PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI AKTA NOTARIS DAN RAHASIA JABATAN
NOTARIS
Kehadiran Majelis Pengawas Daerah
seperti yang diatur dalam Pasal 66 UUJN telah memberikan harapan mengenai
seharusnya seperti apa Notaris dan akta Notaris dinilai oleh insitusi yang
memahami dan mengerti Notaris. Sudah tentu dalam melakukan pemeriksaan Notaris
atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses
peradilan, MPD akan bersidang dan menilai tindakan Notaris dan akta Notaris
yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Hukum Kenotariatan Indonesia.
Ketika MPD tidak mengizinkan
seorang Notaris untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim
dengan alasan Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta telah sesuai dengan
prosedur pembuatan akta yang benar berdasarkan UUJN, maka untuk Notaris yang
bersangkutan telah selesai perbuatan hukumnya, artinya, akta yang dibuat oleh
atau di hadapan Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal dan materil.
Dalam praktek sekarang ini banyak
ditemukan suatu kenyataan, ketika seorang Notaris oleh MPD tidak diizinkan
untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, maka (khususnya
Penyidik dari Kepolisian) akan berupaya untuk mencari cara atau celah lain,
dengan maksud untuk memperoleh kebenaran materil, dan yang dilakukan oleh
Penyidik yaitu memanggil saksi-saksi akta. atau membidik saksi-saksi yang
tersebut dalam akhir akta, dengan keterangan yang diperoleh dari saksi akta
tersebut, berharap dapat memeriksa Notaris yang bersangkutan atau terkadang
dibalik para saksi akta dipanggil terlebih dahulu, setelah mendapat keterangan
dari para saksi tersebut, kemudian Penyidik akan memanggil Notarisnya melalui
MPD. Sehingga apakah yang dilakukan oleh Penyidik, hakim atau Kejaksaan sesuatu
yang benar menurut UUJN ? Apakah ini berarti
telah terjadi membuka rahasia jabatan Notaris melalui Saksi Akta ?
Kita bisa membayangkan tidak akan ada kepastian hukum, jika saksi
dalam akta Notaris diperlakukan seperti itu, dan selama hidupnya saksi akta
akan dihantui pemanggilan oleh penyidik entah kapan saja, tidak menutup
kemungkinan ketika mantan saksi tersebut sudah tua renta tanpa daya dan upaya
dipanggil sebagai saksi oleh Penyidik.
Saksi secara umum. Saksi ada 2 (dua), yaitu :
(1)
mereka yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri
peristiwa-peristiwa yang jadi persoalan, dan
(2)
saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum
dilakukan sengaja telah diminta untuk
menjadi saksi.
Menurut Pasal 171 HIR bahwa yang
diterangkan oleh saksi adalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri,
lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya,
bagaimana ia sampai mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan yang
istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian.
Kedudukan Saksi Akta Notaris
berbeda dengan saksi pada umumnya sebagaimana tersebut di atas. Selain Akta
Notaris atau saksi pada umumnya merupakan saksi yang mendengar, melihat sendiri
suatu peristiwa yang terjadi, misalnya jika terjadi jual beli dan dilakukan
penyerahan uang pembelian dari pembeli kepada penjual, maka secara fisik saksi
tersebut melihat sendiri peristiwa tersebut.
Tapi dalam saksi akta, jika para
pembeli telah menyerahkan uang pembelian kepada penjual yang dilakukan
transfers antar bank, yang hanya dapat dibuktikan dengan bukti transfers, kemudian
akta jual belinya di hadapan Notaris, apakah sama pengetahuan saksi pada kedua
peristiwa hukum tersebut mengenai penyerahan uang pembelian ? Maka
saksi selain saksi akta mengetahui dengan betul peristiwa hukum yang terjadi
dalam transaksi tersebut, sedangkan saksi akta tidak tahu apapun tentang
penyerahan uang tersebut secara fisik. Berdasarkan ilustrasi sederhana tersebut bahwa kedudukan saksi akta Notaris
merupakan perintah undang-undang (UUJN) untuk memenuhi syarat formal akta
Notaris.
Saksi Akta Notaris merupakan para
saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrumen), maka dari
itulah disebut Saksi Instrumentair (Instrumentaire
Getuigen). Mereka dengan jalan membubuhkan tanda tangan mereka, memberikan
kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya
formalitas-formalitas yang diharuskan oleh UUJN, yang disebutkan dalam akta
tersebut.
Bahwa salah satu syarat formal
akta Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 38 UUJN, dan mengenai Saksi (Saksi Instrumentair) ini ditegaskan
dalam Pasal 38 ayat (4) huruf c UUJN, bahwa pada akhir atau penutup akta harus
memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi. Ketika syarat formal ini tidak
dipenuhi, maka akta tersebut terdegradasi kedudukannya menjadi mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (Pasal 1869 – 1870
KUHPerdata).
Secara keseluruhan akta Notaris,
akan disebut akta Notaris lengkap jika semua syarat formal tersebut dipenuhi
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kedudukan saksi
akta yang merupakan salah satu syarat formal sudah dipertanggungjawabkan secara
hukum, oleh karena itu ketika Notaris oleh MPD tidak diperkenankan untuk
memenuhi panggilan Penyidik, yang berarti akta tersebut telah benar secara
hukum. Oleh karena itu tidak perlu lagi Penyidik mengambil tindakkan hukum
lain, dengan cara memanggil saksi akta untuk diminta keterangan, yang dari
keterangan saksi akta tersebut akan dikonfrontasikan dengan Notarisnya atau
sebaliknya saksi aktanya dipanggil terlebih dahulu, kemudian dipanggil
Notarisnya dan nanti dikonfrontasikan dengan keterangan saksi akta. Cara apapun
yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan UUJN dan Hukum Kenotaritan Indonesia.
Notaris merupakan jabatan
kepercayaan, hal ini mengandung makna,
yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena jabatan
Notaris sebagai jabatan kepercayaan, sehingga jabatan Notaris sebagai jabatan
kepercayaan dan orang yang menjalankan tugas jabatan juga dapat dipercaya yang
keduanya saling menunjang.
Oleh karena itu Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya punya kewajiban merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan
akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain
(Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN). Ditegaskan pula dalam Penjelasan huruf e
bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta
dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang
terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk
mempertahankan rahasia jabatan tersebut, karena bagaimana jadinya Notaris akan
disebut sebagai jabatan yang dipercaya, ternyata rahasia jabatan kepercayaan
tersebut dapat dibongkar oleh Penyidik melalui keterangan Saksi Akta yang
dipanggil oleh Penyidik ?. Bagi Notaris sendiri melakukan pelanggaran terhadap
pasal tersebut dapat dijatuhi sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Sehingga ketika Notaris tidak
diizinkan MPD untuk memenuhi panggilan Penyidik, tapi kemudian Penyidik
bertindak memanggil saksai akta Notaris, maka sebenarnya telah terjadi
pembongkaran rahasia jabatan melalui Saksi Akta. Inilah makna yang tidak diketahui
dan dipahami oleh Penyidik yang dapat melululantakkan sendi-sendi otensitas
akta Notaris.
Padahal seharusnya dipahami,
sebuah akta Notaris tidak boleh diperlakukan secara parsial di hadapan hukum,
tapi harus dipahami secara menyeluruh
(holistic-integral), mulai dari awal akta sampai akhir akta, dengan kata
lain pemanggilan saksi akta tersebut membuktikan ketidakmampuan pihak-pihak
tertentu tersebut dalam memahami akta Notaris, dengan kata lain pemanggilan
saksi akta yang tersebut dalam akhir akta tersebut merupakan suatu penyimpangan
dan kesalah-kaprahan dan tidak perlu dilakukan dan telah terjadi pembongkaran
rahasia melalui pemanggilan dan keterangan dari Saksi Akta.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
kita mengerti, jika mereka yang namanya dalam akta sebut karena tidak mau
melaksanakan isi akta atau ada pihak yang dirugikan bukan dengan cara menyeret
Notaris dan para Saksi Akta kepada kepolisian atau Penyidik. Tapi aktanya yang
menjadi dasar, karena akan terjadi ketidak-konsistenan dalam pembuktian, ketika
Notaris dan Saksi Aktanya masih hidup, maka Notaris dan Saksi Aktanya akan
dimintai keterangan, tapi ketika Notaris dan Saksi Aktanya sudah meninggal
dunia, sudah tidak mungkin lagi dimintai keterangan, kecuali dibuat Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) di atas batu nisan yang bersangkutan. Oleh karena itu
fokusnya pada aktanya, bukan mempersoalkan Notaris dan Saksi Akta. Jadi sangat
tidak sesuai atau bertentangan dengan UUJN jika Penyidik, Hakim, Kejaksaan
memanggil Saksi Akta, karena Saksi Akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari formalitas-formalitas akta Notaris sebagai akta otentik.
CATATAN LAIN :
Pengertian Saksi Dalam Akta Notaris Vs Saksi di Persidangan [1]
[RGS-Tanya] Dearl all
rekan-rekan sarjana hukum, notaris atau calon notaris ataupun praktisi hukum
yang saya hormati, sehubungan dengan penggunaan istilah saksi dalam suatu akta
notaris, apakah pengertian saksi dalam suatu akta BERBEDA dengan pengertian
saksi dalam hukum acara di pengadilan perdata atau pidana [litigasi], dimana
saksi adalah orang yang mengetahui, mendengar, melihat atau mengalami langsung,
jadi saksi dalam hal litigasi menceritakan pengalaman dia di masa lampau.
Misalkan seorang saksi dalam suatu persidangan, Ia akan menceritakan [memberi
kesaksian] bahwa ia mengetahui bahwa pada tanggal 1 januari 2010 lalu ia, si A
dan si B mengadakan transaksi jual-beli dan transaksi jual beli ini
ditandatangani dihadapan notaris C ; atau ia melihat langsung si-A memukul si-B
dengan sebuah buku sangat tebal sehingga mengakibatkan B kepalanya benjol atau
luka. Jadi hampir seluruh peranan saksi di persidangan selalu menceritakan /
memberi kesaksian pada peristiwa-peristiwa di masa lampau. Sehingga pertanyaan
saya, apakah definisi saksi, yang biasanya nama saksi itu tertuang dalam suatu akta
notaris? karena saya yakin saksi yang ditetapkan dalam suatu akta yang dibuat
dihadapan Notaris bukan menceritakan suatu fakta hukum di masa lampau. Mohon
petunjuk dan saran sederhana, semoga berkenan.
Terimakasih & salam hormat.
Robaga
[Jawab] Dear all,
Saksi-saksi pada pembuatan akta
Notaris
Akta-akta notaris, dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang telah ada atau yang akan ditetapkan
dikemudian hari mengenai bentuk dari beberapa di antaranya, dibuat dihadapan
notaris, dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Para
saksi harus dikenal oleh notaris atau identitas atau wewenang mereka dinyatakan
kepada notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap clan dengan ancaman
dikenakan denda, memberitahukan hal itu di dalam akta. Kecuali dalam hal-hal,
di mana oleh K.U.H. Perdata dituntut kedudukan yang khusus disebutkan
tersendiri mengenai saksi-saksi, maka diperkenankan sebagai saksi-saksi semua
orang yang menurut ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata cakap untuk
memberikan di muka pengadilan kesaksian di bawah sumpah, mengerti bahasa dalam
mana akta itu dibuat dan dapat menulis tanda tangannya.
Saksi-saksi pada pembuatan akta
notaris
Dengan perkataan
"verleden" yang tercantum dalam UUJN. ini harus diartikan
"pembacaan dan penanda tanganan akta," sedang dengan
perkataan-perkataan "dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dan
seterusnya" dimaksudkan untuk memperingatkan kepada adanya "dua orang
saksi," oleh karena jumlah saksi yang diharuskan tidak selalu dua orang.
Pasal 940 K.U.H. Perdata misalnya, yang mengatur tentang pembuatan akta
penyimpanan surat wasiat rahasia
(akte van superscriptie) mengharuskan kehadiran empat orang saksi.
Pertanyaan apakah pada pembuatan
suatu akta notaris boleh bertindak lebih dari dua orang saksi, kiranya untuk ini
tidak ada larangan. Tidak terdapat satu pasal pun dalam UUJN yang melarang hal
itu dan dengan berbuat sedemikian, notaris tidak melampaui wewenangya atau
dengan perkataan lain tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
UUJN, sedang jumlah saksi yang diharuskan oleh undang-undang ada terpenuhi.
Apabila seorang atau lebih di antara mereka tidak memenuhi syarat-syarat
positip yang diharuskan oleh UUJN maka akta itu adalah tetap otentik, asal saja
ada dua orang dari mereka yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
undang-undang. Akan tetapi apabila terhadap salah seorang di antara mereka
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUJN., maka
sanksi terhadap pelanggaran itu akan berlaku, sekalipun masih ada dua orang
saksi tinggal, terhadap siapa tidak terjadi pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal tersebut. Sebenarnya tidak ada gunanya
untuk mengadakan lebih dari dua orang saksi, akan tetapi sudah barang tentu,
bahwa apabila para pihak meminta atau menghendaki lebih dari dua orang saksi,
notaris dalam hal itu tidak dapat menolaknya.
Pengertian mengenai
"pihak" dan "saksi"
Saksi adalah seseorang yang
memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis (dalam hal yang
disebut terakhir ini dengan menanda tanganinya), yakni menerangkan apa yang ia
saksikan sendiri (waarnemen), baik
itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun
suatu kejadian.
Jadi saksi adalah orang ketiga (derde). Pengertian-pengertian
"pihak" (partij) dan "saksi" -(getuige) adalah pengertian-pengertian yang satu sama lain tidak
dapat disatukan.
Pengertian "saksi"
dalam UUJN juga adalah menurut pengertian seperti yang diuraikan di atas,
sepanjang yang mengenai yang dinamakan "saksi instrumentair" (instrumentaire getuigen), yakni yang
disebut dalam UUJN., saksi-saksi mana harus hadir pada pembuatan akta, sedang
dengan pembuatan akta dalam hal ini diartikan pembacaan dan penanda tanganan
akta.
Para saksi
ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrument) itu dan itulah sebabnya mereka dinamakan saksi
instrumentair (instrumentaire getuigen).
Mereka dengan jalan membubuhkan tanda tangan mereka, memberikan kesaksian
tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang
diharuskan oleh undang-undang, yang disebutkan yang - dalam akta itu dan yang
disaksikan oleh para saksi itu.
Saksi instrumentair
Tugas dari para saksi
intrumentair ialah :
Sepanjang yang mengenai akta
partij (partij-akten), mereka harus
hadir pada pembuatan akta itu, dalam arti pembacaan dan penanda tanganan (verlijden) dari akta itu; turut menanda
tangani akta itu.
Seperti dikatakan pada sub-1 di
atas, para saksi instrumentair harus hadir pada pembuatan, yakni pembacaan dan
penanda tanganan akta itu. Hanya dengan hadirnya mereka pada pembuatan akta
itu, mereka dapat memberikan kesaksian, bahwa benar telah dipenuhi
formalitas-formalitas yang ditentukan oleh undang-undang, yakni bahwa akta itu
sebelum ditanda-tangani oleh para pihak, telah terlebih dahulu dibacakan oleh
notaris kepada para penghadap dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak yang
bersangkutan, hal mana semuanya itu dilakukan oleh notaris dan para pihak
dihadapan para saksi-saksi.
Kehadiran saksi-saksi intrumentair pada pembuatan akta-akta tertentu
Dalam pada itu di dalam pembuatan
beberapa jenis akta, kehadiran dari para saksi agak berlainan dengan apa yang
diuraikan di atas, seperti misalnya pada pembuatan akta berita-acara mengenai
pencatatan budel dan perbuatan atau kenyataan yang dimaksud dalam UUJN,
pembuatan berita-acara mengenai penyerahan pembayaran tunai (proces-verbaal van aanbod van gerede
betaling) dan mengenai protes tidak membayar (protest van non-betaling) yang dimaksud dalam pasal 218b K.U.H.
Perniagaan/Dagang (WvK).
Dalam semua hal tersebut, para
saksi harus hadir pada penyaksian dari perbuatan atau tindakan yang dilakukan
dan pembacaan serta penanda tanganan dari berita-acara yang dibuat mengenai
itu. Artinya tidak cukup, bahwa para saksi itu datang pada saat mulai dilakukan
pembacaan dari akta itu, akan tetapi mereka (para saksi) harus sudah hadir
sejak dari mulanya, yakni dari saat notaris mulai menyaksikan perbuatan atau
tindakan itu dilakukan. Hal ini dapat dengan jelas diketahui dari bunyi pasal
UUJN, yang menyebutkan tentang perbuatan atau tindakan yang dilakukan dihadapan
notaris pada waktu pembuatan dari akta itu.
Oleh karena menurut bunyi pasal
UUJN. para saksi harus hadir pada pembuatan akta itu, maka dapat diketahui
dengan jelas, bahwa perbuatan atau tindakan itu tidak dapat disaksikan di luar
kehadiran dari para saksi.
Selain dari itu juga diadakan
ketentuan-ketentuan khusus mengenai cara kehadiran para saksi pada pembuatan
dan peresmian surat-surat wasiat, pada penerimaan penyimpanan surat
wasiat olografis dan surat wasiat
rahasia (lihat pasal 932 dan pasal-pasal 938-941 K.U.H. Perdata).
Dari sifat kedudukannya sebagai
saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut
menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang dikonstatir itu dan penanda tanganan
dari akta itu. Dalam pada itu para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang
dibacakan itu dan juga bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari
akta itu dalam ingatannya. Para saksi tidak bertanggung
jawab terhadap isi akta itu.
Oleh undang-undang tidak ada diwajibkan secara tegas
kepada para saksi untuk merahasiakan isi akta itu, sehingga terhadap mereka
tidak dapat diperlakukan ketentuan dalam pasal 322 K.U.H. Pidana. Mereka dalam
kedudukannya sebagai saksi tidak
menjabat suatu jabatan atau pekerjaan sebagai yang dimaksud dalam pasal
tersebut. Dalam pada itu, apabila mereka membocorkan isi akta itu, perbuatan
itu dapat merupakan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) seperti yang dimaksud dalam pasal 1365 K.U.H.
Perdata.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para saksi instrumentair
Undang-undang menentukan beberapa
syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para saksi, yang dapat dinamakan
syarat-syarat positip dan syarat-syarat negatip, yang masing-masing disebutkan
dalam pasal- pasal UUJN.
Mengenai pertanyaan, apakah para
saksi yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
undang-undang, harus dinilai pada sa'at pembuatan dari akta itu. Apa yang
terjadi sebelumnya atau apa yang akan terjadi sesudahnya tidak menjadi soal.
Yang menentukan adalah pada sa'at akta itu dibuat.
Apabila para saksi tidak memenuhi
syarat-syarat positip yang ditentukan oleh UUJN, maka akta itu tidak memperoleh
kekuatan sebagai akta otentik, akan tetapi hanya mempunyai kekuatan seperti akta
yang dibuat di bawah tangan, sebegitu jauh itu ditanda tangani oleh para pihak,
dengan tidak mengurangi kewajiban dari notaris yang bersangkutan untuk membayar
ongkos, ganti rugi dan bunga kepada yang berkepentingan, apabiia terdapat
alasan untuk itu.
Syarat-syarat yang ditentukan oleh UUJN, adalah :
a. para saksi harus dikenal oleh
notaris atau identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada notaris oleh
seorang atau lebih dari para penghadap, dengan kewajiban bagi notaris untuk
memberitahukan hal itu dalam akta yang bersangkutan;
b. para saksi harus cakap menurut
ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata untuk memberikan di bawah sumpah
kesaksian di muka pengadilan;
c. para saksi harus mengerti
bahasa, dalam mana akta itu dibuat;
d. para saksi harus dapat menulis
tanda tangan mereka. ad a. Pengertian dari "dikenal" yang dimaksud
dalam UUJN. tersebut ialah, bahwa nama dari orang-orang yang dicantumkan dalam
akta itu benar-benar adalah sama dengan orang-orang yang bertindak sebagai saksi-saksi
pada pembuatan akta itu; -mereka yang nama-namanya disebut dalam akta itu harus
sesuai dengan orang-orang, sebagaimana mereka itu dikenal di dalam orang-orang,
sebagaimana nama-nama yang disebutkan dalam akta itu benarbenar dipakai oleh
orang-orang yang bersangkutan.
ad. 1/
Yang dimaksud dengan
"dikenal" ini tidak terbatas pada "identitas" dari para
saksi itu, akan tetapi juga meliputi wewenang mereka. Hal ini jelas dapat
dilihat dari UUJN, di mana dikatakan bahwa apabila para saksi tidak dikenal
oleh notaris, maka identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada
notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap dan hal mana harus
dinyatakan dalam akta yang bersangkutan. Dalam pada itu UUJN hanya mengharuskan
adanya pernyataan identitas dan wewenang dalam akta, sedang mengenai keharusan
untuk menyatakan pengenalan dalam akta samasekali tidak ada
disinggung-singgung. Apa akibatnya apabila pernyataan tentang identitas dan
wewenang itu tidak dicantumkan dalam akta yang bersangkutan? Apabila nama-nama
dari para saksi yang disebut dalam akta itu benar-benar ada sesuai dengan
orangorang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu, sebagaimana mereka dikenal
di dalam masyarakat, maka akta itu adalah otentik, sedang dalam hal sebaliknya,
akta itu kehilangan otentisitasnya. Dengan demikian kelalaian untuk
mencantumkan di dalam akta mengenai pernyataan tentang identitas dan wewenang
dari para saksi tidak mempunyai pengaruh terhadap otentisitas dari akta itu.
Hal ini dapat diketahui dengan jelas dari bahwa di mana dipergunakan perkataan
"hanya." Yang menentukan otentisitas dari suatu akta adalah sesuai
tidaknya nama-nama dari para saksi yang disebut dalam akta itu dengan orang-
orang yang bertindak sebagai saksi-saksi dalam akta itu.
ad 2/
Berdasarkan pasal 1912 K.U.H. Perdata,
yang dianggap cakap untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran di muka
pengadilan adalah mereka yang telah mencapai umur 15 tahun dan tidak karena
dungu, sakit ingatan atau mata gelap ditaruh di bawah pengampuan ataupun selama
perkara sedang bergantung, dimasukkan dalam tahanan.
ad 3/
Syarat lain yang harus dipenuhi
oleh para saksi ialah, bahwa mereka harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu
dibuat. Para saksi pada pembuatan surat
wasiat harus memenuhi syarat khusus, yakni mereka harus mengerti bahasa yang
dipergunakan oleh pewaris (pasal 944 K.U.H. Perdata). Untuk pembuatan akta-akta
lainnya cukup, apabila para saksi mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat.
Selain dari pada itu, pasal 944 K.U.H. Perdata menetapkan, bahwa para saksi
pada pembuatan surat wasiat harus
sudah dewasa dan harus penduduk dari Indonesia.
ad 4/
Para saksi
harus dapat menulis tanda tangan mereka. Para saksi
tidak harus betul-betul pandai menulis, asai saja mereka dapat menulis tanda
tangan mereka, maka telah terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
undang-undang. Para saksi di dalam menulis tanda tangan
mereka tidak boleh dikendalikan oleh orang lain. Dalam hal terjadi sedemikian,
maka yang menulis adalah orang lain itu dan bukan para saksi.
Dengan dikendalikannya penulisan
tanda tangan dari para saksi oleh orang lain justru membuktikan, bahwa para
saksi itu tidak bisa menulis tanda tangan mereka. Juga tidak terpenuhi syarat
yang ditentukan oleh undang-undang, apabiia para saksi hanya membubuhkan tanda
silang atau parap atau cap (stempel). Undang-undang mengharuskan penanda
tanganan dengan nama.
Apakah seorang buta-tuli dapat menjadi saksi dalam akta notaris
Timbul pertanyaan, apakah seorang
buta-tuli, buta atau tuli dapat menjadi saksi?
Para saksi
tidak boleh orang yang tuli ataupun buta. Undang-undang mengharuskan, bahwa
saksi harus mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta dan ia harus dapat
mendengarkan pembacaan dari isi akta itu. Oleh karena itu seorang yang tuli
tidak mungkin menjadi saksi pada pembuatan suatu akta. Juga seorang saksi harus
menanda tangani akta itu. Dengan demikian ia harus dapat mengetahui dan
menyaksikan, apakah akta yang dibacakan itu ada sama dengan akta yang ditanda
tanganinya.
Selain dari itu juga harus dapat
menyaksikan, bahwa para penghadap menanda tangani akta itu. Oleh karena itu
seorang saksi harus tidak buta. Dengan penanda tangan akta itu, seorang saksi
memberikan kesaksian, bahwa formalitas-formalitas yang disebutkan dalam akta
itu benar-benar ada dilakukan.
Dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata, maka tidak boleh diambil sebagai
saksi keluarga sedarah dan keluarga semenda, baik dari notaris maupun dari para
penghadap sampai dengan derajat ketiga, demikian juga pembantu rumah tangga
dari notaris.
Dalam hal terjadi pelanggaran
pasal ini atau pasal sebelumnya, maka akta itu sebegitu jauh tidak memuat
kemauan terakhir, hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan, jika
itu ditanda tangani oleh para penghadap, dengan tidak mengurangi kewajiban dari
notaris untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang
berkepentingan,jika terdapat alas an untuk itu.
Para keluarga sedarah dan
keluarga semenda sampai dengan derajat ketiga dari para pembeli, penyewa,
pengepah atau pemborong atau penjamin pada penjualan dimuka umum, penyewaan,
pengepakan atau pemborongan, demikian juga dari para anggota dari rapat, dari
yang dibicarakan dalam rapat mana oleh notaris dibuat berita-acara, dapat dalam
hal ini diambil sebagai saksi.
Dapatkah isteri dari notaris menjadi
saksi dalam akta yang dibuat oleh notaris itu?
Di dalam ketentuan UUJN tidak ada
disebut isteri dari notaris ataupun isteri dari para penghadap, sehingga ada
orang yang berpendapat, bahwa notaris tidak dilarang untuk mengambil sebagai
saksi isterinya atau isteri dari para penghadap. Sebagai alasan dikemukakan,
bahwa antara notaris dari isterinya ataupun antara para penghadap dan isteri
mereka tidak terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda.
Berbeda dengan halnya dalam
pasal-pasal 20 dan 21 P.J.N menurut stbl 1830-3., di mana dengan jelas disebut
isteri dari notaris. Menurut Melis, kalaupun hal itu tidak dinyatakan secara
tegas dalam ketentuan UUJN, namun harus diterima sebagai sesuatu yang pasti,
bahwa isteri dari notaris dan dari para penghadap tidak dapat menjadi saksi.
Menurut pasal 944 K.U.H. Perdata
tidak boleh diambil sebagai saksi pada pembuatan surat wasiat umum para
ahliwaris atau legataris (penerima hibah wasiat), baik keluarga sedarah atau
keluarga semenda mereka sampai dengan derajat ke- empat maupun anak-anak atau
cucu-cucu atau keluarga sedarah dalam derajat yang sama dari notaris, dihadapan
siapa surat wasiat itu dibuat.
Dari pasal 944 tersebut tidak
dapat diketahui dengan jelas, apa yang, dimaksud dengan "keluarga sedarah
dalam derajat yang sama." Sebagian terbesar para penulis mengatakan, bahwa
yang dimaksud ialah derajat yang sama seperti anak-anak dari cucu-cucu, artinya
derajat kedua. Prof. Diephuis mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah anak-anak
semenda dari cucu-cucu semenda dari notaris.
Dalam hubungan ini timbul
pertanyaan, apakah pasal-pasal itu hubungannya saling melengkapi dengan pasal
944 K.U.H. Perdata dari karenanya ketentuan-ketentuan dari kedua pasal tersebut
sama-sama berlaku untuk surat wasiat atau ketentuan UUJN tidak berlaku untuk
surat-surat wasiat dan hanya pasal 944 K.U.H. Perdata yang berlaku untuk itu.
Pendapat yang umum ialah, bahwa kedua pasal tersebut sama-sama berlaku untuk
surat-surat wasiat.
Juga berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan tersebut sering timbul pertanyaan, apakah suami dapat
bertindak sebagai saksi dalam surat
wasiat isterinya, di dalam mana ia tidak memperoleh keuntungan apa-apa? Dapat
dikemukakan, bahwa sungguhpun dapat dipastikan, bahwa itu bukanlah maksud dari
pembuat undang-undang, hal itu tidak dilarang, oleh karena antara suami dan
isteri tidak terdapat yang dinamakan "zwagerschap" dan si isteri juga
tidak dapat dianggap termasuk dalam keluarga semenda. Akan tetapi di mana
berdasarkan pasal 1910 K.U.H. Perdata yang satu tidak dapat bertindak sebagai
saksi dari yang lainnya di muka pengadilan, maka suami tidak juga dapat
bertindak sebagai saksi dalam surat
wasiat dari isterinya.
Perkataan "penghadap"
yang dimaksud dalam UUJN. harus diartikan dalam arti biasa, yakni orang yang
datang menghadap kepada notaris.
Pelanggaran terhadap ketentuan
dalam UUJN. menyebabkan, bahwa akta itu, sebegitu jauh akta itu tidak memuat
kemauan terakhir, hanya mempunyai kekuatan seperti akta di -bawah tangan, jika
itu ditanda tangani oleh para penghadap, dengan tidak mengurangi kewajiban dari
notaris untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang berkepentingan,
jika terdapat alasan untuk itu. Jika akta yang dibuat itu merupakan surat
wasiat, maka wasiat itu adalah batal.
From: herman.adriansyah ; To: Notaris_Indonesia
; Sent: Wednesday, November 03, 2010 6:15 AM ; Subject: Re: Definisi Saksi
Dalam Akta Notaris Vs Saksi di Persidangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar