Jumat, 10 Oktober 2014

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI NOTARIS BAG 5

 BAGIAN 5

3.2. Contoh Kasus Pelanggaran Notaris

3.2.1. Posisi Kasus
- Notaris Feny Sulifadarti dituding melanggar etika profesi notaris oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Tidak hanya berperan ganda, Fenny juga menggelapkan sejumlah data tanah dalam akta jual beli.
- Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menuding notaris proyek pengadaan tanah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Feny Sulifadarti melanggar etika profesi notaris. Tuduhan itu ditenggarai karena Fenny berperan ganda dalam proses penjualan tanah tersebut. Fenny mengaku berperan sebagai kuasa penjual dan pembuat akta jual beli tanah.
- Notaris boleh menjadi kuasa penjual dengan syarat akta jual beli itu dibuat oleh notaris lain. Untuk menghindari hal itu, makanya saudara Feny Sulifadarti membuat surat kuasa dibawah tangan.
- Menanggapi tudingan itu, Fenny menyatakan bahwa itu adalah kemauan dari pemberi kuasa. Menurutnya, pemilik tanah, Komarudin dan Lasiman, meminta dirinya untuk menjual tanah mereka dengan harga sama dengan Indrawan Lubis.
- Lasiman membantah pernyataan Fenny. Sebelumnya, dalam kesaksiannya, Lasiman membeberkan bahwa Fenny yang menawarkan jasa untuk menjadi kuasa penjual.
- Hal senada juga diutarakan oleh Komarudin. Fenny yang menawarkan. Komarudin mengaku awam soal penjualan tanah, karena itu ia menerima tawaran Fenny.
- Mendengar hal itu, Fenny bersikukuh dialah yang benar.
- Tidak hanya itu, Fenny juga mengaku menerima uang penjualan tanah dari pihak Bapeten. Anehnya, uang sebesar Rp19 miliar, tidak langsung diberikan kepada pemilik tanah. Fenny langsung memotong uang tersebut dengan dalih untuk membayar pajak-pajak dan fee buat dirinya.
- Fenny menerangkan fee yang dia terima selaku kuasa penjual notaris sebesar Rp312 juta. Uang itu digelontorkan untuk biaya pembuatan akta jual beli plus pengurusan izin lokasi.
- Namun, ia tidak merinci besarnya biaya pengurusan.
- Sementara itu untuk biaya pajak, Fenny menerangkan biaya pajak yang dikenakan terdiri dari pajak penjual, pembeli dan pajak waris. Semua sudah saya laporkan kepada pemilik tanah, terangnya.
- Namun, setelah dikonfrontir dengan Komarudin dan Lasiman, keduanya membantah hal itu. Keduanya menerangkan Fenny tidak pernah menunjukan bukti pembayaran pajak kepada mereka.
- Komarudin dan Lasiman mengaku mereka menandatangani kuitansi kosong.
- Terkait dengan penandatanganan akta jual beli, Fenny selaku notaris tidak pernah mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk menandatangani akta.
- Menurut Hakim Mansyurdin , sebagai pejabat umum pembuat akta harusnya Fenny bertindak profesional. Jangan jadi makelar tanah.

3.2.2. Analisis Kasus
Berdasarkan kasus diatas telah dapat dibuktikan bahwa Notaris tersebut melakukan pelanggaran, tidak hanya terhadap UU Jabatan Notaris tetapi juga Kode Etik Notaris.
Etika Kepribadian Notaris menyebutkan bahwa Notaris wajib:

a. memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
b. menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notari;
c. bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab.

Dengan menjadi kuasa penjual Notaris Feny Sulifadarti tersebut sudah bertindak tidak menghormati dan tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris, serta tidak bertindak jujur, dan tidak penuh rasa tanggang jawab. Hal itu terlihat jelas karena pada kenyataannya bahwa seyogyanya seorang Notaris tidak boleh menjadi kuasa penjual, tetapi ia mengingkari hal tersebut dengan cara membuat Surat Kuasa dari penjual kepada dirinya selaku kuasa penjual secara di bawah tangan. Selain itu, sikap tidak jujur Notaris tersebut juga terlihat dalam hal ia memberikan kuitansi kosong untuk ditanda tangani oleh penjual.


3.2.3. Sanksi yang Dapat Dijatuhkan Terhadap Notaris yang Melakukan Pekerjaan Lain

Terhadap Notaris Feny Sulifadarti, tindakan pertama yang dilakukan adalah melaporkan Notaris tersebut kepada MPD dimana ia berkedudukan. Melalui laporan tersebut maka MPD mengambil tindakan yaitu menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris, kemudian membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Setelah laporan tersebut diterima oleh MPW maka MPW menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah; memanggil Notaris yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan tersebut. Kemudian MPW dapat memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, mengusulkan pemberian saksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
a) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan;
b) pemberhentian dengan tidak hormat.

Setelah laporan tersebut diteruskan kepada MPP maka MPP mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Sanksi pemberhentian dengan tidak hormat adalah sanksi yang terberat yang kenakan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan UU Jabatan Notaris.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Pemerintah (sebagai yang memberikan sebagian wewenangnya kepada notaris) dan masyarakat banyak tentunya mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.

Oleh karena itu, agar notaris dapat memberikan pelayanan jasa secara maksimal serta menghasilkan “produk” akta yang benar-benar terjaga otentisitasnya sehingga memiliki nilai dan bobot yang handal, maka notaris harus menjalankan kewajiban yang diamanatkan baik oleh UUJN maupun dalam Kode Etik Notaris dan menghindari larangan-larangan dalam jabatannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang saling melengkapi antara UUJN dan Kode Etik dalam mengatur ketentuan tentang kewajiban dan larangan serta pengecualian dalam jabatan Notaris.

Dalam menjalankan jabatnnya seorang notaris tidak pernah lepas dari kewajiban yang harus dipenuhi serta untuk memaksimalkan kinerjanya, notaris pun harus dapat menghindari ketentuan-ketentuan tentang larangan dalam jabatannya.

Pasal 16 dan Pasal 17 UUJN menentukan hal-hal yang menjadi kewajiban dan larangan notaris yaitu:

Kewajiban:
• bertindak jujur,seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
• membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris;
• mengeluarkan groose akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta;
• memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
• merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
• menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
• membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
• membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
• mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada hari minggu pertama setiap bulan berikutnya;
• mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
• mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
• membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris;
• menerima magang calon notaris.

Larangan:
• menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
• meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
• merangkap sebagai pegawai negeri;
• merangkap jabatan sebagai pegawai negara;
• merangkap jabatan sebagai advokat;
• merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
• merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan notaris;
• menjadi notaris pengganti;
• melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agam, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.

B. Saran
Berdasarkan uraian tentang kewajiban dan larangan sebagaimana terinci di atas, diharapkan notaris dalam menjalankan jabatannya senantiasa bercermin pada etika moral profesi yang diembannya, taat asas, serta tunduk dan patuh pada setiap peraturan yang mengatur jabatannya tersebut sehingga masyarakat dan semua kalangan benar-benar dapat memaknai profesi notaris sebagai salah satu profesi yang mulia dan bermartabat.

Daftar Pustaka

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.

http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI NOTARIS BAG 4

BAGIAN 4



B. Profesi dan Kode Etik Notaris

2.1. Notaris Sebagai Profesi

Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris. Menurut Ismail Saleh, notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempunyai integritas moral yang mantap
2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual)
3. Sadar akan batas-batas kewenangannya
4. Tidak semata-mata berdasarkan uang.

Lebih jauh Ismail Saleh mengatakan bahwa empat pokok yang harus diperhatikan para notaris adalah sebagai berikut:
1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.
2. Seorang notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak member janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya.
3. Seorang notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris.
4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengakibatkan rasa keadilan.

2.2. Kode Etik Notaris
Dalam menjalankan tugasnya seorang notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris. Dalam kode etik Notaris Indonesia telah ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang teguh oleh notaris (selain memegang teguh kepada peraturan jabatan notaris), diantaranya adalah:

a. Kepribadian notaris, hal ini dijabarkan kepada:
1. Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai pancasila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik.
2. Memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional, terutama sekali dalam bidang hukum.
3. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan notaris, baik di dalam maupun di luar tugas jabatannya.

b. Dalam menjalankan tugas, notaris harus:
1. Menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
2. Menggunakan satu kantor sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang, dan tidak membuka kantor cabang dan perwakilan dan tidak menggunakan perantara.
3. Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi.

c. Hubungan notaris dengan klien harus berlandaskan:
1. Notaris memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya.
2. Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya.
3. Notaris harus memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat yang kurang mampu.

d. Notaris dengan sesama rekan notaris haruslah:
1. Hormat menghormati dalam suasana kekeluargaan.
2. Tidak melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama.
3. Saling menjaga dan membela kehormatan dan korps notaris atas dasar solidaritas dan sifat tolong menolong secara konstruktif.


C. Pelanggaran dalam Kode Etik Notaris

3.1. Larangan Notaris dalam Menjalankan Tugasnya Jabatannya

Sesuai dengan Rumusan Komisi D Bidang Kode Etik Ikatan Notaris (INI) Periode 1990-1993 mengenai Larangan-larangan dan ketentuan-ketentuan tentang Perilaku Notaris dalam menjalankan jabatannya, anggota Ikatana Notaris Indonesia dilarang :
• mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan; memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor;
• melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: iklan; ucapan selamat; ucapan belasungkawa; ucapan terima kasih; kegiatan pemasaran; kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga;
• bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien;
• menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain;
• mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangan;
berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain;
• melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya;
• melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris;
• menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan;
• mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan;
• menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;
• membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi;
• menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
• melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap: Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatanNotaris; isi sumpah jabatan Notaris; Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Sedangkan pengecualian atau tidak termasuk larangan, adalah:
• memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja;
• pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau instansi-instandan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya;
• memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris.

BERSAMBUNG KE BAG 5

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI NOTARIS BAG 2 (MAKALAH)

SAMBUNGAN BAG 1



1.2. Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris
Notaris sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat diangkat menjadi notaries maka harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2004. Dinyatakan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi notaries sebagaimana dimaksud Pasal 3 adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
b) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) Berumur paling sedikit 27 tahun;
d) Sehat jasmani dan rohani;
e) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor notaries atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-undag dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaries.

Sejalan dengan ketentuan pasal 3 diatas, maka notaries sebagai pejabat umum dan sebagai organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya wajib mengangkat sumpah. Sumpah merupakan persyaratan formal yang harus dijalani sebelum memulai menjalankan tugasnya. Dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:

Sebelum menjalankan jabatannya, notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah janji berbunyi sebagai berikut:

“Saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiaban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjiakan sesuatu kepada siapa pun.”

Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 4 di atas, maka pengucapan sumpah/janji ini merupakan hal yang sangat prinsipil bagi notaris, sebab jika tidak sempat mengangkat sumpah/janji setelah diangkat dalam jangka waktu dua bulan, pengangkatannya sebagai notaris dapat dibatalkan oleh Menteri (Pasal 5 dan Pasal 6). Dengan demikian dalam jangka waktu 30 hari setelah disumpah/janji sebagai notaris wajib menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 7 UU Nomor 30 tahun 2004, dinyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 haru terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaries, yang bersangkutan wajib:
a) Menjalankan jabatannya dengan nyata;
b) Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah;
c) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agrarian/pertanahan, Organisasi Notaris, ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat.

Sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 2004 di atas, maka notaries sebagai pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya dapat berhenti atau diberhentikan karena alasan-alasan tertentu. Dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
a) Meninggal dunia;
b) Telah berumur 65 tahun;
c) Permintaan sendiri;
d) Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus-menerus lebih dari 3 tahun, atau
e) Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) di atas, maka notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b) Berada di bawah pengampuan;
c) Melakukan perbuatan tercela; dan
d) Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 di atas, maka Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:

a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari tiga tahun;
c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat Notaris; atau
d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
1.3. Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan
1.3.1. Kewenangan notaris menurut UUJN (pasal 15)






BERSAMBUNG KE BAG 3



ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI NOTARIS bag 1 (Makalah)



Etika dan Tanggung Jawab Profesi Notaris
(Makalah)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang meletakkan hukum sebagai kekuatan tertinggi berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan jaminan bagi seluruh warga negaranya untuk mendapatkan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum tersebut tentunya membutuhkan upaya konkret agar terselenggara dengan seksama sebagai bentuk pertanggung jawaban negara bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris?
2. Bagaimana tinjauan tentang profesi dan kode etik Notaris?
3. Bagaimana pelanggaran yang dilakukan Notaris atas Kode Etik Notaris?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
2. Untuk mengetahui tinjauan tentang profesi dan kode etik Notaris.
3. Untuk memahami pelanggaran yang dilakukan Notaris atas Kode Etik Notaris.

D. Metodologi
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau informasi melalui :
• Penelitian kepustakaan (Library Research); yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi literature, undang-undang, dan sebagainya yang sesuai atau yang ada relevansinya (berkaitan) dengan masalah yang dibahas.
• Browsing; yaitu mencari data dan informasi melalui media internet.

E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan sistematika penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam memecahkan masalah yang ada, di dalam penulisan ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang terdiri dari:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metodologi, dan sistimatika penulisan.
Bab II : Bab ini merupakan bab yang berisi tentang pembahasan mengenai kode etik profesi Notaris.
Bab III : Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
1.1. Sejarah Perkembangan Notaris
Lembaga notaris di Indonesia berasal dari zaman Belanda, Karena Peraturan Jabatan Notaris Indonesia berasal dari Notaris Reglement (Stbl.1660-3) bahkan jauh sebelumnya yakni dalam tahun 1620, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mengangkat Notarium Publicum. Notaris pertama di Hindia Belanda ialah Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kota praja dan sebagainya. Melchior Kerchem pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris college Van Schepenen di Jakarta sehingga beliau merangkap jabatan sebagai secretaries van den gereclite dan notaris publiek. Baru lima tahun kemudian jabatan-jabatan tersebut dipisahkan dan jumlah notaries pada waktu itu bagi kandidat-kandidat yang telah pernah menjalani masa magang pada seorang notaries.
Pada tanggal 26 januari 1860, diterbitkannya peraturan Notaris Reglement yang selanjutnya dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris. Reglement atau ketentuan ini bisa dibilang adalah kopian dari Notariswet yang berlaku di Belanda. Peraturan jabatan notaris terdiri dari 66 pasal. Peraturan jabatan notaris ini masih berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, terjadi kekosongan pejabat notaris dikarenakan mereka memilih untuk pulang ke negeri Belanda. Untuk mengisi kekosongan ini, pemerintah menyelenggarakan kursus-kursus bagi warga negara Indonesia yang memiliki pengalaman di bidang hukum (biasanya wakil notaris). Jadi, walaupun tidak berpredikat sarjana hukum saat itu, mereka mengisi kekosongan pejabat notaris di Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di universitas Indonesia. Dilanjutkan dengan kursus notariat dengan menempel di fakultas hukum, sampai tahun 1970 diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak dll) yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN – candidate notaris/calon notaris) pada lulusannya.

Pada tahun 2000, dikeluarkan sebuah peraturan pemerintah nomor 60 yang membolehkan penyelenggaraan spesialis notariat. PP ini mengubah program studi spesialis notarist menjadi program magister yang bersifat keilmuan, dengan gelar akhir magister kenotariatan.

Yang mengkhendaki profesi notaris di Indonesia adalah pasal 1868 Kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai pelaksanaan pasal tersebut, diundangkanlah undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris (sebagai pengganti statbald 1860 nomor 30).

Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengundangkan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan UU Nomor 30 Tahun 2004 ini merupakan pengganti Peraturan jabatan Notariat (Stbl. 1660-3) dan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860:3) yang merupakan peraturan Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam dictum penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menunttut antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan social, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta autentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan social, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta autentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta autentik yang merupakan alat bukti tertulis dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta autentik tertentu tidak ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Menurut pengertian undang undang no 30 tahun 2004 dalam pasal 1 disebutkan definisi notaris, yaitu: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini.” Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata.

Sebagai pejabat umum notaris adalah:
1. Berjiwa pancasila;
2. Taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik notaris;
3. Berbahasa Indonesia yang baik;

Sebagai profesional notaris:
1. Memiliki perilaku notaris;
2. Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat.
Notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam undang-undang jabatan notaris.


BERSAMBUNG KE BAG 2

TENTANG TANDA TANGAN DAN CAP JEMPOL/TERAAN SIDIK JARI JEMPOL



TENTANG TANDA TANGAN DAN CAP JEMPOL/TERAAN SIDIK JARI JEMPOL

Menurut Yahya Harahap (2001: 544)  mengemukakan bahwa pengertian tanda tangan dan dokumen tertulis lainnya tidak mesti diatas kertas kemudian dapat menjadi bukti tertulis, tetapi hal itu hanya berlaku bagi negara yang menganut sistem pembuktian terbuka. Oleh karena foto dan peta yang melukiskan suatu tempat hingga saat ini masih sulit untuk dijadikan sebaga alat bukti dalam hukum acara perdata.

Terkait dengan itu dalam hukum pembuktian acara perdata pemuatan suatu tanda tangan dijadikan sebagai suatu persyaratan mutlak agar surat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti. Bahkan Subketi (1977: 89) mengakui “bahwa suatu akta baru dapat dikatakan sebagai akta otentik jika suatu tulisan itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang  suatu peristiwa yang ditandatangani.” Dengan demikian unsur-unsur  yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.”

Syarat penandatanganan ditegaskan dalam Pasal  1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 yang menegaskan “ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan  di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan meraka.” Sejalan dengan itu Yahya Harahap (2005: 560) juga menguraikan pentingnya tanda tangan adalah sebagai syarat yang mutlak, agar tulisan yang hendak dijadikan surat itu ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya.  Lebih tegas Yahya Harahap menguraikan “bahwa suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.”

Bahkan surat akta yang dikategorikan sebagai akta di bawah tangan jika hendak dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan kekuatan tanda tanganlah yang melekat dalam perjanjian tersebut hingga dapat ditingkatkan akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya juga mengikat bagi para pihak. Tanpa melepaskan pembuktian bagi hakim untuk menilai pengakuan atas keaslian tanda tangan salah satu pihak itu.

Syarat penandatanganan juga ditegaskan dalam Pasal  1869 s/d Pasal1874 KUH Pdt atau Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29. Ketentuan pasal tersebut menegaskan kekuatan tulisan akta di bawah tangan harus ditandatanngani oleh para pihak. Sedangkan Pasal 1869 menegaskan sekiranya pembuatan akta otentik itu dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang, namun akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak, akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian sebagai Akta di Bawah Tangan  saja.

Fungsi tanda tangan  dalam suatu surat adalah untuk memastikan identifikasi atau menentukan kebenaran ciri-ciri penandatangan. Sekaligus pendatangan menjamin keberadaan isi yang tercantum dalam  tulisan tersebut.

Berdasarkan praktik dalam kebiasaan untuk melahirkan perjanjian melalui putusan HR yang dikemukakan oleh Pitlo (Yahya Harahap, 2005: 561) terdapat berbagai bentuk tanda tangan yang dibenarkan oleh hukum antara lain:

  • Menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil.
  • Tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup.
  • Ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel huruf cetak.
  • Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penanda tangan dengan syarat:
-Orang yang mencantumkan kopi itu, berwenang untuk itu dalam hal ini orang itu sendiri, atau;Orang yang mendapat kuasa atau mandat dari pemilik tanda tangan.
            - Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan mempergunakan karbon.

Adapun penggunaan karbon adalah demi efesiensi penandatangan surat atau kata dalam lembar yang sama, hanya bagian pertama saja yang ditandatangani secara langsung. Sedangkan pada bagian kedua merupakan duplikat dengan cara pemasangan karbon, hal yang seperti ini juga dibenarkan oleh hukum. Selain bentuk tanda tangan di atas, cap tangan jempol juga dapat dijadikan sebagai penegasan identitas para pihak yang melakukan perjanjian. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 1874 ayat 2 KUH Perdata  maupun ST. 1919 -776 atau Pasal 286 ayat 2 RBG, yang mempersamakan cap jempol dengan tanda tangan.

Tetapi penggunaan cap jempol tidak semuda dalam penggunaan penandatangan untuk suatu akta/ surat. Oleh karena untuk sah dan sempurnanya cap jempol harus memenuhi beberapa prasyarat antara lain:

  • Dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
  • Dilegalisr diberi tanggal.
  • Pernyataan dari pejabat yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya.
  • Isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan.
  • Pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

Kekuatan cap jempol rupanya lebih rumit agar mendapat kekuatan hukum yang sempurna. Padahal dari segi kepastian hukum cap jempol lebih kuat kepastian hukumnya dibandingkan dengan tanda tangan. Bukankah banyak hasil penelitian mengatakan bhawa sidik jari yang dimiliki setiap orang berbeda dengan yang dipunyai oleh orang lain. Artinya niat jahat dari seorang untuk memalsukannya tidak gampang. Beda halnya dengan  tanda tangan yang dengan begitu muda gampang dipalsukan. Oleh sebab itu kurang tepat kiranya jika ada yang mengatakan bahwa cap jempol tidak dapat disamakan dengan kekutann hukum yang melekat dalam sebuah tanda tangan.

Selain itu,  Soedikno Mertokusumo (1998:  142) juga  mengemukakan bahwa tanda tangan bertujuan untuk membedakan akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibububuhkan pada akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak berupa tampak ciri-ciri atau sifat si pembuat.
Selanjutnya Soedikno masih menguraikan bahwa penandatanganan ialah membubhkna nama dari sipenandatangan  sehingga membubuhkan paraf yaitu singkatan tanda tangan  saja dianggap belum cukup. Namun itu harus ditulis dengan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Kirannya juga kurang cukup apabila tanda tangan itu hanya berbunyi misalnya Nyoya Sarengat tanpa menyebut nama kecil atau nama aslinya dari si pembuat tanda tangan, karena tidak mustahil timbul suatu sengketa disebabkan adanya dua akta yang kedua-duanya di tanda tangani oleh Nyonya Sarengat, dengan kemungkinan ada dua orang yang bernama sarengat atau ada seorang Sarengat yang mempunyai dua orang isteri.

Dari dua pendapat tersebut di atas, baik Yahya Harahap  maupun Soedikno memiliki kesamaan pendapat bahwa tujuan dari pada tanda tangan adalah untuk memastikan identitas dari pihak-pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.  Jika dikaji secara filsufis tujuan dari pada pembubuhan tanda tangan tidak semata-mata berfungsi sebagai identitas para pihak saja, tetapi boleh jadi adalah curahan hati dan pikiran yang telah dipikirkan matang oleh orang tersebut, sehingga pada akhirnya ia sepakat untuk mengikuti segala ketentuan yang telah dirundingkan sebelumnya dengan pihak lain, sebagai syarat sahnya sehingga perjanjian tersebut sah sebagai salah satu bentuk perikatan.

Dengan demikian sangatlah benar Yurisprudensi PT Bandung 15 Juli Jawa Barat 1969 – 1972 (Hal. 121) bahwa surat yang ditandatangani oleh orang yang tidak cakap berbuat dalam hukum tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Hal tersebut logis jika ditimbang dengan nalar sehat, oleh karena bagaimana mungkin orang tidak cakap berbuat atau bertindak melakukan perbuatan hukum, sehingga dapat menuangkan kesepakatannya  dalam  sebuah kesepahaman bersama, yang jelas dari awal sudah pasti perjanjian tersebut telah cacat kehendak, sehingga dengan mengacu pada syarat sahnya perjanjian (Pasal 1234 KUH Perdata) maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.\


PERBEDAAN JUDICIAL REVIEW DENGAN HAK UJI MATERIIL



Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil

Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.

Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil.

Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):

1. perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.

Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung untuk pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.


Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung


Sekedar Menambahkan ....

Pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur : Judicial Review. Istilah Judicial Review lebih luas cakupan maknanya daripada penamaan : toetsingsrecht atau hak menguji.

Judicial Review dalam sistem hukum Common Law tidak hanya bermakna ‘the power of the court to declare laws unconstitutional’ (James E. Clapp, 1996:232) tetapi juga berpaut dengan kegiatan examination of administration decisions by the court (Collin, 2000).

Hak menguji adalah hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak menguji formal (atau Formele Toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap cara pembentukan (pembuatan) serta prosedural peraturan perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (atau Materieele Toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (‘materi’) peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia, penggunaan istilah Judicial review mencakup pengujian peraturan perundang-undangan.
Adapun penamaan peraturan perundang-undangan, lazim disebut algemene verbindende voorschriften mencakup semua kaidah hukum tertulis, dimulai dari undang-undang dasar hingga peraturan desa yang berkekuatan normatif (‘normatieve krafte’), sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kaidah undang-undang (dalam makna formal) termasuk peraturan perundang-undangan, namun tidak semua peraturan perundang-undangan adalah undang-undang (dalam arti formal). Undang-Undang lazim disebut Gezetz, Wet, merupakan species dari peraturan perundang-undangan.

Hampir semua negara memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji undang-undang secara formele toetsing, namn tidak semua negara memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji substansi (materi) undang-undang.

Indonesia menganut sistem pengujian materil terbatas bagi Mahkamah Agung, yakni terbatas pada pengujian materil (‘materieele toetsing’) terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hakim juga dapat menguji Keputusan Tata Usaha Negara (K.TUN) yang memuat pengaturan yang bersifat umum (‘besluit van algemene strekking’).

Mahkamah Agung hanya boleh menguji formal (‘formele toetsing’) terhadap undang-undang namun tidak boleh menguji substansi (materi) undang-undang. Mahkamah Agung tidak memiliki hak menguji materi (‘materieele toetsingsrecht’) terhadap undang-undang.

Pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dipandang kurang efektif karena kaidah hukum yang paling efektif mengikat rakyat banyak adalah undang-undang beserta kaidah-kaidah hukum di atas undang-undang. Lagi pula, bagaimana halnya manakala undang-undang itu sendiri mengandung cacat hukum?

B. MENGAPA DIPERLUKAN PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG?

Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan produk politik, diturunkan (di-derive) dari legislasi institusi politik.

Undang-Undang Dasar selaku kaidah hukum (‘peraturan perundang-undangan’) tertinggi ditetapkan dan diubah oleh MPR (lihat pasal 3 UUD 1945).

MPR selain lembaga negara, adalah pula institusi politik. UUD adalah produk politik, bukan produk hukum.

Undang-Undang (dalam makna formal), lazim disebut Wet, Gezetz, dibentuk oleh DPR,
berasal dari RUU dibahas bersama oleh DPR dan Presiden guna mendapatkan persetujuan bersama. RUU yang telah disetujui bersama dimaksud disahkan oleh Presiden. Manakala RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan Presiden, maka dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (1), (2), (4) dan (5) UUD NRI Tahun 1945).

DPR dan Presiden selaku lembaga-lembaga negara adalah pula institusi politik. Undang-Undang tidak lain adalah produk politik, di desain oleh institusi-institusi politik. Undang-undang bukan produk hukum tetapi adalah produk politik.Oleh karena undang-undang adalah produk politik niscaya setiap undang-undang memuat pesan-pesan politik, berpaut dengan kepentingan politik maka substansi (materil) undang-undang boleh diuji setiap saat oleh institusi hukum agar muatan pesan-pesan politik yang terkandung di dalamnya bersesuai dengan kehendak orang banyak.

Pada saat ini, memang telah ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, namun Mahkamah Agung tidak diberi kewenangan menguji undang-undang berkenaan dengan hal ikhwal orang perorangan secara umum. Mahkamah Agung tidak boleh menguji undang-undang yang dipandang bercacat hukum.

C. SEKELUMIT SEJARAH
Sistem hukum Hindia Belanda tidak memberikan hak menguji materil undang-undang bagi hakim (atau lembaga peradilan). Pasal 20 Algemene Bepalingen van wetgeving menegaskan : ‘De regter moet volgens de wet regspreken. Behoudens het bepaalde bij art. 11 mag hij in geen geval de innerlijke waarde of de billijkheid der wet beoordelen’.

Negara Republik Indonesia Serikat memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung guna menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuk suatu negara bagian adalah inkonstitusional (Pasal 156 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS).
Pasal 156 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi :
Jika Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan lain mengadili dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian berlawanan dengan konstitusi ini, maka dalam keputusan itu dinyatakan dengan tegas tak menurut konstitusi.

Namun Undang-Undang Federal sendiri tidak dapat diganggu gugat (Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS).
Juga di bawah UUDS 1950, undang-undang tidak dapat diuji materil oleh Mahkamah Agung. Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 menegaskan : ‘Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat’. De wet is onschenbaar! (S. Tasrif, 1971:197).

D. UUD 1945 DAN HAK MENGUJI MATERIL

UUD 1945 terdahulu sesungguhnya tidak melarang hakim (atau Mahkamah Agung) menguji undang-undang dalam makna materieele toetsing. Tidak ada pasal konstitusi yang secara tegas melarang Mahkamah Agung menguji materil undang-undang. Baharu pada Perubahan Ketiga, Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung hanya menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang.

Dalam Rapat Besar BPUPKI (1945), anggota Muh. Yamin pernah menggagaskan pemberian kewenangan hak menguji materil bagi Mahkamah Agung. Prof. Soepomo, anggota BPUPKI lainnya, tidak menyetujui gagasan Yamin. Dikatakan Soepomo, para ahli hukum kita di kala menjelang pembentukan negara baru itu sama sekali tidak mempunyai pengalaman tentang hal pengujian undang-undang, apalagi pengujian sedemikian bukan kewenangan Mahkamah Agung, tetapi semacam pengadilan spesifik, yakni constitutioneel hof yang melulu menangani konstitusi. ‘Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu’, kata anggota Soepomo.

Sayang sekali, perdebatan dimaksud tidak berlanjut. Anggota Moh. Yamin meminta pembicaraan tentang hak menguji materil undang-undang ditunda saja.

Konstitusi Amerika Serikat (1789) juga tidak mencantumkan hak menguji materil undang-undang (‘judicial review’), namun 14 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1803, Supreme Court Amerika di bawah Chief Justice John Marshall menerapkan hak menguji undang-undang dalam perkara terkenal, Madison vs Marbury.

Peristiwa pengangkatan sekelompok hakim baru di larut malam, kelak dinamakan the midnight judges, oleh presiden lama, John Adams menjelang serah terima jabatan kepada presiden terpilih, Thomas Jefferson memicu kemarahan salah seorang hakim baru itu, William Marbury yang merasa keberatan tatkala surat pengangkatannya selaku hakim tidak diberikan oleh Secretary of State, James Madison, berdasarkan perintah Presiden Thomas Jefferson. Pemerintah bermaksud membatalkan pengangkatan hakim-hakim baru di malam yang larut itu. William Marbury memohonkan kepada Supreme Court agar mengeluarkan Writ of Mandamus guna memerintahkan Secretary of State, James Madison menyerahkan surat pengangkatan dirinya.

Berdasarkan Judiciary Act 1789, perkara yang diajukan Marbury termasuk original jurisdiction dari Supreme Court sehingga tidak perlu melalui pengadilan yang lebih rendah.

Majelis Hakim Agung di bawah Chief Justice John Marshall memutus perkara dimaksud dengan cara pengujian materil undang-undang, yakni mengadakan judicial review terhadap undang-undang yang dipandang bertentangan dengan konstitusi.

Sejak putusan Chief Justice John Marshall dimaksud, dunia peradilan Amerika dibekali kewenangan judicial review terhadap undang-undang, termasuk bagi perkara orang-perorangan secara umum.

Sistem hukum peradilan Indonesia di bawah UUD 1945 tidak mengikuti jejak peradilan Amerika Serikat. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya memberikan kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan serupa juga dinyatakan pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, terakhir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 11 ayat (2) huruf b dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Pasal 31 ayat (1)). Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Guna kelancaran penyelenggaraan peradilan mengenai hak uji materil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, diberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, kelak digantikan dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Dikemukakan, hak uji materil hanya dibolehkan terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan.

Gugatan hak uji materil diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung
b. Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. (Pasal 2 ayat (1)).

Gugatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan (di bawah undang-undang) kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan secara langsung (Pasal 2 ayat (2)). Gugatan hak menguji materil diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan dimaksud (Pasal 2 ayat (4)).

Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (4)).
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 31 ayat (4), (5)).

Dalam pada itu, menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan, bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor III Tahun 2000 menetapkan MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR. Mahkamah Agung berwenang menguji perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 5 ayat (2)).

Dirasakan janggal manakala MPR diberi kewenangan menguji undang-undang yang dibentuk DPR, justru di kala DPR merangkap keanggotaan MPR. Tidakkah hal dimaksud bermakna, bahwasanya sang koki mencicipi serta menilai kue-kue buatannya sendiri? Lagipula, menurut Prof. Sri Soemantri Martosoewignjo (2001:21), MPR adalah institusi politik yang beranggotakan 700 orang. Hak uji materil tidak semata-mata (hanya) masalah politik, akan tetapi juga masalah hukum.

E. PERPU : PROBLEMATIK JUDICIAL REVIEW

Pengujian materil Mahkamah Agung hanya boleh diadakan terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hak uji materil peraturan perundang-undnagan hanya boleh dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah ke bawah namun pengujian (toetsing) tidak dapat diadakan terhadap undang-undang, juga tidak terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menempatkan Undang-Undang setara dengan Perpu. Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menempatkan Perpu di bawah undang-undang.

Hal dimaksud memberikan peluang kewenangan secara tidak sah bagi Mahkamah Agung mengadakan pengujian materil terhadap Perpu. Mahkamah Agung tidak dapat menguji undang-undang namun dapat menguji Perpu.

Dalam pada itu, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, undang-undang ditempatkan setara dengan Perpu. Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang. Lagi pula, TAP MPR sendiri sudah tidak tergolong peraturan perundang-undangan.

E. POST SCRIPTUM

Menggagaskan pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji undang-undang secara materil kini tidak mungkin lagi tatkala Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Tidakkah mungkin lagi adanya perubahan UUD ke depan guna pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung melakukan pengujian materil terhadap undang-undang?
Terpulang bagi para judex memperjuangkan hal ini. ‘Im Kampfe sollst du dein Recht finden’, kata Rudolph von Jhering (1818-1892).

HM. LAICA MARZUKI

Bahasa yang baik, menunjukkan bangsa yang baik. Bahasa yang buruk, menunjukkan bangsa yang buruk pula (Raja Ali Haji)


Pasal 24C UUD 1945
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaganegara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ***)

mengenai perhitungan hasil pemilu termasuk kewenangan MK dalam hal "memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". jadi hal itu bukan lah termasuk judicial review, atau uji materi

inti judicial review adalah menguji undang-undang terhadap UndangUndang
Dasar...saya kasih contoh misalnya salah satu Pasal didalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu isinya bertentangan dengan salah satu pasal yang tercantum didalam UUD 1945, ketika kita mau menguji salah satu Pasal didalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 maka itulah kewenangan dari MK