PERLINDUNGAN
PIHAK YANG LEMAH PASCA PENGGABUNGAN (MERGER) SUATU PERSEROAN TERBATAS
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum suatu perseroan
terbatas yang melakukan penggabungan atau merger. Objek penelitian ini adalah perseroan yang menggabungkan diri dengan
perseroan yang lain sehingga hilang dan bergabung menjadi satu dengan perseroan
yang digabungi. Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum
normatif, data yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu perundang-undangan
dan data sekunder yaitu, buku dan jurnal hukum yang terkait dengan penggabungan
perseroan terbatas. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa; 1). Dengan adanya
penggabungan dua perseroan otomatis merubah status hukum, struktur organ, serta
pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. 2). Perlu
dilakukan upaya perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan,
yaitu, karyawan atau pekerja, pemegang saham minoritas, dan pihak ketiga. 3).
Untuk organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris hendaknya
mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan untuk menjamin
keuntungan semua pihak.
Kata kunci:
penggabungan, perseroan terbatas, perlindungan
A.
Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia selalu berbanding lurus
dengan kemajuan serta kemudahan dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam sektor
ekonomi sendiri, pertumbuhan dan perkembangan ditunjukan dengan adanya
peningkatan jumlah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang masing-masing
sehingga menyebabkan ketatnya persaingan antar perusahaan tersebut. Untuk itu
masing-masing perusahaan berupaya mencari jalan untuk meningkatkan efisiensinya
juga meningkatkan kinerjanya. Banyak cara yang dilakukan oleh suatu perusahaan
dalam mengoptimalisasikan sumber daya yang ada seperti modal, teknologi
managemen, dan lain-lain guna memperoleh sinergisme baru dalam melakukan
kegiatan usaha yang mengacu pada efisiensi dan produktifitas[1].
Salah satu cara tersebut adalah dengan jalan merger atau penggabungan.
Dalam istilah hukum perusahaan, merger adalah tindakan penggabungan dua
perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang,
dimana satu dari berbagai perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang[2].
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT, penggabungan adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sehingga dari penjelasan pengertian
merger dapat disimpulkan bahwa merger merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan
dimana satu perusahaan masih berdiri dan yang menggabungkan diri bubar demi
hukum.
Setelah kedua perusahaan tersebut resmi menggabungkan diri, diharapkan
dapat memberikan keuntungan yang lebih daripada sebelum menggabungkan diri.
Keuntungan-keuntungan tersebut dapat dilihat dari peningaktan kualitas serta
efisiensi dari penggunaan sumber daya dan modal untuk menghasilkan suatu produk
yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Tak terlepas dari kemajuan teknologi,
peningkatan persaingan perusahaan telekomunikasi, terutama di Indonesia,
menyebabkan terjadinya penggabungan perusahaan telekomunikasi yang cukup
berpengaruh, yaitu antara PT XL Axiata Tbk dan PT Axis Telekom Indonesia pada
kuartal awal 2014 yang lalu. PT XL Axiata Tbk secara resmi mengumumkan bahwa
proses merger dengan PT Axis Telekom
Penggabungan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan daripada
kedua pihak perseroan. Juga bagi masyarakat yang menggunakan layanan dari
perusahaan tersebut. Selain itu, penggabungan kedua perusahaan telekomunikasi
tersebut juga diharapkan berdampak terhadap peningkatan Penerimaan Negara Bukan
Pajak. Meskipun pada awal perencanaan merger kedua perusahaan tersebut
memunculkan isu monopoli yang diindikasikan dari konsentrasi pasar sebelum dan
sesudah merger, Komisi Pengawas Pesaingan Usaha (KPPU) tetap memberikan
persetujuan merger kedua perusahaan tersebut setelah perusahaan memenuhi
seluruh persyaratan proses akuisisi dan merger yang berlaku sesuai dengan dasar
perundang-undangan di Indonesia.
Namun, setelah terjadinya suatu merger, perseroan yang menggabungkan
diri akan lenyap dan bergabung menjadi satu dengan perseroan yang digabungi.
Pada contoh kasus di atas, PT Axis Telekom Indonesia telah lenyap dan
menggabungkan diri dibawah PT XL Axiata Tbk. Selain adanya manfaat yang
diperoleh dalam efesiensi dan optimalisasi sumber daya, modal, ataupun sarana
prasarana penunjang produktifitas perusahaan, penggabungan tersebut juga
memberikan dampak lain yang kemungkinan besar jika tidak diatasi dengan tepat
dapat mengakibatkan kerugian, baik kerugian bagi pihak dalam perusahaan ataupun
pihak lain diluar perusahaan.
Dari penjelasan
diatas, muncul permasalahan berupa status hukum, struktur organ, serta
pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. Persoalan
perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan, yaitu pemegang
saham perusahaan terutama sebagai pemegang saham minoritas, karyawan yang
bekerja pada perseroan, juga pihak ketiga yaitu perusahaan lain sebagai pesaing
ataupun pelanggan yang menggunakan produk layanan perseroan tersebut serta
upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian setelah merger.
B.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative,
yaitu penelitian hukum kepustakaan yang biasa disebut dengan legal research atau legal research instruction. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan, yaitu menelaah aturan hukum yang berlaku
mengenai perseroan terbatas, khususnya mengenai pelaksanaan penggabungan
perseroan. Menghimpun peraturan perundang-undangan yang merupakan data pimer,
serta mengumpulkan teori-teori dari bahan pustaka berupa buku-buku serta jurnal
hukum. Juga mengambil data tersier berupa catatan-catatan mapun berita-berita
yang bersumber dari pernyataan pihak yang bersangkutan dalam proses merger
tersebut. Analisis data menggunakan penalaran serta metode diskusi kelompok.
C.
Pembahasan
1.
Perlindungan
Hukum
Perlindungan mempunyai kata dasar lindung, yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia mempunyai arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi. Sedangkan perlindugan dapat diartikan sebagai tempat berlindung,
atau hal (perbuatan) yang memperlindungi[3].
Perlindungan hukum timbul akibat dilakukannya suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum. Dengan
dilakukannya perbuatan hukum maka akan muncul akibat hukum. Hubungan hukum
tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing subyek hukum
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan,
untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka hukum yang mengatur dan melindungi
kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan
kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian[4].
Dalam kajian hukum perusahaan khususnya merger peseroan terbatas,
perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara yang merupakan perlindungan hukum
secara represif telah tertuang dalam
suatu peraturan perundang-undangan khusus, yaitu UUPT dan PP No. 27 tahun 1998
tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Sehingga kegiatan dalam proses merger perseroan terbatas mempunyai perlindungan
hukum terhadap subyek hukum yang melaksanakannya.
2.
Pengertian Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas adalah salah satu
jenis badan usaha yang berbadan hukum. Peraturan mengenai perseroan terbatas di
Indonesia terdapat pada peraturan perundangan yang perundangan khusus, yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan
Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam menjalankan
kegiatan usahanya, perseroan perlu mengembangkan eksistensinya. Pengembangan
usaha oleh perseroan salah satunya dengan upaya penggabungan atau yang sering
disebut dengan merger. Penggabungan atau merger merupakan salah satu langkah
yang diatur dalam perundangan-undangan yang berlaku. Merger yang dilakukan oleh
suatu perseroan juga telah diatur dalam UUPT.
Merger atau penggabungan dimaksudkan
sebagai suatu “fusi” atau “absorbsi” dari suatu benda atau hak kepada benda
atau hak lainnya. Secara umum fusi atau absorbsi dilakukan oleh suatu subjek
yang kurang penting dengan subjek yang lebih penting. Subjek kurang penting
kemudian membubarkan diri[5]. Secara teori dalam bidang perusahaan, kata “merger” berasal dari bahasa
Inggris yang berarti fusi, absorbs, atau menggabungkan. Dalam istilah hukum
perusahaan, merger adalah tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, dimana satu dari berbagai
perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang[6] .
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT,
penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih
karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Menurut PP No. 27 tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, pengertian
dari merger sendiri yaitu penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukakan
oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain
yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri bubar.
Dari definisi merger diatas dapat
disimpulkan substansi dari pengertian merger sebagai berikut :
a.
Adanya
perbuatan hukum, yaitu penggabungan dua perseroan merupakan suatu perbuatan
hukum yang menimbulkan akibat hukum setelah disepakatinya penggabungan;
b.
Adanya subyek
hukum, dalam hal ini ialah
perseroan-perseroan terkait yang
melakukan penggabungan;
c.
Antara
perseroan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan
menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan; dan
d.
Adanya
keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan bubar.
Penggabungan yang dilakukan oleh
perseroan tersebut menimbulkan suatu akibat hukum yang menjadi konsekuensi
bergabungnya dua perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 122 UUPT
tentang Penggabungan dan Peleburan suatu perseroan mengakibatkan perseroan yang
menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. Maka akibatnya:
a.
Aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan atau meleburkan diri menjadi beralih karena hukum kepada
perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan;
b.
Pemegang saham perseroan yang menggabungkan
atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang
menerima perseroan dari hasi peleburan; dan
c.
Perseroan yang menggabungkan atau
meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal penggabungan atau
peleburan mulai berlaku.
Dengan terjadinya penggabungan perseroan, maka secara seketika akan
terdapat dua akibat hukum signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan yang
merger, yaitu peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva perseroan
yang menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan
bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan suatu proses
likuidasi. Struktur organ perseroan sebagai suatu
badan hukum juga akan berubah.
Sehingga bubarnya perseroan yang
menggabungkan diri menimbulkan konsekuensi hukum sebagai berikut:
a.
Perseroan yang
bubar tersebut tidak lagi dapat melakukan fungsi-fungsinya sebagai suatu
perseroan terbatas termasuk tidak dapat bertindak dan mengikatkan diri terhadap
pihak ketiga
b.
Seluruh organ
perseroan tidak lagi memiliki eksistensinya (tidak berfungsi).
c.
Perseroan yang
bubar tersebut tidak lagi memiliki harta kekayaan (asset), baik bergerak
(berwujud atau tidak berwujud) maupun tidak bergerak dan juga idak memiliki
kewajiban dalam bentukapa pun yang kesemuanya ini telah dialihkan karena/demi
hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan.
Sehingga, dengan konsekuensi hukum diatas, perseroan yang menggabungkan
diri tidak bisa melakukan perbuatan hukum termasuk tindakan-tindakan yang
terkait dengan pngubahan kontrak-kontrak dengan pihak ketiga dan segala proses
balik nama terhadap kepemilikan kekayaan beralih kepada perseroan hasil merger.
3.
Perlindungan Pihak yang Lemah Pasca Merger
Perseroan Terbatas
Dengan adanya pelaksanaan merger yang mengakibatkan perubahan-perubahan
secara yuridis, ketentuan dalam UUPT telah mewajibkan sautu perseroan yang akan
melakukan merger untuk mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak lain yang
terkena dampak dari merger tersebut. Pasal 126 ayat (1) UUPT menyatakan;
Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib
memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan
Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan;
dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha
Dari penjelasan pasal tersebut, ketentuan ini menegaskan bahwa
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilakukan
apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya, dalam Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus juga dicegah kemungkinan
terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan
masyarakat. Berikut penjabaran perlindungan yang diperlukan untuk menghindari
kerugian pihak-pihak tertentu.
a. Pemegang Saham Minoritas
Perseroan berasal dari kata dasar “sero” yang artinya saham, dalam
bahasa Inggris disebut “share” atau “stock” Sehingga modal dasar pendirian
suatu perseroan seluruhnya terbagi dalam bentuk saham. Modal dasar (saham) suatu
perseroan biasanya dimiliki oleh pendiri, yang merupakan tanda keikutsertaan
dalam memiliki modal perusahaan. Sehingga keikutsertaan seseorang dalam
penghimpunan modal suatu perusahaan harus dibuktikan dengan kepemilikan saham.
Sehingga dapat diartikan bahwa saham merupakan
Dalam melakukan perluasan atau
ekspansi, secara umum suatu perseroan akan melakukan perluasan pada sektor
pendapatan dan modal. Untuk penambahan modal perseroan harus dilakukan atas
dasar persetujuan RUPS (pasal 41 ayat (1) UUPT). Seluruh saham yang dikeluarkan
untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang
saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama (Pasal
43 ayat (1)). Untuk saham yang belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli
terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah
saham yang dimilikinya (Pasal 43 ayat (2)). Penambahan modal tersebut hanya
diberlakukan pada pemilik modal (saham) sebagai pendiri perseroan. Kemudian
sisa saham yang tidak diambil pada bagian tersebut ditawarkan kepada pihak
ketiga.
Pemegang saham dalam perseroan
mempunyai kedudukan yang kuat secara yuridis. Namun karena ikatannya dengan
perseroan lemah, seperti pemegang saham minoritas, menyebabkan posisi yang
bersangkutan menjadi lemah. Maka disini diperlukannya suatu perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas. Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju
dengan merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan
untuk merger, terhadap pihak yang minoritas diberi suatu hak khusus yang
disebut Appraisal Rights[7].
Menurut ketentuan Pasal 62 dan Pasal
126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menjamin Appraisal Rights dari
pemegang saham perseroan yang akan mengambil alih. Appraisal Rights adalah hak dari pemegang saham minoritas yang
tidak setuju terhadap merger (tetapi dia kalah suara) atau terhadap
tindakan-tindakan korporat lainnya, untuk menjual saham yang dipegangnya kepada
perusahaan yang bersangkutan dimana pihak perusahaan yang mengisukan saham
tersebut wajib membeli kembali saham-sahamnya dengan harga yang pantas.
Selain Appraisal Rights, hukum
merger juga memberikan keistimewaan dengan menerapkan prinsip “Super Majority”[8]. Artinya bahwa untuk dapat menyetujui merger, yang diperlukan bukan hanya
lebih dari 50% pemegang saham yang menyetujuinya, tetapi lebih dari itu.
Dalam UUPT Pasal 89 ayat (1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan
dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran
Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga
perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga
perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
b. Perlindungan Terhadap Pekerja
Secara struktural,
yaitu pembagian kewenangan dari suatu perusahaan, pihak yang paling lemah ialah
kedudukan para pekerja diperusahaan. Dibandingkan dengan pemegang saham,
Direksi, ataupun Komisaris, pekerja sama sekali tidak dilibatkan dalam
penentuan kebijakan taupun operasional perusahaan. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan merger sehubungan dengan perlindungan terhadap
hak pekerja antara lain;
1)
Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan
kesejahteraan sosial yang akan diterapkan setelah merger.
2)
Waktu yang pantas untuk berkonsultasi
dengan organisasi pekerja.
3)
Cara dan saat untuk menginformasikan merger
kepada pekerja.
4)
Cara-cara untuk mencegah atau
setidak-tidaknya mengeliminir kemungkinan kerugian materiil kepada pihak
pekerja, termasuk memberikan kompensasi yang bersifat materiil.
5) Aktivitas khusus dari organisasi pekerja dalam
perusahaan.
6) Suatu garansi terhadap keamanan dan ketersediaan
pekerjaan setelah merger.
Namun kebanyakan dalam merger atau akuisisi, pekerja seringkali menjadi
korban peningkatan kefektifan dan efisiensi usaha, yaitu dengan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Sebagian besar pekerja akan dijatuhi PHK karena dengan
penggabungan dua perusahaan menjadi satu akan mengurangi jumlah pekerjaan
sehingga agar kinerja para pekerja efektif. Terutama dalam tipe merger
horizontal dimana bentuk merger ini terkait dengan perusahan yang mempunyai
lini usaha yang sejenis. Sayangnya dalam sistem hukum Negara kita,
hampir-hampir tidak ada upaya hukum apapun untuk menolak PHK tersebut. Oleh
karenanya, asalkan PHK dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, maka PHK tersebut sudah sah.
Dalam ketentuan ketenagakerjaan Negara kita memperbolehkan pemutusan
hubungan kerja terhadap para pekerja, asal dilakukan dengan prosedur dan
syarat-syarat yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Terdapat mekanisme
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam transaksi merger perseroan
terbatas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pertama, pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebagai akibat
pihak pengusaha (perseroan merger) tidak berkeinginan ntuk mengerjakan pekerja
(karyawan) dalam perseroan hasil merger. Kedua, pihak pekerja (karyawan)
sendiri yang tidak bermaksud untuk melanjutkan hubungan kerja dengan pengusaha
(perseroan hasil merger).
Dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pengusaha
tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan pemutusahn hubungan kerja. Maka,
pekerja berhak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti
hak dengan perhitungan yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang No. 13 tahun 2003. Jika ditinjau kembali, setiap keputusan untuk
melakukan merger hendaknya manajemen dan pemegang saham perseroan harus
memperhatikan aspek pemutusan hubungan kerja tersebut karena perseroan-perseroan
yang merger perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk para pekerja yang
di-PHK.
c.
Perlindungan
Terhadap Pihak Ketiga
Selain pihak-pihak
yang berhubungan langsung dengan kegiatan perusahaan, hubungan antara pihak
diluar perusahaan juga harus diperhatikan. Hubungan diluar perusahaan tersebut
dapat dikelompokan berupa hubungan kontraktual dan hubungan non kontraktual.
Hubungan kontraktual misalnya antara kreditur dengan perusahaan yang
bersangkutan. Sedangkan hubungan non kontraktual misalnya dengan si tersaing
secara tidak fair.
Dalam rencana
penggabungan, pihak direksi perusahaan yang melakukan merger harus sangat
berhati-hati dalam menguraikan cara penyelesaian hak dan kewajiban
terhadappihak ketiga, sekalipun pihak ketig termasuk kreditur perusahaan yang
menggabungkan diri. Proposal penyelesaian hak dan kewajiban terhadap pihak
ketiga yang tidak menguntungkan bagi pihak ketiga sangat dimungkinkan akan
terjadi tindakan hukum dari pihak ketiga tersebut. Terkait dengan kreditur
perseroan yang tidak mencapai penyelesaian dengan pihak perusahaan, kegiatan
merger tidak dapat dilaksanakan (Pasal 33 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1998). Direksi perseroan harus proaktif dalam menjelaskan rencana
merger kepada pihak ketiga dan kreditur perseroan agar penolakan terhadap
rencana merger tersebut tidak menuai penolakan dari pihak ketiga dan kreditur
perseroan.
Kreditur merupakan
pihak yang harus waspada apabila suatu perusahaan melkukan merger. Kreditur
dari perusahaan publik akan lebih aman karena adanya kewajiban melaporkan
kepada Bapepam dan mengumumkan kepada publik atas transaksi-transaksinya,
terlebih dalam hal merger. Karena itu, untuk melindungi semua pihak terutama
kreditur, mestinya terhadap perusahaan non publik pun melakukan hal yang sama.
Gentingnya kedudukan pihak kreditur karena merger, dapat terjadi dua hal sebagi
berikut;
a.
Peralihan Aset
Jika terjadi
peralihan asset perusahaan yang melakukan merger, yang dalam hal berkedudukan
sebagai debitur, maka hutangnya kepada kreditur dapat menjadi hutang tanpa
dukungan asset yang merupakan jaminan pelunasan hutang.
b.
Non Eksistensi Legal Entity
Jika eksistensi
debitur bubar setelah merger, yang bertanggung jawab terhadap hutang-hutang
terhadap keditur, upaya hukum bagi kreditur hanya ada terhadap special case saja. Upaya hukum tersebut
dapat berupa upaya hukum perdata yaitu Actio
Pauliana. Jika debitur melakukan pengalihan aset untuk mengelak pembayaran
hutang-hutangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat tertentu seperti tersenut
dalam Pasal 1341 KUHPerdata, pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan.
Transaksi merger dapat dipandang sebagai transaksi objek pranata action pauliana, karena dengan merger
ada asset perusahaan yang beralih.
Selanjutnya adalah
upaya hukum yang dilakukan pada saat terjadinya Negative Covenant. Yaitu suatu keadaan dimana debitur menyetujui
untuk tidak melakukan peerbuatan-perbuatan tertentu yang dapat merubah
bisnisnya secara material dan berdampak buruk terhadap hak-hak kreditur. Jika
ada Negative Covenant dalam perjanjian
kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan.
Dalam hal ini pun, jika dilanggar oleh debitur, hanya menyebabkan debitur tetap
pada perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi, tidak sampai batalnya transaksi
pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan
pihak ketiga. Kecuali pihak ketiga tidak beriktikad baik untuk itu.[9]
Kemudian terhadap
kedudukan pihak non kontraktual terhadap perusahaan yang melakukan merger
adalah pihak yang merasa tersaing secara curang. Sehingga untuk menghindari
persaingan curang karena merger, sektor hukum akan ikut campur dalam pelarangan
merger yang dapat mengakibatkan penguasaan terhadap pangsa pasar secara
berlebihan, karena dalam hal ini telah menjadi monopoli yang illegal. Sementara
merger yang tidak menyebabkan monopoli, tidak dilarang oleh hukum.
D.
Simpulan
1.
Dengan adanya penggabungan dua perseroan
otomatis merubah status hukum, struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan
perseroan yang menggabungkan diri. Secara seketika akan terdapat dua akibat
hukum signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan yang merger, yaitu
peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang
menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan bubarnya
perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan suatu proses
likuidasi. Juga dalam hal terkait perbuatan hukum berupa kontrak maupun
hubungan dengan pihak ketiga berubah, yaitu hanya bisa dilakukan oleh perseroan
yang bertahan.
2.
Perlu dilakukan upaya perlindungan bagi
pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan, yaitu, karyawan atau pekerja,
pemegang saham minoritas, dan pihak ketiga. Perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas, perlindungan terhadap pekerja, dan perlindungan terhadap pihak
ketiga. Perlindungan terhadap pihak ketiga dibedakan menjadi pihak yang
mempunyai hubungan kontraktual, yaitu kreditur diselesaikan sesuai dengan
ketentuan yang ada pada Hukum Perdata, sedangkan hubungan non kontraktual,
yaitu dengan pihak yang tersaing secara curang dengan tidak melakukan bisnis
yang tidak sehat atau monopoli.
3.
Organ perseroan terbatas seperti RUPS,
Direksi dan Komisaris mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah
penggabungan. Hal ini terkait dengan perlindungan hukum bagi pihak yang lemah
setelah merger, seperti perlunya mengubah kontrak dengan pihak ketiga,
pembayaran pesangon terhadap pekerja, dan kewajiban-kewajiban lain yang
mempunyai jangka waktu panjang maupun jangka waktu pendek.
E.
Saran
1.
Pihak perseoran yang akan melakukan merger
hendaknya mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. karema merger tersebut
melibatkan banyak pihak yang akan mengubah status hukumnya.
2.
Apabila proses merger suatu perseroan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa menjamin dan melindungi
hak-haknya. Terutama pihak yang lemah seperti pemegang saham minoritas,
karyawan atau pekerja, dan pihak ketiga. Terutama untuk pemegang saham
minoritas yang mempunyai hubungan secara langsung terhadap perseroan yang
melakkan merger, agar mepertimbangkan hak yang telah diberikan undang-undang
agar tidak dirugikan pihak yang menjadi pemegang saham mayoritas.
3.
Untuk organ perseroan terbatas seperti
RUPS, Direksi dan Komisaris hendaknya mempertimbangkan dampak yang terjadi
setelah penggabungan untuk menjamin keuntungan semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir.2002.Hukum Tentang Merger.Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
Kadek Hendra Gunawan, I Made
Sukartha.2014.Kinerja Pasar Dan Kinerja
Keuangan Sesudah Merger Dan Akuisisi Di Bursa Efek
Pujiyono.2014.Hukum Perusahaan.Surakarta: Pustaka
Hanif
Simanjuntak,
Cornelius.2004.Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek.Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
Siswanto, Arie.2002.Hukum Persaingan
Usaha.Jakarta: Ghalia Indonesia
Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas
Republik
[1] Munir Fuady,2002.Hukum Tentang Merger ,PT. Citra Aditya Bakti,
[2]Pujiyono,
2014, Hukum Perusahaan, Pustaka Hanif, Surakarta, h. 199
[3] http://kbbi.web.id/lindung
[4] http://www.artikata.com/artiperlindunganhukum.html (diakses pada 5 juni 2015)
[5] Munir Fuady, op. cit. h. 2
[6] Pujiyono, loc. cit.
[7] Munir Fuadi, op. cit. hlm.127
[8] Munir Fuadi, op.
cit. hlm.128
[9]Cornelius Simanjuntak, 2004, Hukum
Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, h.162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar