Kamis, 28 Januari 2021

Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Menerapkan Tanggung Jawab Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup Melalui UU Money Laundering Dan UU Perseroan Terbatas

 

Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Menerapkan Tanggung Jawab Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup Melalui UU Money Laundering Dan UU Perseroan Terbatas

 

A.            Pendahuluan

Dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional, diarahkan bahwa dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional.[1]

Adapun beberapa hal yang menjadi kekhawatiran dan rencana pembangunan nasional berkenaan dengan lingkungan hidup antara lain :

1.             Kondisi sumber daya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan atas lahan dan sumber daya hutan yang tidak pada tempatnya, meluasnya perambahan dan konversi hutan alam, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Tahun 2004, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi setiap tahun mencapai 1,6-2 juta hektar;

2.             Sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan; (5) adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan;

3.             Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum diakui. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

4.             Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik antar wilayah, antara pusat dan daerah, serta antar penggunaan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi.

Penurunan kualitas lingkungan pada prinsipnya akan terus menerus terjadi secara alamiah, hukum lingkungan mengatur kegiatan manusia yang mempercepat penurunan kualitas lingkungan melalui suatu kegiatan usaha yang hanya mungkin apabila kegiatan usaha tersebut dilaksanakan oleh suatu korporasi yang berbadan hukum dan kegiatan usahanya diduga dapat mencemari dan merusak lingkungan serta memberikan dampak besar dan penting kepada lingkungan.

Secara umum untuk menanggulangi masalah pencemaran/perusakan lingkungan hidup harus ada kerjasama yang terpadu antara pihak eksekutif (melalui departemen yang terkait) dengan pihak yudikatif (pihak peradilan) untuk menegakkan UUPLH sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Disamping itu harus ada kerjasama antara dua lembaga tingi negara lainnya, yaitu Presiden dan DPR (dalam hal ini bertujuan untuk mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup Indonesia). Agar suatu undang-undang (UUPLH) dipatuhi oleh masyarakat sebagai individu maupun kelompok masyarakat, perusahaan dan sebagainya, maka dalam UUPLH ini ditetapkan adanya suatu sanksi, yaitu sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta adanya tindakan tata tertib. Keempat sanksi ini harus ditegakkan dan diterapkan oleh lembaga yang terkait baik lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif sesuai dengan kewenangan dari lembaga itu masing-masing.[2]

Dalam sistem hukum lingkungan di Indonesia, penegakan hukum menjadi sangat penting dalam perlindungan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ditujukan untuk penegakan hukum secara hukum administrasi melalui pengadilan tata usaha Negara, pengadilan Umum (Perdata dan Pidana).

Dalam salah satu kasus tindak pidana korporasi, Pengadilan Negeri Manado dalam Putusannya Nomor 284/Pid/B/2005/PN Manado Tanggal 17 November 2006, dengan mendasarkan pada unsur Menimbang menyatakan bahwa PT. NMR Manado (Terdakwa I) dan Richard Bruce Ness (Terdakwa II) tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana.

Putusan Pengadilan Negeri Manado ini antara lain didasarkan kepada pertimbangan pemerintah selama ini tidak pernah memberi peringatan/teguran apalagi sanksi kepada PT. NMR berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Pertimbangan lain adalah bahwa tidak terbukti kalau perkara dengan Terdakwa I dan II telah memenuhi kriteria bahwa sanksi bidang hukum lain (administrasi, perdata, mediasi/ADR) tidak efektif dan tidak ditaati oleh PT. NMR.[3]

Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Ketentuan dalam penjelasan tersebut menggambarkan bahwa secara materiil penegakan hukum pidana dapat diterapkan sebagai pilihan utama (premium remedium) bagi setiap korporasi yang melakukan kegiatan usaha dalam pengelolaan lingkungan hidup selain pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

B.            Kerangka Teoretis

1.             Korporasi Sebagai Subyek Hukum Tindak Pidana

Dalam hukum dikatakan, bahwa tiap-tiap yang membawa hak dan kewajiban adalah subyek hukum. Oleh karena itu subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak serta kewajiban dalam lalu lintas hukum.

Subyek hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subyek hukum ituah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum. Dalam literatur hukum, terdapat dua macam subyek hukum, yaitu manusia dan badan hukum.[4]

Jadi setiap subyek hukum baik orang maupun badan hukum pada umumnya dapat mempunyai hak dan kewajiban. Sehingga kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban tersebutlah yang dinamakan kewenangan hukum.[5]

a.             Manusia

Pada prinsipnya manusia mempunyai hak sejak lahir, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.[6] Hanya yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yang tidak memiliki kewenangan dan kecakapan tersebut sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1329 KUHPerdata.

Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak ia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup (Pasal 2 KUHPerdata). [7]

Hal ini mempunyai arti penting apabila kepentingan anak itu menghendakinya, misalnya dalam hal menerima warisan, menerima hibah. Asas ini dapat diikuti dalam pembinaan hukum perdata nasional.

b.             Badan Hukum (Korporasi)

Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum dalam bahasa Belanda disebut “rechtpersoon”. Rechtpersoon adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.[8]

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Menurut ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu:[9]

a).           Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah;

b).           Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti perseroan terbatas, koperasi;

c).           Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan.

Dengan menyandang hak dan kewajban tersebut tidak setiap subyek hukum dapat disebut memiliki kecakapan hukum. Artinya tidak setiap subyek hukum dapat dianggap cakap dalam melaksanakan beberapa hak dan kewajiban. Hal tersebut biasanya berlaku bagi subyek hukum berupa manusia (persoon).

Sedangkan bagi badan hukum, antara kewenangan hukum dan kecakapan hukum diperolehnya pada saat memperoleh pengakuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat badan hukum tersebut berdiri.

Badan hukum ini tentunya berbuat melalui perantara, yaitu pengurus, karena badan hukum hanya merupakan suatu pengertian, yang bertindak selalu orang-orang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1655 KUHPerdata.[10]

Hal tersebut biasanya juga termuat dalam anggaran dasar atau undang-undangnya maupun dalam anggaran rumah tangga dari badan hukum tersebut yang mencantumkan atau menunjuk siapa saja yang dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) untuk badan hukum tersebut.

Perumusan korporasi ini, dapat diartikan secara luas maupun sempit. Perumusan korporasi dalam arti sempit yaitu korporasi sebagai badan hukum  a corporation is a legal person artinya korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian seperti dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya sumpah palsu, perkosaan, dan sebagainya.[11] Dalam arti luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Arti sempit, korporasi mempunyai figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja. Artinya bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya. Menurut hukum perdata yang diakui, mendirikan korporasi adalah orang manusia (natural person) dan badan hukum.

Dalam hukum pidana bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV dan persekutuan, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Juga sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi.[12]

Menurut Suprapto yang menyatakan bahwa korporasi seperti halnya manusia memiliki kesalahan, akan tetapi kesalahan tersebut adalah kesalahan yang bersifat kolektif.[13] Kesalahan tersebut dapat berupa pengetahuan dan kehendak bersama dari sebagaian besar pengurus korporasi atau pengetahuan dan kehendak bersama dari individu-individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.[14] Korporasi atau badan hukum dalam hukum perdata merupakan manusia yang diciptakan oleh hukum yang terdiri atas kumpulan individu. Korporasi dapat melakukan perbuatan melalui individu-individu tersebut yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.[15]

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model-model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut:[16]

a.             Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab,

b.             Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab,

c.             Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dianut di dalam KUHP, dimana KUHP tidak mengenai korporasi sebagai subyek hukum. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 59 KUHP, yaitu sebagai berikut:

Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

 

Dengan kalimat Pasal 59 KUHP yang demikian itu, maka sekalipun pengurus korporasi bertindak mewakili korporasi atau bertindak atas nama korporasi, ketika suatu peristiwa yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana itu terjadi karena perbuatan pengurus korporasi tersebut, bukan korporasi yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidananya, tetapi pribadi-pribadi pengurus korporasi itu.[17] 

Hal ini menguatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP. Hanya manusialah yang dikenal oleh KUHP sebagai subjek hukum pidana. Apabila pengurus suatu korporasi melakukan perbuatan hukum dalam kapasitasnya mewakili korporasi, sehingga karena itu bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya tidak dibebankan kepada korporasi, tetapi kepada pribadi-pribadi pengurus yang bersangkutan.

Namun seiring terjadi perkembangan dalam masyarakat, ternyata badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang tertentu pidana yang diberikan adalah berupa (reele execute) terhadap harta kekayaannya. Sekalipun dalam Pasal 59 dan 169 KUHP ada ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, tetapi kesan pasal tersebut ternyata tertuju kepada manusianya, yaitu siapa yang ikut dalam perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.

Jadi sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP saja yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya badan hukum,[18] yaitu antara lain, seperti:

a.             Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15),

b.             Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,

c.             Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos,

d.             Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,

e.             Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

f.               Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai,

g.             Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,

h.             Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

i.               Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

j.               Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

k.             Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

l.               Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan,

m.           Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

n.             Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan lain sebagainya.

Pembagian badan hukum menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal dua macam badan hukum, yakni:

a.             Badan hukum orisinil, yaitu negara. Contohnya Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945,

b.             Badan hukum yang tidak orisinil, yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata, yang menyatakan:

“Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui juga perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.”

 

Menurut pasal tersebut ada empat jenis badan hukum, sebagai berikut:[19]

a.             Badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum, misalnya propinsi, bank-bank yang didirikan oleh negara,

b.             Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum, misalnya perseroan, maupun subak di Bali,

c.             Badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan,

d.             Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud/ tujuan tertentu.

e.             Badan hukum jenis ketiga dan keempat ini dinamakan pula badan hukum dengan konstruksi keperdataan.

 

2.             Doktrin Piercing The Corporate Veil

Perseroan Terbatas mempunyai ciri utama yaitu Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham, anggota Direksi dan Komisaris, yaitu sebesar saham yang dimasukkanya ke dalam Perseroan tersebut.

Pasal 40 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab untuk lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. Kemudian hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UU PT) bahwa pemegang saham perseroan terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan terbatas dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan terbatas melebihi saham yang dimilikinya. Dalam penjelasannya dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PT yang mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atau seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT ini, seandainya suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta kekayaan perseroan terbatas ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang perseroan terbatas, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan terbatas tersebut. Akan tetapi, hukum perseroan terbatas pada umumnya, termasuk UU PT Indonesia, menentukan pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab tersebut, yang dalam hukum perseroan prinsip ini dinamakan dengan doctrine piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.

Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, mulailah hukum Indonesia mengakui Doktrin piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) ini sampai batas-batas tertentu, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.

Menurut UU PT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. Dengan dianutnya prinsip atau asas piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan, pertanggungjawaban hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu.

Walaupun demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham tetap kuat tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada direksi atau pemegang saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar bahwa perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari pemegang saham”.[20]

Dimana sebagai konsentrasi di dalam penulisan ini, Penulis menggunakan doctine piercing the corporate veil atau dikenal juga dengan nama lifting the corporate veil. Doctrine piercing the corpoarte veil ini mengajarkan bahwa pada dasarnya pertanggungjawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam perseroan berbadan hukum adalah terbatas. Namun pertanggungjawaban tersebut tidak berlaku mutlak. “Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum dijadikan sebagai vihicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma hukum”.[21]

Oleh karena itu, timbul suatu prinsip yaitu piercing the corproate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas.

Dalam Black’s Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan sebagai berikut:[22]

Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g. when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attended limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying of injustice.”

 

(è terjemahan bebas: Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktifitas perusahaan: misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman.)

Doktrin piercing the corporate veil tidak diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD), tetapi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah menjadi Undnag-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UU PT). Doktrin ini mengajarkan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanyaterbatas pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing).[23]

Prinsip piercing the corporate veil ini hanya dikenal dan berkembang dalam konsep hukum perseroan negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System, yang kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum perseroan Indonesia.[24]

Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab dari pemegang saham dikenal dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam Bahasa Indonesia selalu diartikan “menyingkap tabir atau cadar perseroan.

Tabir atau cadar yang disingkap dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT.

Secara harfiah istilah piercing the corporate veil diartikan “mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.[25] Sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan: Suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab kepada orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.[26]

Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers” dan “managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka.

Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil).

Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan ketika ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut.[27] Doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum. Beberapa contoh fakta yang secara universal teori piercing the corporate veil ini dapat diterapkan antara lain sebagai berikut: [28]

a.             Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil).

b.             Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.

c.             Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.

d.             Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.

e.             Terjadi transfer modal/asset kepada pemegang saham.

f.               Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.

g.             Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan.

h.             Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi.

i.               Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping. Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan  dengan dana milik pribadi pemegang saham.

j.               Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban kebakaran, pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah untuk setiap taxi yang dimilikinya.

k.             Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan asset yang banyak, mengingat pemegang sahamnya memang memiliki asset yang besar.

l.               Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar,  kecenderungannya untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal.

m.           Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebut sebagai instrumentally, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.

n.             Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum (openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal yang tidak pantas (improper conduct).

o.             Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi criminal (quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.

Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat dijatuhkan sanksi adalah sebagai berikut:[29]

a.             terjadinya penipuan;

b.             didapatkan suatu ketidakadilan;

c.             terjadinya suatu penindasan (oppression);

d.             tidak memenuhi unsur hukum (illegality);

e.             dominasi pemegang saham yang berlebihan;

f.               perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya

3.             Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi

a.             Doctrine Identification

Doctrine identification merupakan salah satu doktrin yang digunakan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Doktrin ini berasal dari Inggris. Dalam doktrin ini korporasi dipandang memiliki unsur kesalahan atau mens rea[30] dan dapat melakukan perbuatan. Korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana melalui individu-individu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan korporasi dan dapat dipandang sebagai korporasi tersebut.[31] Dalam hal ini kedudukan individu-individu tersebut begitu pentingnya dalam korporasi yang bersangkutan sehingga pikiran, kehendak dan perbuatannya dapat diidentifikasikan sebagai kehendak dan perbuatan dari korporasi.

Individu-individu tersebut ialah mereka yang menduduki posisi strategis dan berada dipuncak dalam struktur kepengurusan korporasi yang dapat melakukan pengendalian atas kebijakan korporasi. Mereka bukanlah bertindak untuk dan atas nama korporasi tetapi bertindak sebagai korporasi.[32]

b.             Doctrine Aggregation

Doctrine aggregation lahir atas ketidakpuasan doctrine identification yang dianggap tidak memadai dalam mengatasi kenyataan proses pengembalian keputusan dalam korporasi modern yang besar dan memiliki struktur yang komplek. Doctrine aggregation ini merupakan pengembangan dari doctrine vicarious liabilityThis new model reflects interesting processes of change and expansion that have affected the doctrine of vicarious liability.”[33]

Berbeda dengan doctrine identification dimana pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi didasarkan atas kesalahan individu-individu yang merupakan high managerial agent, otak dan pusat syaraf dan pejabat senior yang disebut sebagai directing mind atau alter ego, maka dalam doctrine aggregation untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi disyaratkan ada kombinasi kesalahan dari sejumlah orang baik itu merupakan karyawan biasa maupun mereka yang bertindak sebagai pengurus korporasi. Menurut doktrin ini semua perbuatan dan kesalahan dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan korporasi dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja. Menurut Clarkson dan Keating dalam doctrine identification pengatributan kesalahan kepada korporasi hanya didasarkan pada kesalahan satu orang saja, sedangkan doctrine aggregation untuk dapat mengatributkan kesalahan kepada korporasi harus dapat ditentukan terlebih dahulu suatu kesalahan yang merupakan kombinasi dari kesalahan-kesalahan beberapa orang.[34]

c.             Doctrine of Strict Liability

Strict liability sering diartikan sebagai liability without fault atau

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Dalam hal ini pembuat tindak pidana sudah dapat dipidana jika sudah terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tanpa harus membuktikan unsur kesalahan dari pembuat tindak pidana. Doktrin ini merupakan pengecualian dari doctrine of mens rea yaitu actus non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan.[35] Dalam common law system sesorang dapat dipidana apabila memenuhi dua syarat yaitu perbuatan lahiriah yang terlarang atau actus reus dan sikap batin yang jahat atau mens rea.[36]

d.             Doctrine Vicatious Liability

Doctrine vicarious liability diartikan sebagai the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another atau pertanggungjawaban menurut hukum atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain.[37] Barda Nawawi Arif menyepadankan vicarious liability dengan istilah pertanggungjawaban pengganti, sedangkan Sutan Remy Sjahdeini menyepadankan vicarious liability dengan istilah pertanggungjawaban vikarius.[38]

Vicarious liability merupakan ajaran yang berasal dari hukum perdata dalam common law system, yaitu doctrine of respondeat superior dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adigum qui facit per alium facit per se yang berarti seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri. Dalam hal ini majikan bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh karyawannya sepanjang kesalahan tersebut dilakukan dalam rangka pekerjaannya.[39]

Majikan dianggap harus bertanggungjawab atas seluruh tindakan yang dilakukan oleh karyawan dalam rangka pekerjaannya karena majikan dianggap dapat melakukan tindakan pencegahan atau preventif agar karyawan tersebut tidak

melakukan kesalahaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga.

Dalam hukum pidana doctrine vicarious liability merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan dan asas umum yang berlaku dimana seorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan salah yang dilakukan oleh karyawannya

e.             Management Failure Model

Komisi Hukum di Ingggris telah mengusulkan satu kejahatan pembunuhan tanpa rencana (manslaughter) yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan manajemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefinisikan dengan mengacu ke   kegagalan manajemen (sebagai lawan dari kegagalan korporasi), sebab secara implisit Komisi Hukum Inggris melihat orang-orang dalam korporasi yang melakukan kejahatan dan pra syarat dari kejahatan yang mereka usulkan, yaitu “pembunuhan akibat kesembronoan/kelalaian” tidak tepat diterapkan kepada korporasi. Berdasarkan hal itu, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi.

Dari pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine. Daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan manajemen. Namun demikian, Komisi Hukum Inggris kemudian mendefinisikan kegagalan manajemen sebagai “melakukan kesalahan untuk memastikan keamanan dalam manajemen dan organisasi dalam kegiatan-kegiatan korporasi”. Hal ini sangat potensial memecah organisasi perusahaan dan aktivitas-aktivitasnya sebagai korporasi sendiri daripada secara sederhana memfokuskannya pada tindakan-tindakan individu-individu di dalam perusahaan.

Tetapi doktrin ini akan mengangkat kembali problem lama yang sama, yaitu pekerja yang mana dan sistem yang mana yang dapat dikatakan yang merupakan korporasi ? Secara ringkas, usulan Komisi Hukum Inggris bisa membantu tetapi tidak cukup memadai.

f.               Corporate Mens Rea Doctrine

Gagasan tanggung jawab langsung korporasi semacam ini (sebagai lawan dari attribution doctrines telah diadvokasi dengan besar-besaran di Amerika Serikat dengan menggunakan berbagai nama seperti the "corporate ethos standard" atau "strategic mens rea". Gagasan ini juga diperkenalkan di Australia dan diusulkan di Inggris. Doktrin dikenal dengan istilah "corporate mens rea doctrine". Ide dasar doktrin ini ada karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan dan hirarki yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk suatu etos yang mengijinkan atau bahkan mendorong dilakukannya sebuah kejahatan.

Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi. Sebagai contoh, untuk pembunuhan tanpa rencana (manslaughter), bila satu korporasi gagal mengadakan prosedur keamanan yang nyata dan perlu, pra syarat pengabaian yang berat untuk kejahatan dapat ditemukan dalam praktek korporasi ini dan kelemahan dari kebijakan keselamatan.

Barangkali mudah untuk memahami gagasan tentang pengabaian besar yang dilakukan korporasi tidak membutuhkan unsur mental element. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu kesembronoan (recklessness) atau maksud, dapat ditemukan di dalam kebijakan-kebijakan, operasional prosedur dan lemahnya tindakan pencegahan  korporasi.

Bila budaya korporasi mengijinkan atau mendorong perbuatan salah,   barangkali akan mudah untuk menyimpulkan bahwa korporasi itu sendiri harus telah menduga kemungkinan terjadinya kesalahan atau telah timbul resiko yang serius dan nyata dari hasil kesalahan atau konsekuensi yang sangat pasti terjadi dari maksud yang mungkin sudah diduga.

Poin penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu di dalam perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan terjadi, tetapi apakah dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi dengan baik resiko-resiko telah nyata.

 

C.            Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Menerapkan Tanggung Jawab Pidana Terhadap Korporasi

Topik kejahatan korporasi memang penting untuk didiskusikan, terutama kaitannya dengan pembaharuan KUHP kita yang sekarang naskah terakhirnya sudah sampai di Prolegnas 2012. Kita tidak bisa memungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat penting. Peran mereka mendominasi kehidupan sehari-hari, apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang menyediakan kebutuhan, tapi korporasi. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun revolusi struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehinga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Karena itu korporasi harus memiliki tanggung jawab. Ini seperti setiap individu tidak dapat melukai setiap individu lainnya. Dalam hal ini perlu ada pertanggungjawaban pidana secara tegas, agar korporasi tidak mencemari sungai, pantai atau membahayakan jiwa pekerja atau publik atau lainnya. Juga agar korporasi tidak menjadi tempat tumbuh suburnya tempat korupsi. Berbagai usaha untuk menuntut tanggung jawab korporasi terus dilakukan, namun penuh hambatan, di antara mereka tidak tersentuh oleh hukum. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggungjawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan.[40]

Agar dapat berlaku efektif, maka hukum dalam kegiatannya ditegakkan dengan dukungan sanksi baik sanksi administrasi, sanksi perdata maupun sanksi pidana.[41] Sehingga untuk menjamin dukungan sanksi tersebut, maka haruslah dijalin hubungan harmonisasi dan sinkronisasi pada semua lalu lintas kehidupan bersama, dengan menjadikan satu panduan sebagai pedoman berkaitan mengenai bagaimana seharusnya bertindak dan diharapkan bertindak.

Suatu korporasi yang memfokuskan diri kepada peningkatan perekonomian dengan mengeksplorasi sumber daya alam dan/atau memanfaatkan alam sebagai ‘bejana’ dalam aktifitasnya, memunculkan permasalahan lingkungan hidup yang patut menjadi perhatian yang cukup ketat.

Hampir sebahagian besar, Korporasi multinasional (MNCs) pada akhirnya merampok kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.

Dari hasil eksploitasi dan eksplorasi yang tanpa arah yang jelas tersebut, korporasi mengatasnamakan HAM, korporasi mendapatkan banyak sekali keuntungan finansial. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.[42]

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.

Oleh korporasi multinasional tersebut, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.

Termasuk dampak yang ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa bahwa hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan tersebut tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan lingkungan.

Laporan 6 Nopember 2009 dari Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau Sumatera  dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.

Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros  lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai  pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan dataran tinggi  hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan  PT RAPP, IKPP dan anak anak perusahaannya . Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang.

Diperolehnya keuntungan yang besar dari perusakan lingkungan hidup, baik SDA maupun masyarakatnya, Penulis berpendapat, bahwa pada prinsipnya merupakan kerugian bagi Negara. Bahwa komponen pembentukan suatu Negara adalah diantaranya batasan wilayah tertentu, dalam artian pulau-pulau, dan rakyat, dalam artian masyarakat. Sehingga kerusakan yang timbul baik yang dialami oleh daerah-daerah tertentu dan sekelompok masyarakat, hendaknya dapatlah dianggap sebagai kerugian terhadap keuangan negara. Hal ini dilandaskan pula dengan akan semakin meningkatnya pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk melakukan recovery kepada daerah-daerah yang telah tereksploitasi dan tereksplorasi.

Penjeratan korporasi sebagai subyek hukum pelaku tindak pidana selalu mengalami tarik ulur kepentingan. Penerapan ultimum remedium dianggap sebagai suatu senjata ampuh untuk menghindarkan diri dari jeratan pidana, dengan memunculkan isu corporate social responsibility (CSR) kepada korporasi yang memanfaatkan alam untuk mencari keuntungan.

Isu tanggung jawab sosial (social corporate responsibility) adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Disini terdapat tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan dan masyarakat disekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji standar moral seseorang atau standar moral masyarakat.[43]

Aktivitas ekonomi dan perkembangan kelembagaan yang mewadahinya telah berjalan secara asimetris. Aktivitas ekonomi yang terkonstruksi melalui aktivitas individu bersifat sangat dinamis. Karakter ini dapat ditengarai melalui sifatnya yang mengglobal, bersifat cair dan akomodatif terhadap setiap perkembangan baru, hampir pada semua aspek kehidupan masyarakat, jauh lebih inovatif, dan tidak (kurang) birokratis. Dinamika yang tinggi dari aktivitas ekonomi ini di dorong dan dipengaruhi oleh “persaingan” yang merupakan condition sine qua non[44] dari sistem ekonomi pasar.

Sehingga jika dikait dengan mekanisme penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang semakin kompleks, Penulsi sangat sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Deputi IV unit kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Mas Achmat Santosa yang menegaskan bahwa penanganan kejahatan lingkungan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu multi-door approach dan kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Multi-door approach menurutnya berupa pendekatan penegakan hukum pidana yang mengandalkan berbagai rezim hukum. Pendekatan pertama pakai multi-door approach, dengan menggunakan UU money laundering, dengan menggunakan UU Pajak, dengan menggunakan UU Antikorupsi, dengan menggunakan UU Tata Ruang, dan Undang-undnag lainnya. Penyidik polisi memang tak bisa kerja sendiri, harus kerja sama dengan kejaksaan, PPATK dan lainnya, membutuhkan sinergi.[45]

Penerapan multi door approach tersebut, yang pada akhirnya merupakan pintu masuk untuk dapat digunakan pembalikan beban pembuktian melalui sistem pembuktian terbalik sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Mengapa tidak menggunakan UU Antikorupsi? Yang pula memiliki Sistem Pembuktian Terbalik?

Perbedaan yang sangat mencolok di dalam diantara kedua Undang-undang tersebut adalah bahwa di dalam UU Antikorupsi mengadopsi “pembuktian terbalik yang seimbang dan terbatas”, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanyadan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.[46]

Berbeda dengan pembuktian di dalam UU TPPU, Pasal 77 UU TPPU menegaskan sebagai berikut:

Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”

Dikaitkan dengan Pasal 69 UU TPPU, yang menegaskan sebagai berikut:

Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Yang dimaksud dengan tindak pidana asal, sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf x UU TPPU yang menegaskan sebagai berikut:

“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: di bidang lingkungan hidup.”

Penerapan UU TPPU justru akan memberikan ruang gerak yang cukup bagi penegak hukum untuk menjerat perilaku korporasi dalam melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Dalam hal ini, pihak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu terhadap kekayaan korporasi yang diduga diperoleh dari kejahatan lingkungan hidup.

Namun demikian, penerapan UU TPPU terhadap korporasi pun wajib memperhatikan asas-asas umum perseroan terbatas, berkaitan dengan tanggung jawab terbatas yang dimiliki oleh para persero nya. Sehingga pihak penyidik, penuntut dan hakim, wajib menguasai prinsip piercing the corporate veil sebagai satu-satunya doktrin yang memperbolehkan penegak hukum untuk membuka semua kerahasiaan yang dapat memunculkan tanggung jawab renteng kepada persero dan direksi nya.

Penerapan masalah ini dalam UUPT sangat sulit untuk diungkap, satu lain hal, di Indonesia menganut hukum kontinental, di mana dalam penegakannya lebih condong pada positivisme hukum. Sedangkan doktrin piercing the corporate veil bersumber pada anglo saxon.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Sebagaimana diketahui juga bahwa penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya.

Bahkan menurut Munir Fuady “Penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris”.[47]

Pembebanan tanggung jawab, selain dibebankan kepada korporasinya sebagai badan hukum, maka pelanggaran prinsip fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Pasal 97 ayat (2) tersebut yang menyatakan:

Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”.

Apabila Direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty tersebut, yaitu tidak dengan itikad baik dan bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya, maka pihak Direksi bertanggungjawab secara pribadi.[48]

Namun dalam hal ini UU Perseroan Terbatas pun memberikan peluang untuk dilakukannya pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang bersangkutan. Sebab, menurut Pasal 97 ayat (5) UUPT, para anggota direksi atau komisaris dibebaskan dari tanggung jawabnya tersebut apabila dapat membuktikan :

(1).        Keadaan yang bersangkutan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

(2).        Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

(3).        Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan

(4).        Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 

Dengan demikian bisa saja ada anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang harus bertanggungjawab secara hukum, tetapi Dewan Komisaris atau ada juga anggota Direksi yang lain yang dapat membuktikan tidak bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.

Sehingga patut dicermati Pasal 9 UU TPPU yang menegaskan sebagai berikut:

Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.”

 

Sehingga untuk menajatuhkan vonnis berdasarkan pasal tersebut, maka Hakim, wajib terlebih dahulu memperoleh keyakinan dari proses pembuktian terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup, telah terjadi pelanggaran fiduciary duty doctrine dalam sistem management di korporasi tersebut.

 

D.           Penutup

Bahwa penanganan tindak pidana lingkungan hidup tidak lagi dapat bergantung kepada single theory, namun perlu dibuatkan kajian yang lebih komprehensif dalam berbagai teori pidana, sehingga proses penegakan hukum tidak mengalami stagnasi, hanya dikarenakan adanya pengkotak-kotakan atau pengelompokan hukum pidana, yang sifatnya sangat penting terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Namun demikian, peningkatan keilmuan SDM dari institusi penegak hukum juga sangat penting, sehingga kemajuan teori ilmu hukum pidana mampu diserap dengan baik oleh penegak hukum agar tidak terjebak kepada pemikiran-pemikiran klasik dan akhirnya menimbulkan perilaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah hukum.



[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025

[2] Indriati Amarini, Pertenggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), Sumber: http://jurnal.ump.ac.id/index.php/HUKUM/article/download/287/272, hlm. 5

[3] Hurizal Chan, Catatan Hukum Terhadap Keputusan Pengadilan Negeri Manado Atas Perkara Pidana PT. Newmount Minahasa Raya (PT. NMR) DAN MR. Richard Bruce Ness/Perkara Teluk Buyat, Procedding Bedah Kasus Sengketa Lingkungan Putusan Pengadilan Negeri Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.MDO.(PT NMR), Pusat Pengkajian Penyelesaian Sengketa Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan Kementerian Negera Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Bandung 2008.

[4] Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 23

[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 67.

[6] Ibid., hlm. 24; lihat juga Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: Gramedia Widiarsarana Indonesia, 2005), hlm. 8.

[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.  28.; lihat juga R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 20.

[8] Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan & Wakaf, (Bandung: Eresco, 1993), hlm. 10.; Penj: bahwa banyak para sarjana menyarankan menggunakan istilah lain seperti pusura hukum, pribadi hukum, dan lain sebagainya. Namun, istilah badan hukum sudah umum dipergunakan.

[9] Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 29.

[10] Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni,1999), hlm. 185.

[11] Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 43

[12] Ibid., hlm. 44-45

[13] Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 65-66.

[14] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum [Ons Strafrecht 1 Het materiele strafrecht algemeen deel], diterjemahkan oleh Hasan, (Bandung: Binacipta, 1984), hlm. 237.

[15] Roland Hefendehl, Corporate Criminal Responsibility: Model Penal Code Section 2.07 and the Development in Western Legal System,” Buffalo Criminal Law Review Volume 4 (1 September 2001), hlm. 287.

[16] Muladi dan Dwidja, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm. 67.; lihat pula dalam Mardjono Reksodiputro (I), “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi,” dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan Kumpulan Karangan Buku Kesatu (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), hlm. 67.

[17] Mardjono Reksodiputro (II), Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, (Depok: Bidang Study Hukum Pidana Sentra UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, 2007), hlm. 569.

[18] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 95.

[19] Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003), hlm. 4.

[20] Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 1

[21] Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UU PT, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 30.

[22] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St Paul: Minn West Publising Co, 1990), hlm. 1033.

[23] Munir Fuady I, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 61

[24] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 152

[25] Munir Fuady II, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 8

[26] Ibid

[27] Ibid

[28] Ibid., hlm. 9-10

[29] Ibid., hlm. 10

[30] Men rea merupakan unsur kesalahan yang sering diterjemahkan sebagai sikap batin yang jahat. Namun men rea lebih luas dari pada itu karena men rea tetap ada pada sikap sesorang yang dengan kesadaran jiwa yang bersih serta menyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan moral dan hukum yang berlaku. Seperti hal nya dengan unsur kesalahan dalam civil law system yang terdiri dari kesengajaan dan kelalaian dengan berbagai degradasinya, maka dalam men rea terdiri atas intention, recklessness dan negligence.

[31] Chidir Ali, Op.cit., hlm. 50

[32] Michael J. Allen, Criminal Law, (Oxford: University Press, 2003), hlm.. 240-241.

[33] Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm. 110.

[34] C.M.V.Clarkson, “Corporate Culpability,” <http://webjcli.ncl.ac.uk/1998/issue2/clarkson2.html#Heading9,> diunduh tanggal 15 Juli 2013.

[35] A.P Simester dan W.J Brookebanks, Principles of Criminal Law (Welington: Brookess A Thomson Company, 2000), hlm. 225

[36] Barda Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 26-28

[37] Ibid, hlm. 33

[38] Ibid.; Lihat juga: Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm. 84.

[39] Ibid

[40] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Kejahatan Korporasi Dalam RUU KUHP, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1.

[41] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 111.

[43] Manuel G. Velasquez, Business Ethics Consepts And Cares, (London : Prentice Hall International, 2002), hlm. 8-13

[44] Teori Condition Sine Qua non adalah  Aliran yang mengatakan bahwa tak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi sebab-musabab dari suatu akibat, yang mungkin hanyalah menentukan secara negatif, yaitu apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab dari akibat itu. Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. 

[46] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 108.

[47] Munir Fuady, II, Op cit, hlm. 17.

[48] Indonesia, Op.cit., Pasal 97 ayat (3)