Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil
Judicial review, menurut Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
(hal. 1-2), adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma.
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie
menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan
antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya
dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin
(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam
arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan
materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah
pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian
formil.
Hak atas uji materi maupun uji
formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1]
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):
1. perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.
Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung untuk pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum
yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil
(uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil
terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga negara.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung
Sekedar Menambahkan ....
Pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur : Judicial
Review. Istilah Judicial Review lebih luas cakupan maknanya daripada penamaan :
toetsingsrecht atau hak menguji.
Judicial Review dalam sistem
hukum Common Law tidak hanya bermakna ‘the power of the court to declare laws
unconstitutional’ (James E. Clapp, 1996:232) tetapi juga berpaut dengan
kegiatan examination of administration decisions by the court (Collin, 2000).
Hak menguji adalah hak bagi hakim
(atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak menguji
formal (atau Formele Toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap cara
pembentukan (pembuatan) serta prosedural peraturan perundang-undangan,
sedangkan hak menguji material (atau Materieele Toetsingsrecht) berpaut dengan
pengujian terhadap substansi (‘materi’) peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia, penggunaan istilah
Judicial review mencakup pengujian peraturan perundang-undangan.
Adapun penamaan peraturan
perundang-undangan, lazim disebut algemene verbindende voorschriften mencakup
semua kaidah hukum tertulis, dimulai dari undang-undang dasar hingga peraturan
desa yang berkekuatan normatif (‘normatieve krafte’), sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Kaidah
undang-undang (dalam makna formal) termasuk peraturan perundang-undangan, namun
tidak semua peraturan perundang-undangan adalah undang-undang (dalam arti
formal). Undang-Undang lazim disebut Gezetz, Wet, merupakan species dari
peraturan perundang-undangan.
Hampir semua negara memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan)
menguji undang-undang secara formele toetsing, namn tidak semua negara
memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji substansi
(materi) undang-undang.
Indonesia menganut sistem pengujian materil terbatas bagi Mahkamah Agung, yakni
terbatas pada pengujian materil (‘materieele toetsing’) terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Hakim juga dapat menguji Keputusan
Tata Usaha Negara (K.TUN) yang memuat pengaturan yang bersifat umum (‘besluit
van algemene strekking’).
Mahkamah Agung hanya boleh menguji formal (‘formele toetsing’) terhadap
undang-undang namun tidak boleh menguji substansi (materi) undang-undang.
Mahkamah Agung tidak memiliki hak menguji materi (‘materieele toetsingsrecht’)
terhadap undang-undang.
Pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dipandang kurang efektif karena kaidah hukum yang paling efektif
mengikat rakyat banyak adalah undang-undang beserta kaidah-kaidah hukum di atas
undang-undang. Lagi pula, bagaimana halnya manakala undang-undang itu sendiri
mengandung cacat hukum?
B. MENGAPA DIPERLUKAN PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG?
Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan produk politik,
diturunkan (di-derive) dari legislasi institusi politik.
Undang-Undang Dasar selaku kaidah hukum (‘peraturan perundang-undangan’)
tertinggi ditetapkan dan diubah oleh MPR (lihat pasal 3 UUD 1945).
MPR selain lembaga negara, adalah pula
institusi politik. UUD adalah
produk politik, bukan produk hukum.
Undang-Undang (dalam makna formal), lazim disebut Wet, Gezetz, dibentuk
oleh DPR,
berasal dari RUU dibahas bersama oleh DPR dan Presiden guna mendapatkan
persetujuan bersama. RUU yang telah disetujui bersama dimaksud disahkan oleh
Presiden. Manakala RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan Presiden,
maka dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (1), (2), (4) dan (5) UUD
NRI Tahun 1945).
DPR dan Presiden selaku lembaga-lembaga negara adalah pula institusi
politik. Undang-Undang tidak lain adalah produk politik, di desain oleh
institusi-institusi politik. Undang-undang bukan produk hukum tetapi adalah
produk politik.Oleh karena undang-undang adalah produk politik niscaya setiap
undang-undang memuat pesan-pesan politik, berpaut dengan kepentingan politik
maka substansi (materil) undang-undang boleh diuji setiap saat oleh institusi
hukum agar muatan pesan-pesan politik yang terkandung di dalamnya bersesuai
dengan kehendak orang banyak.
Pada saat ini, memang telah ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji
undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, namun Mahkamah Agung tidak diberi kewenangan menguji
undang-undang berkenaan dengan hal ikhwal orang perorangan secara umum.
Mahkamah Agung tidak boleh menguji undang-undang yang dipandang bercacat hukum.
C. SEKELUMIT SEJARAH
Sistem hukum Hindia Belanda tidak memberikan hak menguji materil
undang-undang bagi hakim (atau lembaga peradilan). Pasal 20 Algemene Bepalingen
van wetgeving menegaskan : ‘De regter moet volgens de wet regspreken. Behoudens
het bepaalde bij art. 11 mag hij in geen geval de innerlijke waarde of de
billijkheid der wet beoordelen’.
Negara Republik Indonesia Serikat memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Agung guna menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuk suatu negara bagian
adalah inkonstitusional (Pasal 156 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS).
Pasal 156 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi :
Jika Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan lain mengadili dalam perkara
perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan
dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian
berlawanan dengan konstitusi ini, maka dalam keputusan itu dinyatakan dengan
tegas tak menurut konstitusi.
Namun Undang-Undang Federal sendiri tidak dapat diganggu gugat (Pasal 130
ayat (2) Konstitusi RIS).
Juga di bawah UUDS 1950, undang-undang tidak dapat diuji materil oleh
Mahkamah Agung. Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 menegaskan : ‘Undang-Undang tidak
dapat diganggu gugat’. De wet is onschenbaar! (S. Tasrif, 1971:197).
D. UUD 1945 DAN HAK MENGUJI MATERIL
UUD 1945 terdahulu sesungguhnya tidak melarang hakim (atau Mahkamah Agung)
menguji undang-undang dalam makna materieele toetsing. Tidak ada pasal
konstitusi yang secara tegas melarang Mahkamah Agung menguji materil
undang-undang. Baharu pada Perubahan Ketiga, Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung hanya menguji peraturan perundangan di
bawah undang-undang.
Dalam Rapat Besar BPUPKI (1945), anggota Muh. Yamin pernah menggagaskan
pemberian kewenangan hak menguji materil bagi Mahkamah Agung. Prof. Soepomo,
anggota BPUPKI lainnya, tidak menyetujui gagasan Yamin. Dikatakan Soepomo, para
ahli hukum kita di kala menjelang pembentukan negara baru itu sama sekali tidak
mempunyai pengalaman tentang hal pengujian undang-undang, apalagi pengujian
sedemikian bukan kewenangan Mahkamah Agung, tetapi semacam pengadilan spesifik,
yakni constitutioneel hof yang melulu menangani konstitusi. ‘Kita harus
mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus
menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya
kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu’, kata anggota Soepomo.
Sayang sekali, perdebatan dimaksud tidak berlanjut. Anggota Moh. Yamin
meminta pembicaraan tentang hak menguji materil undang-undang ditunda saja.
Konstitusi Amerika Serikat (1789) juga tidak mencantumkan hak menguji
materil undang-undang (‘judicial review’), namun 14 tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1803, Supreme Court Amerika di bawah Chief Justice John Marshall
menerapkan hak menguji undang-undang dalam perkara terkenal, Madison vs
Marbury.
Peristiwa pengangkatan sekelompok hakim baru di larut malam, kelak
dinamakan the midnight judges, oleh presiden lama, John Adams menjelang serah
terima jabatan kepada presiden terpilih, Thomas Jefferson memicu kemarahan
salah seorang hakim baru itu, William Marbury yang merasa keberatan tatkala
surat pengangkatannya selaku hakim tidak diberikan oleh Secretary of State,
James Madison, berdasarkan perintah Presiden Thomas Jefferson. Pemerintah
bermaksud membatalkan pengangkatan hakim-hakim baru di malam yang larut itu.
William Marbury memohonkan kepada Supreme Court agar mengeluarkan Writ of
Mandamus guna memerintahkan Secretary of State, James Madison menyerahkan surat
pengangkatan dirinya.
Berdasarkan Judiciary Act 1789, perkara yang diajukan Marbury termasuk
original jurisdiction dari Supreme Court sehingga tidak perlu melalui
pengadilan yang lebih rendah.
Majelis Hakim Agung di bawah Chief Justice John Marshall memutus perkara
dimaksud dengan cara pengujian materil undang-undang, yakni mengadakan judicial
review terhadap undang-undang yang dipandang bertentangan dengan konstitusi.
Sejak putusan Chief Justice John Marshall dimaksud, dunia peradilan Amerika
dibekali kewenangan judicial review terhadap undang-undang, termasuk bagi
perkara orang-perorangan secara umum.
Sistem hukum peradilan Indonesia di bawah UUD 1945 tidak mengikuti jejak
peradilan Amerika Serikat. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya memberikan kewenangan bagi
Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan
dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan serupa juga
dinyatakan pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
terakhir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 11
ayat (2) huruf b dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Pasal 31 ayat (1)).
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Guna kelancaran penyelenggaraan peradilan mengenai hak uji materil
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, diberlakukan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, kelak digantikan dengan pemberlakuan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil.
Dikemukakan, hak uji materil hanya dibolehkan terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, sehubungan dengan adanya gugatan
atau permohonan keberatan.
Gugatan hak uji materil diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung
b. Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
(Pasal 2 ayat (1)).
Gugatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan (di
bawah undang-undang) kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang saling
berkaitan secara langsung (Pasal 2 ayat (2)). Gugatan hak menguji materil
diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya
peraturan perundang-undangan dimaksud (Pasal 2 ayat (4)).
Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan
puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (4)).
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa
putusan Mahkamah Agung mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun
berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Peraturan
perundang-undangan yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling
lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 31 ayat (4), (5)).
Dalam pada itu, menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ditegaskan, bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut sedang dalam proses
pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor III Tahun 2000 menetapkan MPR berwenang
menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR. Mahkamah Agung berwenang
menguji perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 5 ayat (2)).
Dirasakan janggal manakala MPR diberi kewenangan menguji undang-undang yang
dibentuk DPR, justru di kala DPR merangkap keanggotaan MPR. Tidakkah hal dimaksud bermakna,
bahwasanya sang koki mencicipi serta menilai kue-kue buatannya sendiri?
Lagipula, menurut Prof. Sri Soemantri Martosoewignjo (2001:21), MPR adalah institusi politik yang
beranggotakan 700 orang. Hak uji materil tidak semata-mata (hanya) masalah
politik, akan tetapi juga masalah hukum.
E. PERPU : PROBLEMATIK JUDICIAL REVIEW
Pengujian materil Mahkamah Agung hanya boleh diadakan terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Hak uji materil peraturan
perundang-undnagan hanya boleh dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah ke bawah namun pengujian (toetsing)
tidak dapat diadakan terhadap undang-undang, juga tidak terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945.
Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menempatkan Undang-Undang setara dengan Perpu. Pasal 2 TAP MPR Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
menempatkan Perpu di bawah undang-undang.
Hal dimaksud memberikan peluang kewenangan secara tidak sah bagi Mahkamah
Agung mengadakan pengujian materil terhadap Perpu. Mahkamah Agung tidak dapat
menguji undang-undang namun dapat menguji Perpu.
Dalam pada itu, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, undang-undang ditempatkan
setara dengan Perpu. Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan
undang-undang. Lagi pula, TAP MPR sendiri sudah tidak tergolong peraturan
perundang-undangan.
E. POST SCRIPTUM
Menggagaskan pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji undang-undang
secara materil kini tidak mungkin lagi tatkala Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.
Tidakkah mungkin lagi adanya
perubahan UUD ke depan guna pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung melakukan
pengujian materil terhadap undang-undang?
Terpulang bagi para judex
memperjuangkan hal ini. ‘Im Kampfe sollst du dein Recht finden’, kata Rudolph
von Jhering (1818-1892).
HM. LAICA MARZUKI
Bahasa yang baik, menunjukkan
bangsa yang baik. Bahasa yang buruk, menunjukkan bangsa yang buruk pula (Raja
Ali Haji)
Pasal 24C UUD 1945
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang
Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaganegara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. ***)
mengenai perhitungan hasil pemilu
termasuk kewenangan MK dalam hal "memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum". jadi hal itu bukan lah termasuk judicial review, atau uji
materi
inti judicial review adalah
menguji undang-undang terhadap UndangUndang
Dasar...saya kasih contoh
misalnya salah satu Pasal didalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu isinya
bertentangan dengan salah satu pasal yang tercantum didalam UUD 1945, ketika
kita mau menguji salah satu Pasal didalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
tersebut apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 maka itulah kewenangan
dari MK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar