MERGER DAN AK
Pengertian Merger
Istilah
merger berasal dari kata “merge” yang
berarti menggabungkan atau memfusikan. Merger lebih dikenal di dalam bidang
manajemen, karena istilah ini selalu dikaitkan dengan strategi manajemen dalam
rangka pengembangan atau perluasan suatu usaha, termasuk di dalamnya
usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
perusahaan seperti kurangnya modal dan sumber daya manusia. Istilah lain yang
sering dipakai dalam literatur manajemen adalah kombinasi bisnis (business combination), yaitu suatu
transaksi yang berkaitan dengan kombinasi atau penggabungan badan usaha antara
satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kombinasi bisnis biasa dialakukan
melalui merger, konsolidasi dan akuisisi.
UU No 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) tidak menggunakan istilah
merger, konsolidasi, atau akuisisi, melainkan
menggunakan istilah penggabungan untuk Merger, peleburan untuk Konsolidasi dan Pengambilalihan (acquisition) untuk
akuisisi saham. Istilah dan definisi merger, konsolidasi dan akuisisi digunakan
dalam UU Perbankan Pasal 1 angka 25, 26, dan 27 serta disnggung Pasal 28 ayat
(1) yang mengharuskan bahwa merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib
terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia. Kemudian dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1999 dijelaskan mengenai prosedur merger, konsolidasi
dan akuisisi bank.
Merger
Penggabungan (Merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah
ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum (Pasal 1 angka 9 UUPT).
Dari pengertian
tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:
1. Penggabungan
perusahaan setidaknya melibatkan dua pihak
perusahaan, yaitu yang menerima penggabungan (absorbing
company/acquiring company/surviving company) dan pihak perusahaan yang
digabungkan atau menggabungkan diri (absorbed company/acquired company/ target
company).
2. Perusahaan
yang menerima penggabungan (surviving company) akan menerima atau mengambil alih
seluruh hak dan kewajiban, aktiva dan pasiva dari target company.
3. Perusahaan
yang digabungkan (target company) akan hilang statusnya sebagai perusahaan
karena hukum
Konsolidasi
Peleburan
(Konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri
dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum (Pasal
1 angka 10 UUPT).
Dari pengertian
tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:
1. Peleburan
perusahaan setidaknya melibatkan tiga pihak, yaitu setidaknya ada dua
perusahaan yang melebur (absorbed company) dan kedua pihak perusahaan tersebut
membentuk perusahaan baru.
2. Perusahaan-perusahaan
yang melebur (absorbed company) akan hilang statusnya sebagai perusahaan karena
hukum.
3. Perusahaan
Baru akan menerima atau mengambil alih seluruh hak dan kewajiban, aktiva dan
pasiva dari perusahaan-perusahaan yang melebur.
Jadi
baik merger maupun konsolidasi kedua-duanya menghasilkan kombinasi atau
penggabungan asset dan liabilities
perusahaan-perusahaan yang bergabung maupun yang melebur. Perbedaannya hanya
terletak pada eksistensi hukum. Pada merger the acquiring/surviving firm
mempertahankan nama dan identitasnya dan
mengambilalih semua asset dan liability dari the acquired/target
company dan setelah merger,
eksistensi target company sebagai badan hukum berakhir. Sedangkan
pada konsolidasi kedua perusahaan yang melebur eksistensinya berakhir dan
bergabung menjadi bagian dari perusahaan yang baru.
Akuisisi Saham
Berdasarkan
literatur, akusisi terdari dari dua jenis, yaitu : (1) akuisisi saham, dan (2)
akuisisi aset. Namun UU PT hanya mengatur mengenai akusisi saham terutama
terkait dengan prosedur pengambilaihannya. Berdasarkan undang-undang ini Pengambilalihan (Akuisisi) didefiniskan sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil
alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian atas Perseroan tersebut (Pasal 1 angka 11 UUPT).
Akuisisi Saham dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara yaitu
(Pasal 125 UU PT):
(i)
Melalui Direksi PerusahaanTarget.
(ii)
Secara langsung dari pemegang saham Perusahaan Target, dimana prosedurnya tidak berbeda
dengan proses jual beli saham pada umumnya;
Akusisi
saham langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat
Rancangan Pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan
kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan
tetap memperhatikan anggaran dasar perusahaan yang diambil alih.
UUPT
tidak mengatur besarnya ambang batas (treshold)
persentase saham yang diambilalih sehingga dapat disebut sebagai telah terjadi
akuisisi atau pengambilalihan yang konsekuensinya harus memenuhi prosedur yang
ditentukan dalam undang-undang. Kata kuncinya adalah bahwa pengambilalihan harus dapat mengakibatkan “beralihnya
pengendalian”. UUPT sendiri tidak mendefinsikan kriteria “pengendalian”.
Namun pengertian “pengendalian” dapat dijumpai dalam ketentuan di bidang pasar
modal. Dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Bapepam
Nomor IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan
Terbuka disebutkan bahwa yang disebut “Pengendali” adalah: (i) Pihak
yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh saham
yang disetor penuh, atau (ii) Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan,
baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijaksanaan Perusahaan Terbuka.
Jadi pengambilalihan dalam perusahaan terbuka
terjadi apabila:
1. Acquiring company menjadi pemegang saham dengan jumlah lebih dari
50% dari saham yang disetor pada perusahaan target; atau
2. Pengambilalihan oleh acquiring company dimaksudkan untuk mengendalikan target company tanpa harus
melihat apakah threshold 50% kepemilikan saham pada perusahaan target dipenuhi
atau tidak.
Ketentuan serupa juga berlaku
dalam akuisisi bank sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1999.
Akuisisi Bank dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh atau sebagian saham
yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian Bank kepada pihak yang mengakuisisi. Pengambilalihan saham
Bank baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, yang mengakibatkan
kepemilikan saham oleh pemegang saham perorangan atau badan hukum menjadi lebih
dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari saham Bank yang telah dikeluarkan
dan mempunyai hak suara, dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian kecuali
pihak yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya bahwa walaupun yang
bersangkutan telah menguasai lebih dari 25% kepemilikan saham pada perusahaan
target sepanjang ia tidak bermaksud untuk melakukan pengendalian manajemen
perusahaan target atau sekedar untuk melakukan investasi portofolio atau
spekulasi perdagangan saham maka tidak dapat dikatakan telah terjadinya
pengambilalihan. Demikian pula sebaliknya apabila, acquiring company mengambil
alih kepemilikan saham perusahaan target kurang dari 25%, namun sepanjang dapat
dibuktikan bahwa yang bersangkutan bermaksud untuk melakukan pengendalian
manajemen perusahaan target, maka hal ini sudah dapat disebut telah terjadi
pengambilalihan/akuisisi bank.
Sedangkan dari aspek persaingan
usaha, akuisisi dilarang apabila akuisisi tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan
Pasal 28 (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, perusahaan dilarang melakukan pengambilalihan
saham perusahaan lain apabila
pengambilalihan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian
apakah pengambilalihan dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
dilakukan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usahga (“KPPU”) dengan menggunakan beberapa indikator
penilaian, yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti
persaingan, efisiensi dan kepailitan.
Akuisisi Aset
Seperti
telah dijelaskan, yang diatur dalam UU PT
adalah mengenai akuisisi saham bukan akuisisi aset. Namun beberapa pengaturan
akusisi aset tersirat dari ketentuan Pasal 102 UU PT. Pasal 102 ayat (1) UUPT
berbunyi:
“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
a. mengalihkan kekayaan
Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;
yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan
bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu
sama lain maupun tidak”.
Jadi
dalam hal ini target company harus
meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham apabila terjadi pengambilalihan
aset perusahaan oleh perusaan lain (acquiring company). Pengalihan aset target
company harus memperoleh persetujuan dari RUPS dengan korum kehadiran paling
sedikit ¾ dari jumlah saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling
sedikit ¾ dari jumlah suara
tersebut. Namun apabila dilakukan tanpa
tanpa persetujuan RUPS, pengalihan ini tetap sah mengikat Perseroan sepanjang
pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut (dhi. acquiring company) beritikad
baik. Prosedur akuisisi aset mengikuti ketentuan dalam KUHPerdata, khususnya
terkait dengan perikatan dan jual beli.
Jadi walaupun
terdapat perbedaan antara pengertian merger, konsolidasi dan akuisisi, namun
kesemuanya itu hampir memiliki kesamaan dalam hal maksud dan tujuan, yang pada
intinya adalah penggabungan. Merger dan
akuisisi juga merupakan konsep yang selalu muncul bersamaan, merger adalah
konsep dasarnya, sedangkah akuisisi adalah pelaksanaan konsep itu. Akuisisi
adalah salah satu cara menghasilkan merger yang dianggap elegan.
Kelebihan dan Kelemahan Merger/Konsolidasi
dibanding dengan Akusisi
Merger/Konsolidasi
Kelebihan Merger/Konsolidasi:
1. Merger/ konsolidasi biasanya
lebih murah dibandingkan dengan bentuk akuisisi karena secara hukum semua
aktiva dan pasiva kedua (atau lebih) perusahaan otomatis menjadi satu pada saat
bergabung/melebur dan bisa dilakukan tanpa melikuidasi acquired company ,
dimana diketahui bahwa biaya likuidasi akan bisa menjadi sangat mahal.
2. Merger /konsolidasi
selain dapat dilakukan secara murah, juga dapat dilakukan secara cepat dimana
dapat dihindari semua proses pengalihan (balik nama, roya atas hak-hak jaminan)
yang diperlukan dari masing-masing
asset.
Kelemahan Merger/Konsolidasi:
1. Merger dan
konsolidasi memerlukan persetujuan dari pemegang saham masing-masing perusahaan
dimana prosesnya akan memakan biaya dan waktu.
2.
Pemegang saham dari acquired
company yang tidak setuju memiliki appraisal
rights dimana ia dapat meminta aquiring
company untuk membeli sahamnya berdasarkan fair value, dimana seringkali tidak tercapai kesepakatan tentang
harga fair value yang berakibat kepada proses legal yang menjadi mahal.
Pengambilalihan/Akuisisi Saham
Kelebihan:
1. Perusahaan
pengakuisisi dapat mem”bypass” direksi perusahaan target dengan langsung
melakukan transaksi dengan pemegang saham.
2. Perusahan melakukan akuisisi saham secara bertahap
(untuk tujuan melakukan merger nantinya) untuk
menghindari pemegang saham minoritas yang tidak setuju dimana nantinya
diharapkan agar secara bertahap akhirnya terjadi “completely absorbed acquisition” yang pada hakekatnya
merupakan merger.
Kelemahan:
Akuisisi saham biasanya berakhir dengan hostile takeover, dimana adanya
pertentangan dari pihak manajemen atau
pemegang saham minoritas/publik yang dapat mengakibatkan biaya akuisisi yang
mahal dibandingkan biaya merger.
Akuisisi Aset
Kelebihan:
Banyak perusahaan melakukan
akuisisi aset, ketimbang akusisi saham dengan alasan atau pertimbangan sebagai
berikut:
1. Untuk menghindari keharusan memikul utang yang tidak tercatat
di pembukuan (unrecorded liabilities).
2. Menghindarkan untuk
melaksanakan perjanjian-perjanjian yang
tidak diinginkan oleh pembeli, yang terpaksa harus dilaksanakan apabila
dilakukan dengan akuisisi saham. Perjanjian-perjanjian tersebut misalnya yang
berkaitan dengan perburuhan, perjanjian sewa,
perjanjian pembelian dan lain-lain.
3. Menghindari
timbulnya permasalahan dengan pemegang saham minoritas, jika dilakukan melalui
akuisisi saham (hostile takeover).
Kelemahan:
1. Prosedur yang rumit
untuk menentukan pembelian asset tesebut, yaitu yang menyangkut balik nama,
roya atas hak-hak jaminan seperti Hipotik dan Hak tanggungan.
2. Legal prosedur untuk
mentransfer asset-aset tersebut akan memakan biaya yang tinggi.
Bentuk
Merger
Bentuk merger dapat dilihat jenis usahanya, status
hukum dan metode akuntasinya.
Bentuk
merger dilihat dari jenis usahanya terdiri dari:
1. Merger Horizontal:
Kombinasi antara
suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasinya masih
berada dalam lini bisnis yang yang sama (same line of business) yang tadinya
saling bersaing. Tujuan
utamanya yaitu mewujudkan efisiensi dalam produksi, promosi dan memasuki pasar
yang sudah mapan. Misal merger antar bank, merger antara firma akuntan publik.
2. Merger Vertikal:
Kombinasi
antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasional atau
bidang usahanya menunjukkan adanya hubungan sebagai produser-supplier. Tujuan
dari merger vertikal adalah untuk menjamin pengadaaan bahan baku yang
berkesinambungan, menjamin jalur pemasaran atas barang/jasa, serta menekan
biaya produksi. Misal merger perusahaan perkebunan karet dengan perusahaan
produsen ban.
3. Merger Konglomerat:
Kombinasi
antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang tidak saling memiliki
hubungan, baik dalam jenis usaha (horizontal) maupun tingkat operasi kegiatan
(vertikal). Tujuannya bagi perusahaan atau grup perusahaan adalah untuk memperkecil
risiko dalam rangka diversifikasi dan memperkecil ketergantungan terhadap satu
atau bebarapa bidang usaha. Contoh dalam praktik adalah merger antara Mobil Oil
dengan Montgomery Ward.
4. Merger Congeneric
Kombinasi
antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya, yang kegiatan operasinya
masih berada dalam suatu hubungan antara satu dengan yang lain akan tetapi
hubungan tersebut belum dapat dikatakan sebagai produsen terhadap produk yang
sama atau kompetitor (horisontal) dan bukan juga berhubungan antara
produser-supplier (vertikal). Misalnya gabungan antara perusahaan leasing
dengan bank. Contoh dalam praktik adalah merger antara Backer & Company
dengan perusahaan asuransi Prudential, Sony dan Erricson.
Bentuk merger dilihat dari status
hukumnya terdiri dari:
1.
Statutory Merger
Merger yang
dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik yang berdasarkan
undang-undang maupun berdasarkan perjanjian merger yang dibuat oleh para pihak.
Disini salah satu perusahaan (perusahaan penerima penggabungan/absorbing
company) tetap hidup dan melanjutkan aktivitasnya secara otomatis berhak atas
segala harta (asset), kewajiban dan utang dari perusahaan yang digabungkan
(absorbed company) yang menjadi hilang status dan identitasnya sebagai
perusahaan
2.
Defacto merger
Yaitu merger tanpa
didukung oleh peraturan hukum yang berlaku di tempat perusahaan-perusahaan yang
terlibat merger tersebut berdomisili. Meskipun peusahaan penerima penggabungan
telah menguasai sebagian terbesar dari harta hak-hak serta bertanggung jawab
atas kewajiban dan utang-utang dari perusahaan yang digabungkan namun yang
terakhir ini secara hukum tetap dianggap hidup dan mempnyai kedudukan yang
penuh sebagai perusahaan yang mandiri. Defacto merger ini dapat juga diartikan
sebagai akuisisi aset.
Merger dilihat dari segi metode akuntasi
dapat dibagi menjadi:
1.
Pooling of interest method
Metode ini
digunakan apabila merger merupakan tindakan untuk menyatukan kepemilikan dari
dua atau lebih perusahaan yang digabungkan. Artinya sejak semula target company
dianggap telah bergabung ke dalam acquiring company. Harta/aktiva target
company yang dialihkan kepada acquiring company dinilai sesuai denga harga buku
yang tercatat di dalam pembukuan target company. Metode ini disebut dengan
metode penyatuan kepentingan.
2.
Purchase method
Metode ini
dipergunakan apabila merger menimbulkan perubahan pada struktur nilai pemilikan
atas harta/aktiva pada perusaaan penerima penggabungan artinya, harta atau
aktiva target company yang dialihkan kepada acquiring company dinilai
berdasarkan harga pasar yang wajar, bukan harga buku. Metode ini
dikenal dengan metode pembelian.
Motivasi
atau Tujuan Merger
Tujuan atau Motivasi perusahaan
melakukan merger dapat ditinjau dari bebarapa sudut yaitu:
1.
Efisiensi atau Sinergi
Merger dapat meningkatkan
efisiensi yang diperoleh melalui sinergi, yang berarti nilai gabungan kedua
perusahaan tersebut lebih besar dari penjumlahan masing-masing nilai perusahaan
yang digabungkan (2+2=5). Sinergi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
a. Operating synergy
Kombinasi dari beberapa
operasi sehingga dapat menekan biaya dan menaikkan penghasilan. Operating
synergy muncul dari perusahaan yang melakukan ekspansi pada bisnis yang sama
sehingga dapat menekan biaya rata-rata karena biaya tetap menurun (memperoleh
economic of scale), atau melakukan diversifikasi ke sektor yang masih berkaitan
(related diversification), misal perusahaan garmen yang bergabung dengan perusahaan
tekstil, perusahaan rokok yang bergabung dengan perusahaan perkebunan tembakau.
b. Financial synergy
Financial synergy berasal
dari penghematan yang dinikmati perusahan yang berasal dari sumber pendanaan.
Jenis sinergy ini diperoleh dari conglomerate merger.
c. Management synergy
Adalah sinergi yang
dinikmati oleh perusahaan karena kombinasi dari beberapa manajemen. Misalnya
manjemen perusahaan A kurang efisien dibandingkan dengan manajemen perusahaan
B, maka merger dapat menjadi jalan untuk meningkatkan efisiensi. Peningkatan
efisiensi disini mensyaratkan kedua perusahaan yang digabung memiliki bidang
kegiatan yang sama (merger horisontal)
2.
Diversifikasi
Menurut teori ini,
motivasi yang melatarbelakangi terjadinya merger adalah penganekaragama bidang
usaha atau diversifikasi. Dengan dimiliki bidang usaha yang beraneka ragam,
maka suatu (kelompok) perusahaan dapat menjaga stabilitas pendapatannya. Bentuk
merger yang relevan disini adalah merger konglomerat, khususnya
product-extension merger.
3.
Kekuatan Pasar
Teori kekuatan pasar akan
diperoleh apabila diterapkan pada merger horisontal. Hal ini karena penggabungan
dua atau lebih perusahaan yang sebelumnya saling bersaing menjual produk yang
sama, secara teoritik akan meningkatkan penguasaan pasar. Terutama untuk merger
horizontal dan merger vertikal.
4.
Keuntungan Pajak
Keuntungan pajak diperoleh
melalui pengurangan kewajiban pembayaran pajak. Misalnya acquiring company
adalah perusahaan yang senantiasa memperoleh keuntungan yang besar, sehingga
kewajiban pembayaran pajaknya besar. Target company merupakan perusahaan yang
telah lama merugi, sehingga ia memiliki
fasilitas pembebasan pajak akibat akumulasi kerugian. Ketika keduanya
bergabung, fasilitas pembebasan pajak yang semula dimiliki oleh target company
akan beralih ke acquiring companya sehingga ia memperoleh keuntungan dari
pengurangan kewajiban pajak tersebut. Bentuk merger yang relevan adalah merger
konglomerat, horisontal atau vertikal.
5.
Undervaluation
Menurut teori
undervaluation, motivasi merger timbul karena keinginan untuk memperoleh keuntungan
dari harga yang rendah dari suau perusahaan. Apabila merger ini dilakukan maka
acquiring company akan memperoleh keuntungan berupa selisih harga perusahaan
yang digabungkan.
6.
Prestise
Menurut teori ini merger
dilakukan bukan karena motivasi ekonomi tetapi karena prestise. Melalui merger
sebuah perusahaan akan menjadi semakin besar dengan demikian akan meningkatkan
prestise pemilik dan direksi perusahaan yang menerima penggabungan. Disamping
itu, dengan semakin membesarnya perusahaan berarti renumerasi bagi anggota
Direksi akan menjadi bertambah pula.
Akibat
Hukum Merger/Konsolidasi
Merger dan Konsolidasi memiliki
konsekuensi hukum sebagai berikut:
1. Perusahaan yg
melebur atau menggabungkan diri/melebur berakhir demi hukum tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu
(Ps. 122 ayat (1) (2) UUPT)
2. Pemegang saham Perusahaan
yang menggabungkan diri menjadi pemegang saham Perusahaan hasil penggabungan/peleburan
(Ps. 122 ayat (3) (b) UUPT
3. Aktiva, hak dan
kewajiban Perusahaan yang menggabungkan diri/melebur beralih karena hukum
kepada perseroan hasil penggabungan/peleburan (ps. 122 ayat (3) UUPT).
Perlindungan
Pihak-Pihak yang Berkepentingan
Di dalam merger terdapat pihak-pihak
yang memiliki kepentingan seperti perseroan pemegang saham minoritas, karyawan,
kreditor dan masyarakat serta persaingan usaha. Kepentingan masing-masing pihak
ini harus diperhatikan sebelum dilakukan merger mengingat ada kemungkinan
pihak-pihak ini akan dirugikan dalam pelaksanaan merger. Landasan hukum
mengenai perlindungan para pihak dalam pelaksanaan merger diatur di Pasal 126
ayat (1) UU PT, yang berbunyi:
“Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat
dalam melakukan usaha.”
Perseroan
Undang-undang tidak menjelaskan lebih
lanjut apa yang disebut dengan atau bagaimana melindungi kepentingan perseroan.
Berdasarkan teori, yang disebut dengan kepentingan perseroan/perusahaan dapat
dilihat dari dua pendekatan, yaitu apakah kita menggunakan pendekatan pemegang
saham (shareholder approach) atau pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder
approach). Jadi berdasarkan shareholder approach, kepentingan perusahaan adalah
kepentingan pemegang saham. Sedangkan menurut stakeholder appraoch, kepentingan
perusahaan adalah kepentingan semua pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh jalannya perusahaan dimaksud, termasuk dalam hal ini karyawan, manajemen,
masyarakat sekitar dan lingkungan hidup disamping pemegang saham itu sendiri.
Apabila kita menggunakan shareholder approach, merger tersebut dianggap benar
apabila menghasilkan maksimalisasi nilai bagi pemegang saham, baik pemegang
saham pada acquiring company maupun pada target company. Sedangkan apabila
digunakan stakeholder approach, merger tersebut harus memperhatikan seluruh
kepentingan pemangku kepentingan secara menyeluruh sehingga hanya dapat dinilai
berdasarkan kasus per kasus.
Pemegang
Saham Minoritas
Merger hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan dan keputusan
Rapat Umum Pemegang Saham. Apabila
seluruh pemegang saham baik pada target company dan acquiring company
bersama-sama menyetujui rencana pelaksanaan merger yang dilakukan masing-masing
direksi, maka tidak akan timbul permasalahan. Permasalahan baru timbul jika
pemegang saham mayoritas menyetujui rencana merger sedangkan pemegang saham
minoritas tidak menyetujui rencana tersebut.
Apabila persyaratan mengenai
pelaksanaan RUPS, korum maupun pengambilan keputusan telah dipenuhi dan dalam
hal RUPS tetap memutuskan atau menyetujui pelaksanaan merger meskipun terdapat
keberatan dari pemegang saham minoritas, maka bagi pemegang saham minoritas
terdapat dua alternatif, yaitu:
1. Pemegang saham
minoritas menuntut “appraisal right”, yaitu hak agar sahamnya
dibeli dengan harga yang wajar oleh perseroan sebagai pembayaran ganti rugi
atas pelaksanaan merger (Pasal 62 ayat (1) UUPT). Apabila pembelian saham
tersebut tidak dimungkinkan karena adanya aturan jumlah maksimal saham (treasury
stock) yang dapat dibeli kembali oleh perseroan (yaitu maksimal 10% dari modal
yang ditempatkan), maka perseroan wajib mencarikan pihak ketiga untuk membeli
saham tersebut (pasal 62 ayat (2) UUPT)
2. Menggugat perseroan
melalui Pengadilan Negeri ditempat kedudukan perseroan, dan meminta pengadilan
untuk membatalkan rencana pelaksanaan merger yang telah disetujui RUPS dengan
alasan pelaksanaan merger tersebut dapat merugikan kepentingan pemegang saham
minoritas. Landasan hukum gugatan ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 61
UUPT.
Kreditor
Direksi wajib mengumumkan ringkasan Rancangan merger minimal
dalam 1 surat kabar paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS (Ps. 127 (2)
UUPT). Pengumuman dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang Bersangkutan, termasuk kreditor,
agar mengetahui adanya rencana tersebut dan mengajukan keberatan jika mereka
merasa kepentingannya dirugikan.
Kreditur dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu 14
hari setelah pengumuman di surat kabar tersebut. Jika dalam jangka waktu
tersebut tidak keberatan mereka dianggap menerima rencana merger tersebut (Ps.
127 (4), (5) UUPT). Keberatan kreditor
harus diselesaikan oleh Direksi dan jika sampai dengan tanggal penyelengaraan
RUPS belum dapat diselesaikan, hal ini akan diselesaikan dalam dalam RUPS (Ps.
127 (6) UUPT). Penyelesaian terhadap kreditor dapat berupa pembayaran kembali
piutang para kreditor dengan seketika atau dapat pula berupa kesepakatan
tentang penyelesaian keberatan kreditor. Selama penyelesaian belum tercapai,
merger tidak dapat dilaksanakan (Ps. 127 (7) UUPT).
Karyawan
Perseroan
yang hendak melakukan merger harus melakukan pengumuman ringkasan rancangan
merger di surat kabar 30 (tiga puluh) hari sebelum dilakukan pemanggilan RUPS.
Dalam rancangan tersebut antara lain memuat cara penyelesaian status, hak dan
kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan
melakukan merger.
Disamping
dilakukan pengumuman ringkasan rancangan merger di surat kabar, berkaitan
dengan perlindungan kepentingan karyawan untuk pelaksanaan merger, 30 (tiga
puluh) hari sebelum dilakukan pemanggilan RUPS, Direksi berkerkewajiban untuk
memberitahukan secara tertulis kepada karyawan (Pasal 127 ayat 2 UUPT). Hal ini
dimaksudkan agar karyawan dapat membela kepentingannya apabila rencana merger
dianggap merugikan karyawan.
Terhadap
karyawan, undang-undang tidak memberikan mekanisme pengajuan keberatan rencana
merger sebagaimana diberikan kepada kreditor yang dapat menggagalkan rencana
merger. Dalam praktik penyelesaian masalah karyawan dilakukan secara negosiasi
dan musyawarah antara perseroan dengan karyawan dengan isu utamanya adalah
pemberian pesangon apabila harus dilakukan pemutusan hubungan kerja.
Persaingan
Usaha
Berdasarkan Pasal 28 (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat, perusahaan dilarang melakukan
penggabungan, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan
lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Menurut Pasal 3 ayat (2)Peraturan Pemerintah
No. 57 Tahun 2010[1],
penilaian apakah merger dan akuisisi dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat dilakukan oleh KPPU dengan menggunakan
beberapa aspek, yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku
anti persaingan, efisiensi dan kepailitan.
Disamping itu perusahaan juga wajib melaporkan kepada KPPU terhadap
penggabungan, peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat
nilai aset dan nilai penjulannya melebihi jumlah tertentu selambat-lambatnya 30
hari sejak tanggal efektif peristiwa merger dan akuisisi tersebut (Pasal 29 UU No. 5
Tahun 1999). Adapun
batasan nilai yang wajib untuk dilaporkan ke KPPU adalah jika perusahaan hasil
merger dan akuisisi memiliki aset gabungan melebihi Rp2,5 Triliun, omset
penjualan gabungan melebihi Rp5 Triliun, sementara khusus untuk perbankan,
peraturan ini hanya berlaku jika aset gabungan melebihi Rp20 Triliun (Pasal 5
ayat 2 dan 3 PP No. 57 Tahun 2010).
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dapat membatalkan merger yang mengakibatkan monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal . 47 ayat 2 huruf e UU No. 5 Tahun
1999). Pelanggaran terhadap Pasal 28 juga diancam pidana denda Rp. 25 milyar
sampai . Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda max. 6 bulan
(Pasal 48 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999). Selain itu dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau
komisaris selama 2 tahun sampai 5 tahun (Pasal
49 UU No. 5 Tahun 1999).
Tahapan
dalam Merger & Akuisisi
Secara garis besar tahapan atau prosedur dalam merger
dan akuisisi adalah sebagai berikut ini.
1.
Persetujuan RUPS
Kecuali untuk PT. Tbk yang ada Benturan Kepentingan (ikuti Peraturan
Bapepam IX.E.1), Merger & Akuisisi hanya dapat dilakukan berdasarkan
persetujuan dan keputusan RUPS, yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili
paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah
dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara tersebut (Pasal 89
(1) UUPT). Apabila Quorum dalam RUPS I tsb tidak terpenuhi maka dapat dilakukan
RUPS II, dengan quorum 2/3 hadir dan disetujui oleh minimal ¾ yg hadir
tersebut. Jika quorum RUPS II pun tidak terpenuhi maka PT dapat memohon kepada
Ketua Pengadilan Negeri untuk ditetapkan quorum RUPS III (Pasal 89 (4) jo. Pasal
86 (5) UUPT)
2.
Rancangan Merger & Akuisisi
Merger/Konsolidasi.
Direksi PT yang akan menggabungkan diri
dan meneriman penggabungan (merger) atau yang akan meleburkan diri
(konsolidasi) menyusun rancangan Merger/Konsolidasi yang memuat
sekurang-kurangnya (Pasal 123, 124 UUPT):
a.
nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan;
b.
alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang
akan melakukan Merger/Konsolidasi dan persyaratan Merger/Konsolidasi;
c.
tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang
menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi;
d.
rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan
yang menerima Merger/Konsolidasi apabila ada;
e.
laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun
buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
f.
rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha
dari Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;
g. neraca
proforma Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara
penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;
i.
cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan
yang akan Merger/Konsolidasi terhadap pihak ketiga;
j.
cara penyelesaian hak pemegang saham yang
tidak setuju terhadap Merger/Konsolidasi Perseroan;
k. nama
anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi
anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi;
l.
perkiraan jangka waktu pelaksanaan
Merger/Konsolidasi;
m. laporan
mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan
yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;
n. kegiatan
utama setiap Perseroan yang melakukan Merger/Konsolidasi dan perubahan yang
terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o.
rincian masalah yang timbul selama tahun buku
yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan
Merger/Konsolidasi.
Rancangan ini setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari
setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.
Akusisisi. Direksi Perseroan
yang akan diambil alih (target company) dan Perseroan yang akan mengambil alih
(acquiring company) dengan persetujuan Dewan Komisaris masing-masing menyusun
rancangan Akusisi yang memuat sekurang-kurangnya (Pasal 125 (6) UUPT):
a.
nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang
akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
b.
alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang
akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih;
c.
laporan keuangan untuk tahun buku terakhir
dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
d.
tata cara penilaian dan konversi saham dari
Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran
Pengambilalihan dilakukan dengan saham;
e.
jumlah saham yang akan diambil alih;
f.
kesiapan pendanaan;
g. neraca
konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan
yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara
penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan;
i.
cara penyelesaian status, hak dan kewajiban
anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil
alih;
j.
perkiraan jangka waktu pelaksanaan
Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari
pemegang saham kepada Direksi Perseroan;
k.
rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan
hasil Pengambilalihan apabila ada.
3. Pengumuman
Direksi
wajib mengumumkan ringkasan Rancangan Merger dan Akuisisi minimal dalam 1 surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan paling lambat 30 hari
sebelum pemanggilan RUPS (Ps. 127 (2) UUPT).
4. Akta Merger
Rancangan
Penggabungan dan Konsep Merger dan Akuisisi wajib dimintakan persetujuan dalam
RUPS masing-masing perseroan, dan kemudian Konsep Akta Penggabungan yang telah
mendapat persetujuan RUPS tersebut dituangkan dalam Akta Merger dan Akuisisi yang
dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia (Ps. 128 UUPT)
5. Persetujuan/Pemberitahuan
ke Menkumham
Dalam hal Konsolidasi, Akta Peleburan
menjadi dasar pembuatan akta pendirian Perseroan hasil Peleburan dan diajukan
untuk mendapatkan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan
hasil Peleburan (Ps. 128 (3) jo Ps. 130 UUPT).
Untuk penggabungan
(Merger), dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar, salinan akta
Penggabungan diajukan kepada Menkumham untuk mendapatkan persetujuan atau
pemberitahuan. Dalam hal tidak terjadi perubahan anggaran dasar, salinan akta
tersebut disampaikan kepada Menkumham untuk dicatat dalam daftar Perseroan
(Pasal 129 UUPT).
Sedangkan untuk akusisisi, Salinan akta
Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan
kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar (Pasal 131 (1) UUPT). Dalam hal
Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan
akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan
kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham (Pasal 131 (2) UUPT).
6. Pengumuman
Akhir
Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau hasil Peleburan
atau Direksi dari Perseroan yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil
Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggabungan atau Peleburan (Pasal 133 UUPT). Pengumuman ini dilakukan agar
pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah terjadinya Merger dan Akuisisi.
Merger
Bank
Tujuan merger bank tidak banyak
berbeda dengan tujuan merger perusahaan non bank lainnya yaitu: meningkatkan
daya saing, memperbesar pangsa pasar, memperkuat struktur permodalan dan
efisiensi. Namun setidaknya pada merger
bank terdapat perbedaan dalam hal apakah dorongan untuk melakukan merger tersebut
dilakukan oleh pihak internal bank atau eksternal bank.
Pasal
37 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan:
Dalam
hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada
pihak lain;
g. bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada
bank atau pihak lain.
Berdasarkan ketentuan diatas, Bank
Indonesia dapat “memaksa” bank untuk melakukan merger dengan bank lain apabila
bank mengalami kesulitan dan dianggap membahayakan kelangsungan usaha.
Oleh karena itu, dalam hal bank,
inisiatif untuk melakukan merger dapat berasal dari:
1. Bank yang
bersangkutan
2. Otoritas Perbankan,
dalam hal ini Bank Indonesia atau Badan Khusus sementara dalam rangka
penyehatan perbankan (Pasal 3 PP No. 28 Tahun 1999)
Oleh karenanya, tujuan dari merger bank dapat
dikatakan sebagai berikut:
1.
Sebagai salah satu strategi dalam pengembangan bisnis
usaha
2.
Untuk mempertahankan kelangsuangan usaha
3.
Dalam rangka penyelamatan suatu bank
Merger
bank juga harus memperhatikan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam Penjelasan
Pasal 28 ayat (1) UU Perbankan disebutkan bahwa merger dan akuisisi wajib
menghindarkan timbulnya
pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli
yang merugikan masyarakat serta tidak
boleh merugikan kepentingan para nasabah. Di samping itu dalam Pasal 5 PP No. 28 tahun
1999 juga disebutkan:
“Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dilakukan dengan memperhatikan:
a.
kepentingan Bank,
kreditor, pemegang saham minoritas dan karyawan Bank; dan
b.
kepentingan rakyat
banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha Bank”.
Berdasarkan uraian diatas, bank dalam melakukan
merger dan akuisisi harus memperhatikan kepentingan-kepentingan para pihak yaitu
kepentinga:
a.
bank
b.
kreditor
c.
pemegang
saham minoritas
d.
karyawan
e.
nasabah
f.
aspek
persaingan usaha.
Pada dasarnya prosedur pelaksanaan merger bank
tidak berbeda dengan prosedur pelaksanaan merger perusahaan non bank.
Perbedaannya hanya dapat terlihat dari segi perizinan. Merger bank selain harus
mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Perundang-undangan juga harus
mendapatkan izin dari pimpinan Bank Indonesia (Pasal 4 PP No. 28/1999).
1.
Syarat-syarat
lain yang harus diperhatikan dalam hal merger dan konsolidasi bank adalah[2]
Telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham.
2.
Pada
saat terjadinya Merger atau Konsolidasi, jumlah aktiva Bank hasil Merger atau
Konsolidasi tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah aktiva
seluruh Bank di Indonesia;
3.
Permodalan
Bank hasil Merger atau Konsolidasi harus memenuhi ketentuan rasio kecukupan
modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4.
Calon
anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang ditunjuk tidak tercantum dalam daftar
orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan
5.
Merger/konsolidasi
antara bank konvensional dengan bank berdasarkan prinsip syariah hanya dapat
dilakukan apabila bank hasil merger/konsolidasi dimaksud menghasilkan bank
dengan prinsip syariah atau bank konvensional namun memiliki kantor cabang
berdasarkan prinsip syariah .
Khusus untuk akuisisi bank, syarat yang harus
dipenuhi adalah sebagai berikut[3]:
a.
Telah
memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham
b.
Pihak
yang melakukan akuisisi tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan
perbuatan tercela di bidang perbankan.
c.
Dalam
hal akuisisi dilakukan oleh Bank, maka Bank wajib memenuhi ketentuan mengenai
penyertaan modal oleh Bank yang diatur oleh Bank Indonesia.
Single Presence
Policy
Pada awal Oktober 2006, Bank
Indonesia menerbitkan Paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan PAKTO
2006 atau Single Presence Policy, dimana salah satu isi paket tersebut adalah
berisi Kebijakan mengenai Kepemilikan Tunggal Perbankan yang tertuang dalam
Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, yang ditunjang dengan
kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi perbankan
sebagaimana diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/17/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006.
Kebijakan SPP ini merupakan wujud
langkah untuk menempuh heavy handed policy guna memaksa perbankan melakukan
konsolidasi secara lebih cepat, yang lahir sebagai tindak lanjut dan
implementasi dari program Arsitektur Perbankan Indonesia (“API”) khususnya
Pilar 1 mengenai Penguatan Struktur Perbankan Nasional dan Pilar 3 mengenai
Peningkatan Fungsi Pengawasa. Kebijakan SPP ditempuh oleh BI akibat imbauan BI
kepada perbankan nasional untuk melakukan konsolidasi melalui merger secara
sukarela ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan.
Sebagaimana diketahui, kebijakan ini mengharuskan kepada seluruh pemilik bank
khususnya pemegang saham pengendali (“PSP”) untuk mengkonsolidasikan
kepemilikannya di bank-bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu
hingga tahun 2010. Ada 3 (tiga) opsi yang ditawarkan oleh BI melalui kebijakan
tersebut yaitu divestasi (penjualan saham-saham miliknya), merger atau
konsolidasi, dan yang terakhir adalah pembentukan perusahaan induk di bidang
perbankan.
Peraturan tersebut mendefinisikan SPP dengan istilah “Kepemilikan Tunggal”
yaitu suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali
pada 1 (satu) Bank. Bank yang masuk dalam ruang lingkup kebijakan ini hanyalah Bank Umum dan tidak termasuk Bank
Perkreditan Syariah, Kantor Cabang Bank Asing, Bank Campuran, Bank Holding
Company dan Bank Umum Syariah.
Bagi bank-bank yang telah memiliki dan mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank,
berdasarkan peraturan SPP, wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya
hingga tahun 2010. Dalam rangka penyesuaian struktur kepemilikan ini, BI
memberikan 3 (tiga) buah pilihan yaitu:
1. mengalihkan sebagian
atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang
dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi
Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank; atau
2. melakukan merger atau konsolidasi atas
Bank-bank yang dikendalikannya; atau
3. membentuk Perusahaan
Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dengan cara:
a. mendirikan badan
hukum baru sebagai Bank Holding Company; atau
b. menunjuk salah satu
bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar