Kontrak
(perjanjian) adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “.
(Subekti, 1983:1).
Melalui
kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para
pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal
ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku
khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan
berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran
kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan
tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku
III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga
mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan
melawan hukum.
Dalam
KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan
khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus)
yang namanya sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain
KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk
hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang
Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang
sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas
hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak
apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya
dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak
mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek
kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan
adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1.
Mengenai terjadinya perjanjian
Asas
yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi
apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus,
consensualisme).
2.
Tentang akibat perjanjian
Bahwa
perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri.
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa
perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang
bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3.
Tentang isi perjanjian
Sepenuhnya
diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid
atau partijautonomie) yang
bersangkutan.
Dengan
kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu
diperbolehkan.
Berlakunya
asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang menentukan bahwa :
“setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
Jadi,
semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi
syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan.
Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di
dalam isi sebuah kontrak.
Syarat
Sahnya Kontrak
Dari
bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah
perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal
1320 KUH Perdata.
Pasal
1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada
kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1.
Kesepakatan
Yang
dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling
memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar
paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2.
Kecakapan
Kecakapan
di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh
hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum
cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang
ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah
pengawasan (curatele), dan orang
sakit jiwa.
Anak-anak
adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum
berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin
dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal
tertentu
Hal
tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas,
setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk
apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya.
Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja,
tanpa penjelasan lebih lanjut.
4.
Sebab yang dibolehkan
Maksudnya
isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya
memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah
tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Kontrak
(perjanjian) adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “.
(Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak
terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban
pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak
terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini
fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus
terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku
melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak
atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang
kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di
samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur
perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan
hukum.
Dalam KUH Perdata
terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang
berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya
sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian
khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan,
pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH
Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum.
Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga
Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa
beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum
penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan
berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik
yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas
menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena
terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek
kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan
adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1.
Mengenai terjadinya perjanjian
Asas yang disebut
konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah
adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2.
Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai
kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan
dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah
diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang
melakukan perjanjian tersebut.
3.
Tentang isi perjanjian
Sepenuhnya
diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid
atau partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain
selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan,
mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas
kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
menentukan bahwa :
“setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Jadi, semua
perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat,
berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas
untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah
kontrak.
Syarat
Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal
1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang
sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH
Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan,
kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1.
Kesepakatan
Yang dimaksud
dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan
menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau
kekhilafan.
2.
Kecakapan
Kecakapan di sini
artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum
dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap
untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan
hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan
(curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah
mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18
(delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah
dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3.
Hal tertentu
Hal tertentu
maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya
dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk
memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya
kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan
tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas
semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan
lebih lanjut.
4.
Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi
kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya
memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah
tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar