Jumat, 10 Oktober 2014

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI AKTA NOTARIS DAN RAHASIA JABATAN NOTARIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI AKTA NOTARIS DAN RAHASIA JABATAN NOTARIS


Kehadiran Majelis Pengawas Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 66 UUJN telah memberikan harapan mengenai seharusnya seperti apa Notaris dan akta Notaris dinilai oleh insitusi yang memahami dan mengerti Notaris. Sudah tentu dalam melakukan pemeriksaan Notaris atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan, MPD akan bersidang dan menilai tindakan Notaris dan akta Notaris yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris  (UUJN) dan Hukum Kenotariatan Indonesia.

Ketika MPD tidak mengizinkan seorang Notaris untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan alasan Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta telah sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang benar berdasarkan UUJN, maka untuk Notaris yang bersangkutan telah selesai perbuatan hukumnya, artinya, akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal dan materil.

Dalam praktek sekarang ini banyak ditemukan suatu kenyataan, ketika seorang Notaris oleh MPD tidak diizinkan untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, maka (khususnya Penyidik dari Kepolisian) akan berupaya untuk mencari cara atau celah lain, dengan maksud untuk memperoleh kebenaran materil, dan yang dilakukan oleh Penyidik yaitu memanggil saksi-saksi akta. atau membidik saksi-saksi yang tersebut dalam akhir akta, dengan keterangan yang diperoleh dari saksi akta tersebut, berharap dapat memeriksa Notaris yang bersangkutan atau terkadang dibalik para saksi akta dipanggil terlebih dahulu, setelah mendapat keterangan dari para saksi tersebut, kemudian Penyidik akan memanggil Notarisnya melalui MPD. Sehingga apakah yang dilakukan oleh Penyidik, hakim atau Kejaksaan sesuatu yang benar menurut UUJN ? Apakah ini berarti  telah terjadi membuka rahasia jabatan Notaris melalui Saksi Akta ?

Kita bisa membayangkan  tidak akan ada kepastian hukum, jika saksi dalam akta Notaris diperlakukan seperti itu, dan selama hidupnya saksi akta akan dihantui pemanggilan oleh penyidik entah kapan saja, tidak menutup kemungkinan ketika mantan saksi tersebut sudah tua renta tanpa daya dan upaya dipanggil sebagai saksi oleh Penyidik.

Saksi secara umum. Saksi  ada 2 (dua), yaitu :
(1)     mereka yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang jadi persoalan, dan
(2)     saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum dilakukan  sengaja telah diminta untuk menjadi saksi.

Menurut Pasal 171 HIR bahwa yang diterangkan oleh saksi adalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana ia sampai mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian.

Kedudukan Saksi Akta Notaris berbeda dengan saksi pada umumnya sebagaimana tersebut di atas. Selain Akta Notaris atau saksi pada umumnya merupakan saksi yang mendengar, melihat sendiri suatu peristiwa yang terjadi, misalnya jika terjadi jual beli dan dilakukan penyerahan uang pembelian dari pembeli kepada penjual, maka secara fisik saksi tersebut melihat sendiri peristiwa tersebut.

Tapi dalam saksi akta, jika para pembeli telah menyerahkan uang pembelian kepada penjual yang dilakukan transfers antar bank, yang hanya dapat dibuktikan dengan bukti transfers, kemudian akta jual belinya di hadapan Notaris, apakah sama pengetahuan saksi pada kedua peristiwa hukum tersebut mengenai penyerahan uang pembelian  ?  Maka saksi selain saksi akta mengetahui dengan betul peristiwa hukum yang terjadi dalam transaksi tersebut, sedangkan saksi akta tidak tahu apapun tentang penyerahan uang tersebut secara fisik. Berdasarkan ilustrasi sederhana  tersebut bahwa kedudukan saksi akta Notaris merupakan perintah undang-undang (UUJN) untuk memenuhi syarat formal akta Notaris.

Saksi Akta Notaris merupakan para saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrumen), maka dari itulah disebut Saksi Instrumentair (Instrumentaire Getuigen). Mereka dengan jalan membubuhkan tanda tangan mereka, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang diharuskan oleh UUJN, yang disebutkan dalam akta tersebut.

Bahwa salah satu syarat formal akta Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 38  UUJN, dan mengenai Saksi (Saksi Instrumentair) ini ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (4) huruf c UUJN, bahwa pada akhir atau penutup akta harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi. Ketika syarat formal ini tidak dipenuhi, maka akta tersebut terdegradasi kedudukannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (Pasal 1869 – 1870 KUHPerdata).  

Secara keseluruhan akta Notaris, akan disebut akta Notaris lengkap jika semua syarat formal tersebut dipenuhi sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kedudukan saksi akta yang merupakan salah satu syarat formal sudah dipertanggungjawabkan secara hukum, oleh karena itu ketika Notaris oleh MPD tidak diperkenankan untuk memenuhi panggilan Penyidik, yang berarti akta tersebut telah benar secara hukum. Oleh karena itu tidak perlu lagi Penyidik mengambil tindakkan hukum lain, dengan cara memanggil saksi akta untuk diminta keterangan, yang dari keterangan saksi akta tersebut akan dikonfrontasikan dengan Notarisnya atau sebaliknya saksi aktanya dipanggil terlebih dahulu, kemudian dipanggil Notarisnya dan nanti dikonfrontasikan dengan keterangan saksi akta. Cara apapun yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan UUJN dan Hukum Kenotaritan Indonesia.

Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mengandung   makna, yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan, sehingga jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan dan orang yang menjalankan tugas jabatan juga dapat dipercaya yang keduanya saling menunjang.

Oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya punya kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN). Ditegaskan pula dalam Penjelasan huruf e bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut, karena bagaimana jadinya Notaris akan disebut sebagai jabatan yang dipercaya, ternyata rahasia jabatan kepercayaan tersebut dapat dibongkar oleh Penyidik melalui keterangan Saksi Akta yang dipanggil oleh Penyidik ?. Bagi Notaris sendiri melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dijatuhi sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Sehingga ketika Notaris tidak diizinkan MPD untuk memenuhi panggilan Penyidik, tapi kemudian Penyidik bertindak memanggil saksai akta Notaris, maka sebenarnya telah terjadi pembongkaran rahasia jabatan melalui Saksi Akta. Inilah makna yang tidak diketahui dan dipahami oleh Penyidik yang dapat melululantakkan sendi-sendi otensitas akta Notaris.

Padahal seharusnya dipahami, sebuah akta Notaris tidak boleh diperlakukan secara parsial di hadapan hukum, tapi harus dipahami secara menyeluruh (holistic-integral), mulai dari awal akta sampai akhir akta, dengan kata lain pemanggilan saksi akta tersebut membuktikan ketidakmampuan pihak-pihak tertentu tersebut dalam memahami akta Notaris, dengan kata lain pemanggilan saksi akta yang tersebut dalam akhir akta tersebut merupakan suatu penyimpangan dan kesalah-kaprahan dan tidak perlu dilakukan dan telah terjadi pembongkaran rahasia melalui pemanggilan dan keterangan dari Saksi Akta.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita mengerti, jika mereka yang namanya dalam akta sebut karena tidak mau melaksanakan isi akta atau ada pihak yang dirugikan bukan dengan cara menyeret Notaris dan para Saksi Akta kepada kepolisian atau Penyidik. Tapi aktanya yang menjadi dasar, karena akan terjadi ketidak-konsistenan dalam pembuktian, ketika Notaris dan Saksi Aktanya masih hidup, maka Notaris dan Saksi Aktanya akan dimintai keterangan, tapi ketika Notaris dan Saksi Aktanya sudah meninggal dunia, sudah tidak mungkin lagi dimintai keterangan, kecuali dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di atas batu nisan yang bersangkutan. Oleh karena itu fokusnya pada aktanya, bukan mempersoalkan Notaris dan Saksi Akta. Jadi sangat tidak sesuai atau bertentangan dengan UUJN jika Penyidik, Hakim, Kejaksaan memanggil Saksi Akta, karena Saksi Akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari formalitas-formalitas akta Notaris sebagai akta otentik.
CATATAN LAIN :

Pengertian Saksi Dalam Akta Notaris Vs Saksi di Persidangan [1]

[RGS-Tanya] Dearl all rekan-rekan sarjana hukum, notaris atau calon notaris ataupun praktisi hukum yang saya hormati, sehubungan dengan penggunaan istilah saksi dalam suatu akta notaris, apakah pengertian saksi dalam suatu akta BERBEDA dengan pengertian saksi dalam hukum acara di pengadilan perdata atau pidana [litigasi], dimana saksi adalah orang yang mengetahui, mendengar, melihat atau mengalami langsung, jadi saksi dalam hal litigasi menceritakan pengalaman dia di masa lampau. Misalkan seorang saksi dalam suatu persidangan, Ia akan menceritakan [memberi kesaksian] bahwa ia mengetahui bahwa pada tanggal 1 januari 2010 lalu ia, si A dan si B mengadakan transaksi jual-beli dan transaksi jual beli ini ditandatangani dihadapan notaris C ; atau ia melihat langsung si-A memukul si-B dengan sebuah buku sangat tebal sehingga mengakibatkan B kepalanya benjol atau luka. Jadi hampir seluruh peranan saksi di persidangan selalu menceritakan / memberi kesaksian pada peristiwa-peristiwa di masa lampau. Sehingga pertanyaan saya, apakah definisi saksi, yang biasanya nama saksi itu tertuang dalam suatu akta notaris? karena saya yakin saksi yang ditetapkan dalam suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris bukan menceritakan suatu fakta hukum di masa lampau. Mohon petunjuk dan saran sederhana, semoga berkenan.

Terimakasih & salam hormat. Robaga


[Jawab] Dear all,
Saksi-saksi pada pembuatan akta Notaris
Akta-akta notaris, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang telah ada atau yang akan ditetapkan dikemudian hari mengenai bentuk dari beberapa di antaranya, dibuat dihadapan notaris, dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Para saksi harus dikenal oleh notaris atau identitas atau wewenang mereka dinyatakan kepada notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap clan dengan ancaman dikenakan denda, memberitahukan hal itu di dalam akta. Kecuali dalam hal-hal, di mana oleh K.U.H. Perdata dituntut kedudukan yang khusus disebutkan tersendiri mengenai saksi-saksi, maka diperkenankan sebagai saksi-saksi semua orang yang menurut ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata cakap untuk memberikan di muka pengadilan kesaksian di bawah sumpah, mengerti bahasa dalam mana akta itu dibuat dan dapat menulis tanda tangannya.

Saksi-saksi pada pembuatan akta notaris
Dengan perkataan "verleden" yang tercantum dalam UUJN. ini harus diartikan "pembacaan dan penanda tanganan akta," sedang dengan perkataan-perkataan "dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dan seterusnya" dimaksudkan untuk memperingatkan kepada adanya "dua orang saksi," oleh karena jumlah saksi yang diharuskan tidak selalu dua orang. Pasal 940 K.U.H. Perdata misalnya, yang mengatur tentang pembuatan akta penyimpanan surat wasiat rahasia (akte van superscriptie) mengharuskan kehadiran empat orang saksi.
Pertanyaan apakah pada pembuatan suatu akta notaris boleh bertindak lebih dari dua orang saksi, kiranya untuk ini tidak ada larangan. Tidak terdapat satu pasal pun dalam UUJN yang melarang hal itu dan dengan berbuat sedemikian, notaris tidak melampaui wewenangya atau dengan perkataan lain tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UUJN, sedang jumlah saksi yang diharuskan oleh undang-undang ada terpenuhi. Apabila seorang atau lebih di antara mereka tidak memenuhi syarat-syarat positip yang diharuskan oleh UUJN maka akta itu adalah tetap otentik, asal saja ada dua orang dari mereka yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Akan tetapi apabila terhadap salah seorang di antara mereka terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUJN., maka sanksi terhadap pelanggaran itu akan berlaku, sekalipun masih ada dua orang saksi tinggal, terhadap siapa tidak terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal tersebut. Sebenarnya tidak ada gunanya untuk mengadakan lebih dari dua orang saksi, akan tetapi sudah barang tentu, bahwa apabila para pihak meminta atau menghendaki lebih dari dua orang saksi, notaris dalam hal itu tidak dapat menolaknya.

Pengertian mengenai "pihak" dan "saksi"
Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis (dalam hal yang disebut terakhir ini dengan menanda tanganinya), yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri (waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu kejadian.
Jadi saksi adalah orang ketiga (derde). Pengertian-pengertian "pihak" (partij) dan "saksi" -(getuige) adalah pengertian-pengertian yang satu sama lain tidak dapat disatukan.
Pengertian "saksi" dalam UUJN juga adalah menurut pengertian seperti yang diuraikan di atas, sepanjang yang mengenai yang dinamakan "saksi instrumentair" (instrumentaire getuigen), yakni yang disebut dalam UUJN., saksi-saksi mana harus hadir pada pembuatan akta, sedang dengan pembuatan akta dalam hal ini diartikan pembacaan dan penanda tanganan akta.

Para saksi ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrument) itu dan itulah sebabnya mereka dinamakan saksi instrumentair (instrumentaire getuigen). Mereka dengan jalan membubuhkan tanda tangan mereka, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang diharuskan oleh undang-undang, yang disebutkan yang - dalam akta itu dan yang disaksikan oleh para saksi itu.

Saksi instrumentair
Tugas dari para saksi intrumentair ialah :
Sepanjang yang mengenai akta partij (partij-akten), mereka harus hadir pada pembuatan akta itu, dalam arti pembacaan dan penanda tanganan (verlijden) dari akta itu; turut menanda tangani akta itu.

Seperti dikatakan pada sub-1 di atas, para saksi instrumentair harus hadir pada pembuatan, yakni pembacaan dan penanda tanganan akta itu. Hanya dengan hadirnya mereka pada pembuatan akta itu, mereka dapat memberikan kesaksian, bahwa benar telah dipenuhi formalitas-formalitas yang ditentukan oleh undang-undang, yakni bahwa akta itu sebelum ditanda-tangani oleh para pihak, telah terlebih dahulu dibacakan oleh notaris kepada para penghadap dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak yang bersangkutan, hal mana semuanya itu dilakukan oleh notaris dan para pihak dihadapan para saksi-saksi.

Kehadiran saksi-saksi intrumentair pada pembuatan akta-akta tertentu
Dalam pada itu di dalam pembuatan beberapa jenis akta, kehadiran dari para saksi agak berlainan dengan apa yang diuraikan di atas, seperti misalnya pada pembuatan akta berita-acara mengenai pencatatan budel dan perbuatan atau kenyataan yang dimaksud dalam UUJN, pembuatan berita-acara mengenai penyerahan pembayaran tunai (proces-verbaal van aanbod van gerede betaling) dan mengenai protes tidak membayar (protest van non-betaling) yang dimaksud dalam pasal 218b K.U.H. Perniagaan/Dagang (WvK).

Dalam semua hal tersebut, para saksi harus hadir pada penyaksian dari perbuatan atau tindakan yang dilakukan dan pembacaan serta penanda tanganan dari berita-acara yang dibuat mengenai itu. Artinya tidak cukup, bahwa para saksi itu datang pada saat mulai dilakukan pembacaan dari akta itu, akan tetapi mereka (para saksi) harus sudah hadir sejak dari mulanya, yakni dari saat notaris mulai menyaksikan perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Hal ini dapat dengan jelas diketahui dari bunyi pasal UUJN, yang menyebutkan tentang perbuatan atau tindakan yang dilakukan dihadapan notaris pada waktu pembuatan dari akta itu.

Oleh karena menurut bunyi pasal UUJN. para saksi harus hadir pada pembuatan akta itu, maka dapat diketahui dengan jelas, bahwa perbuatan atau tindakan itu tidak dapat disaksikan di luar kehadiran dari para saksi.

Selain dari itu juga diadakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai cara kehadiran para saksi pada pembuatan dan peresmian surat-surat wasiat, pada penerimaan penyimpanan surat wasiat olografis dan surat wasiat rahasia (lihat pasal 932 dan pasal-pasal 938-941 K.U.H. Perdata).

Dari sifat kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang dikonstatir itu dan penanda tanganan dari akta itu. Dalam pada itu para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu dan juga bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.

Oleh undang-undang tidak ada diwajibkan secara tegas kepada para saksi untuk merahasiakan isi akta itu, sehingga terhadap mereka tidak dapat diperlakukan ketentuan dalam pasal 322 K.U.H. Pidana. Mereka dalam kedudukannya sebagai saksi tidak menjabat suatu jabatan atau pekerjaan sebagai yang dimaksud dalam pasal tersebut. Dalam pada itu, apabila mereka membocorkan isi akta itu, perbuatan itu dapat merupakan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) seperti yang dimaksud dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para saksi instrumentair
Undang-undang menentukan beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para saksi, yang dapat dinamakan syarat-syarat positip dan syarat-syarat negatip, yang masing-masing disebutkan dalam pasal- pasal UUJN.

Mengenai pertanyaan, apakah para saksi yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, harus dinilai pada sa'at pembuatan dari akta itu. Apa yang terjadi sebelumnya atau apa yang akan terjadi sesudahnya tidak menjadi soal. Yang menentukan adalah pada sa'at akta itu dibuat.

Apabila para saksi tidak memenuhi syarat-syarat positip yang ditentukan oleh UUJN, maka akta itu tidak memperoleh kekuatan sebagai akta otentik, akan tetapi hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, sebegitu jauh itu ditanda tangani oleh para pihak, dengan tidak mengurangi kewajiban dari notaris yang bersangkutan untuk membayar ongkos, ganti rugi dan bunga kepada yang berkepentingan, apabiia terdapat alasan untuk itu.

Syarat-syarat yang ditentukan oleh UUJN, adalah :

a. para saksi harus dikenal oleh notaris atau identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap, dengan kewajiban bagi notaris untuk memberitahukan hal itu dalam akta yang bersangkutan;
b. para saksi harus cakap menurut ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata untuk memberikan di bawah sumpah kesaksian di muka pengadilan;
c. para saksi harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat;
d. para saksi harus dapat menulis tanda tangan mereka. ad a. Pengertian dari "dikenal" yang dimaksud dalam UUJN. tersebut ialah, bahwa nama dari orang-orang yang dicantumkan dalam akta itu benar-benar adalah sama dengan orang-orang yang bertindak sebagai saksi-saksi pada pembuatan akta itu; -mereka yang nama-namanya disebut dalam akta itu harus sesuai dengan orang-orang, sebagaimana mereka itu dikenal di dalam orang-orang, sebagaimana nama-nama yang disebutkan dalam akta itu benar­benar dipakai oleh orang-orang yang bersangkutan.

ad. 1/
Yang dimaksud dengan "dikenal" ini tidak terbatas pada "identitas" dari para saksi itu, akan tetapi juga meliputi wewenang mereka. Hal ini jelas dapat dilihat dari UUJN, di mana dikatakan bahwa apabila para saksi tidak dikenal oleh notaris, maka identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap dan hal mana harus dinyatakan dalam akta yang bersangkutan. Dalam pada itu UUJN hanya mengharuskan adanya pernyataan identitas dan wewenang dalam akta, sedang mengenai keharusan untuk menyatakan pengenalan dalam akta samasekali tidak ada disinggung-singgung. Apa akibatnya apabila pernyataan tentang identitas dan wewenang itu tidak dicantumkan dalam akta yang bersangkutan? Apabila nama-nama dari para saksi yang disebut dalam akta itu benar-benar ada sesuai dengan orangorang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu, sebagaimana mereka dikenal di dalam masyarakat, maka akta itu adalah otentik, sedang dalam hal sebaliknya, akta itu kehilangan otentisitasnya. Dengan demikian kelalaian untuk mencantumkan di dalam akta mengenai pernyataan tentang identitas dan wewenang dari para saksi tidak mempunyai pengaruh terhadap otentisitas dari akta itu. Hal ini dapat diketahui dengan jelas dari bahwa di mana dipergunakan perkataan "hanya." Yang menentukan otentisitas dari suatu akta adalah sesuai tidaknya nama-nama dari para saksi yang disebut dalam akta itu dengan orang- orang yang bertindak sebagai saksi-saksi dalam akta itu.

ad 2/
Berdasarkan pasal 1912 K.U.H. Perdata, yang dianggap cakap untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran di muka pengadilan adalah mereka yang telah mencapai umur 15 tahun dan tidak karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap ditaruh di bawah pengampuan ataupun selama perkara sedang bergantung, dimasukkan dalam tahanan.

ad 3/
Syarat lain yang harus dipenuhi oleh para saksi ialah, bahwa mereka harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat. Para saksi pada pembuatan surat wasiat harus memenuhi syarat khusus, yakni mereka harus mengerti bahasa yang dipergunakan oleh pewaris (pasal 944 K.U.H. Perdata). Untuk pembuatan akta-akta lainnya cukup, apabila para saksi mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat. Selain dari pada itu, pasal 944 K.U.H. Perdata menetapkan, bahwa para saksi pada pembuatan surat wasiat harus sudah dewasa dan harus penduduk dari Indonesia.

ad 4/
Para saksi harus dapat menulis tanda tangan mereka. Para saksi tidak harus betul-betul pandai menulis, asai saja mereka dapat menulis tanda tangan mereka, maka telah terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Para saksi di dalam menulis tanda tangan mereka tidak boleh dikendalikan oleh orang lain. Dalam hal terjadi sedemikian, maka yang menulis adalah orang lain itu dan bukan para saksi.

Dengan dikendalikannya penulisan tanda tangan dari para saksi oleh orang lain justru membuktikan, bahwa para saksi itu tidak bisa menulis tanda tangan mereka. Juga tidak terpenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, apabiia para saksi hanya membubuhkan tanda silang atau parap atau cap (stempel). Undang-undang mengharuskan penanda tanganan dengan nama.

Apakah seorang buta-tuli dapat menjadi saksi dalam akta notaris
Timbul pertanyaan, apakah seorang buta-tuli, buta atau tuli dapat menjadi saksi?
Para saksi tidak boleh orang yang tuli ataupun buta. Undang-undang mengharuskan, bahwa saksi harus mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta dan ia harus dapat mendengarkan pembacaan dari isi akta itu. Oleh karena itu seorang yang tuli tidak mungkin menjadi saksi pada pembuatan suatu akta. Juga seorang saksi harus menanda tangani akta itu. Dengan demikian ia harus dapat mengetahui dan menyaksikan, apakah akta yang dibacakan itu ada sama dengan akta yang ditanda tanganinya.

Selain dari itu juga harus dapat menyaksikan, bahwa para penghadap menanda tangani akta itu. Oleh karena itu seorang saksi harus tidak buta. Dengan penanda tangan akta itu, seorang saksi memberikan kesaksian, bahwa formalitas-formalitas yang disebutkan dalam akta itu benar-benar ada dilakukan.

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam K.U.H. Perdata, maka tidak boleh diambil sebagai saksi keluarga sedarah dan keluarga semenda, baik dari notaris maupun dari para penghadap sampai dengan derajat ketiga, demikian juga pembantu rumah tangga dari notaris.

Dalam hal terjadi pelanggaran pasal ini atau pasal sebelumnya, maka akta itu sebegitu jauh tidak memuat kemauan terakhir, hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan, jika itu ditanda tangani oleh para penghadap, dengan tidak mengurangi kewajiban dari notaris untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang berkepentingan,jika terdapat alas an untuk itu.

Para keluarga sedarah dan keluarga semenda sampai dengan derajat ketiga dari para pembeli, penyewa, pengepah atau pemborong atau penjamin pada penjualan dimuka umum, penyewaan, pengepakan atau pemborongan, demikian juga dari para anggota dari rapat, dari yang dibicarakan dalam rapat mana oleh notaris dibuat berita-acara, dapat dalam hal ini diambil sebagai saksi.

Dapatkah isteri dari notaris menjadi saksi dalam akta yang dibuat oleh notaris itu?
Di dalam ketentuan UUJN tidak ada disebut isteri dari notaris ataupun isteri dari para penghadap, sehingga ada orang yang berpendapat, bahwa notaris tidak dilarang untuk mengambil sebagai saksi isterinya atau isteri dari para penghadap. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa antara notaris dari isterinya ataupun antara para penghadap dan isteri mereka tidak terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda.

Berbeda dengan halnya dalam pasal-pasal 20 dan 21 P.J.N menurut stbl 1830-3., di mana dengan jelas disebut isteri dari notaris. Menurut Melis, kalaupun hal itu tidak dinyatakan secara tegas dalam ketentuan UUJN, namun harus diterima sebagai sesuatu yang pasti, bahwa isteri dari notaris dan dari para penghadap tidak dapat menjadi saksi.

Menurut pasal 944 K.U.H. Perdata tidak boleh diambil sebagai saksi pada pembuatan surat wasiat umum para ahliwaris atau legataris (penerima hibah wasiat), baik keluarga sedarah atau keluarga semenda mereka sampai dengan derajat ke- empat maupun anak-anak atau cucu-cucu atau keluarga sedarah dalam derajat yang sama dari notaris, dihadapan siapa surat wasiat itu dibuat.
Dari pasal 944 tersebut tidak dapat diketahui dengan jelas, apa yang, dimaksud dengan "keluarga sedarah dalam derajat yang sama." Sebagian terbesar para penulis mengatakan, bahwa yang dimaksud ialah derajat yang sama seperti anak-anak dari cucu-cucu, artinya derajat kedua. Prof. Diephuis mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah anak-anak semenda dari cucu-cucu semenda dari notaris.

Dalam hubungan ini timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal itu hubungannya saling melengkapi dengan pasal 944 K.U.H. Perdata dari karenanya ketentuan-ketentuan dari kedua pasal tersebut sama-sama berlaku untuk surat wasiat atau ketentuan UUJN tidak berlaku untuk surat-surat wasiat dan hanya pasal 944 K.U.H. Perdata yang berlaku untuk itu. Pendapat yang umum ialah, bahwa kedua pasal tersebut sama-sama berlaku untuk surat-surat wasiat.

Juga berkenaan dengan ketentuan-ketentuan tersebut sering timbul pertanyaan, apakah suami dapat bertindak sebagai saksi dalam surat wasiat isterinya, di dalam mana ia tidak memperoleh keuntungan apa-apa? Dapat dikemukakan, bahwa sungguhpun dapat dipastikan, bahwa itu bukanlah maksud dari pembuat undang-undang, hal itu tidak dilarang, oleh karena antara suami dan isteri tidak terdapat yang dinamakan "zwagerschap" dan si isteri juga tidak dapat dianggap termasuk dalam keluarga semenda. Akan tetapi di mana berdasarkan pasal 1910 K.U.H. Perdata yang satu tidak dapat bertindak sebagai saksi dari yang lainnya di muka pengadilan, maka suami tidak juga dapat bertindak sebagai saksi dalam surat wasiat dari isterinya.

Perkataan "penghadap" yang dimaksud dalam UUJN. harus diartikan dalam arti biasa, yakni orang yang datang menghadap kepada notaris.

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam UUJN. menyebabkan, bahwa akta itu, sebegitu jauh akta itu tidak memuat kemauan terakhir, hanya mempunyai kekuatan seperti akta di -bawah tangan, jika itu ditanda tangani oleh para penghadap, dengan tidak mengurangi kewajiban dari notaris untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang berkepentingan, jika terdapat alasan untuk itu. Jika akta yang dibuat itu merupakan surat wasiat, maka wasiat itu adalah batal.

From: herman.adriansyah ; To: Notaris_Indonesia ; Sent: Wednesday, November 03, 2010 6:15 AM ; Subject: Re: Definisi Saksi Dalam Akta Notaris Vs Saksi di Persidangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar