Kamis, 28 Januari 2021

PERLINDUNGAN PIHAK YANG LEMAH PASCA PENGGABUNGAN (MERGER) SUATU PERSEROAN TERBATAS

 

PERLINDUNGAN PIHAK YANG LEMAH PASCA PENGGABUNGAN (MERGER) SUATU PERSEROAN TERBATAS

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum suatu perseroan terbatas yang melakukan penggabungan atau merger. Objek penelitian ini adalah perseroan yang menggabungkan diri dengan perseroan yang lain sehingga hilang dan bergabung menjadi satu dengan perseroan yang digabungi. Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, data yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu perundang-undangan dan data sekunder yaitu, buku dan jurnal hukum yang terkait dengan penggabungan perseroan terbatas. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa; 1). Dengan adanya penggabungan dua perseroan otomatis merubah status hukum, struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. 2). Perlu dilakukan upaya perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan, yaitu, karyawan atau pekerja, pemegang saham minoritas, dan pihak ketiga. 3). Untuk organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris hendaknya mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan untuk menjamin keuntungan semua pihak.

Kata kunci: penggabungan, perseroan terbatas, perlindungan

A.            Pendahuluan

Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia selalu berbanding lurus dengan kemajuan serta kemudahan dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam sektor ekonomi sendiri, pertumbuhan dan perkembangan ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang masing-masing sehingga menyebabkan ketatnya persaingan antar perusahaan tersebut. Untuk itu masing-masing perusahaan berupaya mencari jalan untuk meningkatkan efisiensinya juga meningkatkan kinerjanya. Banyak cara yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam mengoptimalisasikan sumber daya yang ada seperti modal, teknologi managemen, dan lain-lain guna memperoleh sinergisme baru dalam melakukan kegiatan usaha yang mengacu pada efisiensi dan produktifitas[1]. Salah satu cara tersebut adalah dengan jalan merger atau penggabungan.

Dalam istilah hukum perusahaan, merger adalah tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, dimana satu dari berbagai perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang[2]. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sehingga dari penjelasan pengertian merger dapat disimpulkan bahwa merger merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan dimana satu perusahaan masih berdiri dan yang menggabungkan diri bubar demi hukum.

Setelah kedua perusahaan tersebut resmi menggabungkan diri, diharapkan dapat memberikan keuntungan yang lebih daripada sebelum menggabungkan diri. Keuntungan-keuntungan tersebut dapat dilihat dari peningaktan kualitas serta efisiensi dari penggunaan sumber daya dan modal untuk menghasilkan suatu produk yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Tak terlepas dari kemajuan teknologi, peningkatan persaingan perusahaan telekomunikasi, terutama di Indonesia, menyebabkan terjadinya penggabungan perusahaan telekomunikasi yang cukup berpengaruh, yaitu antara PT XL Axiata Tbk dan PT Axis Telekom Indonesia pada kuartal awal 2014 yang lalu. PT XL Axiata Tbk secara resmi mengumumkan bahwa proses merger dengan PT Axis Telekom Indonesia telah selesai dengan ditandatanganinya akta merger pada 8 April 2014. (sumber: www.xl.co.id)

Penggabungan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan daripada kedua pihak perseroan. Juga bagi masyarakat yang menggunakan layanan dari perusahaan tersebut. Selain itu, penggabungan kedua perusahaan telekomunikasi tersebut juga diharapkan berdampak terhadap peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Meskipun pada awal perencanaan merger kedua perusahaan tersebut memunculkan isu monopoli yang diindikasikan dari konsentrasi pasar sebelum dan sesudah merger, Komisi Pengawas Pesaingan Usaha (KPPU) tetap memberikan persetujuan merger kedua perusahaan tersebut setelah perusahaan memenuhi seluruh persyaratan proses akuisisi dan merger yang berlaku sesuai dengan dasar perundang-undangan di Indonesia.

Namun, setelah terjadinya suatu merger, perseroan yang menggabungkan diri akan lenyap dan bergabung menjadi satu dengan perseroan yang digabungi. Pada contoh kasus di atas, PT Axis Telekom Indonesia telah lenyap dan menggabungkan diri dibawah PT XL Axiata Tbk. Selain adanya manfaat yang diperoleh dalam efesiensi dan optimalisasi sumber daya, modal, ataupun sarana prasarana penunjang produktifitas perusahaan, penggabungan tersebut juga memberikan dampak lain yang kemungkinan besar jika tidak diatasi dengan tepat dapat mengakibatkan kerugian, baik kerugian bagi pihak dalam perusahaan ataupun pihak lain diluar perusahaan.

Dari penjelasan diatas, muncul permasalahan berupa status hukum, struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. Persoalan perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan, yaitu pemegang saham perusahaan terutama sebagai pemegang saham minoritas, karyawan yang bekerja pada perseroan, juga pihak ketiga yaitu perusahaan lain sebagai pesaing ataupun pelanggan yang menggunakan produk layanan perseroan tersebut serta upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian setelah merger.

 

B.           Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum kepustakaan yang biasa disebut dengan legal research atau legal research instruction. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu menelaah aturan hukum yang berlaku mengenai perseroan terbatas, khususnya mengenai pelaksanaan penggabungan perseroan. Menghimpun peraturan perundang-undangan yang merupakan data pimer, serta mengumpulkan teori-teori dari bahan pustaka berupa buku-buku serta jurnal hukum. Juga mengambil data tersier berupa catatan-catatan mapun berita-berita yang bersumber dari pernyataan pihak yang bersangkutan dalam proses merger tersebut. Analisis data menggunakan penalaran serta metode diskusi kelompok.

 

C.           Pembahasan

1.        Perlindungan Hukum

Perlindungan mempunyai kata dasar lindung, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan perlindugan dapat diartikan sebagai tempat berlindung, atau hal (perbuatan) yang memperlindungi[3]. Perlindungan hukum timbul akibat dilakukannya suatu  perbuatan hukum atau hubungan hukum. Dengan dilakukannya perbuatan hukum maka akan muncul akibat hukum. Hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing subyek hukum mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian[4].

Indonesia adalah Negara hukum, untuk itu seluruh kegiatan yang dilakukan dalam wilayah Indonesia harus berlandaskan pada hukum yang berlaku. Negara mempunyai peran penting terhadap suatu jaminan perlindungan hukum bagi warga negaranya yang melakukan perbuatan hukum. Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum.

Dalam kajian hukum perusahaan khususnya merger peseroan terbatas, perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara yang merupakan perlindungan hukum secara represif telah  tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus, yaitu UUPT dan PP No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Sehingga kegiatan dalam proses merger perseroan terbatas mempunyai perlindungan hukum terhadap subyek hukum yang melaksanakannya.

 

2.        Pengertian Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas adalah salah satu jenis badan usaha yang berbadan hukum. Peraturan mengenai perseroan terbatas di Indonesia terdapat pada peraturan perundangan yang perundangan khusus, yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, perseroan perlu mengembangkan eksistensinya. Pengembangan usaha oleh perseroan salah satunya dengan upaya penggabungan atau yang sering disebut dengan merger. Penggabungan atau merger merupakan salah satu langkah yang diatur dalam perundangan-undangan yang berlaku. Merger yang dilakukan oleh suatu perseroan juga telah diatur dalam UUPT.

Merger atau penggabungan dimaksudkan sebagai suatu “fusi” atau “absorbsi” dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum fusi atau absorbsi dilakukan oleh suatu subjek yang kurang penting dengan subjek yang lebih penting. Subjek kurang penting kemudian membubarkan diri[5]. Secara teori dalam bidang perusahaan, kata “merger” berasal dari bahasa Inggris yang berarti fusi, absorbs, atau menggabungkan. Dalam istilah hukum perusahaan, merger adalah tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, dimana satu dari berbagai perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang[6] .

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.  Menurut PP No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, pengertian dari merger sendiri yaitu penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukakan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri bubar.

Dari definisi merger diatas dapat disimpulkan substansi dari pengertian merger sebagai berikut :

a.   Adanya perbuatan hukum, yaitu penggabungan dua perseroan merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum setelah disepakatinya penggabungan;

b.   Adanya subyek hukum, dalam hal ini ialah  perseroan-perseroan terkait  yang melakukan penggabungan;

c.    Antara perseroan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan; dan

d.   Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan bubar.

Penggabungan yang dilakukan oleh perseroan tersebut menimbulkan suatu akibat hukum yang menjadi konsekuensi bergabungnya dua perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 122 UUPT tentang Penggabungan dan Peleburan suatu perseroan mengakibatkan perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. Maka akibatnya:

a.   Aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri menjadi beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan;

b.   Pemegang saham perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima perseroan dari hasi peleburan; dan

c.    Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal penggabungan atau peleburan mulai berlaku.

Dengan terjadinya penggabungan perseroan, maka secara seketika akan terdapat dua akibat hukum signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan yang merger, yaitu peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan suatu proses likuidasi. Struktur organ perseroan sebagai suatu badan hukum juga akan berubah.

Sehingga bubarnya perseroan yang menggabungkan diri menimbulkan konsekuensi hukum sebagai berikut:

a.   Perseroan yang bubar tersebut tidak lagi dapat melakukan fungsi-fungsinya sebagai suatu perseroan terbatas termasuk tidak dapat bertindak dan mengikatkan diri terhadap pihak ketiga

b.   Seluruh organ perseroan tidak lagi memiliki eksistensinya (tidak berfungsi).

c.    Perseroan yang bubar tersebut tidak lagi memiliki harta kekayaan (asset), baik bergerak (berwujud atau tidak berwujud) maupun tidak bergerak dan juga idak memiliki kewajiban dalam bentukapa pun yang kesemuanya ini telah dialihkan karena/demi hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan.

Sehingga, dengan konsekuensi hukum diatas, perseroan yang menggabungkan diri tidak bisa melakukan perbuatan hukum termasuk tindakan-tindakan yang terkait dengan pngubahan kontrak-kontrak dengan pihak ketiga dan segala proses balik nama terhadap kepemilikan kekayaan beralih kepada perseroan hasil merger.

 

3.        Perlindungan Pihak yang Lemah Pasca Merger Perseroan Terbatas

Dengan adanya pelaksanaan merger yang mengakibatkan perubahan-perubahan secara yuridis, ketentuan dalam UUPT telah mewajibkan sautu perseroan yang akan melakukan merger untuk mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak lain yang terkena dampak dari merger tersebut. Pasal 126 ayat (1) UUPT menyatakan; Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:

a.   Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;

b.   kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan

c.    masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

Dari penjelasan pasal tersebut, ketentuan ini menegaskan bahwa Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya, dalam Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus juga dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat. Berikut penjabaran perlindungan yang diperlukan untuk menghindari kerugian pihak-pihak tertentu.

 

a.   Pemegang Saham Minoritas

Perseroan berasal dari kata dasar “sero” yang artinya saham, dalam bahasa Inggris disebut “share” atau “stock” Sehingga modal dasar pendirian suatu perseroan seluruhnya terbagi dalam bentuk saham. Modal dasar (saham) suatu perseroan biasanya dimiliki oleh pendiri, yang merupakan tanda keikutsertaan dalam memiliki modal perusahaan. Sehingga keikutsertaan seseorang dalam penghimpunan modal suatu perusahaan harus dibuktikan dengan kepemilikan saham. Sehingga dapat diartikan bahwa saham merupakan surat berharga yang menunjukkan kepemilikan perusahaan sehingga pemegang saham memiliki hak klaim atas deviden atau distribusi lain yang dilakukan perusahaan kepada pemegang saham lainnya.

Dalam melakukan perluasan atau ekspansi, secara umum suatu perseroan akan melakukan perluasan pada sektor pendapatan dan modal. Untuk penambahan modal perseroan harus dilakukan atas dasar persetujuan RUPS (pasal 41 ayat (1) UUPT). Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama (Pasal 43 ayat (1)). Untuk saham yang belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya (Pasal 43 ayat (2)). Penambahan modal tersebut hanya diberlakukan pada pemilik modal (saham) sebagai pendiri perseroan. Kemudian sisa saham yang tidak diambil pada bagian tersebut ditawarkan kepada pihak ketiga.

Pemegang saham dalam perseroan mempunyai kedudukan yang kuat secara yuridis. Namun karena ikatannya dengan perseroan lemah, seperti pemegang saham minoritas, menyebabkan posisi yang bersangkutan menjadi lemah. Maka disini diperlukannya suatu perlindungan terhadap pemegang saham minoritas. Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger, terhadap pihak yang minoritas diberi suatu hak khusus yang disebut Appraisal Rights[7].

Menurut ketentuan Pasal 62 dan Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjamin Appraisal Rights dari pemegang saham perseroan yang akan mengambil alih. Appraisal Rights adalah hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju terhadap merger (tetapi dia kalah suara) atau terhadap tindakan-tindakan korporat lainnya, untuk menjual saham yang dipegangnya kepada perusahaan yang bersangkutan dimana pihak perusahaan yang mengisukan saham tersebut wajib membeli kembali saham-sahamnya dengan harga yang pantas.

Selain Appraisal Rights, hukum merger juga memberikan keistimewaan dengan menerapkan prinsip “Super Majority”[8]. Artinya bahwa untuk dapat menyetujui merger, yang diperlukan bukan hanya lebih dari 50% pemegang saham yang menyetujuinya, tetapi lebih dari itu. Dalam  UUPT Pasal 89 ayat (1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

 

b.     Perlindungan Terhadap Pekerja

Secara struktural, yaitu pembagian kewenangan dari suatu perusahaan, pihak yang paling lemah ialah kedudukan para pekerja diperusahaan. Dibandingkan dengan pemegang saham, Direksi, ataupun Komisaris, pekerja sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan taupun operasional perusahaan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan merger sehubungan dengan perlindungan terhadap hak pekerja antara lain;

1)     Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan sosial yang akan diterapkan setelah merger.

2)     Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja.

3)     Cara dan saat untuk menginformasikan merger kepada pekerja.

4)     Cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengeliminir kemungkinan kerugian materiil kepada pihak pekerja, termasuk memberikan kompensasi yang bersifat materiil.

5)     Aktivitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan.

6)     Suatu garansi terhadap keamanan dan ketersediaan pekerjaan setelah merger.

Namun kebanyakan dalam merger atau akuisisi, pekerja seringkali menjadi korban peningkatan kefektifan dan efisiensi usaha, yaitu dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagian besar pekerja akan dijatuhi PHK karena dengan penggabungan dua perusahaan menjadi satu akan mengurangi jumlah pekerjaan sehingga agar kinerja para pekerja efektif. Terutama dalam tipe merger horizontal dimana bentuk merger ini terkait dengan perusahan yang mempunyai lini usaha yang sejenis. Sayangnya dalam sistem hukum Negara kita, hampir-hampir tidak ada upaya hukum apapun untuk menolak PHK tersebut. Oleh karenanya, asalkan PHK dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka PHK tersebut sudah sah.

Dalam ketentuan ketenagakerjaan Negara kita memperbolehkan pemutusan hubungan kerja terhadap para pekerja, asal dilakukan dengan prosedur dan syarat-syarat yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Terdapat mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam transaksi merger perseroan terbatas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertama, pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebagai akibat pihak pengusaha (perseroan merger) tidak berkeinginan ntuk mengerjakan pekerja (karyawan) dalam perseroan hasil merger. Kedua, pihak pekerja (karyawan) sendiri yang tidak bermaksud untuk melanjutkan hubungan kerja dengan pengusaha (perseroan hasil merger).

Dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pengusaha tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan pemutusahn hubungan kerja. Maka, pekerja berhak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak dengan perhitungan yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003. Jika ditinjau kembali, setiap keputusan untuk melakukan merger hendaknya manajemen dan pemegang saham perseroan harus memperhatikan aspek pemutusan hubungan kerja tersebut karena perseroan-perseroan yang merger perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk para pekerja yang di-PHK.

 

c.      Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga

Selain pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan kegiatan perusahaan, hubungan antara pihak diluar perusahaan juga harus diperhatikan. Hubungan diluar perusahaan tersebut dapat dikelompokan berupa hubungan kontraktual dan hubungan non kontraktual. Hubungan kontraktual misalnya antara kreditur dengan perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan hubungan non kontraktual misalnya dengan si tersaing secara tidak fair.

Dalam rencana penggabungan, pihak direksi perusahaan yang melakukan merger harus sangat berhati-hati dalam menguraikan cara penyelesaian hak dan kewajiban terhadappihak ketiga, sekalipun pihak ketig termasuk kreditur perusahaan yang menggabungkan diri. Proposal penyelesaian hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga yang tidak menguntungkan bagi pihak ketiga sangat dimungkinkan akan terjadi tindakan hukum dari pihak ketiga tersebut. Terkait dengan kreditur perseroan yang tidak mencapai penyelesaian dengan pihak perusahaan, kegiatan merger tidak dapat dilaksanakan (Pasal 33 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998). Direksi perseroan harus proaktif dalam menjelaskan rencana merger kepada pihak ketiga dan kreditur perseroan agar penolakan terhadap rencana merger tersebut tidak menuai penolakan dari pihak ketiga dan kreditur perseroan.

Kreditur merupakan pihak yang harus waspada apabila suatu perusahaan melkukan merger. Kreditur dari perusahaan publik akan lebih aman karena adanya kewajiban melaporkan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada publik atas transaksi-transaksinya, terlebih dalam hal merger. Karena itu, untuk melindungi semua pihak terutama kreditur, mestinya terhadap perusahaan non publik pun melakukan hal yang sama. Gentingnya kedudukan pihak kreditur karena merger, dapat terjadi dua hal sebagi berikut;

a.      Peralihan Aset

Jika terjadi peralihan asset perusahaan yang melakukan merger, yang dalam hal berkedudukan sebagai debitur, maka hutangnya kepada kreditur dapat menjadi hutang tanpa dukungan asset yang merupakan jaminan pelunasan hutang.

b.     Non Eksistensi Legal Entity

Jika eksistensi debitur bubar setelah merger, yang bertanggung jawab terhadap hutang-hutang terhadap keditur, upaya hukum bagi kreditur hanya ada terhadap special case saja. Upaya hukum tersebut dapat berupa upaya hukum perdata yaitu Actio Pauliana. Jika debitur melakukan pengalihan aset untuk mengelak pembayaran hutang-hutangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat tertentu seperti tersenut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan. Transaksi merger dapat dipandang sebagai transaksi objek pranata action pauliana, karena dengan merger ada asset perusahaan yang beralih.

Selanjutnya adalah upaya hukum yang dilakukan pada saat terjadinya Negative Covenant. Yaitu suatu keadaan dimana debitur menyetujui untuk tidak melakukan peerbuatan-perbuatan tertentu yang dapat merubah bisnisnya secara material dan berdampak buruk terhadap hak-hak kreditur. Jika ada Negative Covenant dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan. Dalam hal ini pun, jika dilanggar oleh debitur, hanya menyebabkan debitur tetap pada perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi, tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga. Kecuali pihak ketiga tidak beriktikad baik untuk itu.[9]

Kemudian terhadap kedudukan pihak non kontraktual terhadap perusahaan yang melakukan merger adalah pihak yang merasa tersaing secara curang. Sehingga untuk menghindari persaingan curang karena merger, sektor hukum akan ikut campur dalam pelarangan merger yang dapat mengakibatkan penguasaan terhadap pangsa pasar secara berlebihan, karena dalam hal ini telah menjadi monopoli yang illegal. Sementara merger yang tidak menyebabkan monopoli, tidak dilarang oleh hukum.

 

D.           Simpulan

1.      Dengan adanya penggabungan dua perseroan otomatis merubah status hukum, struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. Secara seketika akan terdapat dua akibat hukum signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan yang merger, yaitu peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan suatu proses likuidasi. Juga dalam hal terkait perbuatan hukum berupa kontrak maupun hubungan dengan pihak ketiga berubah, yaitu hanya bisa dilakukan oleh perseroan yang bertahan.

2.      Perlu dilakukan upaya perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan, yaitu, karyawan atau pekerja, pemegang saham minoritas, dan pihak ketiga. Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, perlindungan terhadap pekerja, dan perlindungan terhadap pihak ketiga. Perlindungan terhadap pihak ketiga dibedakan menjadi pihak yang mempunyai hubungan kontraktual, yaitu kreditur diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang ada pada Hukum Perdata, sedangkan hubungan non kontraktual, yaitu dengan pihak yang tersaing secara curang dengan tidak melakukan bisnis yang tidak sehat atau monopoli.

3.      Organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan. Hal ini terkait dengan perlindungan hukum bagi pihak yang lemah setelah merger, seperti perlunya mengubah kontrak dengan pihak ketiga, pembayaran pesangon terhadap pekerja, dan kewajiban-kewajiban lain yang mempunyai jangka waktu panjang maupun jangka waktu pendek.

 

E.            Saran

1.      Pihak perseoran yang akan melakukan merger hendaknya mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. karema merger tersebut melibatkan banyak pihak yang akan mengubah status hukumnya.

2.      Apabila proses merger suatu perseroan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa menjamin dan melindungi hak-haknya. Terutama pihak yang lemah seperti pemegang saham minoritas, karyawan atau pekerja, dan pihak ketiga. Terutama untuk pemegang saham minoritas yang mempunyai hubungan secara langsung terhadap perseroan yang melakkan merger, agar mepertimbangkan hak yang telah diberikan undang-undang agar tidak dirugikan pihak yang menjadi pemegang saham mayoritas.

3.      Untuk organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris hendaknya mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan untuk menjamin keuntungan semua pihak.

 

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir.2002.Hukum Tentang Merger.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Kadek Hendra Gunawan, I Made Sukartha.2014.Kinerja Pasar Dan Kinerja Keuangan Sesudah Merger Dan Akuisisi Di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 5.2 (2013): 271-290

Pujiyono.2014.Hukum Perusahaan.Surakarta: Pustaka Hanif

Simanjuntak, Cornelius.2004.Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Siswanto, Arie.2002.Hukum Persaingan Usaha.Jakarta: Ghalia Indonesia

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

 



[1] Munir Fuady,2002.Hukum Tentang Merger ,PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h.15

[2]Pujiyono, 2014, Hukum Perusahaan, Pustaka Hanif, Surakarta, h. 199

[3] http://kbbi.web.id/lindung

[5] Munir Fuady, op. cit.  h. 2

[6] Pujiyono, loc. cit.

[7] Munir Fuadi, op. cit. hlm.127

[8] Munir Fuadi, op. cit. hlm.128

[9]Cornelius Simanjuntak, 2004, Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, h.162

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar