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan diluar Undang-Undang;
4) Lembaga Pembentuk Peraturan lain diluar Hirarkhi Perundangundangan.

b. Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Pengertian Pembentukan Perundang-undangan;
2) Pengertian Legal Drafting dan Legal Drafter;
3) Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Daerah;
4) Tahap proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah;
5) Naskah Akademis.

3. Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prosedur Penyusunan ProgramLegislasi Nasional.
1) Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
2) Tata Cara Penyusunan Prolegnas;
3) Pengelolaan Prolegnas; dan
4) Pembiayaan Prolegnas.

b. Prosedur Penyusunan Rancangan Undang-Undang.
1) Umum;
2) Penyusunan Rancangan Undang-Undang berdasarkan Prolegnas;
3) Penyusunan Rancangan Undang-Undang diluar Prolegnas; dan
4) Harmonisasi.

c. Prosedur Pembentukan Peraturan PUU.
1) Penyampaian Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
2) Rancangan Undang-Undang yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat (inisiatif);
3) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; dan
4) Partisipasi Masyarakat.


4. Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prinsip Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
1) Indonesia sebagai negara Hukum;
2) Pemegang Peran dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3) Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan;
4) Dimensi pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
5) Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
1) Asas Formil;
2) Asas Materiil;
3) Prinsip Ketaatan Hirarki Peraturan Perundang-undangan.

c. Unsur Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
1) Teknik Peraturan Perundang-undangan;
2) Pedoman Penyusunan Teknik Peraturan Perundang-undangan;
3) Perumusan dan Perencanaan Penyusunan Peraturan Perundangundangan;
4) Pengaturan/penelitian ulang kandungan norma/materi muatan;
5) Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.

d. Materi Muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
1) Materi Muatan PUU;
2) Arah Pembahasan Materi Muatan;
3) Materi Muatan Undang-Undang;
4) Materi Muatan Peraturan Daerah.

e. Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Kerangka Peraturan Perundang-undangan;
2) Hal-Hal Khusus yang ada di dalam Peraturan Perundang-undangan;
3) Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Raperda).

5. Modul 5 - Bahasa Perundang-Undangan
a. Ragam Bahasa Perundang-Undangan.
1) Tiga Kebenaran Dasar;
2) Rasa Bahasa Perundang-Undangan;
3) Teknik Pengacuan, Tata Bahasa dan Tabulasi;
4) Pilihan Kata/Istilah;
5) Kegiatan Berkomposisi.

b. Mencermati Bahasa Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
1) Pengertian;
2) Syarat Bahasa Perundang-Undangan.

Modul 1
Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum


KONSEP NEGARA HUKUM

1. Sejarah Negara Hukum
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam.
Pemikiran-pemikiran tentang konsep Negara Hukum sebelum konsep Negara Hukum berkembang seperti sekarang ini, diantaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini:
a. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikalbakal pemikiran tentang Negara hukum. Dalam nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.
b. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu negara hukum”, karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.
c. Machiavelli, seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” , mengemukakan dalam usaha untuk mewujudkan supaya suatu Negara menjadi suatu Negara nasional raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.
d. Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Beliau berpendapat bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior.
e. Thomas Hobbes dalam teorinya yaitu teori Hobbes, perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang disebabka kepada raja. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu system pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. Perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:
a. Reformasi
b. Renaissance
c. Hukum Kodrat
d. Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung).
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara Hukum.

2. Unsur-unsur Negara Hukum
Setelah mengalami beberapa pengembangan pemikiran konsep negara hokum kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum di antaranya:
a. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

3. Negara Indonesia sebagai Negara Hukum
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
a. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum;
b. Pembukaan dicantumkan kata-kata: Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
c. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
d. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
e. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
f. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
g. Sistem hukum yang bersifat nasional;
h. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
i. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
j. Adanya peradilan bebas.


LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN
1. Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
a. Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.
b. Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan Landasan Yuridis.
c. Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
d. Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.
e. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
f. Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.
g. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.


2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:
1) Kejelasan tujuan;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4) Dapat dilaksanakan;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) Kejelasan rumusan;
7) Keterbukaan
b. Asas Materiil
Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:
1) Pengayoman;
2) Kemanusiaan;
3) Kebangsaan;
4) Kekeluargaan;
5) Kenusantaraan;
6) Kebhinnekatunggalikaan;
7) Keadilan yang merata;
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9) Ketertiban dan kepastian hukum;
10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
3. Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.


JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis
Peraturan Perundang-Undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;

Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.

A. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.

Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak bolehbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.

B. Undang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-Undang yang sudah ada;
5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.

C. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa siding Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.

D. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
3. Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya.
4. Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.
5. Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR.

E. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.

F. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).

Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.

Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.

G. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Kamis, 03 Februari 2011

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA

A. PENDAHULUAN.

1 . Latar Belakang

Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka[1]. Menurut sejarah, Lembaga Notariat tersebut sudah dikenal sejak abad ke-11 atau ke-12 di Italia Utara[2].

Saat ini di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam Undang –Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Berdasarkan UUJN tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini[3].

Selanjutnya ditentukan pula bahwa[4]:
1)      Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,  perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang  berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan dengan undang-undang.

2)      Notaris berwenang pula :
a.        mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b.       membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
c.        membuat kopi dari asli surat-surat  di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
d.       melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e.        memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f.         membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g.        membuat akta risalah lelang

Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan[5].

Maka berdasarkan atas uraian tersebut dapat dikatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta notaris dimana yang dimaksud dengan akta notaris tersebut adalah akta otentik.


2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan akta otentik dan syarat – syarat apa sajakah yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik? 
2.      Bagaimana kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik?

3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan maka yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan akta otentik dan mengetahui syarat-syarat apa saja yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik.
  2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik.


B. PEMBAHASAN

1. Akta Otentik

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian[6]. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam pasal 1869 KUHPer bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai  dimaksud di atas (pasal 1868 KUHPer) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.

Ini berarti bahwa surat tanpa apa tanda tangan seperti karcis parkir tidak termasuk akta.Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut[7].

Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri[8].

Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking[9].

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam pasal 1868 KUHPerdata yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan[10].

Berdasarkan pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya[11], akta ini meliputi akta otentik dibidang hukum publik dan yang membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara (TUN), contohnya adalah KTP, SIM, IMB, paspor. Contoh akta – akta tersebut dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga yang dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, berita acara sidang, akta banding atau kasasi, dll.

Adapun akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta hibah, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya antara para pihak yang berkepentingan  saja. Dalam KUHPer diatur dalam pasal 1875 bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau  yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak  dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa)[12]. Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari[13].


2. Akta Otentik sebagai Alat Bukti yang Sempurna    
Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka[14] dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu[15].  Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.

Menurut system dari HIR hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 164 HIR alat-alat bukti terdiri dari :

   1. Bukti tulisan;
   2. Bukti dengan saksi;
   3. Persangkaan;
   4. pengakuan;
   5. sumpah.

Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.  Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN (Undang Undang Jabatan Notaris) :
-Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.     
-Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata.
-Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini.    

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende)sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik.    

Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil[16].

1.      Kekuatan pembuktian lahir. Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu  berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya[17]. Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik

2.      Kekuatan Pembuktian Formil. Artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat.

Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/ akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.

3.Kekuatan Pembuktian Materiil
Bahwa secara hukum (yuridis) suatu akta otentik memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu akta notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus:
1.      Para penghadap yang telah memenuhi syarat (Minimal berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja notaris ybs tersebut;
2.      Para penghadap tersebut harus dikenal notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
3.      Para penghadap mengutarakan maksudnya;
4.      Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;
5.      Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;
6.      Segera setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut.

Kemudian berdasarkan atas undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat lainnya, dalam hal ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai.

Namun tidak adanya materai dalam suatu akta atau surat perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang biasa disebut probationis causa yang berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari semula tidak diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan belakangan.    

Maka suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila  akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.     

Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.


C. PENUTUP

Kesimpulan  

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:

1.           Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Syarat – syarat yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik adalah :
-pertama suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil;
-Kedua harus memenuhi syarat otentisitas seperti yang dipersyaratkan dalam UUJN.

2.           Kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik adalah sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata.  Bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.


—————–


DAFTAR PUSTAKA  :
§         Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok: 2008.
§         Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun  2004 tentang Jabatan Notaris.
§         R. Soesilo, RIB/ HIR dengan penjelasan, Politeia, Bogor: 1995.
§         Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keduapuluhtujuh, PT Pradnya Paramita, Jakarta: 1995.
§         Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty: 1993.

CATATAN KAKI :
 [1]  Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok: 2008.

 [2] Ibid.

 [3] Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun  2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal  1 Angka 1.

[4] Ibid,  Pasal 15 ayat (1) dan (2)

 [5] Ibid., Pasal 1 Angka 7.

 [6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty: 1993, hal.121.

 [7] Ibid.

 [8] Ibid.

 [9] Ibid.

 [10] Ibid.

 [11] Ibid.

 [12] Ibid.

 [13] Ibid.

 [14] Ibid, hal 108.

 [15] Ibid, hal 109.

 [16] Ibid.

 [17] Ibid.

ACTIO PAULIANA DALAM KEPAILITAN (CLAW BACK PROVISION)

ACTIO PAULIANA DALAM KEPAILITAN (CLAW BACK PROVISION)

- Hak yang merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditor atas perbuatan Debitor yang dapat merugikan Kreditor. Hak tersebut diatur oleh KUH Perdata dalam Pasal 1341.

- Yaitu berupa tindakan Debitor yang karena merasa akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum memindahkan haknya atas sebagian dan harta kekayaannya yang dapat merugikan para Kreditornya.

- Peraturan pelaksanaannya dalam UUK terdapat dalam ketentuan Pasal 41 s.d. Pasal 51 UUK. Yang harus dibuktikan hanyalah bukti bahwa pada saat Debitor melakukan tindakan hukum tersebut, ia dan pihak dengan siapa Debitor melakukan tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatannya itu akan merugikan Kreditor.

Menurut Pasal 1341 KUHPerdata:
Meskipun demikian, tiap orang berpiutang (Kreditor) boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan dilakukan oleh si berutang (Debitor) dengan nama apa pun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor), asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan itu dilakukan, baik si berutang (Debitor) maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang (Debitor) itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor).

Hak-hak yang diperoleh dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi.

Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma-cuma oleh si berutang (Debitor), cukuplah si berpiutang (Kreditor) membuktikan bahwa si berutang (Debitor) pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan kepadanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak.


Seperti dikemukakan oleh Fred B.G. Tumbuan, S.H., bila kita simak, Pasal 41 UUK terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar pauliana itu berlaku:
a.       Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b.      perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan Debitor;
c.       perbuatan hukum dimaksud telah merugikan Kreditor;
d.      pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor; dan
e.       pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.


- Fred B.G. Tumbuan berpendapat, adalah tugas Kurator untuk membuktikan telah terpenuhinya kelima persyaratan tersebut.

- Apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan hanya Debitor saja yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, sedangkan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu diiakukan ternyata beriiikad baik? Hal ini tidak diatur oleh UUK.

- Biasanya, apabila Debitor itu adalah Perseroan Terbatas, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Pengurus dari Perseroan Terbatas itu harus bertanggung jawab secara pribadi.

Pasal 42 UUK adalah sebagai berikut:
Apabila perbuatan hukum yang merugikan para Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut:
a.       merupakan perikatan dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan;
b.      merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih;
c.       dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau terhadap:
1)      suami atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2)      suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor;
d.      dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau terhadap:
1)      anggota direksi atau pengurus dari Debitor atau suami/istri atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota atau pengurus tersebut.
2)      Perorangan baik sendiri ataupun bersama-sama dengan suami/istri atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan tersebut, yang ikut secara langsung ataupun tidak langsung, dalam kepemilikan pada Debitor paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
3)      perorangan yang suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung ataupun tidak langsung, dalam kepemilikan pada Debitor paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
e.       dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya, apabila:
1)      perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2)      suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3)      perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga baik sendiri atau bersama-sama, ikut secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor, atau sebaliknya.
4)      Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5)      badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami/istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor
f.        dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya dalam kelompok badan hukum dimana Debitor adalah anggotanya.

- Pasal 43 UUK, hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalannya, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Pasal 44 UUK, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan

- Baik Pasal 43 maupun Pasal 44 UUK tidak menentukan bahwa penerima hibah harus pula mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Jadi dapat disimpulkan kalo si penerima hibah wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan oleh Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Pasal 46 Fv menentukan bahwa pembatalan pembayaran hanya berlaku apabila pembayaran itu memberi keuntungan kepada Kreditor yang bersangkutan yang mendahulukan pembayaran tersebut mendahului pembayaran utang kepada para Kreditor lainnya.

- Pasai 47 ayat (1) Fv menentukan bahwa berdasarkan pasal sebelumnya (Pasal 46 Fv, penulis), tidak dapat dilakukan penagihan kembali dari seorang pemegang surat perintah pembayaran atas order atau surat pembayaran atas unjuk yang karena hubungan antara para pemegangnya yang terdahulu, diwajibkan menerima pembayaran tersebut.
- Pasal 47 ayat (2) Fv, dalam hal ini maka orang yang mendapat keuntungan dari penerbitan surat berharga tersebut wajib mengembalikan jumlah uang tersebut kepada harta pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa surat-surat tersebut dikeluarkan atas dasar maksud sebagaimana dimaksud dalam pasal sebelumnya, atau apabila surat-surat berharga tersebut merupakan hasil perundingan yang dimaksud pasal sebelumnya.

- Yang berhak mengajukan permohonan pembatalan terhadap perbuatan pengalihan harta kekayaan Debitor tersebut adalah Kurator (Pasal 48 ayat (1) Fv).
- Bila orang yang disebut terakhir itu tidak dapat mengembalikan barang yang telah diterimanya dalam keadaan seperti semula, Pasal 50 ayat (2) Fv mewajibkan dia memberikan ganti rugi kepada harta pailit itu.

- Namun menurut Pasal 50 ayat (3) Fv, dalam hal hak kebendaan ya harus dikembalikan itu diperoleh oleh pihak ketiga dengan itikad bait maka pihak ketiga itu harus dilindungi. Ketentuan Pasal 50 ayat (3) Fv tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1341 ayat (2) KUH Perdata.

- Pasal 50 ayat (4) Fv, semua barang atau nilai uangnya yang telah diterima oleh Debitor pailit, wajib dikembalikan oleh Kurator sepanjang (dengan pengembalian tersebut) harta pailit mendapat manfaat- tidak berlaku apabila dengan pengembalian tersebut justru harta pailit mengalami kerugian.

- Pasal 51 ayat (1) Fv menentukan bahwa setiap pembayaran yang telah dilakukan oleh seseorang kepada Debitor pailit untuk memenuhi perikatan yang telah ada sebelum pernyataan pailit, membebaskannya (dan dengan demikian maka pembayaran tersebut) berada di luar harta pailit, sepanjang ia tidak mengetahui tentang adanya harta pailit itu.

- Pasal 51 ayat (2) Fv menentukan bahwa pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terjadi sesudah adanya pernyataan pailit, tidak dapat dibebaskan dan (dengan demikian pembayaran tersebut tidak diperlakukan) berada di luar harta pailit.

- Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (2) UUK dan Pasal 1341 KUH Perdata, keterikatan pembeli rumah untuk mengembalikan rumah tersebut dan menerima harga semula adalah tergantung kepada itikad baik pembeli. Apabila pembeli memang beritikad baik, yaitu pembeli dapat membuktikan bahwa pada saat jual-beli rumah tersebut dilakukan, pembeli tidak mengetahui atau sepatutnya memang tidak mungkin mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan mengakibatkan kerugian bagi para Kreditor, maka pembeli tidak berkewajiban untuk mengembalikan rumah tersebut.

- Sebelum berlakunya UU No. 4 tahun 1998, actio pauliana juga telah dianut daiara Faillissementsverordening (SA9Q5 No. 217 jo S. 1906 No. 348), hanya saja bedanya dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1998 adalah mengenai jangka waktunya. Dalam Faillissementsverordenim jangka waktunya adalah 40 (empat puluh) hari, sedangkan dalam UU No.X Tahun 1998 jangka waktunya adalah 1 (satu) tahun.

KEPAILITAN ORANG MATI
- Apakah setelah seseorang meninggal dunia dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya? Ternyata UUK menentukan bahwa hal yang demikian dapat dilakukan oleh para Kreditor dari almarhum.

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pailit terhadap Orang Mati
- Pasal 197 Fv, harta kekayaan dari seorang yang telah meninggal dunia harus dinyatakan dalam keadaan pailit, bila seseorang atau beberapa Kreditor mengajukan permohonan dan mengemukakan secara singkat bahwa orang yang meninggal dunia itu berada keadaan berhenti membayar utang-utangnya, ataupun pada saat meninggal dunia, harta warisannya (peninggalannya) tidak cukup untuk membayar utang-utangnya.

- Menurut ketentuan Pasal 198 ayat (1) Fv, permohonan itu harus diajukan kepada PN yang pada waktu meninggalnya Debitor bersangkutan, berwenang untk memberikan keputusan pernyataan pailit tersebut.
- Berdasarkan ketentuan Pasal 199 Fv, pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan orang yang meninggal dunia dipisahkan demi hukum dari harta kekayaan pribadi dari para ahli warisnya, dengan cara seperti yang diuraikan dalam Pasal 1107 KUH Perdata.

- Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah dilakukan penerimaan warisan oleh para ahli waris, atau sebelum 6 (enam) bulan sejak meninggalnya Debitor yang bersangkutan. Demikian ditentukan dalam Pasal 200 Fv.

- Menurut Pasal 201 Fv, Bagian 6 Bab I UUK tidak berlaku bagi kepailitan harta peninggalan (warisan). Begitu pula Bab VIII tidak berlaku bagi kepailitan harta peninggalan, kecuali bila harta peninggalan tersebut tidak diberikan secara tidak bersyarat.