Kamis, 28 Januari 2021

MERGER DAN AKUSISI

 

MERGER DAN AKUSISI

Pengertian Merger

Istilah merger  berasal dari kata “merge” yang berarti menggabungkan atau memfusikan. Merger lebih dikenal di dalam bidang manajemen, karena istilah ini selalu dikaitkan dengan strategi manajemen dalam rangka pengembangan atau perluasan suatu usaha, termasuk di dalamnya usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam perusahaan seperti kurangnya modal dan sumber daya manusia. Istilah lain yang sering dipakai dalam literatur manajemen adalah kombinasi bisnis (business combination), yaitu suatu transaksi yang berkaitan dengan kombinasi atau penggabungan badan usaha antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kombinasi bisnis biasa dialakukan melalui merger, konsolidasi dan akuisisi.

UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) tidak menggunakan istilah merger, konsolidasi, atau akuisisi, melainkan  menggunakan istilah  penggabungan untuk Merger, peleburan untuk Konsolidasi dan Pengambilalihan (acquisition) untuk akuisisi saham. Istilah dan definisi merger, konsolidasi dan akuisisi digunakan dalam UU Perbankan Pasal 1 angka 25, 26, dan 27 serta disnggung Pasal 28 ayat (1)  yang mengharuskan bahwa merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 dijelaskan mengenai prosedur merger, konsolidasi dan akuisisi bank.        

Merger

Penggabungan (Merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum (Pasal 1 angka 9 UUPT).

Dari pengertian tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:

1.      Penggabungan perusahaan setidaknya melibatkan dua pihak  perusahaan, yaitu yang menerima penggabungan (absorbing company/acquiring company/surviving company) dan pihak perusahaan yang digabungkan atau menggabungkan diri (absorbed company/acquired company/ target company).

2.      Perusahaan yang menerima penggabungan (surviving company) akan menerima atau mengambil alih seluruh hak dan kewajiban, aktiva dan pasiva dari target company.

3.      Perusahaan yang digabungkan (target company) akan hilang statusnya sebagai perusahaan karena hukum

 

Konsolidasi

 

Peleburan (Konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum (Pasal 1 angka 10 UUPT).

 

Dari pengertian tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:

1.      Peleburan perusahaan setidaknya melibatkan tiga pihak, yaitu setidaknya ada dua perusahaan yang melebur (absorbed company) dan kedua pihak perusahaan tersebut membentuk perusahaan baru.

2.      Perusahaan-perusahaan yang melebur (absorbed company) akan hilang statusnya sebagai perusahaan karena hukum.

3.      Perusahaan Baru akan menerima atau mengambil alih seluruh hak dan kewajiban, aktiva dan pasiva dari perusahaan-perusahaan yang melebur.

 

Jadi baik merger maupun konsolidasi kedua-duanya menghasilkan kombinasi atau penggabungan asset dan liabilities perusahaan-perusahaan yang bergabung maupun yang melebur. Perbedaannya hanya terletak  pada eksistensi hukum.  Pada merger the acquiring/surviving firm mempertahankan  nama dan identitasnya dan mengambilalih semua asset dan liability dari the acquired/target company dan setelah merger,  eksistensi target company sebagai badan hukum berakhir. Sedangkan pada konsolidasi kedua perusahaan yang melebur eksistensinya berakhir dan bergabung menjadi bagian dari perusahaan yang baru.

Akuisisi Saham

Berdasarkan literatur, akusisi terdari dari dua jenis, yaitu : (1) akuisisi saham, dan (2) akuisisi aset. Namun UU PT hanya mengatur mengenai akusisi saham terutama terkait dengan prosedur pengambilaihannya. Berdasarkan undang-undang ini Pengambilalihan (Akuisisi) didefiniskan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut (Pasal 1 angka 11 UUPT).

Akuisisi Saham  dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara yaitu (Pasal 125 UU PT):

(i)                Melalui Direksi PerusahaanTarget.

(ii)              Secara langsung dari pemegang saham Perusahaan  Target, dimana prosedurnya tidak berbeda dengan proses jual beli saham pada umumnya;

 

Akusisi saham langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat Rancangan Pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perusahaan yang diambil alih.

 

UUPT tidak mengatur besarnya ambang batas (treshold) persentase saham yang diambilalih sehingga dapat disebut sebagai telah terjadi akuisisi atau pengambilalihan yang konsekuensinya harus memenuhi prosedur yang ditentukan dalam undang-undang. Kata kuncinya adalah bahwa  pengambilalihan harus dapat mengakibatkan “beralihnya pengendalian”. UUPT sendiri tidak mendefinsikan kriteria “pengendalian”. Namun pengertian “pengendalian” dapat dijumpai dalam ketentuan di bidang pasar modal. Dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Bapepam Nomor IX.H.1 tentang  Pengambilalihan Perusahaan Terbuka disebutkan bahwa yang disebut “Pengendali” adalah: (i) Pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau (ii) Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Perusahaan Terbuka.

 Jadi pengambilalihan dalam perusahaan terbuka terjadi apabila:

1.      Acquiring company menjadi pemegang saham dengan jumlah lebih dari 50% dari saham yang disetor pada perusahaan target; atau

2.      Pengambilalihan oleh acquiring company dimaksudkan untuk  mengendalikan target company tanpa harus melihat apakah threshold 50% kepemilikan saham pada perusahaan target dipenuhi atau tidak.

 

Ketentuan serupa juga berlaku dalam akuisisi bank sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1999. Akuisisi Bank dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh atau sebagian saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank kepada pihak yang mengakuisisi. Pengambilalihan saham Bank baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, yang mengakibatkan kepemilikan saham oleh pemegang saham perorangan atau badan hukum menjadi lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari saham Bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian kecuali pihak yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya bahwa walaupun yang bersangkutan telah menguasai lebih dari 25% kepemilikan saham pada perusahaan target sepanjang ia tidak bermaksud untuk melakukan pengendalian manajemen perusahaan target atau sekedar untuk melakukan investasi portofolio atau spekulasi perdagangan saham maka tidak dapat dikatakan telah terjadinya pengambilalihan. Demikian pula sebaliknya apabila, acquiring company mengambil alih kepemilikan saham perusahaan target kurang dari 25%, namun sepanjang dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan bermaksud untuk melakukan pengendalian manajemen perusahaan target, maka hal ini sudah dapat disebut telah terjadi pengambilalihan/akuisisi bank.

 

Sedangkan dari aspek persaingan usaha, akuisisi dilarang apabila akuisisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 28 (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perusahaan dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain  apabila pengambilalihan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.  Penilaian apakah pengambilalihan dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usahga (“KPPU”) dengan menggunakan beberapa indikator penilaian, yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan kepailitan.

 

 

Akuisisi Aset

Seperti telah dijelaskan, yang diatur dalam UU PT  adalah mengenai akuisisi saham bukan akuisisi aset. Namun beberapa pengaturan akusisi aset tersirat dari ketentuan Pasal 102 UU PT. Pasal 102 ayat (1) UUPT berbunyi:

“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:

a.       mengalihkan kekayaan Perseroan; atau

b.       menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;

yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak”.

 

Jadi dalam hal ini target company harus meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham apabila terjadi pengambilalihan aset perusahaan oleh perusaan lain (acquiring company). Pengalihan aset target company harus memperoleh persetujuan dari RUPS dengan korum kehadiran paling sedikit ¾ dari jumlah saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾  dari jumlah suara tersebut.  Namun apabila dilakukan tanpa tanpa persetujuan RUPS, pengalihan ini tetap sah mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut (dhi. acquiring company) beritikad baik. Prosedur akuisisi aset mengikuti ketentuan dalam KUHPerdata, khususnya terkait dengan perikatan dan jual beli.

Jadi walaupun terdapat perbedaan antara pengertian merger, konsolidasi dan akuisisi, namun kesemuanya itu hampir memiliki kesamaan dalam hal maksud dan tujuan, yang pada intinya adalah penggabungan.  Merger dan akuisisi juga merupakan konsep yang selalu muncul bersamaan, merger adalah konsep dasarnya, sedangkah akuisisi adalah pelaksanaan konsep itu. Akuisisi adalah salah satu cara menghasilkan merger yang dianggap elegan.

 

Kelebihan dan Kelemahan Merger/Konsolidasi dibanding dengan Akusisi

Merger/Konsolidasi

 

Kelebihan Merger/Konsolidasi:

1.      Merger/ konsolidasi biasanya lebih murah dibandingkan dengan bentuk akuisisi karena secara hukum semua aktiva dan pasiva kedua (atau lebih) perusahaan otomatis menjadi satu pada saat bergabung/melebur dan bisa dilakukan tanpa melikuidasi acquired company , dimana diketahui bahwa biaya likuidasi akan bisa menjadi sangat mahal.

2.      Merger /konsolidasi selain dapat dilakukan secara murah, juga dapat dilakukan secara cepat dimana dapat dihindari semua proses pengalihan (balik nama, roya atas hak-hak jaminan) yang diperlukan dari  masing-masing asset.

 

Kelemahan Merger/Konsolidasi:

1.      Merger dan konsolidasi memerlukan persetujuan dari pemegang saham masing-masing perusahaan dimana prosesnya akan memakan biaya dan waktu.

2.       Pemegang saham dari acquired company yang tidak setuju memiliki appraisal rights dimana ia dapat meminta aquiring company untuk membeli sahamnya berdasarkan fair value, dimana seringkali tidak tercapai kesepakatan tentang harga fair value yang berakibat kepada proses legal yang menjadi mahal.

 

Pengambilalihan/Akuisisi Saham

 

Kelebihan:

1.      Perusahaan pengakuisisi dapat mem”bypass” direksi perusahaan target dengan langsung melakukan transaksi dengan pemegang saham.

2.      Perusahan  melakukan akuisisi saham secara bertahap (untuk tujuan melakukan merger nantinya) untuk  menghindari pemegang saham minoritas yang tidak setuju dimana nantinya diharapkan agar secara bertahap akhirnya terjadi “completely  absorbed acquisition” yang pada hakekatnya merupakan merger.

 

Kelemahan: Akuisisi saham biasanya berakhir dengan hostile takeover, dimana adanya pertentangan  dari pihak manajemen atau pemegang saham minoritas/publik yang dapat mengakibatkan biaya akuisisi yang mahal dibandingkan biaya merger. 

Akuisisi Aset

 

Kelebihan:

Banyak perusahaan melakukan akuisisi aset, ketimbang akusisi saham dengan alasan atau pertimbangan sebagai berikut:

1.      Untuk menghindari  keharusan memikul utang yang tidak tercatat di pembukuan (unrecorded liabilities).

2.      Menghindarkan untuk melaksanakan  perjanjian-perjanjian yang tidak diinginkan oleh pembeli, yang terpaksa harus dilaksanakan apabila dilakukan dengan akuisisi saham. Perjanjian-perjanjian tersebut misalnya yang berkaitan dengan perburuhan, perjanjian sewa,  perjanjian pembelian dan lain-lain.

3.      Menghindari timbulnya permasalahan dengan pemegang saham minoritas, jika dilakukan melalui akuisisi saham (hostile takeover).

 

Kelemahan:

1.      Prosedur yang rumit untuk menentukan pembelian asset tesebut, yaitu yang menyangkut balik nama, roya atas hak-hak jaminan seperti Hipotik dan Hak tanggungan.

2.      Legal prosedur untuk mentransfer asset-aset tersebut akan memakan biaya yang tinggi.

 

Bentuk Merger

Bentuk merger dapat dilihat jenis usahanya, status hukum dan metode akuntasinya.

Bentuk merger dilihat dari jenis usahanya terdiri dari:

1.      Merger Horizontal:

Kombinasi antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasinya masih berada dalam lini bisnis yang yang sama (same line of business) yang tadinya saling bersaing. Tujuan utamanya yaitu mewujudkan efisiensi dalam produksi, promosi dan memasuki pasar yang sudah mapan. Misal merger antar bank, merger antara firma akuntan publik.

2.      Merger Vertikal:

Kombinasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasional atau bidang usahanya menunjukkan adanya hubungan sebagai produser-supplier. Tujuan dari merger vertikal adalah untuk menjamin pengadaaan bahan baku yang berkesinambungan, menjamin jalur pemasaran atas barang/jasa, serta menekan biaya produksi. Misal merger perusahaan perkebunan karet dengan perusahaan produsen ban.

3.      Merger Konglomerat:

Kombinasi antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang tidak saling memiliki hubungan, baik dalam jenis usaha (horizontal) maupun tingkat operasi kegiatan (vertikal). Tujuannya bagi perusahaan atau grup perusahaan adalah untuk memperkecil risiko dalam rangka diversifikasi dan memperkecil ketergantungan terhadap satu atau bebarapa bidang usaha. Contoh dalam praktik adalah merger antara Mobil Oil dengan Montgomery Ward.

4.      Merger Congeneric

Kombinasi antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya, yang kegiatan operasinya masih berada dalam suatu hubungan antara satu dengan yang lain akan tetapi hubungan tersebut belum dapat dikatakan sebagai produsen terhadap produk yang sama atau kompetitor (horisontal) dan bukan juga berhubungan antara produser-supplier (vertikal). Misalnya gabungan antara perusahaan leasing dengan bank. Contoh dalam praktik adalah merger antara Backer & Company dengan perusahaan asuransi Prudential, Sony dan Erricson.

 

Bentuk merger dilihat dari status hukumnya terdiri dari:

1.                        Statutory Merger

Merger yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik yang berdasarkan undang-undang maupun berdasarkan perjanjian merger yang dibuat oleh para pihak. Disini salah satu perusahaan (perusahaan penerima penggabungan/absorbing company) tetap hidup dan melanjutkan aktivitasnya secara otomatis berhak atas segala harta (asset), kewajiban dan utang dari perusahaan yang digabungkan (absorbed company) yang menjadi hilang status dan identitasnya sebagai perusahaan

2.                        Defacto merger

Yaitu merger tanpa didukung oleh peraturan hukum yang berlaku di tempat perusahaan-perusahaan yang terlibat merger tersebut berdomisili. Meskipun peusahaan penerima penggabungan telah menguasai sebagian terbesar dari harta hak-hak serta bertanggung jawab atas kewajiban dan utang-utang dari perusahaan yang digabungkan namun yang terakhir ini secara hukum tetap dianggap hidup dan mempnyai kedudukan yang penuh sebagai perusahaan yang mandiri. Defacto merger ini dapat juga diartikan sebagai akuisisi aset.

 

Merger dilihat dari segi metode akuntasi dapat dibagi menjadi:

1.                        Pooling of interest method

Metode ini digunakan apabila merger merupakan tindakan untuk menyatukan kepemilikan dari dua atau lebih perusahaan yang digabungkan. Artinya sejak semula target company dianggap telah bergabung ke dalam acquiring company. Harta/aktiva target company yang dialihkan kepada acquiring company dinilai sesuai denga harga buku yang tercatat di dalam pembukuan target company. Metode ini disebut dengan metode penyatuan kepentingan.

2.                        Purchase method

Metode ini dipergunakan apabila merger menimbulkan perubahan pada struktur nilai pemilikan atas harta/aktiva pada perusaaan penerima penggabungan artinya, harta atau aktiva target company yang dialihkan kepada acquiring company dinilai berdasarkan harga  pasar  yang wajar, bukan harga buku. Metode ini dikenal dengan metode pembelian.

 

Motivasi atau Tujuan Merger

 

Tujuan atau Motivasi perusahaan melakukan merger dapat ditinjau dari bebarapa sudut yaitu:

1.                                    Efisiensi atau Sinergi

Merger dapat meningkatkan efisiensi yang diperoleh melalui sinergi, yang berarti nilai gabungan kedua perusahaan tersebut lebih besar dari penjumlahan masing-masing nilai perusahaan yang digabungkan (2+2=5). Sinergi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:

a.    Operating synergy

Kombinasi dari beberapa operasi sehingga dapat menekan biaya dan menaikkan penghasilan. Operating synergy muncul dari perusahaan yang melakukan ekspansi pada bisnis yang sama sehingga dapat menekan biaya rata-rata karena biaya tetap menurun (memperoleh economic of scale), atau melakukan diversifikasi ke sektor yang masih berkaitan (related diversification), misal perusahaan garmen yang bergabung dengan perusahaan tekstil, perusahaan rokok yang bergabung dengan perusahaan perkebunan tembakau.

 

b.    Financial synergy

Financial synergy berasal dari penghematan yang dinikmati perusahan yang berasal dari sumber pendanaan. Jenis sinergy ini diperoleh dari conglomerate merger.

 

c.     Management synergy

Adalah sinergi yang dinikmati oleh perusahaan karena kombinasi dari beberapa manajemen. Misalnya manjemen perusahaan A kurang efisien dibandingkan dengan manajemen perusahaan B, maka merger dapat menjadi jalan untuk meningkatkan efisiensi. Peningkatan efisiensi disini mensyaratkan kedua perusahaan yang digabung memiliki bidang kegiatan yang sama (merger horisontal)

 

2.                                    Diversifikasi

Menurut teori ini, motivasi yang melatarbelakangi terjadinya merger adalah penganekaragama bidang usaha atau diversifikasi. Dengan dimiliki bidang usaha yang beraneka ragam, maka suatu (kelompok) perusahaan dapat menjaga stabilitas pendapatannya. Bentuk merger yang relevan disini adalah merger konglomerat, khususnya product-extension merger.

 

3.                                    Kekuatan Pasar

Teori kekuatan pasar akan diperoleh apabila diterapkan pada merger horisontal. Hal ini karena penggabungan dua atau lebih perusahaan yang sebelumnya saling bersaing menjual produk yang sama, secara teoritik akan meningkatkan penguasaan pasar. Terutama untuk merger horizontal dan merger vertikal.

 

4.                                    Keuntungan Pajak

Keuntungan pajak diperoleh melalui pengurangan kewajiban pembayaran pajak. Misalnya acquiring company adalah perusahaan yang senantiasa memperoleh keuntungan yang besar, sehingga kewajiban pembayaran pajaknya besar. Target company merupakan perusahaan yang telah lama merugi, sehingga  ia memiliki fasilitas pembebasan pajak akibat akumulasi kerugian. Ketika keduanya bergabung, fasilitas pembebasan pajak yang semula dimiliki oleh target company akan beralih ke acquiring companya sehingga ia memperoleh keuntungan dari pengurangan kewajiban pajak tersebut. Bentuk merger yang relevan adalah merger konglomerat, horisontal atau vertikal.

 

5.                                    Undervaluation

Menurut teori undervaluation, motivasi merger timbul karena keinginan untuk memperoleh keuntungan dari harga yang rendah dari suau perusahaan. Apabila merger ini dilakukan maka acquiring company akan memperoleh keuntungan berupa selisih harga perusahaan yang digabungkan.

 

6.                                    Prestise

Menurut teori ini merger dilakukan bukan karena motivasi ekonomi tetapi karena prestise. Melalui merger sebuah perusahaan akan menjadi semakin besar dengan demikian akan meningkatkan prestise pemilik dan direksi perusahaan yang menerima penggabungan. Disamping itu, dengan semakin membesarnya perusahaan berarti renumerasi bagi anggota Direksi akan menjadi bertambah pula.

 

 

Akibat Hukum Merger/Konsolidasi

Merger dan Konsolidasi memiliki konsekuensi hukum sebagai berikut:

1.      Perusahaan yg melebur atau menggabungkan diri/melebur berakhir demi hukum  tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu (Ps. 122 ayat (1)  (2) UUPT)

2.      Pemegang saham Perusahaan yang menggabungkan diri menjadi pemegang saham Perusahaan hasil penggabungan/peleburan (Ps. 122 ayat (3) (b) UUPT

3.      Aktiva, hak dan kewajiban Perusahaan yang menggabungkan diri/melebur beralih karena hukum kepada perseroan hasil penggabungan/peleburan (ps. 122 ayat (3) UUPT).

 

 

Perlindungan Pihak-Pihak yang Berkepentingan

 

Di dalam merger terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan seperti perseroan pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor dan masyarakat serta persaingan usaha. Kepentingan masing-masing pihak ini harus diperhatikan sebelum dilakukan merger mengingat ada kemungkinan pihak-pihak ini akan dirugikan dalam pelaksanaan merger. Landasan hukum mengenai perlindungan para pihak dalam pelaksanaan merger diatur di Pasal 126 ayat (1) UU PT, yang berbunyi:

“Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:

a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;

b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan

c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.”

 

Perseroan

 

Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut dengan atau bagaimana melindungi kepentingan perseroan. Berdasarkan teori, yang disebut dengan kepentingan perseroan/perusahaan dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu apakah kita menggunakan pendekatan pemegang saham (shareholder approach) atau pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder approach). Jadi berdasarkan shareholder approach, kepentingan perusahaan adalah kepentingan pemegang saham. Sedangkan menurut stakeholder appraoch, kepentingan perusahaan adalah kepentingan semua pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jalannya perusahaan dimaksud, termasuk dalam hal ini karyawan, manajemen, masyarakat sekitar dan lingkungan hidup disamping pemegang saham itu sendiri. Apabila kita menggunakan shareholder approach, merger tersebut dianggap benar apabila menghasilkan maksimalisasi nilai bagi pemegang saham, baik pemegang saham pada acquiring company maupun pada target company. Sedangkan apabila digunakan stakeholder approach, merger tersebut harus memperhatikan seluruh kepentingan pemangku kepentingan secara menyeluruh sehingga hanya dapat dinilai berdasarkan kasus per kasus.

 

Pemegang Saham Minoritas

 

Merger hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan dan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.  Apabila seluruh pemegang saham baik pada target company dan acquiring company bersama-sama menyetujui rencana pelaksanaan merger yang dilakukan masing-masing direksi, maka tidak akan timbul permasalahan. Permasalahan baru timbul jika pemegang saham mayoritas menyetujui rencana merger sedangkan pemegang saham minoritas tidak menyetujui rencana tersebut.

 

Apabila persyaratan  mengenai pelaksanaan RUPS, korum maupun pengambilan keputusan telah dipenuhi dan dalam hal RUPS tetap memutuskan atau menyetujui pelaksanaan merger meskipun terdapat keberatan dari pemegang saham minoritas, maka bagi pemegang saham minoritas terdapat dua alternatif, yaitu:

1.      Pemegang saham minoritas menuntut “appraisal right”, yaitu hak agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar oleh perseroan sebagai pembayaran ganti rugi atas pelaksanaan merger (Pasal 62 ayat (1) UUPT). Apabila pembelian saham tersebut tidak dimungkinkan karena adanya aturan jumlah maksimal saham (treasury stock) yang dapat dibeli kembali oleh perseroan (yaitu maksimal 10% dari modal yang ditempatkan), maka perseroan wajib mencarikan pihak ketiga untuk membeli saham tersebut (pasal 62 ayat (2) UUPT)

2.      Menggugat perseroan melalui Pengadilan Negeri ditempat kedudukan perseroan, dan meminta pengadilan untuk membatalkan rencana pelaksanaan merger yang telah disetujui RUPS dengan alasan pelaksanaan merger tersebut dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Landasan hukum gugatan ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 61 UUPT.

 

Kreditor

Direksi wajib mengumumkan ringkasan Rancangan merger minimal dalam 1 surat kabar paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS (Ps. 127 (2) UUPT).  Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang Bersangkutan, termasuk kreditor, agar mengetahui adanya rencana tersebut dan mengajukan keberatan jika mereka merasa kepentingannya dirugikan.

 

Kreditur dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu 14 hari setelah pengumuman di surat kabar tersebut. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak keberatan mereka dianggap menerima rencana merger tersebut (Ps. 127 (4), (5) UUPT).  Keberatan kreditor harus diselesaikan oleh Direksi dan jika sampai dengan tanggal penyelengaraan RUPS belum dapat diselesaikan, hal ini akan diselesaikan dalam dalam RUPS (Ps. 127 (6) UUPT). Penyelesaian terhadap kreditor dapat berupa pembayaran kembali piutang para kreditor dengan seketika atau dapat pula berupa kesepakatan tentang penyelesaian keberatan kreditor. Selama penyelesaian belum tercapai, merger tidak dapat dilaksanakan (Ps. 127 (7) UUPT).

 

Karyawan

Perseroan yang hendak melakukan merger harus melakukan pengumuman ringkasan rancangan merger di surat kabar 30 (tiga puluh) hari sebelum dilakukan pemanggilan RUPS. Dalam rancangan tersebut antara lain memuat cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan merger.

Disamping dilakukan pengumuman ringkasan rancangan merger di surat kabar, berkaitan dengan perlindungan kepentingan karyawan untuk pelaksanaan merger, 30 (tiga puluh) hari sebelum dilakukan pemanggilan RUPS, Direksi berkerkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis kepada karyawan (Pasal 127 ayat 2 UUPT). Hal ini dimaksudkan agar karyawan dapat membela kepentingannya apabila rencana merger dianggap merugikan karyawan.

Terhadap karyawan, undang-undang tidak memberikan mekanisme pengajuan keberatan rencana merger sebagaimana diberikan kepada kreditor yang dapat menggagalkan rencana merger. Dalam praktik penyelesaian masalah karyawan dilakukan secara negosiasi dan musyawarah antara perseroan dengan karyawan dengan isu utamanya adalah pemberian pesangon apabila harus dilakukan pemutusan hubungan kerja.

 

Persaingan Usaha

 

Berdasarkan Pasal 28 (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat, perusahaan dilarang melakukan penggabungan, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan lain  yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.  Menurut Pasal 3 ayat (2)Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010[1], penilaian apakah merger dan akuisisi dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dilakukan oleh KPPU dengan menggunakan beberapa aspek, yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan kepailitan.

Disamping itu perusahaan juga wajib melaporkan kepada KPPU terhadap penggabungan, peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat nilai aset dan nilai penjulannya melebihi jumlah tertentu selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal efektif peristiwa merger dan  akuisisi tersebut (Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999).  Adapun batasan nilai yang wajib untuk dilaporkan ke KPPU adalah jika perusahaan hasil merger dan akuisisi memiliki aset gabungan melebihi Rp2,5 Triliun, omset penjualan gabungan melebihi Rp5 Triliun, sementara khusus untuk perbankan, peraturan ini hanya berlaku jika aset gabungan melebihi Rp20 Triliun (Pasal 5 ayat 2 dan 3 PP No. 57 Tahun 2010).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat membatalkan merger yang mengakibatkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal . 47 ayat 2 huruf e UU No. 5 Tahun 1999). Pelanggaran terhadap Pasal 28 juga diancam pidana denda Rp. 25 milyar sampai . Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda max. 6 bulan (Pasal 48 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999). Selain itu dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris selama 2 tahun sampai 5 tahun (Pasal  49 UU No. 5 Tahun 1999).

 

Tahapan dalam Merger & Akuisisi

 

Secara garis besar tahapan atau prosedur dalam merger dan akuisisi adalah sebagai berikut ini.

 

1.      Persetujuan RUPS

Kecuali untuk PT. Tbk yang ada Benturan Kepentingan (ikuti Peraturan Bapepam IX.E.1), Merger & Akuisisi hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan dan keputusan RUPS, yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara tersebut (Pasal 89 (1) UUPT). Apabila Quorum dalam RUPS I tsb tidak terpenuhi maka dapat dilakukan RUPS II, dengan quorum 2/3 hadir dan disetujui oleh minimal ¾ yg hadir tersebut. Jika quorum RUPS II pun tidak terpenuhi maka PT dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk ditetapkan quorum RUPS III (Pasal 89 (4) jo. Pasal 86 (5) UUPT)

 

2.      Rancangan Merger & Akuisisi

 

Merger/Konsolidasi. Direksi PT  yang akan menggabungkan diri dan meneriman penggabungan (merger) atau yang akan meleburkan diri (konsolidasi) menyusun rancangan Merger/Konsolidasi yang memuat sekurang-kurangnya (Pasal 123, 124 UUPT):

a.       nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;

b.      alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi dan persyaratan Merger/Konsolidasi;

c.       tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi;

d.      rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi apabila ada;

e.       laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;

f.        rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;  

g.       neraca proforma Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;

h.      cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;

i.         cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan Merger/Konsolidasi terhadap pihak ketiga;

j.         cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Merger/Konsolidasi Perseroan;

k.       nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Merger/Konsolidasi;

l.         perkiraan jangka waktu pelaksanaan Merger/Konsolidasi;

m.    laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi;

n.      kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Merger/Konsolidasi dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan

o.      rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Merger/Konsolidasi.  

Rancangan ini setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.

Akusisisi. Direksi Perseroan yang akan diambil alih (target company) dan Perseroan yang akan mengambil alih (acquiring company) dengan persetujuan Dewan Komisaris masing-masing menyusun rancangan Akusisi yang memuat sekurang-kurangnya (Pasal 125 (6) UUPT):

a.       nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;

b.      alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih;

c.       laporan keuangan untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;

d.      tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran Pengambilalihan dilakukan dengan saham;

e.       jumlah saham yang akan diambil alih;

f.        kesiapan pendanaan;

g.       neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;

h.      cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan;

i.         cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;

j.         perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan;

k.       rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada.

 

3.      Pengumuman

Direksi wajib mengumumkan ringkasan Rancangan Merger dan Akuisisi minimal dalam 1 surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS (Ps. 127 (2) UUPT).

 

4.      Akta Merger

Rancangan Penggabungan dan Konsep Merger dan Akuisisi wajib dimintakan persetujuan dalam RUPS masing-masing perseroan, dan kemudian Konsep Akta Penggabungan yang telah mendapat persetujuan RUPS tersebut dituangkan dalam Akta Merger dan Akuisisi yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia (Ps. 128 UUPT)

 

5.      Persetujuan/Pemberitahuan ke Menkumham

Dalam hal Konsolidasi, Akta Peleburan menjadi dasar pembuatan akta pendirian Perseroan hasil Peleburan dan diajukan untuk mendapatkan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan hasil Peleburan (Ps. 128 (3) jo Ps. 130 UUPT).

 

Untuk penggabungan (Merger), dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar, salinan akta Penggabungan diajukan kepada Menkumham untuk mendapatkan persetujuan atau pemberitahuan. Dalam hal tidak terjadi perubahan anggaran dasar, salinan akta tersebut disampaikan kepada Menkumham untuk dicatat dalam daftar Perseroan (Pasal 129 UUPT).

 

Sedangkan  untuk akusisisi, Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar (Pasal 131 (1) UUPT). Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham (Pasal 131 (2) UUPT).

 

6.      Pengumuman Akhir

Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau hasil Peleburan atau Direksi dari Perseroan yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya Penggabungan atau Peleburan (Pasal 133 UUPT). Pengumuman ini dilakukan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah terjadinya Merger dan Akuisisi.

 

Merger Bank

 

Tujuan merger bank tidak banyak berbeda dengan tujuan merger perusahaan non bank lainnya yaitu: meningkatkan daya saing, memperbesar pangsa pasar, memperkuat struktur permodalan dan efisiensi.  Namun setidaknya pada merger bank terdapat perbedaan dalam hal apakah dorongan untuk melakukan merger tersebut dilakukan oleh pihak internal bank atau eksternal bank.

Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan:

Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :

a.    pemegang saham menambah modal;

b.    pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

c.    bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d.    bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e.    bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f.     bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;

g.    bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

 

Berdasarkan ketentuan diatas, Bank Indonesia dapat “memaksa” bank untuk melakukan merger dengan bank lain apabila bank mengalami kesulitan dan dianggap membahayakan kelangsungan usaha.

 

Oleh karena itu, dalam hal bank, inisiatif untuk melakukan merger dapat berasal dari:

1.      Bank yang bersangkutan

2.      Otoritas Perbankan, dalam hal ini Bank Indonesia atau Badan Khusus sementara dalam rangka penyehatan perbankan (Pasal 3 PP No. 28 Tahun 1999)

 

Oleh karenanya, tujuan dari merger bank dapat dikatakan sebagai berikut:

1.       Sebagai salah satu strategi dalam pengembangan bisnis usaha

2.       Untuk mempertahankan kelangsuangan usaha

3.       Dalam rangka penyelamatan suatu bank

 

Merger bank juga harus memperhatikan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Perbankan disebutkan bahwa merger dan akuisisi wajib menghindarkan  timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat serta  tidak boleh merugikan kepentingan para nasabah.  Di samping itu dalam Pasal 5 PP No. 28 tahun 1999 juga disebutkan:

“Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dilakukan dengan memperhatikan:

a.              kepentingan Bank, kreditor, pemegang saham minoritas dan karyawan Bank; dan

b.              kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha Bank”.

 

Berdasarkan uraian diatas, bank dalam melakukan merger dan akuisisi harus memperhatikan kepentingan-kepentingan para pihak yaitu kepentinga:

a.       bank

b.       kreditor

c.       pemegang saham minoritas

d.       karyawan

e.       nasabah

f.        aspek persaingan usaha.

 

Pada dasarnya prosedur pelaksanaan merger bank tidak berbeda dengan prosedur pelaksanaan merger perusahaan non bank. Perbedaannya hanya dapat terlihat dari segi perizinan. Merger bank selain harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Perundang-undangan juga harus mendapatkan izin dari pimpinan Bank Indonesia (Pasal 4 PP No. 28/1999).

 

1.       Syarat-syarat lain yang harus diperhatikan dalam hal merger dan konsolidasi bank adalah[2] Telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham.

2.       Pada saat terjadinya Merger atau Konsolidasi, jumlah aktiva Bank hasil Merger atau Konsolidasi tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah aktiva seluruh Bank di Indonesia;

3.       Permodalan Bank hasil Merger atau Konsolidasi harus memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4.       Calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang ditunjuk tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan

5.       Merger/konsolidasi antara bank konvensional dengan bank berdasarkan prinsip syariah hanya dapat dilakukan apabila bank hasil merger/konsolidasi dimaksud menghasilkan bank dengan prinsip syariah atau bank konvensional namun memiliki kantor cabang berdasarkan prinsip syariah .

 

Khusus untuk akuisisi bank, syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut[3]:

a.              Telah memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham

b.              Pihak yang melakukan akuisisi tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.

c.              Dalam hal akuisisi dilakukan oleh Bank, maka Bank wajib memenuhi ketentuan mengenai penyertaan modal oleh Bank yang diatur oleh Bank Indonesia.

 

Single Presence Policy

 

Pada awal Oktober 2006, Bank Indonesia menerbitkan Paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan PAKTO 2006  atau Single Presence Policy, dimana salah satu isi paket tersebut adalah berisi Kebijakan mengenai Kepemilikan Tunggal Perbankan yang tertuang dalam Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, yang ditunjang dengan kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi perbankan sebagaimana diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/17/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006.

 

Kebijakan SPP ini merupakan wujud langkah untuk menempuh heavy handed policy guna memaksa perbankan melakukan konsolidasi secara lebih cepat, yang lahir sebagai tindak lanjut dan implementasi dari program Arsitektur Perbankan Indonesia (“API”) khususnya Pilar 1 mengenai Penguatan Struktur Perbankan Nasional dan Pilar 3 mengenai Peningkatan Fungsi Pengawasa. Kebijakan SPP ditempuh oleh BI akibat imbauan BI kepada perbankan nasional untuk melakukan konsolidasi melalui merger secara sukarela ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan.


Sebagaimana diketahui, kebijakan ini mengharuskan kepada seluruh pemilik bank khususnya pemegang saham pengendali (“PSP”) untuk mengkonsolidasikan kepemilikannya di bank-bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu hingga tahun 2010. Ada 3 (tiga) opsi yang ditawarkan oleh BI melalui kebijakan tersebut yaitu divestasi (penjualan saham-saham miliknya), merger atau konsolidasi, dan yang terakhir adalah pembentukan perusahaan induk di bidang perbankan.


Peraturan tersebut mendefinisikan SPP dengan istilah “Kepemilikan Tunggal” yaitu suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Bank yang masuk dalam ruang lingkup kebijakan ini  hanyalah Bank Umum dan tidak termasuk Bank Perkreditan Syariah, Kantor Cabang Bank Asing, Bank Campuran, Bank Holding Company dan Bank Umum Syariah.


Bagi bank-bank yang telah memiliki dan mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank, berdasarkan peraturan SPP, wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya hingga tahun 2010. Dalam rangka penyesuaian struktur kepemilikan ini, BI memberikan 3 (tiga) buah pilihan yaitu:

1.      mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank; atau

2.       melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau

3.      membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dengan cara:

a.       mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company; atau

b.      menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.

 



[1] PP ini merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 28 dan 29 UU No. 5 Tahun 1999

[2] Pasal 8 PP No. 28 Tahun 1999

[3] Pasal 10 PP No. 28 Tahun 1999 jo SK Dir BI No. 32/51 tahun 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar