Selasa, 30 Januari 2018

NASKAH AKADEMIK RUU PERTANAHAN


NASKAH AKADEMIK RUU PERTANAHAN

DILENGKAPI DENGAN  :
1. LAPORAN PANJA PENYUSUNAN RUU PERTANAHAN KOMISI II DPR RI
2. RUU PERTANAHAN

DAFTAR ISI

BAB I  PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Permasalahan
C.Tujuan dan Kegunaan
D.Metode

BAB II  KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.Kajian Teoritis
1.Hubungan Manusia Dengan Tanah
2.Hak menguasai negara

B.Praktik Empiris
1.Pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang Bias
2.Tanah Masyarakat Hukum Adat

BAB III  EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTANAHAN
1.Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
   Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok
   Agraria/UUPA) dan Undang-Undang Lain di Bidang
   Pertanahan sebagai Pelaksana UUPA
2.Undang-Undang Sektoral Bidang Pengelolaan
   Sumberdaya Alam  
3.Undang-Undang Lainnya Terkait dengan Bidang
    Pertanahan

BAB IV  LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN
A.Landasan Filosofis
B.Landasan Sosiologis
C.Landasan Yuridis

BAB V  JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP  MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERTANAHAN
A.Ketentuan Umum
B.Materi Muatan

BAB VI  PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran


DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Lima belas tahun setelah kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960 terbit Undang-undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) setelah melalui proses panjang sejak tahun 1948. UUPA sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Walaupun dimaksudkan untuk dapat menjadi “payung” atau “platform” untuk penjabaran lebih lanjut ketentuan-ketentuan UUPA, namun masih ada celah yang belum sempat diisi oleh UUPA untuk, paling tidak, mengatur hal pokok-pokok, secara umum, atau garis besar ketentuan terkait dengan sumber daya alam (SDA) selain tanah. Sebagaimana diketahui, UUPA memang telah menggariskan dasar dan ketentuan pokok yang berlaku untuk semua bidang SDA dalam 10 (sepuluh) pasalnya. Namun demikian, hanya ada 1 (satu) pasal dalam UUPA yang secara eksplisit mengatur tentang SDA selain tanah, yakni Pasal 8 UUPA yang dalam penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini merupakan pangkal bagi peraturan perundang-undangan terkait pertambangan dan lain-lainnya .

UUPA terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal yang terdiri dari 58 (lima puluh delapan) pasal dan 9 (sembilan) pasal khusus terkait ketentuan konversi. Di samping 10 (sepuluh) pasal yang mengatur tentang dasar dan ketentuan pokok, maka pengaturan tentang tanah terdapat dalam 53 (lima puluh tiga) pasal, sisanya, 4 (empat) pasal mengatur hal-hal di luar ketentuan pokok dan pertanahan. Oleh karena dominasi pengaturan tentang pertanahan dalam UUPA, maka dalam proses penerbitannya pernah diwacanakan tentang nama undang-undang ini. Iman Soetiknjo dari Seksi Agraria UGM menyarankan namanya “UU Pertanahan”, dan karena reaksi tersebut maka dalam perkembangannya ditambahkan pasal-pasal yang tidak hanya berkaitan dengan tanah .

Boedi Harsono, sebagai salah seorang perumus naskah rancangan UUPA memberikan kesaksian serupa terhadap hal tersebut. Panitia Perumus mengusulkan nama “Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Dasar Hukum Tanah” tetapi “Panitia Soewahjo” yang menyiapkan rencana UUPA menganggap nama tersebut terlalu sempit sehingga kemudian digunakanlah nama “Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” .

Hutang UUPA untuk melengkapi ketentuan pokok di luar bidang pertanahan itu tidak kunjung dilunasi sehingga UUPA masih menyisakan “Pekerjaan Rumah” yang belum selesai . Dalam perjalanan waktu, seiring dengan kebijakan ekonomi yang lebih cenderung menekankan pada pertumbuhan dibandingkan pemerataan, maka bagian dari pekerjaan rumah UUPA yang belum selesai itu “diambil alih” oleh berbagai undang-undang sektoral, misalnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan (telah diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999), UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (telah diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001), UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), dan berbagai undang-undang lain yang terbit kemudian yang dalam kenyataannya tidak satupun undang-undang sektoral tersebut merujuk pada UUPA, melainkan masing-masing langsung merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Era bertumbuhkembangnya undang-undang sektoral menandai didegradasinya UUPA yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi pengaturan SDA menjadi sederajat dengan undang-undang sektoral lainnya dan dengan demikian menjadikan UUPA sebagai lex specialis yang hanya mengatur bidang pertanahan. Ditinggalkannya semangat dan prinsip-prinsip yang mendasari UUPA oleh undang-undang sektoral dapat ditengarai dalam perbedaan antara UUPA dengan undang-undang sektoral berkaitan dengan: 1) orientasi; 2) keberpihakan; 3) pengelolaan dan implementasinya; 4) perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); 5) pengaturan good governance; 6) hubungan orang dengan SDA, dan 7) hubungan antara negara dengan SDA .

Sebagai akibatnya, undang-undang sektoral itu tidak sinkron satu sama lain, bahkan saling tumpang tindih dengan segala dampaknya, sebagaimana ditengarai oleh Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan  Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dampak negatif tumpang tindih peraturan perundang-undangan di bidang SDA itu telah mendorong MPR RI untuk memberikan arah kebijakan dalam pengelolaan SDA yang meliputi, antara lain: “melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” (TAP MPR RI No. IX/MPR/2001). Amanat tersebut diulangi lagi dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2003 yang antara lain berbunyi sebagai berikut “Presiden bersama-sama DPR membahas UU Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang akan berfungsi sebagai UU Pokok…” (garis bawah oleh penyusun). Amanat tersebut mengisyaratkan terbentuknya suatu undang-undang terkait SDA yang bersifat lex generalis; dengan perkataan lain mereposisi UUPA sejalan dengan prinsi-prinsip Pembaruan Agraria, dengan demikian akan mengakhiri ketidaksinkronan antarundang-undang sektoral.

Dalam pada itu, pada masa pemerintahan Presiden Megawati, terbit Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di  Bidang Pertanahan. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan :
“Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah-langkah percepatan :
a. penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.”

Penyempurnaan UUPA bisa diartikan sebagai reposisi UUPA sebagai lex generalis, atau penyempurnaan UUPA sebagai lex specialis karena kekuranglengkapan UUPA dan terjadinya penafsiran yang menyimpang dari falsafah dan prinsip-prinsip UUPA sebagai akibat dari kecenderungan politik-ekonomi kebijakan makro yang cenderung pro pertumbuhan. Oleh karenanya, dihadapkan pada dua alternatif pilihan itu, saat ini prioritas yang dipilih adalah menyempurnakan UUPA sebagai lex specialis, dengan catatan bahwa pada suatu saat di kemudian hari, dapat disusun suatu undang-undang di bidang SDA yang bersifat lex generalis, yang akan menjadi “platform bersama” untuk semua undang-undang sektoral, sehingga dengan demikian akan tercipta hukum di bidang SDA sebagai satu sistem .

Pilihan prioritas penyempurnaan UUPA salah satunya dengan membentuk UU tentang Pertanahan juga didasarkan pada Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai landasan hukum, khususnya dalam kaitannya dengan frasa “…dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor”. Dengan demikian perlu dipahami bahwa penyusunan UU Pertanahan merupakan suatu “jembatan-antara” untuk meminimalisasi ketidaksinkronan undang-undang sektoral terkait bidang pertanahan, di samping untuk melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA maupun menegaskan berbagai penafsiran yang menyimpang dari falsafah dan prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan oleh UUPA.

Sangat dipahami bahwa UUPA yang diterbitkan pada tahun 1960 belum mengantisipasi perkembangan ilmu, teknologi, politik, sosial ekonomi, budaya serta perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan paradigma kebijakan ekonomi makro; globalisasi; derasnya arus investasi; semakin tajamnya konflik dalam perebutan akses terhadap pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah karena ketimpangan/ketidakadilan dalam struktur penguasaan/pemilikan tanah; derasnya alih fungsi tanah sehingga mengancam ketahanan pangan, timbulnya bencana alam, dan kerusakan lingkungan; perlunya dilakukan distribusi dan redistribusi tanah untuk pertanian maupun nonpertanian disertai dengan reformasi akses; perlunya pengaturan untuk menjadi landasan pembangunan yang menggunakan ruang di bawah tanah; perlunya menerapkan asas-asas pemerintahan yang baik dalam pengelolaan pertanahan; perlunya membentuk pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan perkara agraria termasuk konflik/sengketa pertanahan yang massif, berskala luas dan multi dimensi; merupakan beberapa contoh perlunya melengkapi UUPA.

Di samping melengkapi dan menjabarkan UUPA, dalam perjalanan waktu seiring dan sejalan dengan ekonomi-politik makro yang cenderung propertumbuhan, berbagai ketentuan UUPA telah diberi penafsiran yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA yang antara lain telah berdampak terhadap ketidakadilan, pelanggaran HAM terkait hak dasar berupa tanah, dan semakin terpinggirkannya hak-hak masyarakat hukum adat. Beberapa contoh hilangnya roh UUPA karena salah tafsir adalah (1) penafsiran pengertian hak menguasai dari negara yang demikian luas, mencakup seolah-olah negara sebagai pemilik tanah; (2) penafsiran yang beragam terhadap pengertian “tanah negara” dan berbagai implikasi yuridisnya; (3) pembelokan hak pengelolaan sehingga lebih menonjolkan sifat keperdataannya; (4) penafsiran yang longgar terhadap pengertian “fungsi sosial” hak atas tanah sehingga menafikan asas keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan; (5) pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat yang tidak tuntas yang bisa berdampak terhadap kurangnya perlindungan terhadap hak ulayat karena menafikan kedudukan tanah (hak) ulayat sebagai entitas tersendiri, di samping tanah negara dan tanah hak, (6) pengabaian nilai-nilai lain dari tanah dan hanya memandangnya dari nilai ekonomis semata, telah menjadikan tanah sebagai komoditas dan alat untuk akumulasi modal.

Penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA karena perbedaan pilihan kepentingan dan nilai itu dapat ditelusuri dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan pertanahan yang terbit sebagai peraturan pelaksanaan UUPA .
Secara empiris, penafsiran berbagai konsep di bidang pertanahan yang menyimpang dari falsafah, semangat dan prinsip-prinsip dasar UUPA itu telah berakibat terhadap terjadinya konflik dan sengketa pertanahan yang massif, multidimensi, dan berdampak luas, bahkan tidak jarang juga menyangkut pelanggaran HAM.

Kasus-kasus yang sempat menyita perhatian publik, seperti kasus Alas Tlogo, dan kasus-kasus yang muncul pada penghujung tahun 2011 misalnya kasus Mesuji (Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung), kasus Sungai Sodong (Kecamatan Mesuji, Kabupaten Agam Komering Ilir, Provinsi  Sumatera Selatan) Kasus Sritanjung (Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung), kasus PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi NTB menggambarkan betapa kompleksnya akar masalah konflik dan  sengketa tersebut.

Dari segi normatif, peraturan perundang-undangan yang ada tidak mampu memberikan akses yang adil kepada rakyat, termasuk masyarakat hukum adat (MHA) dalam pertarungan untuk memperoleh dan memanfaatkan SDA termasuk tanah, dan tidak mampu melindungi hak-hak rakyat serta cenderung memberikan hak-hak yang lebih kepada pemilik modal dan pihak-pihak yang mempunyai akses terhadap kekuasaan, serta mengabaikan melakukan pengawasan terhadap hak yang sudah diberikan kepada perorangan dan badan hukum, jelas berdampak terhadap eskalasi konflik. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa model-model penyelesaian sengketa secara ad hoc atau melalui pengadilan ternyata tidak mampu menyelesaikan secara tuntas konflik dan sengketa yang massif dan berskala luas tersebut. Di masa yang akan datang perlu dipikirkan keberadaan pengadilan yang secara khusus berwenang menyelesaikan perkara pertanahan, termasuk menyelesaikan konflik dan sengketa yang telah dapat dikategorikan sebagai konflik dan sengketa yang “extra-ordinary” karena dampaknya .

Pembentukan UU tentang Pertanahan sebagai salah satu upaya penyempurnaan UUPA ditempuh dengan melengkapi dan menjabarkan pengaturan di bidang pertanahan dan menegaskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA. Falsafah UUPA tetap dipertahankan, sedangkan prinsip-prinsip dasar UUPA diperkuat dan dikembangkan sesuai dengan prinsip pembaruan agraria.

Falsafah UUPA sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menampilkan dua kata kunci yakni bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan memperoleh kewenangan dari bangsa Indonesia untuk menguasai bumi (termasuk tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan bahwa hak menguasai dari negara itu digunakan dengan tujuan untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun kewenangan negara untuk menguasai itu tidak hanya berisi kewenangan untuk mengatur, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, namun mencakup pula kewenangan untuk membuat kebijakan, melakukan pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap isi kewenangannya yang terdiri dari tiga hal, yakni berkenaan dengan (1) obyek yang diatur (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya); (2) hubungan hukum antara subyek dengan obyek ; dan (3) hubungan hukum dan perbuatan hukum terkait obyek yang diatur. Perluasan makna Hak Menguasai Negara tersebut sesuai dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi undang-undang terkait SDA.

Demikian juga terhadap makna sebesar-besar kemakmuran rakyat, MK telah memberikan tolok ukurnya, yakni; (1) manfaatnya bagi rakyat; (2) pemerataan pemanfaatannya; (3) partisipasi rakyat dalam penentuan manfaatnya; dan (4) penghormatan terhadap hak-hak rakyat.

Adapun prinsip-prinsip dasar UUPA itu terdiri dari: (1) asas kenasionalan; (2) Hak Menguasai Negara; (3) pengakuan terhadap hak ulayat; (4) fungsi sosial hak atas tanah; (5) hubungan sepenuhnya WNI dengan tanah; (6) kesamaan hak antara WNI laki-laki dan perempuan; (7) land reform; (8) perencanaan dalam peruntukan, penguasaan dan pemilikan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya .

Seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah Reformasi pada tahun 1998, isu-isu tentang hak asasi manusia, asas pemerintahan yang baik, pengakuan dan perlindungan terhadap MHA, alternatif penyelesaian sengketa, otonomi daerah, demokrasi, keberlanjutan SDA, keadilan terhadap akses perolehan dan pemanfaatan SDA bagi generasi sekarang dan yang akan datang, memperoleh perhatian dalam penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Sejatinya dalam bahasa yang lebih sederhana, prinsip-prinsip dasar UUPA telah menyiratkan beberapa isu pascareformasi tersebut. Namun demikian, ada beberapa isu yang belum diantisipasi ketika prinsip-prinsip dasar UUPA disusun lima puluh tiga tahun yang lalu. Rumusan prinsip-prinsip pembaruan agraria  itu sama sekali tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar UUPA, bahkan rumusan prinsip-prinsip pembaruan agraria sesungguhnya memberikan penguatan terhadap prinsip-prinsip dasar UUPA . Adapun prinsip-prinsip dari pembaruan agraria tersebut sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 adalah sebagai berikut.
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetapmemperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan SDA.

Ida Nurlinda dalam disertasinya merangkum 12 (dua belas) prinsip Pembaruan Agraria tersebut menjadi tiga, yakni: keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan . Ketiga prinsip ini juga menjiwai UUPA sebagaimana ditegaskan dalam prinsip dasarnya.

Dengan mendasarkan pada falsafah UUPA dan prinsip-prinsip PA, penyusunan RUU Pertanahan dilakukan untuk melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum diatur dalam UUPA dan mempertegas penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip PA.

RUU tentang Pertanahan sebagai lex specialis diharapkan dapat menjadi “jembatan antara” untuk meminimalisasi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sektoral terkait bidang pertanahan. Dalam jangka panjang diharapkan terbentuk undang-undang yang secara komprehensif mengatur tentang sumber daya alam sebagai lex generalis yang merupakan perwujudan hukum di bidang sumber daya alam sebagai satu sistem.






B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang seperti tersebut di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya untuk melengkapi dan menjabarkan pengaturan di bidang pertanahan dan mempertegas penafsiran mengenai berbagai konsep yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) agar sesuai dengan falsafah UUPA dan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria?

2. Bagaimana upaya untuk melengkapi dan menjabarkan pengaturan di bidang pertanahan dan mempertegas penafsiran mengenai berbagai konsep yang termuat dalam UUPA dapat dilakukan dalam rangka meminimalisasi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan pertanahan?

3. Bagaimana arah dan ruang lingkup pengaturan RUU tentang Pertanahan yang akan datang yang disusun berdasarkan falsafah UUPA dan prinsip-prinsip pembaruan agraria?

C. Tujuan dan Kegunaan

Naskah Akademik ini disusun dalam rangka merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan memberikan arah dan menjadi dasar penyusunan RUU Pertanahan. Secara khusus tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan kerangka pikir sebagai dasar untuk melengkapi dan menjabarkan pengaturan di bidang pertanahan dan mempertegas penafsiran berbagai konsep pertanahan yang dilandasi dengan falsafah UUPA dan prinsip-prinsip pembaruan agraria.

b. Memberikan landasan untuk menjadikan RUU Pertanahan sebagai “jembatan antara” dalam rangka meminimalisasi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sektoral terkait bidang pertanahan.

c. Memberikan arah dan pokok-pokok substansi yang akan menjadi dasar bagi perumusan ketentuan dalam RUU Pertanahan.

D. Metode

Naskah Akademik ini disusun dengan menggunakan studi dokumen yang terdiri dari bahan hukum primer maupun sekunder terkait dengan fokus permasalahan.

Data sekunder yang dikumpulkan tersebut, diperkaya dengan hasil diskusi pada beberapa kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI dan konsiyering di Yogyakarta pada bulan November 2012.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


A. Kajian Teoritis

1. Hubungan Manusia Dengan Tanah

Pandangan manusia terhadap tanah bukan hanya dititikberatkan pada kedudukan manusia sebagai makhluk individu, namun juga pada manusia sebagai makhluk sosial.  Hak penguasaan tanah pada hakekatnya merupakan refleksi dari pandangan manusia terhadap dirinya sebagai manusia dalam hubungannya dengan tanah.  Hubungan manusia dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab untuk kemakmuran diri sendiri dan orang lain.  Penguasaan tanah merupakan suatu hak yang hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan hukum yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki obyek yang menjadi haknya.

Manusia Indonesia merupakan kumpulan dan kesatuan dari kelompok-kelompok masyarakat dan suku-suku yang menyatukan diri dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Penyatuan dalam ikatan satu bangsa tidak berarti menghilangkatan keberadaan kelompok atau suku-suku sebagai unsur pembentuknya. Di satu sisi, kelompok suku yang sangat beragam tetap dihormati keberadaannya, sedangkan di lain pihak kelompok suku harus menghargai ikatan kebangsaan yang sudah terbangun. Hal inilah yang melahirkan suatu ideologi ”Bhinneka Tunggal Ika”.

 Hubungan manusia Indonesia dengan tanah dalam wilayah Indonesia mengandung karakter yang spesifik. Hubungan spesifik bukan hanya menunjukkan ikatan kebathinan yang sangat ditentukan faktor historis yang panjang namun juga mengandung ketergantungan yang bersifat ekonomis, politis, dan sosial. Ketergantungan ekonomis karena tanah di wilayah Indonesia menjadi sumber penghidupan bagi manusia Indonesia. Secara politis, tanah di Indonesia merupakan tempat, letak, dan batas wilayah kekuasaan manusia Indonesia. Secara sosial, tanah di wilayah Indonesia merupakan ajang tempat berlangsungnya hubungan antar manusia Indonesia sendiri.

Hubungan yang mengandung karakter spesifik inilah yang menjadi basis lahirnya hubungan hukum antara manusia Indonesia dengan tanah yang kemudian dikonsepkan dengan Hak Bangsa. Pasal 1 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam di wilayah Indonesia merupakan kepunyaan rakyat yang bersatu dalam ikatan bangsa Indonesia. Hak bangsa itu bersifat sakral, abadi, dan asasi. Sakral karena adanya kesadaran dan pengakuan bahwa tanah beserta isinya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Abadi karena hubungan antara bangsa dengan tanah di wilayah Indonesia tidak pernah akan berakhir selama bangsa Indonesia sebagai subyek dan tanah sebagai obyek masih ada. Asasi karena hak bangsa menjadi basis bagi lahirnya hak dasar bagi setiap orang atau kelompok untuk menguasai, memanfaatkan, dan menikmati tanah dan hasilnya untuk kesejahteraan mereka.

Pemberian hak atas tanah kepada setiap orang dimaksudkan untuk digunakan atau dimanfaatkan sebagai sumber kesejahteraan. Diberikannya dan dimilikinya tanah dengan hak-hak penggunaannya tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas pada tanah sebagai permukaan bumi. Pemanfaatan tanah selalu berbarengan dengan pemanfaatan sesuatu yang ada di atas dan di bawah permukaan bumi. Oleh karena itu, hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air, serta ruang angkasa yang ada di atasnya dengan syarat penggunaan bagian tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan dan sesuai dengan tujuan pemberian haknya  (Pasal 4 ayat (2) UUPA).

Hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat menganut asas pemisahan horizontal, yaitu hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Iman Sudiyat dalam bukunya “Hukum Adat Skesta Asas” mengemukakan bahwa hak milik atas rumah dan tanaman pada asasnya terpisah dari hak atas tanah tempat benda-benda itu berada. Seseorang dapat menjadi pemilik rumah atau tanaman di atas tanah orang lain. Namun, pada pemisahan prinsipil antara hak atas tanaman dan rumah dengan hak atas tanah terdapat restriksi-restriksi, seperti transaksi mengenai pekarangan biasanya meliputi pula rumah dan tanamannya.

Sejalan dengan pendapat Iman Sudiyat, Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa asas perlekatan vertikal tidak dikenal dalam hukum adat, karena hukum adat mengenal asas lainnya, yaitu asas pemisahan horizontal, dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat pada tanah tersebut. Di dalam hukum adat benda terdiri dari benda tanah dan benda bukan tanah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan benda tanah hanya meliputi tanahnya saja, sedangkan sesuatu yang melekat dengan tanah dimasukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.  Namun, wewenang penggunaan yang bersumber pada hak atas tanah tersebut diperluas hingga meliputi sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air, serta ruang angkasa yang ada di atasnya.

Hak atas tanah tersebut bersumber dari hak menguasai negara yang diberikan kepada perseorangan dan sekelompok orang secara bersama, maupun badan hukum yang peruntukannya hanya untuk permukaan bumi, namun UUPA juga memperbolehkan untuk pemanfaatan tanah pada tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sesuai dengan tujuan pemberian haknya.  Jika pemanfaatan ruang di bawah tanah dan/atau ruang di atas tanah oleh subyek yang sama dengan pemegang hak atas tanah dan menjadi bagian dari pemanfaatan hak atas tanah, maka statusnya tetap ditempatkan sebagai bagian dari hak atas tanah.  Jika dengan pemanfaatan  ruang di atas permukaan bumi maupun ruang di bawah permukaan bumi berbeda dengan pemanfaatan hak atas tanah baik oleh subyek yang sama maupun berbeda, maka keberadaan status pemanfaatan ruang di atas atau di bawah tanah tidak dapat ditempatkan sebagai bagian dari hak atas tanah. Jika subyek haknya sama, maka   kewenangan pemegang hak atas tanah tersebut tidak dapat menjangkau penguasaan atas pemanfaatan ruang di atas tanah atau ruang di bawah tanah.

Pemanfaatan ruang di atas dan di bawah bumi ini harus memperhatikan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, tata ruang, lingkungan hidup, dan aspek kemanfaatan. Pemanfaatan ruang di atas atau di bawah tanah tidak mempunyai hubungan dengan hak atas tanah jika subyek pemanfaat dan kegiatan pemanfaatannya berbeda. Untuk itu di samping  harus ada izin dari pemilik hak atas tanah yang ada di atas atau di bawahnya, juga harus ada pemberian hak tersendiri  yaitu Hak Guna Ruang Bawah Tanah atau Hak Guna Ruang Atas Tanah.  Adanya pemanfaatan ruang di atas tanah dan di bawah tanah ini mengakibatkan adanya susunan pemanfaatan berbeda oleh subyek yang berbeda yaitu pemanfaatan ruang di atas tanah, pemanfaatan tanah, dan pemanfaatan ruang di bawah tanah.   Atas dasar itu, maka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah oleh subyek yang berbeda dengan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1) Pemanfaatannya tidak saling menimbulkan gangguan satu dengan lainnya;
2) pemanfaatan Ruang Di bawah atau Di atas Tanah tidak berhubungan langsung dengan pemanfaatan permukaan bumi atau tanahnya;
3) tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup; dan
4) tidak bertentangan dengan tata ruang dan wilayah.

Selain persyaratan tersebut, pemanfaatan ruang di atas maupun di bawah tanah harus memenuhi persyaratan yang bersifat komulatif seperti syarat administratif termasuk di dalamnya hak atas tanah dan aspek perizinan.  Pemanfaatan ruang di atas tanah dan ruang di bawah tanah diberikan Pemerintah kepada perseorangan maupun badan hukum.

2. Hak menguasai negara

Negara diberikan otoritas dalam penguasaan tanah melalui hak menguasai negara yang bersumber dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara sebagai penguasa harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service) dan masyarakat harus memiliki kewajiban tunduk kepada penguasa (the duty of civil obedience), keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran kepentingan umum (public spirit). Hak menguasai negara tersebut dipertegas oleh UUPA sebagai antitesis terhadap hak domein.

Penghapusan asas domein setelah berlakunya UUPA digantikan dengan pemberian tempat bagi asas “hak menguasai dari negara.” Asas ini diangkat dan dikembangkan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD  Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam UUPA ditempatkan dalam Pasal 2 dengan rumusan sebagai berikut:
“(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Penetapan hak menguasai dari negara sangat berlainan dengan asas domein yang berlaku sebelum adanya UUPA. Perbedaan yang sangat mendasar adalah bahwa pada asas domein, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, tujuannya adalah untuk keuntungan kolonialisme Belanda. Hal ini dapat dikaji dari  klaim pemerintah kolonial atas tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai hak eigendom oleh warga negara sebagai tak bertuan dan dinyatakan sebagai domein atau milik negara.  Asas Hak Menguasai Negara tersurat tujuan secara jelas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Dapat dikatakan pula bahwa UUPA memberikan suatu sikap untuk mencapai tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak pada tempatnya, jika negara bertindak sebagai pemilik tanah. Menurut penjelasan UUPA, negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memang bukan pemilik, melainkan bertindak selaku badan penguasa yang pada tingkatan tertinggi menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Lebih tepat apabila negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku penguasa yang diberi wewenang untuk pada tingkatan tertinggi melakukan wewenang, seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.

 Ketentuan Hak Menguasai Negara ini, jika dilihat dari Memori Penjelasan UUPA angka II/2 memberi kesimpulan bahwa dasar pemikiran yang dipergunakan mengenai hubungan hukum antara negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa adalah hubungan di mana negara dianggap sebagai personifikasi seluruh rakyat, seperti yang dikemukakan oleh Notonagoro.  Notonagoro merumuskan, salah satu bentuk hubungan tersebut, yaitu hubungan antara negara langsung dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai subyek perorangan, dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki, akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat.

Hak Menguasai Negara tidak secara inheren sudah melekat dengan sendirinya pada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wewenang dari hak menguasai Negara diberikan oleh rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia agar dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya, wewenang tersebut didelegasikan kepada daerah-daerah dan masyarakat hukum adat sebagai pelaksanaan asas medebewind.  Berlandaskan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA, arti menguasai adalah “mengatur” dan “menyelenggarakan”  yang oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya memberikan ketegasan lingkup makna ”menguasai” yaitu membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi. Wewenang tersebut berkaitan dengan  : (a) penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation), dan pemeliharaannya (maintainance) atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (b) penentuan dan pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antar orang dan/atau badan hukum yang berobyekkan tanah. wewenang tersebut  harus ditujukan pada upaya mencapai kemakmuran rakyat secara maksimal. Hak menguasai dari negara ini merupakan hak rakyat pada tingkat negara.

B. Praktik Empiris

Secara teoritis konseptual, manusia  mempunyai hubungan yang abadi dengan tanah. Tidak ada manusia di muka bumi yang tidak membutuhkan tanah, karena itu tanah menjadi sangat penting dan sakral. Sesungguhnya tanah harus dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Namun dalam praktiknya, saat ini tanah tidak lagi dianggap sebagai sarana menciptakan kesejahteraan dan keadilan, tanah sudah menjadi sarana untuk menimbun kekayaan, alat spekulasi para pemilik modal untuk menguasai perekonomian.

Amanah bangsa Indonesia kepada Negara untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi urusan pertanahan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Kebijakan pembangunan yang propertumbuhan yang diterapkan oleh Indonesia sejak Orde Baru  sampai sekarang telah menyebabkan banyak hal, yang di antaranya :

1. Pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang Bias

Pemberian Hak Menguasai Negara oleh bangsa Indonesia kepada Negara Indonesia dimaksudkan agar penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dapat membawa kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Realitas yang terjadi menunjukkan tugas yang dibebankan kepada negara belum sepenuhnya memberikan kemakmuran kepada seluruh rakyat Indonesia secara merata.

Kekurangan berhasilan tersebut ditunjukkan oleh data BPN, hampir 80% (delapan puluh persen) tanah di Indonesia dikuasai tidak lebih dari 2 (dua persen) Penduduk Indonesia.  Data tersebut menunjukkan bahwa struktur kepemilikan tanah di Indonesia  sangat tidak adil. Hal ini telah mengakibatkan makin sulitnya  pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Ketidakadilan terjadi dimana-mana, karena sebagian besar penduduk Indonesia tidak memiliki lahan tanah sementara sebagian kecil penduduk menguasai tanah tanpa batas.

Kasus-kasus tanah yang muncul ke permukaan selama ini di dominasi karena faktor penguasaan lahan yang tidak seimbang. Seperti kasus tanah yang terjadi di Mesuji Lampung, kasus tanah Pupuk Kaltim di Bontang Kalimantan Timur, kasus tanah di Provinsi Riau, Papua, dan lain-lain. Kasus-kasus tanah tersebut telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Masyarakat  memprotes pemerintah karena memberikan tanah yang tidak terbatas kepada korporasi, padahal tanah yang dikuasai korporasi itu bukan saja tidak memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar tetapi justru merusak lingkungan yang pada akhirnya, lagi-lagi masyarakat kecil yang dirugikan.

Tanah-tanah yang dikuasai korporasi tidak sepenuhnya di manfaatkan, tanah itu banyak hanya digunakan untuk spekulasi, memanfaatkan sertifikatnya untuk kepentingan ekonomi, seperti jaminan perusahaan di bank, sehingga tidak sedikit dari tanah negara yang ditelantarkan para pengusaha. Ironisnya masyarakat di sekitar tanah  tersebut banyak yang tidak memiliki lahan sama sekali. Mereka hidup miskin dan bergantung kepada belas kasihan para pengusaha.

Banyak pemilik lahan pertanian (terutama di Pulau Jawa) yang bukan petani yang hidup dan tinggal di kota tetapi mereka dapat menikmati hasil pertanian di desa-desa. Lahan pertanian mereka dikerjakan oleh para buruh tani yang tidak memiliki lahan. Hasil pertanian yang dikerjakan oleh buruh tani tersebut tidak pernah membawa kesejahteraan bagi hidup mereka, karena hasilnya lebih banyak dinikmati para pemilik lahan.

2. Tanah Masyarakat Hukum Adat

Berdasarkan UUPA, hukum tanah Indonesia itu adalah menganut hukum adat, artinya tanah yang tidak dikuasai oleh negara sesungguhnya adalah tanah masyarakat hukum adat. Tanah masyarakat hukum adat mengandung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan karena tanah tersebut bukan dimiliki satu orang tetapi milik komunal.
Meskipun UUPA telah mengatur demikian, tetapi dalam praktiknya sangat jauh dari yang dimaksud undang-undang. Kini tanah masyarakat hukum adat tidak jelas statusnya. Banyak tanah masyarakat hukum adat justru dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan. Sementara anggota masyarakat hukum adat hidup miskin karena tidak memiliki lahan untuk dikelola.

Hakikat tanah masyarakat hukum adat direduksi oleh peraturan pemerintah yang mengatur tentang tanah masyarakat hukum adat. Dalam Peraturan tersebut aspek legalitas hukum menjadi ditonjolkan. Status tanah masyarakat hukum adat harus disahkan melalui peraturan daerah. Regulasi seperti ini sangat merugikan masyarakat hukum adat. Kepala daerah sangat berkepentingan dengan tanah, apakah itu kepentingan secara pribadi atau kepentingan politik. Karena kepentingan itu, status tanah masyarakat hukum adat yang disahkan melalui peraturan daerah menjadi sangat tergantung pada kepala daerah.

Banyak kasus-kasus tanah  masyarakat hukum adat timbul karena ulah dari kepala daerahnya. Kepala daerah tidak mau mengesahkan tanah itu menjadi tanah masyarakat hukum adat (tanah ulayat), karena dapat mengganggu kepentingannya. Kasus tanah ulayat yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau muncul karena Bupatinya enggan untuk membuat peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat di daerah itu. Kini tanah masyarakat hukum adat di daerah itu dikuasai oleh para pemiliki modal untuk dijadikan lahan kelapa sawit. Perusahaan itu berhak mengelola tanah ulayat karena berkolusi dengan elit lokal terutama Bupati.

Anggota masyarakat hukum adat yang sudah turun temurun memperoleh penghidupan di wilayah tersebut, lama-kelamaan tersisih dari tanah tersebut bahkan diusir dari tanah itu oleh pemilik modal. Ketidakadilan yang dirasakan anggota masyarakat hukum adat ditumpahkan melalui aksi unjuk rasa. Maka sangat mudah dipahami mengapa masyarakat melakukan aksi anarkis terhadap perusahaan, karena mereka merasakan ketidakadilan itu.

Untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari pihak terkait sebagai salah satu rangkaian dari proses penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU tentang Pertanahan, dilakukan pengumpulan data ke daerah, yaitu Provinsi Jawa Timur (7-10 Mei 2012), Provinsi Kalimantan Tengah (14-17 Mei 2012), dan Provinsi Sumatera Barat (21-24 Mei 2012). Berdasarkan hasil kegiatan tersebut, beberapa substansi penting terkait permasalahan pertanahan, yaitu:

1) Relevansi UUPA

Permasalahan agraria khususnya pertanahan semakin berkembang seiring dengan pertumbahan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Menurut Sahala Bistok Silalahi, carut-marut masalah pertanahan terjadi karena ego-sektoral dari kementerian/lembaga yang berkaitan dengan tanah untuk membuat undang-undang sektoral yang mengebiri UUPA dan undang-undang sektoral itu semestinya menginduk pada UUPA sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria. UU sektoral tersebut lahir tidak terlepas dari kedudukan tanah (permukaan bumi) merupakan sumber daya yang strategis. UU sektoral lebih menitikberatkan pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat tetapi hanya berpihak pada para pemilik modal.  Hal ini antara lain terlihat pada UU tentang Penanaman Modal dan UU tentang Kehutanan. Pembentukan undang-undang yang tidak menginduk UUPA menyulitkan untuk menyelesaikan masalah pertanahan yang komprehensif, integral, dan holistik. Ini dipicu oleh keterlambatan pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA dengan membuat peraturan pelaksanaannya. Sebagai contoh pengaturan tentang hak ulayat baru lahir tahun 1999 dan pengaturan hak milik dalam undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 50 ayat (1) UUPA sampai sekarang belum dilaksanakan.

UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional yang bersumber dari hukum adat menimbulkan polemik mengenai relevensinya sekarang ini. UUPA dinilai masih relevan dengan perkembangan bidang pertanahan sekarang ini sehingga patut untuk dipertahankan secara utuh seperti pada waktu diundangkannya, pada tanggal 24 September 1960.  Namun, persoalan tanah pada saat UUPA diundangkan sudah mengalami  perubahan konteks, sosial, ekonomi, dan politik sehingga perlu ada penyesuaian, dengan catatan penyesuaian itu adalah semata-mata untuk menyempurnakan UUPA.

UUPA meletakkan hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional, namun dalam kenyataannya UUPA belum sepenuhnya melindungi dan belum memberikan kepastian hukum pada hak-hak masyarakat adat, masyarakat terasing, dan masyarakat di daerah pedesaan sehingga dapat menimbulkan konflik. Ini terjadi karena kewenangan negara yang lahir dari hak menguasai negara telah disalahgunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lain dengan lebih mementingkan dan mendahulukan perusahaan-perusahaan besar untuk memanfaatkan tanah yang secara turun temurun dikuasai oleh masyarakat adat/masyarakat.  Selain itu, kepentingan masyarakat terasing yang tidak mempunyai kartu tanda penduduk dan ijazah formal mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat pengurusan kepemilikan hak atas tanah, kasus ini antara lain dialami oleh masyarakat Samin yang hanya mengerti mencangkul, bertani, dan memelihara ikan.  Contoh lainnya terjadi di Desa Tanjung Mandiri, Tanjung Lebar, Bahar Selatan, Muoro Jambi terkait dengan penjualan ratusan hektar tanah hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit, menurut Aliansi Masyarakat Adat kawasan tersebut merupakan habitat kelompok suku terasing (suku Bathin IX). Ini juga terjadi di daerah perkotaan, masyarakat yang mempunyai tanah berdasarkan hukum perdata (burgerlijk wetboek) maupun berdasarkan hukum adat akan kehilangan kepemilikan tanah tersebut karena keperluan pembanguan yang tidak terlindungi haknya ketika melepaskan tanahnya kepada investor untuk pembangunan pabrik, perumahan, pusat perbelanjaan.

Relevansi UUPA dengan masalah agraria, khususnya pertanahan disebabkan karena:
a. UUPA masih dapat menjawab perkembangan hukum dewasa ini, misalnya pembuatan RUU tentang Penguasaan dan Penggunaan Ruang Bawah Tanah untuk Mass Rapid Transportation (MRT);
b. UUPA masih dapat menjawab permasalahan pertanahan dewasa ini, asalkan para pejabat yang berwenang di bidang pertanahan dapat melaksanakan tugasnya dengan memimpin dan mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia;

Atas dasar alasan tersebut, UUPA dinilai masih relevan sehingga perlu dipertahankan. Namun, apabila berpijak pada fakta hukum di masyarakat, banyak permasalahan hukum di bidang pertanahan baik terkait dengan masalah penguasaan tanah maupun adanya benturan hukum pertanahan dengan hukum sektoral lainnya maka dapat dikatakan bahwa eksistensi UUPA sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum dewasa ini dan belum mampu mengatasi masalah pertanahan yang terjadi di masyarakat.
Pembaruan dalam hukum pertanahan melalui pembentukan undang-undang pertanahan merupakan suatu bentuk solusi terhadap persoalan ketidaksinkronan dan tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum agraria dan ketimpangan struktur agraria, kemiskinan, serta ketahanan pangan dan pembangunan wilayah.  Banyak permasalahan di bidang pertanahan sebagai indikator utama bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam pembentukan undang-undang pertanahan yang baru, karena fakta hukum yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa UU Pertanahan yang berlaku saat ini (UUPA) belum mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan di bidang pertanahan.

Mengingat relevansi UUPA dengan pertanahan maka dalam penyusunan dan pembentukan undang-undang pertanahan, selain memperhatiakan prinsip-prinsip dalam UUPA, juga perlu tetap mempertahankan falsafah fundamental UUPA.

2) Urgensi pembentukan Undang-Undang tentang Pertanahan

Indonesia sebagai negara agraris telah mengalami perkembangan yang demikian pesat, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kehidupan masyarakatnya, dan mulai ada perubahan menuju ke negara industri. Adanya perubahan tersebut menuntut UUPA agar diadakan penyempurnaan.  Penyempurnaan ketentuan berbagai peraturan pelaksanaan hukum tanah nasional yang bersumber dari UUPA memang diperlukan. Penyempurnaan yang perlu dilakukan salah satunya berkaitan dengan hak atas tanah khususnya mengenai hak-hak lain yang akan diatur kemudian, karena terdapat hak atas tanah yang belum diatur dalam UUPA tetapi hanya diatur dengan peraturan pemerintah atau peraturan menteri dalam negeri (contoh: Hak Pakai untuk orang asing, HPL). Hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya adalah:
a. Penyempurnaan UUPA karena UUPA hanya mengatur hal-hal yang pokok (fundamental) saja, sedangkan untuk pelaksanaan setiap pasal dalam UUPA harus dibuatkan Undang-Undang, khususnya Pasal 1 s/d 19, contoh Pasal 2 mengenai Hak Menguasai atas tanah dari Negara (Tanah Negara) harus dibuatkan UU mengenai tanah Negara agar semua pihak ada kesamaan pengertian mengenai tanah penguasaan negara dan badan apa yang berwenang mengelola tanah negara.
b. Harus ada penegasan bahwa sebagai yang memperoleh kewenangan yang memegang penguasaan tanah negara adalah BPN RI sebagaimana UU No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria, dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria pada waktu itu.
c. Penyempurnaan UUPA juga perlu dengan menjabarkan atau memperjelas ketentuan UUPA khususnya Bab II dan Bab III untuk menyesuaikan kondisi saat ini dan masa-masa mendatang, serta menyesuaikan dengan perundang-undangan baru terutama perundang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan masalah agraria tetapi dengan kewenangan, contohnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, artinya masalah pertanahan ansich kewenangan Pemerintah Pusat.
d. RUU agraria (pertanahan) harus mengatur semua hal yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa, khususnya tanah hubungannya dengan berbagai sektor (seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan).

Penyempurnaan UUPA ini diperlukan untuk menjabarkan atau memperjelas UUPA, karena ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam undang-undang sektoral dengan materi muatan UUPA yang dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum (conflict of law). Selain itu, UUPA dirasakan  belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya:
a. UUPA belum memuat aspek perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat khususnya petani, pemilik, tanah, serta masyarakat adat;
b. UUPA tidak mampu merespon perkembangan global; dan
c. UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengakomodir pengelolaan dan pengurusan tanah.

Selain itu, pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan oleh UUPA belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang diterbitkan oleh BPN dan baru sekitar 30% dari keseluruhan bidang tanah di Indonesia yang telah dilakukan pendaftaran tanah.

Atas dasar hasil studi pustaka dan tanggapan/masukan sebagai hasil kegiatan pengumpulan data tersebut, perlu dibentuk undang-undang khusus pertanahan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan seseorang terhadap tanah.  Pembentukan UU tentang Pertanahan diperlukan sebagai salah satu langkah strategis untuk meminimalisir atau menghilangkan kecurigaan bahwa Pemerintah berpihak kepada pengusaha atau sektor swasta, selain itu mampu meningkatkan iklim investasi di mana investor akan merasa aman menanamkan modalnya karena telah terdapat suatu kepastian hukum menyangkut tanah dan resiko konflik pertanahan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.  UU tentang Pertanahan ini nantinya juga diperlukan untuk memberikan penjelasan terhadap pengertian-pengertian yang belum jelas dalam UUPA maupun peraturan pelaksanaanya. Contohnya pengertian dari beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah ada dalam PP No. 224 Tahun 1961 mengatur hak prioritas, yaitu dengan hak prioritas pertama ada pada bekas pemegang hak, prioritas kedua ada pada orang yang mengelola namun pengertian mengelola tidak ada terjemahannya dari ketentuan peraturan tersebut, apakah orang yang yang menggarap kebun adalah termasuk prioritas pengelola atau tidak ada juga yang berpendapat bahwa penggarap bukan pengelola karena hanya menggarap kebun, pengarap menjadi pengelola jika sudah tinggal dan mendapat izin dari yang berwenang, pejabat yang berwenang ini diartikan bermacam-macam tergantung penguasanya.  Ini berarti harus ada terjemahan secara konkrit dari pengertian yang dikehendaki oleh peraturan supaya tidak diterjemahan lain.

Pembentukan UU Pertanahan merupakan suatu keharusan dan untuk penguatan Pasal 1 s.d Pasal 15 UUPA terutama terkait dengan hak menguasai negara, fungsi sosial tanah, dan tanah negara, namun tetap berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam UUPA.  Hal ini mengingat bahwa ruang lingkup yang ada dalam UUPA sangat luas, meliputi bumi, air dan ruang angkasa.  Dengan cakupan yang sangat luas itu maka justru seringkali menimbulkan berbagai permasalahan.  Selain itu pengaturan hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA nampak menggabungkan antara hak-hak barat dan hak adat yang ada pada waktu sebelum lahirnya UUPA.  Jadi perlu adanya pengaturan secara khusus mengenai pertanahan, untuk dapat memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan hukum.  Selain itu, hak atas tanah dasarnya hanya pengakuan atas permukaan atas bumi. Konsep hak atas tanah ini harus diubah, yaitu tanah mencakup di atas dan di bawah permukaan bumi. Perkembangan konsep hak atas tanah ini perlu diformulasikan ke dalam pasal-pasal.  Faktor ini juga didukung oleh telah terjadi Land grabbing, yaitu tanah individual atau tanah adat yang diambil secara tidak sah oleh private company.  UU Pertanahan diperlukan sebagai landasan untuk memberikan akses masyarakat mewujudkan keadilan terkait dengan banyak terjadinya konflik pertanahan (tanah yang dikuasai oleh masyarakat kurang dari 10%).

RUU pertanahan juga diperlukan karena dewasa ini terdapat bermacam-macam masalah pertanahan.  Untuk Pulau Jawa masalah timbul karena tanah dimiliki secara individualistis, sedangkan di luar Pulau Jawa masalah berkembang dari hak ulayat sebagai tanah bersama masyarakat hukum adat (berdasarkan kearifan lokal).  Hak ulayat sebagai hak bersama di mana seluruh masyarakat hukum adat mempunyai tanah di wilayah hukum adat itu. Hak ulayat ini merupakan dasar bagi hukum tanah nasional berupa UUPA yang bersumber utama hukum adat. Ini berarti hukum tanah nasional  adalah hukum adat.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTANAHAN


Bagian ini akan membahas berbagai peraturan perundang-undangan terkait bidang pertanahan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berpengaruh terhadap kedudukan dan materi muatan RUU Pertanahan ini. Evaluasi dan analisis ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan RUU Pertanahan ini dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga diketahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertanahan. Uraian ini berusaha untuk menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi RUU Pertanahan ini, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan.

Pembahasan ini dikelompokkan ke dalam 3 bagian yaitu (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan semua UU di bidang pertanahan sebagai pelaksana UUPA; (2) UU sektoral bidang pengelolaan sumber daya alam; dan (3) Undang-undang lainnya terkait bidang pertanahan.

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA) dan Undang-Undang Lain di Bidang Pertanahan sebagai Pelaksana UUPA

UUPA merupakan UU produk nasional pertama yang menggantikan berbagai peraturan bidang pertanahan warisan kolonial Belanda, sehingga ia dikenal dengan “karya agung” bangsa. Berdasarkan sejarah pembentukan dan isi UUPA dapat diketahui bahwa UU ini dimaksudkan sebagai UU payung bagi pengaturan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, isi UU ini merupakan pokok-pokok aturan yang mengandung asas-asas, tujuan pokok dan aturan-aturan umum tentang penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam.

Walaupun ruang lingkup materi muatan UU ini meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam, namun sasaran utama isinya adalah pengaturan tentang permukaan bumi yang disebut tanah. Lebih dari 90% isi UUPA mengatur tentang pertanahan, sehingga hukum pertanahan menjadi bagian utama dari hukum agraria. Dari 58 pasal yang ada dalam batang tubuh UUPA hanya 2 pasal saja yang mengatur bukan tanah yaitu Pasal 47 tentang hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan Pasal 48 tentang hak guna ruang angkasa. Walaupun sebagian besar isi UUPA mengatur tanah, namun pengaturannya masih umum, oleh karena itu perlu ada suatu UU yang mengatur secara rinci bidang pertanahan secara khusus. Dalam konteks ini, maka RUU tentang Pertanahan ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA.

Posisi yang sama seharusnya juga berlaku untuk UU sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, sumberdaya air, perikanan, kelautan, dan sebagainya. Kedudukan ini didasarkan kepada perintah atau delegasi pengaturan dari Pasal 8 UUPA yang menyatakan, bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, airdan ruang angkasa”.

Sejalan dengan itu, maka RUU Pertanahan ini merupakan pengaturan khusus (lex specialis) dari UUPA yang bersifat umum (lex generalis). Khususnya dalam bidang pertanahan (lex specialis) beberapa UU sebagai pelaksana UUPA juga telah dikeluarkan sebelumnya yang harus dijelaskan kedudukannya dengan adanya RUU Pertanahan ini sebagai berikut:

a. UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Secara substansi UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2 Tahun 1960) merupakan pelaksana Pasal 53 UUPA yang mengatur hak atas tanah yang bersifat sementara yang akan dihapus dalam waktu dekat. Dikatakan semantara karena praktik bagi hasil ini dianggap bertentangan dengan prinsip tanah untuk petani. Sebetulnya perjanjian bagi hasil itu sendiri bertentangan dengan Pasal 10 UUPA yang menyatakan pada prinsipnya tanah pertanian harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. Kalau diatur tentang perjanjian bagi hasil berarti aturan ini malah memfasilitasi adanya orang yang bukan pemilik tanah pertanian mengerjakan tanah pertanian.

Namun, secara historis UU No. 2 Tahun 1960 ini lahir mendahului UUPA itu sendiri. Dari nomornya saja sudah dapat diketahui bahwa UU No. 2 Tahun 1960 lebih dahulu lahir dari pada UUPA yaitu UU No. 5 Tahun 1960. UU No. 2 Tahun 1960 disahkan pada 7 Januari 1960, sedangkan UUPA disahkan pada 24 September 1960. Jadi UU 2/1960 merupakan UU yang istimewa bila dilihat dari kedudukan dan sejarah lahirnya. Oleh karena itu, UUPA yang lahir kemudian tidak menyatakan bahwa UU No. 2 Tahun 1960 ini dicabut, memposisikannya sebagai peraturan pelaksana UUPA.

Kedudukan UU No. 2 Tahun 1960 dapat dilihat dalam atau dihubungkan dengan Pasal 16 UUPA yang mengatur tentang hak-hak atas tanah dan Pasal 53 UUPA tentang ketentuan peralihan yang mengisyaratkan adanya perjanjian bagi hasil hanya dalam masa peralihan saja. Pasal 16 ayat (1) UUPA menyatakan, bahwa hak-hak atas tanah sebagai sebagai permukaan bumi terdiri atas: (a) hak milik, (b) hak guna usaha, (c) hak guna-bangunan, (d) hak pakai, (e) hak sewa, (f) hak membuka tanah, (g) hak memungut-hasil hutan, dan (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Pasal 53 kemudian seakan menjadi penjelasan bagi Pasal 16 ayat (1) huruf h. Sehingga Pasal 53 ayat (1) UUPA menjelaskan, bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Jadi hak usaha bagi hasil yang lahir berdasarkan perjanjian bagi hasil merupakan salah satu hak yang bersifat sementara yang diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA, yaitu Pasal 10 UUPA yang menegaskan tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. Istimewanya hak usaha bagi hasil ini adalah bahwa ia telah diatur sebelumnya UUPA memerintahkan untuk diatur oleh UU, itulah UU No. 2 Tahun 1960.

Setelah 53 tahun masa transisi apakah perjanjian bagi hasil masih dipertahankan, karena UUPA memerintahkan untuk dihapus? Kalau dipertahankan untuk apa gunanya, misalnya sepanjang dimungkin adanya pengecualian tanah absentee bagi pegawai negeri dan aparat negara tertentu? Belum lagi mempertimbangkan bahwa praktik bagi hasil ini lazim terjadi di masyatakat hukum adat, dengan nama yang berbeda-beda, yang dilakukan atas tanah pertanian yang belum bersertipikat? Atau apakah RUU Peranahan ini akan mengambilalih pengaturannnya untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, agaknya perlu ditegaskan terlebih dahulu.

b. UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

Lain lagi halnya dengan UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya (UU No. 51 Prp. Tahun 1960). UU ini lahir setelah lahirnya UUPA, dan oleh karena itu telah mencantumkan UUPA sebagai ketentuan “Mengingat”. Namun semangat UU ini bukanlah secara langsung sebagai pelaksana UUPA tetapi sebagai pelaksana dari UU terkait keadaan darurat, untuk memberikan perlindungan kepada pemilik-pemilik tanah dalam keadaan darurat. Karena tanpa adanya UU ini pun tindakan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya sudah dilarang juga. Tetapi karena larangan tersebut tidak efektif berlaku dalam kondisi darurat maka pemerintah merasa perlu mengeluarkan UU No. 51 Prp. Tahun 1960.

Sekarang dalam kondisi normal, apakah UU ini masih dipertahankan, atau materi muatan UU ini digabungkan ke dalam RUU Pertanahan ini, merupakan pertanyaan yang penting untuk dijawab. Sikap politik DPR juga menentukan jawabannya, sehingga berdampak terhadap ruang lingkup materi RUU Pertanahan.




c. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU No. 56 Prp Tahun 1960) lahir setelah lahirnya UUPA oleh karena itu secara eksplisit kedudukannya sebagai pelaksana UUPA. Dilihat dari judulnya, “tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian” maka UU ini sudah jelas sebagai pelaksana Pasal 7 UUPA yang melarangan pemilikan tanah melebihi batas maksimum. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Namun, jika dilihat ruang lingkup materi muatannya ternyata UU ini juga sebagai pelaksana Pasal 53 UUPA yang juga sudah disinggung di atas, karena juga mengatur tentang gadai tanah pertanian.

Khusus terkait dengan hak gadai yang lahir berdasarkan perjanjian gadai tanah pertanian, menurut Pasal 53 juga termasuk ke dalam hak sementara yang diatur pembatasannya dan akan dihapus. Namun, Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 tampaknya tidak bermaksud menghapus gadai tanah pertanian, tetapi hanya membatasi pelaksanaanya dengan pembatasan waktu selama maksimal 7 tahun. Dengan pertimbangan bahwa tanah obyek gadai dikuasai dan diambil hasilnya oleh pemegang gadai maka setelah 7 tahun tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemilik tanpa tebusan. Jika dikembali sebelum 7 tahun pelaksanaan maka uang tebusan dikurangi secara proporsional dengan memperhitungkan waktu yang sudah berjalan.

Sayangnya ketentuan tersebut tidak berlaku efektif secara menyeluruh di Indonesia terutama di kalangan masyarakat hukum adat. Hal ini disebabkan karena kondisi dan latar belakang gadai tanah pertanian tersebut berbeda-beda di kalangan masyarakat. Ada yang menggangap gadai itu sebagai bentuk jaminan dan ada pula gadai tersebut merupakan lembaga tolong menolong. Belum lagi dihubungkan dengan besarnya uang gadai, karena ada pada sebagian masyarakat uang gadai tersebut sama besarnya dengan harga jual tanahnya. Untunglah hakim dalam memutus perkara gadai ini tidak terpaku hanya kepada Pasal 7 UU 56/Prp/1960, sehingga putusannya bervariasi yang menggambarkan adanya penemuan hukum di dalamnya.

Utamanya UU ini memang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian. Pembatasannya dilakukan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk per kabupaten/kota. Sehingga di daerah padat berbeda batas maksimum tanah pertanian yang boleh dimilik dengan daerah sedang dan tidak padat penduduknya, baik tanah sawah maupun pekarangan. Terkait dengan itu, salah satu kelemahan UU ini adalah bahwa pembatasan tersebut hanya dilakukan terhadap perorangan dan keluarganya, dan belum diatur pembatasan untuk perusahaan. Pembahasan terkait hal ini bisa dilihat juga pada uraian berikutnya dari naskah ini yaitu pada pembahasan tentang UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Tambahan lagi bahwa UU No. 56 Prp Tahun 1960 hanya mengatur pembatasan pemilikan tanah pertanian belum termasuk tanah non pertanian.      

d. UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya

UU ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Dengan adanya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No.2 Tahun 2012) seakan kedudukan UU ini dikaburkan karena tidak disinggung di dalamnya. UU No. 20 Tahun 1961 ini sebetulnya dimaksudkan untuk menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum, untuk itu Presiden diberi kewenangan untuk mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian. Dalam hal ini presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan diberi kewenangan menggunakan instrumen hukum publik yaitu penetapan tertulis (beschikking) untuk mencabut hak demi kepentingan umum. Sepanjang RUU Pertanahan ini tidak mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum, maka UU No. 20 Tahun 1961 tidak terpengaruh.

e. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996) juga merupakan peraturan pelaksana UUPA, khususnya Pasal 51. Pasal 51 UUPA menegaskan, bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan diatur dengan undang-undang. Sebelum keluarnya UU ini maka pengaturan tentang hak tanggungan masih berlaku ketentuan tentang hipotik dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per).

Secara substansi materi muatan UU No. 4 Tahun 1996 sudah sejalan dengan UUPA, karena itu tidak ada persoalan dengan RUU Pertanahan ini. Jadi sepanjang RUU Pertanahan tidak mengatur tentang hak tanggungan maka ia harus juga mempertimbangkan atau memedomani isi atau materi muatan UU No. 4 Tahun 1996.    

f. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Sama kedudukannya dengan UU No. 20 Tahun 1961, bahwa UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No.2 Tahun 2012) juga sebagai pelaksana UUPA. Namun delegasi pengaturannya untuk UU No. 20 Tahun 1960 lebih tegas yaitu perintah dari Pasal 18 UUPA, sementara UU No.2 Tahun 2012 tidak mengacu kepada pasal tertentu dari UUPA. Untuk itu bila dikaitkan dengan RUU Pertanahan ini, sepanjang terkait pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, cukup mengatur secara umum saja, sedangkan secara rinci mengacu kepada UU No.2 Tahun 2012. Sehingga walaupun lahirnya lebih dahulu daripada RUU Pertanahan ini, UU No.2 Tahun 2012 berkedudukan juga sebagai pelaksana RUU Pertanahan ini nantinya, terlepas dari substansi UU No.2 Tahun 2012  yang masih banyak perlu dipertanyakan.  

2. Undang-Undang Sektoral Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

a. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pengaturan bidang kehutanan merupakan obyek yang paling luas bersentuhan dengan pengaturan bidang pertanahan, karena hutan memang hanya tumbuh dan berada di atas tanah. Oleh karena itu, undang-undang di bidang kehutanan harus sejalan dengan undang-undang di bidang pertanahan.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) merupakan undang-undang pengganti dari UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5 Tahun 1967). Dalam materi muatannya UU ini keharusnya mengatur obyeknya yaitu hutan sebagai sumberdaya alam yang berada di atas tanah. Dengan demikian, kedudukan UU Kehutanan merupakan pelaksana dari Pasal 8 UUPA sebagaimana disinggung di atas. Dalam konteks ini UU Kehutanan hendaknya mengatur pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya yaitu lindung, konservasi dan budidaya. Sehingga ia tidak mengatur status tanah tempat beradanya hutan. Pengaturan status tanahnya harus mengacu kepada UUPA dan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, supaya tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.

Sayangnya, UU Kehutanan tidak saja mengatur pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam yang berada di atas tanah tetapi juga mengatur status tanahnya dengan memunculkan terminologi baru yaitu kawasan hutan. Akibatnya, di kawasan hutan yang ditetap secara sepihak oleh Menteri Kehutanan yang luasnya hampir separuh luas daratan Indonesia terjadi tumpang tindih aturan antara UU Kehutanan dan UUPA.

Kondisi ini berdampak terhadap status tanah dalam usaha di bidang kehutanan. Seperti diketahui, bidang usaha kehutanan, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), dan berbagai izin usaha di bidang kehutanan, merupakan satu-satunya sektor usaha yang tidak didasarkan pada hak atas tanah atau tidak mensyaratkan perolehan tanahnya. Hal ini tidak saja menimbulkan kerancuan dalam kegiatan usaha, tetapi negara juga dirugikan karena pemasukan ke negara dari pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi hilang. RUU Pertanahan ini diharapkan bisa mengatasi persoalan ini, karena UU No. 41 Tahun 1999 memang menjadikan UUPA sebagai dasar penentuan status kawasan hutan. Jangan sampai amanah UU ini disimpangi oleh praktik pengelolaan kehutanan yang menyimpang dari UUPA.
Tidak hanya itu, bila dihubungkan dengan UUPA sebagai sumber utama agraria, maka UU Kehutanan juga mengandung masalah dalam konteks pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Pasal 3 UUPA dengan tegas mengakui keberadaan hak ulayat sebagai salah satu entitas status tanah. Berseberangan dengan itu, UU Kehutanan malah tidak mengakui keberadaan hak ulayat di kawasan hutan, sehingga Pasal 1 huruf f UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.        

b. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004) tidak secara langsung bersinggungan dengan UUPA, karena obyek yang diaturnya hanya urusan di bidang perkebunan. Namun, karena perkebunan itu sendiri berada di atas tanah maka kegiatan perkebunan yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2004 juga terkait dengan pengaturan di bidang pertanahan. Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2004 menyatakan, bahwa perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Secara umum terkait dengan penggunaan tanah untuk usaha perkebunan tidak ada masalah karena UU No. 18 Tahun 2004 menyatakan bahwa penggunaan tanahnya mengacu kepada hukum pertanahan atau agraria. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2004 yang menyatakan, bahwa “dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan itu, jika perkebunan itu berada di atas hak ulayat masyarakat hukum adat maka pelaku usahanya harus memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat terlebih dahulu. Hal inilah yang ditegaskan oleh Pasal 9 ayat (2) UU 18 Tahun 2004, bahwa, “dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak atas tanahnya, pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.”

Hal yang menjadi permasalahan adalah tentang luas tanah yang diberikan untuk usaha perkebunan sesuai dengan hak atas tanah yang dimohonkan. Jika hak yang dimohonkan adalah hak milik tidak ada masalah karena sudah ada ketentuan tentang pembatasan maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki sebagaimana diatur UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Namun, jika hak yang dimohonkan adalah hak guna usaha dan hak pakai perlu adanya pembatasan karena UU No. 56/prp/1960 belum mengatur pembatasan luas tanah pertanian untuk perusahan dengan hak guna usana dan hak pakai.

Menyadari hal itu, maka UU No.18 Tahun 2004 telah berusaha memberikan pembatasan luas kebun yang dikaitkan dengan luas tanah yang dapat diberikan. Pasal 10 ayat (1) UU No.18 Tahun 2004 menyatakan, bahwa penggunaan tanah untuk usaha perkebunan, luas maksimum dan luas minimumnya ditetapkan oleh Menteri (Pertanian), sedangkan pemberian hak atas tanah ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan (Badan Pertanahan Nasional). Penetapan luas tanah perkebunan berpedoman pada jenis tanaman, ketersediaan tanah yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis, dan perkembangan teknologi [Pasal 10 ayat (2)]. Bahkan Pasal 10 ayat (3) melarang tindakan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum, sehingga pemindahan hak atas tanah dimaksud dinyatakan tidak sah dan tidak dapat didaftarkan.

Walaupun UU No.18 Tahun 2004 menyatakan bahwa hak atas tanah untuk usaha perkebunan itu bisa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dan hak pakai, namun perhatian UU ini lebih pada hak guna usaha (HGU). Hal ini terlihat dari adanya ketentuan lebih rinci mengenai hak guna usaha, tetapi tidak untuk hak guna bangunan dan hak pakai. Pasal 11 dan Pasal 12 UU No.18 Tahun 2004 memuat ketentuan tentang hak guna usaha untuk perkebunan. Pada umumnya isi ketentuan ini sejalan dengan UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Namun demikian, kedua pasal ini hanya fokus kepada jangka waktu berlakunya HGU. Pasal 11 ayat (1) menyatakan, bahwa hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun. Jangka waktu tersebut diberikan perpanjangan jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan atas permohonan pemegang hak. Perpanjangan dimaksud hanya dapat dikabulkan  jika pelaku usaha perkebunan yang bersangkutan menurut penilaian Menteri, memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai dengan ketentuan teknis yang ditetapkan [Pasal 11 ayat (2)]. Bahkan, setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan hak guna usaha baru (pembaruan) [Pasal 11 ayat (3)].

Pasal 12 kemudian memberi ancaman bagi pemegang HGU yang tidak memanfaatkan tanah sesuai ketentuan dan menelantarkannya, sebagai berikut:
Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana yang dipersyaratkan dan ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikannya hak guna Usaha yang bersangkutan.

Perlu diwaspadai ketentuan UU ini terkait dengan tanah adalah ketentuan pidana terhadap orang yang merusak kebun dan/atau aset lainnya dari kebun. Ketentuan pidana juga dikenakan terhadap tindakan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin serta tidakan lainnya yang mengganggu usaha perkebunan. Ketentuan ini dinyatakan oleh Pasal 21 UU No.18 Tahun 2004 yang menyatakan, bahwa  setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 tersebut diancam pidana oleh Pasal 47 UU No.18 Tahun 2004 sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan ini berpotensi sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat hukum adat di atas tanah ulayatnya jika dalam proses pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunannya masih bermasalah dengan masyarakat hukum adat. Anggota masyarakat hukum adat biasanya tidak tinggal diam, protes, bahkan ada sebagian yang memasuki lokasi kebun yang dinyatakan sebagai tindak pidana. Untunglah sekarang, kekhawatiran tersebut sudah mulai mereda terutama sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil (judicial review) terhadap pasal tersebut.


c. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

UU No. 4 Tahun 2009 (UU No.4 Tahun 2009) lebih fokus mengatur pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (Minerba), tidak mengatur tanah tempat lokasi pertambangan itu berada. Oleh karena itu UU No. 4 Tahun 2009 tidak mengatur status dan keberadaan tanahnya, sehingga secara prinsip UU ini tidak berkaitan dengan bidang pertanahan. Cuma saja, bagaimana pun pengelolaan pertambangan Minerba ini berdampak terhadap status dan keberadaan tanahnya.

Lokasi tempat tersimpannya Minerba yang akan ditambang itu berada di bawah permukaan bumi atau tanah. Jika keberadaan Minerba itu kebetulan berada di bawah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (tanah negara), maka pengelolaannya tidak terlalu dipermasalahkan. Paling-paling yang harus dipertimbangkan hanya fungsi kawasannya, apakah di kawasan lindung atau budi daya, yang terkait dengan UU Penataan Ruang dan UU Kehutanan. Dalam hal ini Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 menegaskan, bahwa “kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu, berikutnya Pasal 134 ayat (3) menambahkan ketentuan, bahwa kegiatan usaha pertambangan dimaksud baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya penambangan di kawasan hutan harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan, baik melalui pelepasan kawasan untuk hutan produksi, maupun melalui pinjam pakai kawasan untuk kawasan lindung.  

Lain halnya jika kandungan Minerba yang akan dikelola berada di bawah tanah yang sudah dihaki (tanah hak) oleh orang atau warga negara. Pengelolaan pertambangan dalam hal ini akan berdampak langsung terhadap tanah hak orang lain. Oleh karena itu, tidak bisa izin usaha pertambangan dikeluarkan begitu saja sebelum menyelesaikan urusan pertanahannya dengan pemegang hak atas tanah.

Kondisi ini juga sudah diantisipasi oleh UU No. 4 Tahun 2009. Pasal 134 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 menyatakan, bahwa hak atas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), atau wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Sejalan dengan itu, maka Pasal 135 UU No. 4 Tahun 2009 melanjutkan pengaturannya, bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) Eksplorasi atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Eksplorasi (saja) hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

Jika kegiatan usaha pertambangan itu ditingkatkan menjadi izin usaha untuk kegiatan operasi produksi maka pemegang izin tidak cukup hanya berdasarkan izin dari pemagang hak atas tanah. Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 136 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009). Dengan demikian, penyelesaian hak atas tanah untuk pelaksanaan usaha pertambangan dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK (Pasal 136 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009).

Ketentuan di dalam UU No. 4 Tahun 2009 terkait pertanahan ini dikunci dengan Pasal 137. Jika perlu kepada pemegang IUP atau IUPK yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini perlu ditegaskan lagi karena memang hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah (Pasal 138). Hal ini membuktikan bahwa UU UU No. 4 Tahun 2009 secara prinsip mengacu kepada UUPA sepanjang terkait dengan bidang pertanahan dalam pelaksanaan usaha pertambangan. Jangan sampai terjadi lagi seperti pelaksanaan usaha di bidang kehutanan, berusaha di atas tanah tetapi tanpa alas hak atas tanah.

Cuma saja keberadaan hak atas tanah belum dipertimbangkan pada saat penetapan wilayah pertambangan (WP). Bagaimana jika WP itu ditetapkan di wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat? Hal ini agaknya perlu diwaspadai. Dengan melakukan penafsiran sistematis dan dihubungkan dengan sinkronisasi dan harminisasi peraturan perundang-undangan, persoalan ini untuk sementara dapat dipahami sebagai berikut. Karena UU No. 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa terkait dengan bidang pertanahan atau hak atas tanah disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku, maka keberadaan hak ulayat juga harus ditentukan berdasarkan UUPA.

Berdasarkan uraian di atas, sepanjang terkait dengan obyek hak ulayat berupa tanah mungkin tidak menjadi masalah. Sebagaimana diketahui bahwa obyek hak ulayat masyarakat hukum adat tidak hanya tanah, tetapi juga meliputi kekayaan alam yang terdapat di atas dan di bawah tanah. Dengan demikian Minerba juga merupakan salah satu obyek hak ulayat. Jadi seharusnya UU No. 4 Tahun 2009 tidak hanya mengakui kebaradaan tanahnya tetapi juga mempertimbangkan hak ulayat masyarakat hukum adat atas Minerba itu sendiri. Dengan demikian, RUU Pertanahan ini diharapkan juga dapat mengantisipasi dan membantu menyelesaikan persoalan terkait pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat atas Minerba.            

d. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Dalam kaitannya dengan bidang pertanahan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No. 22 Tahun 2001) mempunyai ketentuan yang hampir bersamaan dengan UU No. 4 Tahun2009, perolehan tanah terkait usaha Migas dilakukan menurut peraturan perundang-undangan berlaku di bidang pertanahan. Hak atas wilayah kerja usaha Migas tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi (Pasal 33 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001). Oleh karena itu, dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam wilayah kerjanya, wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakait anah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian dimaksud dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah egara (Pasal 34 UU 22/2001).

Setelah penyelesaian tanahnya selesai maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung ntuk kegiatan usaha Migas dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai kepada badan usaha atau badan usaha tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut (Pasal 36 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001). Jika wilayah kerjanya meliputi areal yang luas di atas tanah negara, maka bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Migas, dapat diberikan kepadapihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agrarian atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Pasal 36 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001).

Pada satu sisi UU No. 22 Tahun 2001 ini terkesan berupaya untuk menghargai keberadaan hak atas tanah dan benda-benda lain di atas tanah. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan, bahwa kegiatan usaha Migas tidak dapat dilaksanakan pada:
a. Tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat;
b. Lapangan dan bangunan pertahanan Negara serta tanah di sekitarnya;
c. Bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. Bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Pada sisi lain terlihat pula bahwa UU No. 22 Tahun 2001 ini terlalu mementingkan usaha Migas, larangan terhadap tanah untuk kegiatan usaha Migas seperti tersebut di atas ternyata bisa ditembus diingkari semua. Pengingkaran ini diawali dengan anak kalimat, “kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut”. Sehingga ketentuan berikutnya Pasal 33 ayat (4) memberikan kewenangan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap Migas untuk “menggusur” dengan menyatakan:

Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi pemerintah yang berwenang.

Tidak hanya itu, terdapat juga pemaksaan di dalam UU No. 22 Tahun 2001terhadap pegang hak atas tanah untuk memberi izin kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap melakukan kegiatan. Pasal 35 UU No. 22 Tahun 2001 telah menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila:
a. Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerjasama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akandilakukan;
b. Dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud.

UU No. 22 Tahun 2001 ini terlihat betul memberikan prioritas kepada usaha Migas dengan mengeyampingkan kenpentingan sektor lain termasuk bidang sarana dan prasarana umum dan hak masyarakat. Kebijakan ini tidak saja merupakan pernyataan sepihak dari sektor Migas, tetapi juga didukung oleh bidang pertanahan. Salah satunya adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 22 Tahun 2001). Pasal 10 huruf (e) UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur minyak, gas dan panas bumi merupakan salah bentuk pembangunan kepentingan umum. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 2001 juga bisa digunakan untuk memfasilitasi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur Migas.

RUU Pertanahan ini hendaknya mempertimbangkan ketentuan terkait pertanahan di dalam UU No. 22 Tahun 2001. Tidak hanya itu, bahkan UU No. 22 Tahun 2001juga telah memberikan kedudukan istimewa kepada sektor Migas dengan menyatakannya sebagai kepentingan umum.  

e. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Bentuk penggunaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan hampir mirip dengan penggunaan tanah untuk usaha pertambangan Minerba, maka pengaturan terkait pertanahan di dalam UU No. 30 Tahun 2009 (UU No. 30 Tahun 2009) searah dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Ditentukan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian tanahyang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan (Pasal 30 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2009). Dengan demikian kedudukan RUU Pertanahan ini nanti juga akan menjadi rujukan bagi penyediaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan.

Bentuk penggunaan tanah yang dibutuhkan untuk usaha ketenagalistrikan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu (1) tanah yang digunakan langsung untuk pembangunan sarana prasarana usaha ketenagalistrikan, sehingga harus dilakukan pelepasan atau penyerahan tanahnya; (2) tanah yang tidak secara langsung digunakan tetapi terpengaruh olehnya yang tidak perlu dilepaskan atau diserahkan. Penggantian terhadap tanah yang digunakan berbeda berasarkan bentuk penggunaannya.

Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 30 Tahun 2009 yang menyatakan, penggunaan tanah oleh pemegang izin usahapenyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan. Ganti rugi hak atas tanah diberikan untuk tanah yang dipergunakansecara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaantenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atastanah. Jadi ganti rugi adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut. Sedangkan, kompensasi diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik. Dengan demikian, kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Tidak hanya itu, penggunaan tanah ulayat pun harus berdasarkan penyerahan dengan dari masyarakat hukum adatnya berdasarkan peraturan berlaku. Pasal 30 ayat (6) menegaskan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.



f. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Sesuai dengan judulnya UU No. 1 Tahun 2011 ini bukan bermaksud mengatur pertanahan tetapi mengatur tentang perumahan dan kawasan permukiman. Namun, karena pembangunan perumahan dan kawasan permukiman itu membutuhkan tersedianya tanah maka muatan materi UU ini juga terkait dengan bidang pertanahan. Masuknya penyediaan tanah dalam rangkaian perumahan dan kawasan permukiman sudah disadari oleh pembuat UU ini. Hal itu terlihat dari pengertian “perumahan dan kawasan permukiman” adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat (Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 2011). Dengan demikian, penyediaan tanah menjadi salah satu bab dari batang tubuh UU No. 1 Tahun 2011 yaitu Bab IX dengan judul “Penyediaan Tanah”, Pasal 105 sampai dengan Pasal 117.

Pengaturannya diawali dengan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman termasuk melalui penetapannya di dalam rencana tata ruang wilayah (Pasal 105 UU No. 1 Tahun 2011). Pada umumnya penyediaan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku di bidang pertanahan. Jadi kedudukan RUU Pertanahan ini nantinya juga harus menjadi rujukan dalam penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Berbagai peluang secara hukum dimanfaatkan oleh UU No. 1 Tahun 2011 ini untuk penyediaan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 106 yang menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman dapat dilakukan melalui:
a. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;
b. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;
d. Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Pendayagunaan tanah negara bekast anah terlantar; dan/atau
f. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keenam cara penyediaan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman inilah yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 117. Rujukan pengaturannya secara prinsip terlihat sudah sejalan dengan UUPA. Misalnya terkait dengan cara pertama yaitu melalui pemberian hak atas tanah terhadapt anah yang langsung dikuasai negara. Pasal 107 UU No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman. Pemberian hak tersebut didasarkan pada penetapan lokasi atau izin lokasi dari gubernur atau bupati/walikota. Tidak hanya itu, bahkan jika atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara dimaksud terdapat garapan masyarakat, maka pemberian hak atas tanah juga harus didahului dengan menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan. Dengan pemberian hak tersebut maka orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman melakukan pendaftaran tanahnya sesuai dengan hak atas tanah yang diberikan kepadanya.

Begitu juga dengan peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c, yang baru dapat dilakukan setelah badan hokum memperoleh izin lokasi. Lebih lanjut Pasal 114 menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara peralihan dan pelepasan hak. Peralihan hak atas tanah dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah ada kesepakatan bersama, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Hasil penyediaan tanah tersebut baik melalui peralihan hak maupun pelepasan hak atas tanah wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, sekali lagi ditegaskan bahwa kedudukan RUU Pertanahan ini nantinya menjadi pedoman bagi pelaksanaan UU No. 1 Tahun 2011 terutama terkait dengan penyediaan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman.  

g. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

Secara historis UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU No. 20 Tahun 2011) merupakan pengganti UU No. 16 Tahun 1985 dengan judul yang sama. Namun, secara delegatif, UU ini merupakan pelaksana dari UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Oleh karena itu kedudukan RUU Pertanahan ini bagi UU No. 1 Tahun 2011  nantinya adalah sama dengan kedudukannya terhadap UU No. 1 Tahun 2011, yaitu sebagai pedoman dalam penyediaan tanah untuk rumah susun. Oleh karena itu, ketentuan terkait pertanahan di dalam UU No. 1 Tahun 2011 ini juga tidak boleh bertentangan dengan UUPA dan UU di bidang pertanahan lainnya.

Sesuai dengan judulnya “tentang Rumah Susun” maka UU ini fokus mengatur rumah susun itu sendiri. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama {Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 2011}.

Terkait dengan tanah tempat dibangunnya rumah susun, Pasal 17 UU No. 1 Tahun 2011  menyatakan,bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.

Selain itu, khusus rumah susun umum, yaitu rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan/atau rumah susun khusus, yaitu rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus, dapat dibangun dengan pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau pendayagunaan tanah wakaf (Pasal 18 UU No. 1 Tahun 2011).

Cuma saja terkait dengan pemanfaatan tanah barang milik negara/daerah dan pendayagunaan tanah wakaf terdapat pertentangan dengan UUPA. Pasal 19 ayat (1) UU ini menyatakan, pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerjasama pemanfaatan. Dalam UUPA yang berhak menyewakan tanah hanyalah pemilik tanah, karena negara atau instansi pemerintah pengguna tanah barang milik negara itu bukan sebagai pemilik tanah maka dia tidak boleh menyewakan tanah kepada pengambang rumah susun. Begitu jua dengan tanah wakaf. Pasal 20 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2011  menyatakan bahwa pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerjasama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf. Nadhir wakaf bukan sebagai pemilik tanah ata tanah wakaf bukan tanah milik oleh karena itu ia tidak bisa disewakan kepada pihak lain. Apalagi Pasal 21 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011  menyatakan bahwa jangka waktu sewa atas tanah sebagaimana dimaksud diberikan selama 60 (enampuluh) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian tertulis. Jangka waktu ini dirasa janggal karena melebihi jangka waktu HGU dan HGB dan Hak Pakai (HP). Walaupun UUPA tidak menyebutkan jangka waktu sewa tanah untuk bangunan, namun kepatutannya jagka waktu sewa tidak boleh melebihi hak lain yang lebih kuat yaitu HGU, HGB, dan HP.

h. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU No. 27 Tahun 2007) juga termasuk UU yang mengatur sumberdaya alam sektoral yaitu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian UU ini sebetulnya juga sebagai turunan dari Pasal 8 UUPA sebagaimana disinggung di atas. Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 27 Tahun 2007 ini sudah mengalami perubahan berdasarkan Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010,tanggal 16 Juni 2011. Beberapa pasal dari UU No. 27 Tahun 2007, terutama terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, yaitu: Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75.

Pasal 1 angka 18, yang sudah dibatalkan MK, menyatakan HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Dengan demikian keberadaan dan status HP-3 tidak terlalu berkaitan dengan tanah, sehingga UU ini tidak mempersoalkan status tanah kecuali dalam hal HP-3 itu berbatas langsung dengan garis pantai. Oleh karena itu, Pasal 21 ayat (3) Huruf d, yang juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh MK, menyatakan bahwa  dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, maka pemohon wajib memiliki hak atas tanah. Berkaitan dengan itu, ketentuan yang terasa aneh dan bertentangan dengan UUPA adalah Pasal 20 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007 yang menyatakan, bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Untunglah ketentuan Pasal 20 ini pun dibatalkan oleh MK.

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa HP-3 itu sendiri telah dibatalkan oleh MK, maka pengaturan UU No. 27 Tahun 2007 ini tidak lagi berkaitan langsung dengan pertanahan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika HP-3 diganti dengan izin pengusahaan pantai dan pulau-pulau kecil. Apakah persyaratan hak atas tanah masih harus diwajibkan bagi pemohon dalam wilayah izin berbatasan dengan garis pantai?

i. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air (UU No. 7 Tahun 2004) juga merupakan UU sektoral yang tidak mengatur tanah apalagi status tanah, tetapi tetap sebagai turunan dari Pasal 8 UUPA. UU ini memang terfokus mengatur sumberdaya air. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2004). Oleh karena itu, UU ini juga mengatur air itu sendiri adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat; sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah; dan daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

Karena juga mengatur hak guna air maka UU ini sebetulnya sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 16 ayat (2) Huruf a dan Pasal 47 UUPA. Oleh karena itu, isi atau materi muatan UU ini harus sesuai dengan UUPA. Pasal 16 (2) UUPA menyatakan, bahwa hak-hak atas air dan ruang angkasa ialah: (a) hak guna air, (b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, (c) hak guna ruang angkasa. Kemudian Pasal 47 UUPA memberi penjelasan terhadap Pasal 16 ayat (2) Huruf a, bahwa hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Hak guna-air ini termasuk hak pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan peraturan pemerintah.

Dengan mencermati isinya, tampaknya UU No. 7 Tahun 2004 tidak sinkron atau tidak merujuk kepada UUPA. Hal ini terbukti dari pengertian hak guna air. Menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 7 Tahun 2004, hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Pengertian ini tidak sama dengan pengertian hak guna air menurut Pasal 47 ayat (1) bahwa hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Di samping itu, UU No. 7 Tahun 2004 juga menambahkan istilah hak terkait sumberdaya air, yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air (Pasal 1 angka 14), dan hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air (Pasal 1 angka 15). Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan UU No. 7 Tahun 2004 tidak dimaksudkan sebagai pelaksana dari UUPA. Akibatnya terjadi ketidaksinkronan di antara sesama UU yang mengatur agraria dan sumberdaya alam.

Walaupun demikian, UU No. 7 Tahun 2004  tetap memperhitungkan hak atas tanah orang lain dalam pelaksanaan hak guna usaha air. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 9, bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Kemudian, pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan dimaksud dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam pelaksanaan kontruksi prasarana dan sarana sumber daya air. Pasal 63 ayat (4) UU No. 7 Tahun 2004 menegaskan, pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sepanjang terkait dengan perolehan tanah yang dalam kegiatan usaha pengelolaan sumberdaya air, harus mengacu kepada UUPA.  




j. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Perlindungan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Perlindungan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990) pada pokoknya sebagai pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketantuan Pokok Kehutanan. Di samping itu, UU ini juga merujuk kepada UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988; UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, yang berlaku saat itu. Jadi UU ini memang tidak dimaksudkan sebagai pelaksana UUPA yang membahas tentang status pemilikan dan penguasaan tanah.

Sesuai dengan judulnya, maka fokus pengaturan UU ini ialah sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsure nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1990. Namun demikian, di dalam materi muatannya ternyata UU ini juga menyinggung mengenai hak atas tanah. UU ini tidak menjelaskan status tanahnya tetapi memberi kewajiban khusus bagi pemegang hak atas tanah yang berada di wilayah penyangga kehidupan, yaitu wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut {Pasal 9 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990}. Dalam kerangka itu, pemerintah bahkan diberi kewenangan mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak penguasaan di perairan yang terletak di wilayah penyangga kehidupan {Pasal 9 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990}. Tidak tanggung-tanggung, Penjelasan Pasal 9 ayat (3) UU ini menegaskan lagi, bahwa termasuk dalam pengertian penertiban meliputi pencabutan hak atas tanah diberikan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak pengusahaan di perairan. Misalnya dalam penetapan dan pemanfaatan wilayah suaka alam, Pasal 16 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 menegaskan, bahwa ketentuan lebihl anjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 16 ayat (2) menguraikan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada di tangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.


3. Undang-Undang Lainnya Terkait dengan Bidang Pertanahan

a. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) tidak mengatur pemilikan dan penguasaa tanah. Sesuai dengan judulnya “tentang Pemerintahan Daerah”, UU ini mengatur pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan desa atau disebut dengan nama lain. Namun demikian, pada saat UU No. 32 Tahun 2004 mengatur kewenangan pemerintahan materi muatannya juga terkait dengan bidang pertanahan. Jadi sepanjang RUU Pertanahan ini mengatur atau terkait dengan pembangian kewenangan pemerntahan di bidang pertanaha, misalnya tentang penguasaan tanah negara, maka RUU Pertanahan juga harus merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2004.

Pasal 14 ayat (1) huruf k menyatakan bahwa pelayanan pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota. Jika pelayanan tersebut merupan pelayanan pertanahan lintas kabupaten/kota maka Pasal 13 ayat (1) huruf k menyatakan bahwa hal itu merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi.

Ketentuan lain terkait pertanahan yang diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 adalah berkaitan dengan pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Pasal 160 ayat (1) mengatur mengenai dana bagi hasil pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan sumber daya alam. BPHTB merupakan salah satu sumber dari dana bagi hasil (Pasal 160 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004). Kemudian, berdasarkan UU No. 28 TAHUN 2009 tentangPajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009) ketentuan ini tidak berlaku lagi, karena BPHTB sudah merupakan pajak daerah, bukan pajak pusat lagi. Pasal 2 ayat (2) huruf k UU No. 28 Tahun 2009 menyatakan, bahwa BPHTB merupakan salah satu jenis pajak kabupaten/kota. Terkait dengan itu maka pada Ketentuan Penutup UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 180 angka 6 memberikan tenggat waktu transisi terhadap UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000. UU No. 21 Tahun 1997 tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009. UU No. 28 Tahun 2009 diundangkan pada 15 September 2009, jadi sejak 16 September 2010 yang lalu UU No. 21 Tahun 1997 tidak berlaku lagi, karena BPHTB sudah menjadi pajak daerah.

b. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Sepanjang terkait dengan wakaf tanah UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UU No. 41 Tahun 2004) juga bersinggungan dengan dengan RUU Pertanahan ini. Perwakafan tanah milik sebetulnya sudah dijamin oleh UUPA, tanpa UU No. 41 Tahun 2004pun wakaf tanah sudah berjalan dan sudah didaftarkan pada instansi pemerintah terkait, sekarang kantor pertanahan. UU No. 41 Tahun 2004sebetulnya ingin mengembangkan obyek wakaf yang selama ini hanya benda tetap seperti tanah, bangunan dan tanaman, juga meliputi benda bergerak.

Hal ini dapat dilihat dari Pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa, harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak danbenda bergerak. Benda tidak bergerak sebagai harta benda wakaf meliputi: (a) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (b)  bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah; (c) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (d) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (e) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku. Sedangkan benda bergerak yang juga merupakan harta benda wakaf yakni benda yangtidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: (a) uang; (b) logam mulia; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak atas kekayaan intelektual; (f) hak sewa; dan (g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturanperundang.undangan yang berlaku.

c. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007) juga tidak terkait langsung dengan pemilikan dan penguasaan tanah, karena UU ini mengatur penanaman modal. Namun demikian, pada saat UU ini mengatur tentang fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada penanam modal, berkaitan salah satunya dengan tanah karena salah satu kemudahan yang diberikan kepada penanam modal adalah dalam perolehan hak atas tanah.

Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa selain fasilitas pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: (a) hak atas tanah; (b) fasilitas pelayanan keimigrasian; dan (c) fasilitas perizinan impor.

Dalam rangka pemberian kemudahan pelayanan hak atas tanah maka Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 bahkan melahirkan ketentuan baru bidang pertanahan khususnya terkait dengan jangka waktu hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP). Berikut isi Pasal 22 ayat (1):
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf  a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus  selama  60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70  (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25  (dua puluh lima) tahun.

Karena bertentangan dengan konstitusi dan rasa keadilan masyarakat serta perudang-undangan bidang pertanahan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 21‐22/PUU‐V/2007 telah membatalkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU 25/2007. Putusan tersebut dibacakan pada Sidang Pleno Terbuka pada 25 Maret 2008. MK berpendapat bahwa Pasal 22 Ayat (1) UUPM sepanjang menyangkut kata‐kata “di muka sekaligus” dan “berupa: (a) HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun; (b) HGB dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang 449 di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun; (c) HP dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, terkait dengan pengadaan tanah untuk penanaman modal, khusus menyangkut HGU, HGB dan HP, tetap harus berpedoman kepada UUPA.

d. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007) sebetulnya juga tidak mengatur tanah, tetapi mengatur tentang ruang dan fungsi ruang bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, UU No. 26 Tahun 2007 tidak menentukan pemilikan dan penguasaan tanah. Namun demikian, dalam penetapan fungsi ruang oleh pemerintah terutama di ruang daratan, adakalanya berpengaruh terhadap pemilikan dan penguasaan tanah. Terkait dengan itu, pada umumnya ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 mengacu kepada hukum pertanahan yang besumber pada pokoknya pada UUPA. Hak atas tanah orang yang sudah ada sebelum penetapan ruang atau hak atas tanah orang yang dirugikan akibat dari penetapan ruang tetap diakui, sehingga kepada pemegang hak diberikan penggantian.

Pengakuan hak atas tanah di dalam UU No. 26 Tahun 2007 diawali dengan ketentaun Pasal 7 ayat (3) yang menyatakan, penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Hak yang dimiliki orang dimaksud bahkan mencakup pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007). Sejalan dengan itu jika rencana tata ruang yang telah ditetapkan ditinjau kembali atau direvisi, maka revisi rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 16 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007). Tidak hanya itu, Insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan pemanfatan ruang pun diberikan dengan tetapmenghormati hak masyarakat (Pasal 38 ayat (4) UU No. 26 Tahun 2007). Sehingga, apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui (Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007).

Menurut UU UU No. 26 Tahun 2007, rencana tata ruang berpengaruh terhadap pelayanan adminsitrasi pertanahan. Pasal 26 ayat (3) menegaskan, bahwa rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadidasar untuk penerbitan perizinan lokasipembangunan dan administrasi pertanahan. Jadi peruntukan ruang menentukan pelayanan administrasi pertanahan, misalnya sertipikat hak tanah tidak boleh diberikan di atas kawasan lindung. Oleh karena itu, jika akibat dari penetapan ruang ada orang yang kehilangan haknya yang telah diberikan sebelumnya harus diberi ganti kerugian.

Berkaitan dengan itu, secara eksplisit Pasal 60 UU No. 26 Tahun 2007 menegaskan:
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibatpenataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugianyang timbul akibat pelaksanaan kegiatanpembangunan yang sesuai dengan rencana tataruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenangterhadap pembangunan yang tidak sesuai denganrencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin danpenghentian pembangunan yang tidak sesuai denganrencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepadapemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatanpembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tataruang menimbulkan kerugian.

Khusus mengenai penggantian yang layak sebagai Pasal 60 huruf c, UU No. 26 Tahun 2007 merasa perlu memberi penjelasan. Penggantian yang layak adalahbahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkantingkat kesejahteraan orang yang diberi penggantiansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Undang-undang Otonomi Khusus dan Daerah Istimewa

Undang-undang otonomi khusus dan daerah istimewa juga harus diperhatikan dalam pembentukan RUU Pertanahan ini karena bidang pertanahan termasuk yang mendapat pengaruh dalam kebijakan otonomi khusus. Berikut dikemukakan tinjauan terhadap 2 UU otonomi khusus dan 1 UU daerah istimewa yang berlaku di Indonesia.

1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Awalnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi provinsi Papua UU No. 21 Tahun 2001 hanya berlaku untuk Provinsi Papua, karena pada 2001 di wilayah bekas Provinsi Irian Jaya ini baru ada 1 provinsi yaitu Provinsi Papua. Pada 2008, Provinsi Papua mekar menjadi 2 provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Agar di kedua provinsi ini berlaku otonomi khusus maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada 2008 itu juga, kemudian Perpu No.1 Tahun 2008 ditetapkan menjadi UU melalui UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Pengaturan bidang pertanahan yang paling banyak menjadi fokus pengaturan UU No. 21 Tahun 2001 adalah terkait dengan pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini tentu tidak menjadi permasalahan bila dihubungkan dengan UUPA, karena UUPA juga telag menegaskan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA). Pasal 1 huruf f UU No. 21 Tahun 2001 memberikan penafsiran otentik terhadap hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di samping itu, UU No. 21 Tahun 2001 juga menyinggung khusus tentang pembagian BPHTB untuk Papua. Pasal 34 ayat (3) menegaskan, bahwa bagi hasil pajak sebagai dana perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus adalah  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen). Khusus untuk PBB dan BPHTB yang terkait dengan pertanahan, ketentuan ini tidak berlaku lagi berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa PBB dan BPHTB sudah merupakan pajak daerah. jadi tidak ada lagi pembagian pajaknya, melainkan sudah 100% menjadi milik Provinsi Papua dan Papua Barat.

UU No. 21 Tahun 2001 memang secara khusus memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pasal 43 yang terdiri atas 5 ayat menegaskan hal itu. Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat dimaksud meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kemudian, pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Termasuk dalam penyelesaian sengketanya, bahwa Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

UU No. 21 Tahun 2001 juga memberikan pengakuan khusus terhadap peradilan adat. Pasal 50 ayat (2) menegaskan, bahwa  di samping kekuasaan kehakiman yang ada, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Jadi sepanjang terjadi sengketa tentang tanah adat maka peradilan adat mempunyai kedudukan yang kuat untuk menyelesaikannya. Pasal 51 yang terdiri atas 8 ayat mengemukakan pengertian dan kedudukan peradilan adat secara rinci. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang beperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, baru pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan. Walaupun demikian, pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana. Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. Dengan demikian, peradilan adat di Papua tidak hanya berlaku untuk sengketa perdata tetapi perkaran pidana.  

2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

UU ini merupakan pengganti UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena drasa tidak mampu menyelesaikan persoalan politik yang bergejolak di Aceh. Dengan kata lain, ketentuan tentang otonomi khusus Aceh diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Secara umum ketentuan bidang pertanahan tidak banyak berkaitan dengan kebijakan otonomi khusus Aceh.

Pasal 16 ayat (1) huruf k menegaskan bahwa pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh dan hal itu tidak termasuk keistimewaan Aceh. Pasal 16 ayat (2) menyatakan, bahwa urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakanpelaksanaan keistimewaan Aceh adalah: (a) penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islambagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumatberagama; (b) penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c) penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokalsesuai dengan syari’at Islam; (d) peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (e) penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Begitu juga dengan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota, salah satunya adalah pelayanan pertanahan (Pasal 17 ayat (1) huruf k UU No. 11 Tahun 2006). Sementara itu, urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kotaadalah pelaksanaan keistimewaan Aceh meliputi: (a) penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islambagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumatberagama; (b) penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c) penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokalsesuai dengan syari’at Islam; dan (d) peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota (Pasal 17 ayat (2).

Ketentuan bidang pertanahan yang perlu menjadi perhatian adalah penyediaan tanah untuk fasilitas umum.  Pasal 144 UU No. 11 Tahun 2006 menegaskan, bahwa dalam hal penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana jalan,serta pengairan dan utilitas, pelepasan hak atas tanah dilakukan menurut UU ini (UU No. 11 Tahun 2006). Pelepasan hak atas tanah tersebut harus dilakukandengan memberikan penggantian yang layak yang disepakati bersama sebagai imbalanatas pencabutan hak. Kemudian, untuk melaksanakan pelepasan, Gubernur membentuk Tim Penilai Pencabutan Hak danPenggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pernyataan terakhir ini mengisaratkan bahwa UU No. 20 Tahun 1961 dan UU No. 2 Tahun 2012 juga berlaku di Aceh dalam penyediaan tanah untuk kepentingan umum. Cuma saja Pasal 145 UU No. 11 Tahun 2006 mengingatkan, segala kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di atas tanah harus memenuhi persyaratan: (a) sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (b) bebas dari segala sengketa hak perseorangan dan komunitas sosial atas tanah; dan (c) bebas dari status tanah yang peruntukannya digunakan untuk kepentingan agama.

Sama dengan status pemerintah daerah lainnya di Indonesia, PemerintahAceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memiliki aset berupa tanah yang hakpengelolaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 146 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006). Dalam bidang kehutanan, Pemerintah Aceh bahkan mendapat tugas khusus pula yaitu melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari (Pasal 150 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006). Dalam konteks itu, baik Pemerintah, maupun Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser tersebut (pasal 150 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006).

Terkait dengan PBB dan BPHTB, Pasal 181 UU No. 11 Tahun 2006 juga menegaskan pembagian dana perimbangan, bahwa 90% dari PBB dan 80% dari BPHTB menjadi bagian Pemerintah Aceh. Namun, dengan keluarnya UU No. 28 Tahun 2009, kedua jenis pajak tersebut sudah menjadi pajak daerah, sehingga ketentuan dana perimbangan dimaksud tidak berlaku lagi.
Ketentuan terkait dengan hak atas tanah juga tidak menjadi persoalan dalam UU No. 11 Tahun 2006 bila dikaitkan dengan UUPA. Pasal 213 menyatakan, setiap warga negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional.

Ketentuan yang sedikit khusus dan bertentangan perundang-undang bidang pertanahan adalah Pasal 213 ayat (3) yang menegaskan bahwa hak atas tanah meliputi kewenangan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku. Hal itu dikuatkan lagi dengan ketentuan Pasal 214, Pemerintah Aceh berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku. Penyimpangan tersebut kemudian disambut dengan pernyataan tentang status Badan Pertanahan Nasional di Aceh. Pasal 253 UU No. 11 Tahun 2006 menegaskan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota paling lambat awal tahun anggaran 2008. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Presiden. Dengan demikian, pemberian HGU dan HGB yang memang dilakukan oleh BPN dilaksanakan sebagai pelaksanaan kewenangan khusus Pemerintah Aceh.

3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Di samping sebagai daerah otonom dalam menjalankan pemerintahan daerah, UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 13 Tahun 2012) juga memberikan status istimewa kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kewenangan dalam urusan keistimewaan DIY meliputi 5 hal: (a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c) kebudayaan; (d) pertanahan; dan (e) tata ruang (Pasal 7 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012). Dari situ dapat diketahui bahwa bidang pertanahan merupakan salah satu otonomi yang dimiliki oleh DIY. Namun demikian, kewenangan yang begitu besar diberi syarat oleh Pasal 7 ayat (3) UU ini, bahwa penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan tersebut didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Jadi, jika ternyata pelaksanaannya tidak berpihak kepada rakyat maka urusan keistimewaan itu dapat ditinjau ulang.
Di samping pengisian jabatan gubernur, urusan keistimewaan di bidang pertanahan juga sangat menonjol yang harus dicermati oleh RUU Pertanahan ini. UUPA yang sudah berlaku sepenuhnya berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi tidak berarti lagi. Jika UUPA sudah berlaku penuh di DIY tentu ketentuan pada Bagian Keempat UUPA sangat penting artinya bagi status tanah di daerah ini. Bagian Keempat huruf A UUPA menegaskan, bahwa hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya UUPA hapus dan beralih kepada Negara. Hal ini merupakan bagian dari upaya UUPA untuk menghapus feodalisme secara berangsur-angsur.

Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2012 seakan membalikkan ketentuan UUPA tentang hak atas tanah, terutama hak milik, yang sudah diberlakukan sepenuhnya oleh Keppres No. 33 Tahun 1984. Menurut UUPA yang berhak sebagai subyek hak milik hanya warga negara Indonesia (WNI) dan badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Berdasarkan PP No. 38 Tahun 1963, badan hukum yang dapat ditetapkan sebagai pemegang hak milik adalah: bank negara, badan sosial keagamaan, dan koperasi pertanian. Dengan tidak tunduk kepada ketentuan UUPA, UU UU No. 13 Tahun 2012 memberikan kedudukan istimewa kepada Kasultanan dan Kadipaten. Dengan tegas Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2012 ini menyatakan, bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, Kasultanan dan Kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum yang menjadi subyek hak milik. Kasultanan merupakan subjek hak hak milik atas tanah Kasultanan, sementara Kadipaten merupakan subjek hak milik atas tanah Kadipaten. Kedudukan ini memang sangat istimewa karena yang dimaksud dengan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten tidak hanya tanah keprabon tetapi termasuk juga tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY. Dalam hal ini, Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah dimaksud untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai konskuensi dari status tersebut di atas maka hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten didaftarkan pada kantor pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012). Masih untung ada ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa pihak lain bisa pula mendaftarkan bagian dari tanah Kesultanan dan Kadipaten yang ada, namun wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Kasultanan dan Kadipaten. Tidak hanya itu, pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten oleh pihak lain tersebut harus mendapatkan izin persetujuan Kasultanan dan Kadipaten.

Berdasarkan pembahasan di atas, tampaknya materi muatan RUU Pertanahan ini harus pula memberikan pengecualian pemberlakuannya terkait dengan ketentuan UU otonomi khusus dan daerah istimewa.    



BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN


A. Landasan Filosofis

Menurut pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada seluruh rakyat Indonesia yang wajib disyukuri keberadaanya. Wujud dari rasa syukur itu adalah bahwa tanah harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan perkembangan peradaban dan budaya bangsa Indonesia. Pengelolaan tanah harus didasarkan kepada pengaturan hukum yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia yang bersifat komunal religius. Untuk itu pengaturan pengelolaan tanah harus sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk demokrasi ekonomi, yakni dengan mengakomodasi kepentingan seluruh suku bangsa yang ada. Dengan demikian diharapkan tanah sebagai sumber daya modal dan sumber daya sosial dapat dijadikan sebagai sumber kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indnesia.

Pengaturan di bidang pertanahan juga harus mendukung terwujudnya tujuan nasional negara sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hukum pertanahan Indonesia harus senantiasa berorientasi kepada kepentingan bangsa dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan kepentingan setiap bangsa Indonesia atas tanah dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat pada umumnya, sehingga kehidupan bangsa Indonesia menjadi lebih cerdas. Di samping itu, hukum pertanahan Indonesia juga harus mampu menjadi instrumen untuk membina hubungan baik dengan negara-negara asing, sehingga Indonesia dapat ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia. Oleh karena itu, di samping melindungi kepentingan bangsa Indonesia Undang-Undang Pertanahan juga harus menjamin kepentingan dunia Internasional atas tanah di Indonesia. Hanya saja harus diingat bahwa kepentingan bangsa Indonesia atas tanah harus lebih diutamakan daripada kepentingan orang asing.

Untuk mewujudkan cita-cita filosofis di atas, maka secara konstitusional UUD 1945 telah meletakkan landasan politik hukum pertanahan nasional sebagai bagian dari pengaturan terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang ditegaskan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Terkait dengan itu, kemudian ditetapkan pula Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 2 ayat (1) UUPA kembali menegaskan, bahwa “atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Penguasaan dari negara atas bumi, air, dan ruang angkasa tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat (3) UUPA).

B. Landasan Sosiologis

Setelah 53 tahun berlakunya UUPA ternyata masih banyak persoalan di bidang pertanahan yang belum terselesaikan baik persoalan lama yang sudah ada sebelumnya maupun persoalan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan di bidang pertanahan yang prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya terdapat di dalam UUPA perlu dilakukan penguatan melalui pengaturan baru. Di samping itu, di luar UUPA baik sebagai peraturan pelaksanaan UUPA maupun tidak juga telah mengatur tentang pertanahan yang belum tentu mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan terkait dengan pemilikan dan penguasaan tanah baik disadari maupun tidak disadari oleh masyarakat sehingga berdampak terhadap penegakan hukum pertanahan secara keseluruhan di Indonesia.

Persoalan hukum yang menonjol di bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat selama ini dapat dikemukakan sebagai berikut:      

1. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah

Terlepas dari tarik ulur berbagai kepentingan yang terdapat di belakang setiap kebijakan pemerintah di bidang pertanahan, fakta empiris menunjukkan bahwa semakin hari semakin nyata terjadi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Sebagian kecil orang baik secara perorangan maupun perusahaan memiliki dan menguasai sebagian besar luas bidang tanah yang tersedia. Akibatnya, cita-cita UUPA bahwa setiap tanah pertanian dikerjakan sendiri oleh pemiliknya semakin menjauh dari kenyataan. Para petani terpaksa beralih profesi menjadi buruh tani atau buruh kebun di atas tanah orang lain atau perusahaan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kondisi perkembangan penduduk di Indonesia. Seyogyanya semakin banyak jumlah penduduk tentu semakin dibatasi luas tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh perorangan atau perusahaan.

Pembatasan pemilikan tanah yang ditegaskan oleh UUPA tampaknya tidak efektif mengurangi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Khususnya untuk tanah pertanian ketimpangan ini lebih nyata lagi. UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai UU yang sejalan dengan UUPA untuk mendorong pelaksanaan program land reform, tidak berdaya mengatasi persoalan ini. Apalagi pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah menurut UU ini tidak berlaku untuk tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah, dan yang dikuasai oleh badan-badan hukum (Pasal 1 ayat (4) UU No. 56/Prp/1960).

2. Pelanggaran oleh pemegang hak atas tanah

Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian diperparah dengan terjadinya pelanggaran dari pemegang hak atas tanah misalnya penghilangan tanda batas tanah hak guna usaha (HGU). Penghilangan tanda batas tanah ini biasanya diiringi dengan pelanggaran selanjutnya yaitu menguasai tanah melebihi dari luas yang diberikan oleh negara sesuai sertipikat hak tanahnya. Modus ini dimaksudkan sebagai kiat untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar lagi dari tanah pertanian yang dikuasainya. Jika HGU-nya berbatasan dengan tanah negara maka tindakan pelanggaran tersebut cenderung tidak dipersoalkan, karena memang pengawasan dari negara terhadap HGU tidak efektif. Namun, jika HGU-nya berbatasan dengan tanah milik atau tanah ulayat masyarakat hukum adat, tindakan ini sering menimbulkan sengketa dengan masyarakat.

Pelanggaran lainnya yang juga menonjol adalah pemanfaatan daerah pantai oleh pemilik tanah yang berbatasan dengan pantai sehingga menutup akses publik ke dan dari laut; penutupan akses pemilik tanah oleh perusahaan pengambang sehingga mereka terisolasi; penyewaan tanah hak pakai pemerintah oleh BUMN kepada rakyat; dan sebagainya.    

3. Alih fungsi tanah dari lahan pertanian menjadi non pertanian

Sebagai akibat dari lemahnya pengawasan terhadap pemegang hak atas salah satunya adalah terjadinya alih fungsi tanah dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Pilihan alih fungsi tanah lahan pertanian kepada non pertanian, sebetulnya merupakan pilihan yang logis dari masyarakat. Hasil yang diperoleh oleh pemegang hak atas tanah dari kegiatan pertanian pada umumnya tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan. Oleh kerana itu, pilihan alih fungsi tanah ke non pertanian seperti rumah tinggal sewa, rumah toko (ruko), bengkel, dan lain-lain merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan hasil pemanfaatan tanah. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka ancaman defisit pangan semakin besar bagi bangsa Indonesia. Hukum pertanahan diharapkan bisa mendorong semangat warga untuk aktif mengolah tanah pertaniannya terutama untuk pertanian tanaman pangan. Profesi sebagai petani hendaknya dapat dibanggakan oleh rakyat Indonesia, karena itu petani harus dijamin untuk mempunyai penghasilan memadai untuk hidup layak.



4. Pemanfaatan tanah ulayat

Pemanfaatan tanah ulayat untuk pembangunan oleh pihak ketiga dan pemerintah sudah merupakan kelaziman sejak zaman kolonial sampai sekarang. Namun, persoalan-persoalan yang terkait dengan pemanfaatan tanah ulayat ini tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat. Tidak jarang pula persoalan tersebut berujung dengan sengketa besar yang tidak mudah untuk diselesaikan. Pengaturan tanah ulayat di dalam UUPA dan di luar UUPA tampaknya belum mampu memecahkan seluk beluk persoalan pemanfaatan tanah ulayat. Belum lagi dikaitkan dengan penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang terdapat di dalam wilayah persekutuan masyarakat hukum adat. Untuk itu perlu ada undang-undang di bidang pertanahan yang menyinkronkan kegiatan-kegiatan dari seluruh sektor terkait tanah dalam hubungannya dengan tanah ulayat.

5. Penguasaan tanah negara sebagai aset publik: tertib administrasi pertanahan di kalangan pemerintah dan pemerintah daerah

Sejak asas pernyataan domein dari kolonial dicabut oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan dipertegas lagi oleh UUPA, maka kedudukan negara sebagai pemilik tanah sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan ini berdampak terhadap tanah-tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah termasuk pemerintah daerah sebagai aset publik atau barang milik negara. Pemerintah tidak bisa lagi berkedudukan sebagai pemilik tanah. Oleh karena itu, tanah-tanah yang dikuasai pemerintah berubah status dari tanah yang bisa diperdagangkan (res commercium) menjadi tanah non pedagangan (res exra commersium). Negara tidak bisa menjual atau menyewakan tanah kepada orang lain, tetapi negara bisa memberikan hak atau mengizinkan orang lain memanfaatkan tanah.

Walaupun tanah sebagai barang milik negara merupakan res exra commercium namun demi kepastian hukum atasnya maka tanah-tanah tersebut juga wajib didaftarkan oleh instansi pemerintah sebagai pengguna. Dengan demikian tertib administrasi pertanahan atas tanah-tanah tersebut juga dapat diwujudkan. Selain itu, hal ini juga menjadi penting dalam memberikan contoh kepada masyarakat untuk mendaftarkan seluruh bidang-bidang tanah di Indonesia.

Fakta empiris menunjukkan bahwa sebagian besar tanah-tanah yang dikuasai instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah ternyata belum terdaftar. Akibatnya, banyak tanah-tanah yang berstatus sebagai barang milik negara yang belum terdata dan tertata dengan baik. Oleh karena itu, proses pendaftaran tanah aset publik ini harus difasilitasi oleh negara. Instansi pemerintah yang bertugas di bidang adminisrasi pertanahan harus mendukung jalannya pendaftaran tanah barang milik negara. Persyaratan untuk pendaftaran tanah terhadap tanah-tanah negara tersebut harus dibedakan dengan pendaftaran tanah komersial yang dimiliki oleh orang dan badan hukum perdata.

6. Sengketa tanah

Berbagai konflik kepentingan di bidang pertanahan telah melahirkan sengketa tanah yang semakin hari semakin meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Peradilan negara terus berupaya memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tanah di seluruh Indonesia, tetapi upaya tersebut tidak menunjukkan hasil yang mengembirakan. Jumlah perkara yang berasal dari sengketa tanah terus meningkat sehingga terjadi tunggakan perkara. Beberapa perkara di antaranya memang sudah berhasil diputus oleh pengadilan negara, tetapi putusan tersebut justru cenderung menimbulkan sengketa baru karena eksekusinya tidak bisa dijalankan dengan baik. Jadi, walaupun pengadilan telah berhasil memutus perkara tanah, namun putusan tersebut belum mampu menyelesaikan sengketa tanah. Untuk itu, hukum pertanahan perlu memberikan jalan keluar bagi kesulitan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah.

Sejalan dengan itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa proses penyelesian sengketa tanah di luar pengadilan terutama di kalangan masyarakat hukum adat terus berlangsung. Kondisinya memang bervariasi. Ada yang penyelenggaraannya sangat aktif seperti di Sumatera Barat, tetapi banyak juga yang sudah mulai mundur. Persoalan yang menyebabkan mundurnya penyelenggaraan penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan adalah kurangnya dukungan peradilan negara (Mahkamah Agung) terhadapnya. Mahkamah Agung malah membuat terobosan dengan memaksakan atau mewajibkan mediasi di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008, dan ironisnya tidak mengakui hasil mediasi di luar pengadilan. Akibatnya, ketentuan ini malah semakin menambah jumlah perkara tanah di pengadilan, dan membuat waktu penyelesaian perkara bertambah lama.  

C. Landasan Yuridis

Pengaturan bidang pertanahan pada pokoknya sudah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebagai UU pokok, UUPA tidak mengatur secara rinci tentang obyek pengaturannya, termasuk tentang tanah yang menjadi obyek utama yang diatur UUPA. Oleh karena itu, diperlukan UU yang akan melengkapi atau merinci aturan-aturan pokok tentang pertanahan yang ada di UUPA. RUU Pertanahan ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari kekurangan aturan yang terdapat di dalam UUPA. Dengan demikian RUU Pertanahan ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA (sebagai lex generalis) yang khusus mengatur tentang pertanahan saja (sebagai lex specialis).

Walaupun RUU Pertanahan ini bersifat lex specialis namun keberadaannya dimaksudkan untuk mewujudkan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan di bidang pertanahan. Hal ini merupakan konsekuensi dari sudah tersebarnya pengaturan pertanahan di berbagai peraturan perundang-undangan, baik sebagai pelaksana dari UUPA sendiri maupun UU sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, sumberdaya air, ketenagalistrikan, penanaman modal, dan sebagainya. Akibatnya, substansi atau materi muatan RUU Pertanahan ini akan berdampak terhadap pengaturan pertanahan yang sudah ada. Sejalan dengan itu RUU Pertanahan ini juga bermaksud menyatukan, menghimpun, atau mengkompilasi semua pengaturan di bidang pertanahan.

Dalam perkembangannya, sejalan dengan perjalanan waktu ternyata tidak semua konsep materi muatan pengaturan di dalam UUPA yang jelas penafsirannya. Beberapa konsep materi muatan aturannya perlu kejelasan penafsiran, seperti badan hukum yang bisa memegang hak milik, orang asing yang boleh memegang hak pakai dan hak sewa tanah, tanah absentee, hak atas tanah untuk instansi pemerintah (hak pakai pemerintah, salah kaprah hak pengelolaan) dan sebagainya. Dengan demikian RUU Pertanahan ini juga dimaksudkan untuk memperjelas penafsiran konsep yang terdapat di dalam UUPA.

Di samping itu juga terdapat beberapa pengaturan penting di bidang pertanahan yang diatur oleh peraturan pemerintah, seperti penertiban tanah terlantar, berbagai ketentuan terkait land reform (khususnya larangan tanah absentee, redistribusi tanah) yang seyogianya diatur dengan undang-undang. Karena itu, RUU Pertanahan ini juga akan meningkatkan pengaturan hal itu menjadi undang-undang, supaya mempunyai daya berlaku lebih kuat. Hal serupa juga terjadi pada dasar hukum pembentukan instansi pemerintah yang menjalankan urusan bidang pertanahan. Pengaturannya yang berlaku sekarang adalah dalam bentuk peraturan presiden. Hal ini tidak saja membuat kedudukan instansi pertanahan (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional) kurang kuat tetapi juga membatasi akses rakyat melalui DPR untuk merumuskan kelembagaan pemerintahan yang sangat penting di bidang pertanahan. Hendaknya pengaturan instansi pemerintah di bidang pertanahan juga ditingkatkan ke dalam bentuk undang-undang.    




BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN


A. Ketentuan Umum

Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan, istilah-istilah yang perlu didefinisikan adalah sebagai berikut.
1. Hak Menguasai Negara adalah kewenangan yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan yang mewakili bangsa Indonesia, untuk membuat kebijakan, pengaturan, melakukan pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan di bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
3. Hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan matapencahariannya.
4. Tanah adalah permukaan bumi yang berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas-batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan tanah termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
5. Hak atas tanah adalah kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah dan/atau ruang di bawahtanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula ruang di bawah tanah, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaannya.
6. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
7. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.
8. Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat.
9. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
10. Hukum adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi.
11. Reforma Agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.
12. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disebut TORA, adalah tanah yang dikuasai oleh Negara untuk didistribusikan  atau diredistribusikan  dalam rangka Reforma Agraria.
13. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA.
14. Akses Reform adalah pemberian akses bagi penerima TORA untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya secara optimal baik untuk bidang pertanian maupun non pertanian.
15. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

B. Materi Muatan

1. Asas-asas yang mendasari penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan adalah sebagai berikut:

a. Asas kebangsaan.
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa tanah, sebagai bagian dari sumberdaya alam merupakan hak bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, artinya selama Bangsa Indonesia dan tanah masih ada maka hubungan itu masih tetap ada.

b. Hak Menguasai Negara.
Yang dimaksud dengan “asas Hak Menguasai Negara” adalah bahwa Negara memperoleh kewenangan dari Bangsa Indonesia untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan tanah, hubungan hukum antara orang dengan tanah dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai tanah, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

c. Kenasionalan.
Yang dimaksud dengan “asas kenasionalan” adalah bahwa hanya warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang dapat mempunyai Hak Milik. Bagi warganegara asing dan badan hukum Indonesia maupun asing, dapat diberikan hak atas tanah selain Hak Milik.

d. Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Yang dimaksud dengan “asas pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat” adalah bahwa hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah yang berada di wilayahnya diakui dan dilindungi. Di atas tanah ulayat dapat diberikan suatu hak atas tanah atas persetujuan tertulis Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

e. Fungsi sosial dan ekologis.
Yang dimaksud dengan “asas fungsi sosial” adalah bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanahnya. Tanah tidak boleh tidak digunakan, apalagi jika hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain dan masyarakat. Antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum dalam pemanfaatan tanah harus terdapat keseimbangan.
Yang dimaksud dengan “asas fungsi ekologis” adalah bahwa manfaat ekonomis tanah dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan untuk pemanfaatannya harus memperhatikan kelestariannya.

f. Keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah.
Yang dimaksud dengan “asas keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah” adalah penegasan fungsi utama tanah, yakni tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang berarti bahwa kemanfaatannya dapat dirasakan secara merata oleh rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, harus dicegah terjadinya ketimpangan pemilikan penguasaan tanah.

g. Keanekaragaman dalam kesatuan hukum.
Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman dalam kesatuan hukum” adalah berlakunya hukum adat yang ditaati oleh masyarakatnya, di samping hukum negara.

h. Perencanaan dalam penggunaan tanah.
Yang dimaksud dengan “asas perencanaan dalam penggunaan tanah” adalah tanah bahwa karena tanah merupakan sumberdaya alam yang langka, untuk mempertahankan keberlanjutan fungsinya diperlukan perencanaan dalam penggunaan tanah, termasuk persediaannya.

i. Asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah bahwa pengelolaan tanah semenjak dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

2. Hubungan antara Negara, Masyarakat Hukum Adat dan orang dengan tanah.

Hubungan antara negara, masyarakat hukum adat, dan orang dengan tanah bersumber dari hak bersama Bangsa Indonesia atas seluruh tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hak bersama Bangsa Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia mengandung sifat magis dan religius karena adanya pengakuan sumber daya alam sebagai karunia Tuhan. Hubungan tersebut bersifat abadi karena adanya pernyataan tidak pernah berakhirnya hubungan hukum selama bangsa Indonesia dan wilayah Indonesia masih ada. Hak Bangsa tersebut melahirkan kewenangan untuk mengatur aspek-aspek pertanahan demi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Atas dasar Hak bersama Bangsa Indonesia tersebut lahirlah hubungan hukum antara negara, masyarakat hukum adat, dan orang dengan tanah, yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Hubungan antara Negara dengan tanah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh bangsa Indonesia. Sebagai organisasi kekuasaan,  ada beberapa aspek yang harus diatur khususnya terkait bidang pertanahan, yaitu :

1) Kedudukan Negara

Negara ditempatkan dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pertanahan dengan dilekati atau diberi Hak Menguasai Negara (HMN) atas tanah. Dalam kedudukan sebagai pemegang HMN atas tanah, negara tidak sama kedudukan hukumnya dengan warga negara namun hal itu tidak berarti keberadaan negara terpisah dari warga negaranya. Negara merupakan personifikasi dari seluruh rakyat yang membentuknya. Negara merupakan perlambang dan cermin dari keberadaan rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

       Negara ada karena ada rakyat yang menjadi basis pembentuknya. Negara tidak mungkin ada tanpa ada rakyat. Dengan pemahaman kedudukan negara yang demikian, negara tidak mungkin mempunyai kepentingan selain dari kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengembangkan kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Istilah rakyat menunjuk pada semua kelompok suku atau masyarakat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

       Oleh karena itu, negara harus berdiri di atas semua kelompok, mengayomi dan melindungi kepentingan semua kelompok. Negara harus terus mendorong kelompok masyarakat yang sudah mampu secara sosial ekonomi agar terus maju dan berkembang. Sebaliknya, negara harus memberikan perhatian kepada kelompok yang lemah secara sosial ekonomi. Bahkan jika diperlukan, negara harus memberikan perhatian khusus kepada kelompok yang lemah agar mampu berdiri sejajar dengan kelompok yang kuat.

2) Isi Kewenangan Hak Menguasai Negara atas Tanah

Istilah Hak Menguasai Negara atas tanah, dengan mengacu pada Pasal 2 ayat (2) UUPA, semula mempunyai makna yaitu kewenangan melakukan penentuan, pengaturan, dan penyelenggaraan. Penentuan bermakna suatu proses menetapkan sesuatu menjadi pasti dengan batasan yang tegas atau jelas. Pengaturan bermakna proses perumusan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan tertentu. Penyelenggaraan mengandung makna pengurusan dan/atau pengusahaan termasuk pemeliharaan sesuatu.
Dalam perkembangannya, atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi, Hak Menguasai Negara dimaknai sebagai kewenangan untuk membuat kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Pembuatan kebijakan bermakna penetapan prinsip-prinsip atau pedoman yang menjadi arahan bagi aparat perlengkapan negara dalam melaksanakan kewenangannya. Pengaturan bermakna proses perumusan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan tertentu. Pengurusan bermakna proses melaksanakan pemeliharaan terhadap sesuatu dengan cara tertentu. Pengelolaan mengandung makna proses merencanakan  dan melaksanakan rencana dengan menggerakkan atau mendorong aparat perlengkapan negara dan sumber pembiayaan ke arah pencapaian tujuan tertentu. Pengawasan bermakna proses mengontrol agar kebijakan, pengaturan, pengurusan, dan pengelolaan sungguh-sungguh dapat mengarah pada tercapainya tujuan.

Atas dasar pengertian sebagaimana dimaksud di atas, kewenangan yang terkandung dalam Hak Menguasai Negara atas tanah adalah kewenangan penyusunan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan yang terkait dengan bidang pertanahan. Ada beberapa aspek bidang pertanahan yang menjadi ruang lingkup kewenangan Hak Menguasai Negara atas Tanah, yaitu :

2.1) Aspek penyusunan rencana peruntukan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan tanah.

Istilah Peruntukan menunjuk pada penyusunan rencana pembagian ruang atas tanah dalam wilayah kota atau kabupaten atau provinsi, atau pulau, atau wilayah Indonesia ke dalam berbagai kegiatan atau kepentingan sebagai jabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, Pulau, dan Nasional. Istilah penggunaan dan pemanfaatan merupakan tindaklanjut pelaksanaan dari rencana pembagian ruang atas tanah yang telah disusun untuk berbagai kegiatan atau kepentingan manusia. Penggunaan menunjuk pada kegiatan manusia yang berlangsung di atas permukaan bumi atau tanah, sedangkan pemanfaatan menunjuk pada nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan manusia tersebut tanpa merubah wujud fisik penggunaan tanah. Istilah pemeliharaan menunjuk pada kegiatan untuk mencegah terjadinya kerusakan tanah dan sebaliknya mendorong fungsi dan kesuburan tanah.

Negara melalui kewenangan yang terdapat dalam Hak Menguasai Negara harus menyusun kebijakan dan pengaturan, terkait dengan rencana peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan, serta pemeliharaan tanah.  Negara harus menggunakan dan melaksanakan kewenangannya untuk mengurus, mengelola, dan mengawasi pelaksanaan rencana peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan, serta pemeliharaan tanah. Negara harus mendorong agar kegiatan manusia sesuai dengan rencana peruntukan serta ketentuan penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan agar tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat tercapai.

2.2) Aspek penyusunan rencana persediaan tanah

Permukaan bumi atau tanah terhampar begitu luas, namun bagian dari permukaan bumi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan secara langsung bagi kegiatan manusia relatif terbatas. Justru sebagian besar dari bagian permukaan bumi harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan dibiarkan dalam kondisi alamiahnya yang secara tidak langsung juga berguna dan bermanfaat bagi kepentingan manusia.

Di lain pihak, jumlah manusia beserta kegiatannya yang memerlukan ketersediaan tanah terus bertambah. Jumlah manusia tidak hanya generasi masa kini, namun justru harus diperhitungkan generasi yang akan datang. Mereka juga memerlukan ketersediaan tanah dalam kondisi yang layak digunakan dan dimanfaatkan.

Dengan pertimbangan tersebut, negara melalui kewenangan yang terkandung dalam Hak Menguasai Negara harus merencakan persediaan tanah. Hal ini dimaksudkan agar terdapat ketersediaan tanah baik bagi kebutuhan manusia akan tanah yang hidup pada masa sekarang maupun generasi yang akan datang. Rencana persediaan tanah itu harus ditujukan bagi kepentingan yang bersifat individual maupun kepentingan bersama atau kepentingan umum.

Upaya untuk menjamin ketersediaan tanah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: (a) membiarkan bagian tertentu dari ruang atas tanah yang sesuai bagi budi-daya tidak digunakan dan secara khusus dipersiapkan bagi generasi yang akan datang; (b) adanya pembatasan penguasaan tanah bagi setiap individu dan badan hukum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mengusahakan serta bukan didasarkan pada keinginan yang bersifat spekulatif; (c) di lokasi tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya belum sesuai dengan rencana peruntukan dan tata ruang yang sudah ditetapkan, negara melalui pemerintah atau pemerintah daerah diberi hak prioritas untuk memperoleh tanah tersebut jika oleh pemiliknya hendak dialihkan atau dilepaskan hak atas tanahnya.

2.3) Aspek penetapan hak atas tanah

Hak atas tanah merupakan bentuk penyebutan terhadap hubungan hukum antara manusia baik perseorangan, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, maupun badan hukum. Penggunaan istilah ”hak” dalam konsep hak atas tanah didasarkan pada pertimbangan yaitu: Pertama, untuk memberikan ciri bentuk penyebutan terhadap pemberian kewenangan untuk penggunaan dan memanfaatkan tanah serta sekaligus membedakan dengan istilah ”izin” sebagai bentuk penyebutan atas hubungan hukum antara orang dengan sumber daya alam lainnya seperti hutan, tambang, air, dan ikan. Antara ”hak” dengan ”izin” memang mengandung kesamaan makna yaitu kewenangan untuk mempunyai dan/atau menggunakan dan memanfaatkan sumber daya agraria.

Kedua, adanya perbedaan sifat dan implikasi dari kewenangan sebagai makna dari ”hak” dan ”izin”. Penggunaan istilah ”hak” memberikan sifat kebendaan atau zakelijkrecht pada hak atas tanah, sedangkan ”izin” memberikan sifat personal atau persoonlijkrecht pada izin pemanfaataan sumber daya alam lainnya. Implikasi dari penggunaan istilah ”hak” bahwa pada dasarnya tanah itu dapat dipunyai, digunakan, dan dimanfaatkan oleh orang atas dasar alas hak  yaitu hak atas tanah tertentu. Di samping itu, sifat kebendaan dalam hak atas tanah selalu melekat pada tanahnya sehingga hak atas tanah tersebut terus berlangsung ketika hak atas tanahnya dialihkan. Sebaliknya, implikasi istilah ”izin” adalah, bahwa pada dasarnya kayu dan kawasan hutan atau bahan tambang atau komersialisasi air atau penangkapan ikan, dalam takaran tertentu tidak boleh dipunyai dan/atau dimanfaatkan atau digali atau dilakukan, kecuali diperkenankan oleh negara melalui pemberian kewenangan dalam bentuk izin. Di samping itu, kewenangan yang terkandung dalam ”izin” hanya melekat pada subyek yang diberi izin dan tidak melekat pada bendanya, sehingga izin tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Izin berakhir jika orang atau badan hukum pemegang izin meninggal dunia atau bubar, atau izin yang bersangkutan tidak diperpanjang lagi.

Sesuai dengan prinsip Pasal 2 ayat (2) huruf b UUPA, penetapan macam hak atas tanah dan subyek yang dapat mempunyai masing-masing macam hak atas tanah serta pemberian atau pendistribusiannya merupakan kewenangan negara. Negara boleh menambah atau mengurangi macam hak atas tanah, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Negara harus merancang kebijakan pendistribusiannya agar semua orang dapat mempunyai dan memanfaatkan tanah. Penetapan macam hak atas tanah dan subyeknya tidak dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan atas keinginan atau kemauannya.    

2.4) Aspek penetapan bentuk hubungan hukum antar subyek hak yang berobyekkan tanah.

Hubungan hukum antar subyek menunjuk pada perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang melibatkan satu atau dua atau lebih orang dengan tanah sebagai obyeknya. Ada beberapa kelompok hubungan hukum antar subyek yang berobyekkan tanah, yaitu : (a) peralihan hak atas tanah yang terdiri atas jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan tanah sebagai modal perusahaan, dan pewarisan serta pelelangan dan tukar-bangun bagi tanah kepunyaan instansi pemerintah; (b) pembebanan hak atas tanah yang terdiri atas pembebanan sebagai jaminan hutang dengan hak tanggungan dan pembebanan hak milik dan hak pengelolaan dengan hak atas tanah lainnya.

Sesuai dengan prinsip Pasal 2 ayat (2) huruf c UUPA, penetapan bentuk-bentuk hubungan hukum terkait dengan peralihan atau pembebanan hak atas tanah menjadi bagian dari isi kewenangan Hak Menguasai Negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan berwenang menentukan dan menetapkan bentuk-bentuk hubungan hukum yang boleh digunakan sebagai cara mengalihkan dan membebankan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan kebebasan kepada perseorangan atau badan hukum untuk menentukan sendiri bentuk hubungan hukum yang diinginkan. Jika subyek-subyek menginginkan hubungan hukum yang dilakukan mempunyai konsekuensi hukum yaitu berpindahnya hak atas tanah atau terbebaninya hak atas tanah, maka hubungan hukum tersebut harus dilakukan sesuai dengan bentuk-bentuk yang sudah ditetapkan oleh negara.

b. Pelaksana Kewenangan Hak Menguasai Negara

Kewenangan negara yang bersumber dari Hak Menguasai Negara harus dilaksanakan agar kemakmuran seluruh rakyat sebagai tujuan hukum pertanahan dapat diwujudkan. Tolok ukur kemakmuran rakyat adalah: (1) kemanfaatannya bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan kemanfaatannya; (3) peranserta rakyat dalam menentukan manfaat; dan (4) penghormatan terhadap hak rakyat. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, dengan mendasarkan pada UUD Negara RI Tahun 1945 dan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya, negara membentuk alat perlengkapannya baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan sampai di tingkat desa.

        Di tingkat pusat harus terdapat alat perlengkapan, khususnya di bidang kekuasaan eksekutif yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan kewenangan negara di bidang pertanahan. Demikian pula, di daerah harus terdapat institusi yang melaksanakan kewenangan tersebut. Bahkan jika mengacu pada Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 2 ayat (4) UUPA, masyarakat hukum adat juga harus diberi kewenangan untuk melaksanakan sebagian kewenangan negara di bidang pertanahan.

        Perkembangan politik pemerintahan sudah berubah atau bergeser dari semula yang berdasarkan asas sentralisasi menjadi asas desentralisasi kewenangan. Artinya, tanggungjawab melaksanakan kewenangan negara termasuk di bidang pertanahan tidak lagi dibebankan hanya kepada pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya membantu pelaksanaannya. Sesuai dengan asas desentralisasi, tanggung jawab pelaksanaan kewenangan negara di bidang pertanahan harus terbagi kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan pemerintah desa, serta masyarakat hukum adat. Baik pemerintah daerah maupun masyarakat hukum adat diberi kewenangan otonom untuk mengatur dan melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan.

c. Tanah (yang dikuasai) Negara dan Implikasinya

1. Tanah Negara.

Pengertian Tanah Negara adalah “tanah yang tidak diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain, atau tidak dilekati dengan suatu hak, yakni HM, HGU, HGB, HP, tanah HPL, tanah ulayat dan tanah wakaf” .

Secara yuridis-formal definisi Tanah Negara dirumuskan sebagai berikut.
a. Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Peraturan Menteri Agraria/Ka. BPN No. 9 Tahun 1999).
b. Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Secara tegas, dengan berlandaskan pada Penjelasan Umum UUPA II (2) , maka yang dimaksud dengan Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat.

2. Ruang lingkup Tanah Negara

Dalam praktik administrasi pertanahan, yang dikategorikan sebagai tanah negara adalah sebagai berikut.
a. Tanah hak yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.
b. Tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang atau diperbaharui.
c. Tanah hak yang dibatalkan haknya oleh pejabat berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak terpenuhi/dilanggarnya kewajiban sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian HGB/HP di atas HM atau perjanjian penggunaan tanah HPL, atau karena putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Tanah yang pemegang haknya meninggal tanpa ahli waris.
e. Tanah yang dinyatakan sebagai tanah terlantar.
f. Tanah yang diambil untuk kepentingan umum menurut UU No. 20 Tahun 1961 atau peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah (UU No. 2 Tahun 2012).
g. (1) Tanah-tanah eks penguasaan tanah oleh Balatentara Dai Nippon dan telah diberikan ganti kerugian;
(2) Tanah-tanah milik perusahaan Belanda  yang terkena UU Nasionalisasi (UU No. 86 Tahun 1958);
(3) Tanah-tanah yang dikuasai negara berdasarkan PP No. 8 Tahun 1953;
(4) Tanah-tanah yang dikuasai berdasarkan Perpu No. 3 Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan  Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI;
(5) Tanah-tanah yang dikuasai menurut Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/PRK/Th 1965 tentang Penegasan Rumah/Tanah Kepunyaan Badan-Badan Hukum yang ditinggalkan Direksi/Pengurusnya;
(6) Tanah yang dikuasai menurut Penetapan  Presiden No. 6 Tahun 1964 tentang Penguasaan dan Pengurusan Perusahaan-Perusahaan Milik Inggris di Indonesia tanggal 26-11-1964 jo SE Menag No. DHK/29/5 tanggal 22-12-1964 tentang Larangan Pembuatan Akta Tanah yang bermaksud memindahkan hak atas tanah tanpa berikut bangunan di atasnya milik eks perusahaan Inggris;
(7) Tanah yang berasal dari pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir;
(8) Tanah yang berasal dari tanah bekas/eks swapraja atau swapraja berdasarkan Diktum ke IV huruf A dan B UUPA kecuali, SAG dan PAG (UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
h. Tanah-tanah kelebihan batas maksimum dan tanah absentee.
i. Tanah kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh pejabat yang berwenang .
j. Tanah bekas kawasan pertambangan.
k. Tanah timbul dan tanah reklamasi.

3. Pengelompokan tanah negara berdasarkan ruang lingkupnya adalah sebagai berikut:

1. Tanah negara yang di atasnya belum pernah diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.
2. Tanah negara yang berasal dari tanah yang sebelumnya terdapat atau dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain,  yang karena:
(1) peristiwa hukum;
(2) perbuatan hukum;
(3) peraturan perundang-undangan; atau
(4) peristiwa alam
kemudian menjadi Tanah Negara .
Julius Sembiring mengelompokkan Tanah Negara sebagai berikut: (1) sejak semula merupakan Tanah Negara; (2) menjadi Tanah Negara ketika hak masih berlangsung; dan (3) menjadi Tanah Negara karena berakhirnya hak/tidak diperpanjang lagi



4. Pengaturan tentang Tanah Negara.

Sampai dengan saat ini belum ada pengaturan terkait tanah negara yang komprehensif.

Hambatan utamaadalah belum adanya kesamaan persepsi tentang pengaturan tanah negara, yang seharusnya meliputi seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia, yang di atasnya tidak dilekati dengan suatu hak atas tanah, dan tidak merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Dengan kata lain, tanah-tanah yang terletak di kawasan hutan pun, selama belum dilepaskan dan kemudian diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, seharusnya termasuk dalam ruang lingkup tanah negara karena UUPA,khususnya dalam Pasal 19 tidak membedakan antara tanah-tanah ke(hutan)an dan non hutan.

Akibat belum adanya kesamaan persepsi tersebut adalah 1) penetapan status tanah negara tidak selalu mudah; dan 2) pengadministrasian tanah hak lebih menonjol dibandingkan dengan tanah negara, bahkan dapat dikatakan, pengadministrasian tanah negara merupakan residu pengadministrasian tanah hak.

Hambatan lain karena belum adanya pengaturan tentang Tanah Negara, maka persepsi tentang implikasi yuridis ketika hak atas tanah hapus pun menjadi beragam.

Otoritas pertanahan, berpendapat bahwa walaupun hak atas tanah berakhir, hubungan hukum dengan kewenangan bekas pemegang hak masih diakui, contohnya: ganti rugi diberikan terhadap tanah-tanah obyek landreform, tanah absentee, dan tanah-tanah yang terkena nasionalisasi. Sebaliknya, otoritas kejaksaan berpendapat jika hak atas tanahnya berakhir, hubungan hukum antara bekas pemegang hak dengan tanahnya juga berakhir. Segala bentuk bentuk ganti rugi kepada bekas pemegang hak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi .

3. Hak Pengelolaan

Secara normatif dan konseptual, Hak Pengelolaan (HPL) itu tidak termasuk dalam kelompok hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA.

Pengertian HPL adalah hak menguasai dari negara (HMN) yang sebagian kewenangannya  dilimpahkan kepada pemegangnya.

Istilah HPL sendiri tidak terdapat dalam UUPA. Secara implisit, pengertiannya dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut:

“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4))” (garis bawah penulis).

Dasar Hukum HPL

Istilah HPL muncul pertama kali dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan – ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.

Dalam perjalanan waktu, sifat/ciri HPL berubah sesuai dengan pilihan kepentingan yang ada.

1. Kecenderungan sifat publik HPL

Contoh pengaturan HPL yang cenderung bersifat publik dapat dijumpai dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. PP No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah – Tanah Negara.

Awal mula konsep HPL diperkenalkan dalam PP No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara.
Sesuai dengan judulnya, PP No. 8 Tahun 1953 mengatur tentang penguasaan sebagai terjemahan dari beheersrecht atas tanah-tanah Negara.

Secara ringkas, inti dari PP No. 8 Tahun 1953 adalah sebagai berikut:
1) Penguasaan atas tanah Negara berada pada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), kecuali bila tanah Negara itu telah diserahkan kepada Kementerian/Jawatan atau  Daerah Swatantra (Pasal 2 dan 3);
2) Penguasaan atas tanah Negara dapat diserahkan kepada Kementerian/Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dan kepada Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya (Pasal 4);
3) Jika tanah dalam butir b tidak digunakan lagi, penguasaannya diserahkan kembali kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 5);
4) Penguasaan yang diberikan kepada Kementerian/Jawatan atau Daerah Swatantra dapat dicabut kembali oleh Mendagri bila: (1) penyerahan itu belum atau tidak tidak tepat lagi; (2) luas tanah yang diserahkan melebihi keperluannya, dan (3) tanah tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (Pasal 8);
5) Tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepada Kementerian/Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum digunakan, dapat diberikan kepada pihak lain dalam waktu pendek dengan izin Kementerian/Jawatan dan Daerah Swatantra tersebut. Izin bersifat sementara dan dapat dicabut serta harus diberitahukan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 9);
6) Kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara untuk dapat diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri (Pasal 12).

Dari berbagai ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut PP No. 8 Tahun 1953:
(1) Penguasaan tanah Negara yang diberikan kepada Kementerian/Jawatan dan Daerah Swatantra adalah untuk keperluan tugasnya, dengan luasan sesuai keperluannya.
(2) Penggunaannya oleh pihak ketiga didasarkan pada izin, bersifat sementara yakni sebelum digunakan oleh Kementerian/Jawatan dan Daerah Swatantra tersebut dan dalam jangka pendek (interim use).
(3) Penguasaan tanah Negara yang diberikan kepada Daerah Swatantra dimaksudkan untuk keperluan membangun perumahan rakyat, yang kemudian dapat dijual atau disewakan kepada masyarakat.

b. SK Menteri Agraria No. SK VII/5/Ka tanggal 20 Juni 1962 dan Surat Edaran Menteri Agraria No. Ka 3/1/1 tanggal 1 Maret 1962
c. Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.

Istilah HPL pertama kali diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Peraturan ini pada intinya berisi tentang konversi-konversi tanah negara, Bila tanah negara akan digunakan sendiri, dikonversi menjadi Hak Pakai, tetapi apabila di samping untuk digunakan sendiri juga dimaksudkan untuk diberikan  dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, dikonversi menjadi HPL.

Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 juga menyebutkan tentang isi wewenang HPL. Yang perlu dicatat dari PMA No. 9 Tahun 1965 adalah bahwa: (a) penyerahan bagian-bagian kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai selama 6 (enam) tahun; (b) luas tanah dibatasi 1000 m² (seribu meter persegi); (c) pemberian hak untuk pertama kali saja, perubahan, perpanjangan, dan penggantian hak tersebut dilakukan oleh instansi agraria, dengan pada asasnya tidak mengurangi penghasilan yang diterima pemegang HPL; (d) badan-badan lain dapat diberikan HPL untuk keperluan tugasnya.
d. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 Tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan
e. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1977 tentangTata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian – Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.

2. Pergeseran Sifat HPL cenderung ke arah perdata

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan–KetentuanMengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan.
d. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (sudah diganti dengan UU No. 20 Tahun 2011)

Kecenderungan ke arah perdata ditandai dengan penyebutan HPL sejajar dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dengan perkataan lain diberi kedudukan seperti hak atas tanah.

3. Pergeseran sifat HPL kembali ke arah publik.

a. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Kesimpangsiuran/salah kaprah tentang hakekat HPL dicoba untuk diatasi melalui peraturan-peraturan tersebut di atas, yakni dengan mengembalikannya pada sifat publik dari HPL.

4. Permasalahan terkait subyek HPL

Terbitnya Permenag/Ka. BPN No. 9 Tahun 1999, yang diikuti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksanaannya, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Barang Milik Daerah telah menimbulkan kerancuan tentang subyek yang dapat menjadi pemegang HPL dan implikasi hukumnya.

Subyek HPL menurut Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999 adalah sebagai berikut.
1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
2. Badan Usaha Milik Negara;
3. Badan Usaha Milik Daerah;
4. PT. Persero;
5. Badan Otorita;
6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya ditunjuk Pemerintah.

Dalam ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999 disebutkan bahwa:

“Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah”.

Sebagaimana dimaklumi, HPL saat ini telah dikembalikan arahnya menjadi berciri publik. Menjadi rancu ketika badan hukum yang dapat menjadi pemegang HPL tidak sepenuhnya memenuhi ciri “badan hukum publik” .

Sebagai contoh, PT Persero itu tanah (HPL)nya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Dari segi hukum  bisnis kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN itu seluruhnya merupakan kekayaan Persero, tetapi dari segi keuangan, kekayaan negara yang dipisahkan itu termasuk dalam kategori keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Ambiguitas tentang frasa “kekayaan negara yang dipisahkan” membuat PT Persero yang dari segi hukum bisnis tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal itu semestinya diperlakukan sebagi badan hukum perdata, yang tidak diperbolehkan menjadi pemegang HPL.

Dalam praktik, ada HPL yang sejatinya sudah “hilang/lepas” karena di atas HPL diterbitkan HGB atas nama pengembang, dan kemudian pengembang menjual produknya berupa Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) kepada pihak ketiga. Hubungan hukum antara pemegang HPL adalah dengan pemegang HGB, setelah seluruh unit rumah susun terjual, hubungan antara pemegang HPL dengan pengembang tidak ada lagi.

Untuk menghindari disalahgunakannya HPL dari konsep awal sebagai “bagian” dari  HMN, dan bukan hak atas tanah, yang bercirikan kewenangan publik, maka dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

HPL berisi kewenangan untuk:
a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanahnya; dan
b. menyerahkan pemanfaatan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga.

Pemegang HPL adalah instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang ditunjuk Pemerintah. Badan hukum yang dapat menjadi pemegang HPL harus memenuhi syarat sebagai berikut.
a. badan hukum milik negara atau milik daerah;
b. seluruh modalnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan; dan
c. berorientasi pada pelayanan publik.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, HPL dapat dimanfaatkan dalam bentuk:
a. BOT/BTO;
b. KSP;
c. Pinjam-pakai; dan
d. Sewa.

Persyaratan pemanfaatan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dilakukan dengan keputusan penyerahan pemanfaatan tanah. Keputusan penyerahan pemanfaatan tanah dapat digunakan sebagai  rekomendasi kepada pihak ketiga untuk mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah dengan jangka waktu. Pihak ketiga adalah orang-orang yang kepentingannya menjadi ruang lingkup tugas pokok dan fungsi pemegang Hak Pengelolaan.

Bagaimana jika di atas HPL akan diberikan hak atas tanah?

Dalam Undang-Undang tentang Pertanahan, HPL sebaiknya dikembalikan pada konsep dasarnya yang dirumuskan dalam  Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 yakni pemberian hak atas tanah di atas HPL itu dibatasi, namun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan pembatasannya tidak pada jenis hak atas tanah yang diberikan, tetapi pada kewenangan pemegang HPL untuk  memberikan hak atas tanah, yakni dibatasi untuk satu kali saja. Implikasinya adalah, bahwa dengan pemberian hak tersebut maka tanah HPL kembali dalam penguasaan negara. Implikasi selanjutnya, karena HPL merupakan aset (BMN/BMD) maka hapusnya HPL wajib dimintakan persetujuan kepada pengelola BMN yakni Menteri Keuangan atau pengelola BMD, yakni Gubernur/Bupati/Walikota untuk diterbitkan Surat Keputusan Penghapusan berdasarkan Pasal 41 huruf a jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah. Pelaksanaan penghapusan harus dilaporkan kepada pengelola barang.
Secara sederhana ada dua alternatif HPL terkait hubungannya dengan pihak ketiga: (1) jika HPL tetap dipertahankan, dapat dimanfaatkan dalam empat bentuk sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Penyerahan pemanfaatan tanah dalam bentuk keputusan; (2) jika di atas HPL akan diterbitkan hak atas tanah, pemberian hak atas tanah hanya berlaku satu kali saja.

Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pertanahan, maka terhadap HPL yang sudah ada sebelum Undang-Undang tentang Pertanahan berlaku, dilakukan penyesuaian dalam waktu 2 (dua) tahun. Terhadap penyerahan manfaat di atas bagian-bagian tanah HPL yang sudah berlangsung dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pertanahan, masih terus berlangsung sampai dengan berakhirnya perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah yang bersangkutan.

4. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

Masyarakat hukum adat dan hak-hak yang dipunyainya (hak ulayat) harus diakui, dihormati dan dilindungi karena keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat tidak dapat dipisahkan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak akan mempunyai makna jika tidak disertai dengan pengakuan terhadap hak-hak yang dipunyainya yang bertumpu pada wilayah, dan begitu juga sebaliknya.

1. Pengertian dan Objek hak ulayat

Menurut Ter Haar , hak ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan (sungai, danau, perairan, pantai, laut), tanam-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan menurut sumber lain, hak-hak masyarakat hukum adat tersebut meliputi hutan, padang dan penggembalaan ternak, belukar bekas ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secaa berputar, perairan darat maupun laut, penambangan tradisional dan penangkapan ikan di sungai dan laut . Demikian juga terdapat sejumlah studi yang meneliti tentang hak ulayat laut .

Semenjak era reformasi, peraturan perundang-undangan yang memuat tentang hak-hak Masyarakat Hukum Adat dari segi kuantitas cukup menggembirakan.

Jika di negara kita kesadaran untuk memulai berpikir lebih bersungguh-sungguh tentang Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya baru timbul pada era reformasi, dalam tingkatan internasional tidak kurang ada 14 konvensi internasional yang memuat pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, diawali dari The United Nations Charter pada tahun 1945 s/d The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, 13 September 2007. Dalam tingkat nasional paling tidak terdapat enam undang-undang yang memuat tentang hak masyarakat hukum adat yakni:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan kedua (Tahun 2000): Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3);
(2) TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Pasal 4;
(3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6
(4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK): Pasal 51 ayat (1);
(5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 1, Pasal 2 ayat (9), Pasal 203 ayat (3), dan Pasal 216 ayat (2); dan
(6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bai Provinsi Papua: Ketentuan Umum, Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (Pasal 43, Pasal 44, Pasal 50, dan Pasal 51).

Dalam hukum positif terkait sumberdaya alam setingkat undang-undang setidaknya terdapat sebelas undang-undang yang memuat tentang hak Masyarakat Hukum Adat. Namun demikian, diantara berbagai undang-undang sumberdaya alam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, mengakui Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya dengan “setengah hati”.

Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terbitlah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permenag) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Permenag tersebut paling tidak, ketentuan Pasal 3 UUPA yang mengatur pengakuan hak ulayat namun tidak tuntas itu, dilengkapi oleh Permenag.

Saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Dalam kenyataannya, keberadaan hak ulayat itu beragam disebabkan karena dinamika perkembangan sosial-ekonomi masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang secara wajar timbul karena pengaruh dari masyarakat hukum adat itu maupun pengaruh dari luar lingkungannya. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat didasarkan pada kenyataan masih berlangsungnya hak ulayat dan dilaksanakan dalam rangka tercapainya keseimbangan antara kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkuatan dan kepentingan nasional.

2. Kriteria objektif keberadaan hak ulayat

Tolok ukur atau kriteria objektif untuk menentukan bahwa hak ulayat masih berlangsung adalah sebagai berikut.
1) adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri tertentu sebagai subyek hak;
2) adanya wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lingkungan hidup dan tempat mencari nafkah (Lebensraum) masyarakat hukum adat yang merupakan obyek hak;
3) hubungan keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya; dan
4) adanya kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman, serta binatang-binatang yang berada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakatnya .

Penentuan kriteria itu tidak dimaksudkan untuk membatasi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, tetapi merupakan hal yang wajar dalam setiap “klaim” hubungan antara seorang atau sekelompok masyarakat dengan sumberdaya agraria tertentu. Dalam setiap hubungan itu pasti ada subyek (yang mengklaim), obyek (yang diklaim) dan petunjuk bahwa ia mempunyai klaim atas obyek tersebut (wewenang tertentu).

Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu yang dapat bersifat genealogis atau teritorial, dan bukan orang perseorangan dan bukan kepala persekutuan adat. Kepala persekutuan adat adalah pelaksana kewenangan masyarakat hukum adat, dalam kedudukannya selaku petugas masyarakat hukum yang bersangkutan.

Obyek hak ulayat adalah wilayah berupa lingkungan hidup tempat masyarakat hukum adat itu mengusahakan dan mengambil hasil untuk kehidupan sehari-hari. Dengan demikian ada hubungan, keterikatan dan ketergantungan menyangkut hukum adat dengan wilayahnya dan bahwa pemanfaatan hasil dari tanah, perairan, tanaman dan binatang yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan adalah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari dan bukan untuk tujuan komersial.

Kewenangan mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman, dan binatang itu dalam wilayah masyarakat hukum adat dilaksanakan menurut hukum adat, yaitu norma-norma yang hidup dalam masyarakat hukum adat yang masih berlaku, dipatuhi dan mempunyai sanksi.

Pengakuan dan perlindungan hak ulayat, dilakukan melalui identifikasi diri masyarakat hukum adat dan verifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan peran serta semua pihak terkait. Keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya itu dikukuhkan dalam Peraturan Daerah.

Hak ulayat tidak bersifat eksklusif karena di samping mempunyai hak atas tanah/wilayahnya yang melahirkan kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur penggunaan tanahnya, disamping hak sebagaimana dipunyai oleh setiap warga negara, masyarakat hukum adat juga mempunyai kewajiban, yakni ikut menjaga lingkungan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian hak atas tanah di atas hak ulayat

Pengakuan terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat mencakup tanah, dan obyek lain di atas tanah dalam wilayahnya yang dinyatakan dan telah diakui sebagai lingkungan wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, meliputi wilayah baik yang sudah dikuasai oleh warga, badan hukum atau instansi pemerintah dengan hak atas tanah tertentu yang diperoleh berdasarkan ketentuan hukum adat atau menurut tata cara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; maupun wilayah yang belum dikuasai atau dimanfaatkan oleh pihak lain. Pengakuan secara sungguh-sungguh terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang secara nyata masih berlangsung itu merupakan perwujudan dari prinsip “transitional justice”, yang bertujuan untuk dapat meminimalkan konflik yang sudah terjadi maupun mungkin terjadi.

a. Perlindungan terhadap hak atas tanah yang sudah diberikan
Masyarakat hukum adat yang bersangkutan wajib menghormati hak atas tanah yang sudah diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu hak atas tanah yang bersangkutan. Penghormatan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya pemberian rekognisi atau kontribusi dalam bentuk apapun dari pemegang hak atas tanah kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan ditegaskan bahwa jika hak atas tanah tersebut berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui lagi, maka hak atas tanah tersebut kembali kepada: (1) penguasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, jika masyarakat hukum adat tersebut masih ada; atau (2) kembali kepada kekuasaan negara, jika masyarakat hukum adat yang bersangkutan sudah tidak ada lagi.

b. Pemberian hak atas tanah di atas hak ulayat yang akan datang.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan dimuat ketentuan bahwa, jika di atas tanah ulayat akan diberikan suatu hak atas tanah, maka tanah ulayat dilepaskan untuk jangka waktu tertentu, setelah memperoleh persetujuan yang bebas tanpa paksaan (free and prior informed consent) dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang dilakukan secara tertulis. Peluang ini sudah dibuka melalui Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Agraria/ Ka. Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Perpanjangan hak atas tanah tergantung pada kesepakatan dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Jika hak atas tanah berakhir dan tidak diperpanjang lagi, maka tanah kembali dalam penguasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

5. Prinsip-Prinsip hak atas tanah.

a. Keanekaragaman dalam kesatuan hukum

Selama ini, hukum agraria nasional dibentuk secara sentralistik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, sumber hukum yang digunakan sebagai acuan dan dasar adalah hukum adat. Hal ini berarti bahwa asas-asas hukum, norma, dan lembaga hukum adat yang sudah diseleksi dan dihilangkan dari unsurnya yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dijadikan dasar pembentukan hukum tanah nasional. Penggunaan unsur-unsur hukum adat sebagai dasar lebih dititikberatkan pada kesamaan-kesamaan yang ada dalam hukum adat secara garis besar dengan tidak memperbesar perbedaan-perbedaan di antaranya. Hukum adat yang dimaksud adalah norma-norma, baik tidak tertulis maupun tertulis, yang mengatur hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah di lingkungan wilayah hukum adatnya. Hukum adat yang masih berlangsung tersebut ditaati oleh masyarakatnya dan mempunyai sanksi.

Karena sentralisasi pembangunan hukum agraria lebih mewarnai, maka penggalian terhadap norma, asas-asas dan lembaga hukum adat sebagai dasarnya tidak banyak dilakukan. Sebagai akibatnya, maka sebagian substansi hukum agraria yang dibentuk semakin jauh dari kondisi sosial masyarakat yang diaturnya.

Penetapan hukum adat sebagai dasar disamping untuk mewujudkan kesederhanaan hukum dalam masyarakat yang plural hal itu merupakan penghargaan dan perhatian terhadap perbedaan sosial dan norma yang ada serta perubahan sosial yang cenderung berbeda antara berbagai kelompok masyarakat.

Dalam kenyataannya, selama ini yang terjadi adalah dominasi kepentingan negara dalam menyusun peraturan perundang-undangan dan terabaikannya kepentingan masyarakat hukum adat yang secara sosiologis masih berlangsung, dan berlangsungnya konflik sosial yang bersumber dari permasalahan agraria. Kondisi ini diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesiasebagai dasar untuk mengembangkan prinsip baru yaitu menghargai keanekaragaman dalam kerangka kesatuan hukum (pluralisme dalam unifikasi hukum) .

Dengan prinsip ini dimaksudkan agar norma-norma, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga yang ada dan berlaku di masing-masing  daerah atau masyarakat hukum adat berkenaan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah diakui dan diberi peluang uintuk dikembangkan serta digunakan sebagai bagian dari hukum positif. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari negara kesatuan, pengakuan, pengembangan dan penggunaannya harus didasarkan pada kebijakan umum di bidang pertanahan yang dibentuk oleh Pemerintah yang dituangkan dalam UU dan PP. Penjabarannya dalam ketentuan lebih operasional diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dalam penjabarannya inilah, Pemerintah Daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi kondisi sosial dan norma-norma pengelolaan pertanahan yang dihayati oleh masyarakat. Demikian pula dibuka kemungkinan untuk menyerahkan kewenangan mengatur pemanfaatan tanah kepada pemerintahan desa atau masyarakat-masyarakat hukum adat. Keberagaman pengaturan pertanahan diakui dan dilindungi oleh undang-undang nasional pertanahan sepanjang hal tersebut tidak melanggar hak asasi pihak lain dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam undang-undang

b. Asas pemisahan horisontal

Pemilikan atas tanah, tidak serta merta diikuti dengan pemilikan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang berada di atas maupun di bawahnya. Namun demikian, sesuai degan kenyataan dan perkembangan kebutuhan masyarakat, asas ini juga membuka kemungkinan bahwa kepemilikan atas tanah dan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah di atas atau di bawahnya menjadi satu dengan syarat bila secara fisik tanah dengan bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu merupakan kesatuan dan dimiliki oleh subyek hak yang sama.

c. Penentuan batas penguasaan tanah.

Dalam rangka menjamin keadilan dalam akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah, Pemerintah perlu menentukan batas minimum dan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah. Penentuan batas minimum didasarkan pada ketentuan kehidupan yang layak, sedangkan penentuan batas maksimum didasarkan pada ketersediaan kawasan budi daya di setiap Kabupaten/Kota.

d. Fungsi sosial dan ekologi hak atas tanah

Penguasaan tanah yang semata-mata hanya untuk kepentingan individu itu melanggar asas fungsi sosial. Melalui fungsi sosial,kewenangan yang ditimbulkan oleh suatu hak atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi relatif. Tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanahnya dan tidak boleh tidak digunakan terlebih apabila hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain atau masyarakat. Dalam pengertian fungsi sosial, harus diupayakan adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Implikasi dari prinsip fungsi sosial adalah sebagai berikut:

(1) Tanah tidak boleh ditelantarkan
Penelantaran tanah merupakan tindakan membiarkan atau tidak menggunakan tanah sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian hak tanahnya. Penelantaran mungkin tidak mendatangkan kerugian apapun bagi pemegang hak karena yang bersangkutan mungkin kurang memerlukan keberadaan tanah itu bagi dirinya atau memang tidak mempunyai keinginan untuk segera menggunakannya. Namun demikian penelantaran jelas akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat berupa: a) semakin langkanya akses terhadap tanah sebagai sumberdaya yang langka bagi anggota masyarakat yang benar-benar memerlukannya sementara mereka yang mempunyainya tidak memanfaatkannya secara optimal; b) mengurangi jumlah produk atau hasil dari tanah yang merupakan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu penelantaran tanah harus dinyatakan bertentangan dengan fungsi sosial dan untuk itu negara harus diberi kewenangan membatalkan hak atas tanah untuk kemudian dapat diberikan kepada pihak lain yang sungguh-sungguh memerlukan dan mempunyai kemampuan untuk mengusahakannya.

Konsekuensi larangan penelantaran tanah secara à contrariomemberikan kewajiban kepada pemegang hak atas tanah untuk menggunakan atau mengusahakannya secara intensif sesuai dengan kewajiban yang telah ditetapkan. Intensitas penggunaan atau pemanfaatan itu akan memperkuat hubungan hukum antara subyek hak dengan hak atas tanah yang diberikan. Hubungan hukum yang kuat itu menjadi dasar bagi keberlangsungan atau dipertahankannya hak tersebut. Sebaliknya, ketidak-intensifan penggunaan atau pengusahaan tanah berakibat melemahnya, bahkan dapat mengarah pada hapusnya hubungan hukum tersebut.



(2) Tanah tidak boleh dijadikan komoditas
Tanah merupakan sumberdaya yang langka dan terbatas secara kuantitatif dan kualitatif. Di satu pihak, keberadaannya sangat diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan setiap orang dan di pihak lain terdapat kelompok masyarakat tertentu yang menjadikannya sebagai komoditas.

Tindakan tersebut hanya memberikan keuntungan kepada pemiliknya yang tidak peduli terhadap kerugian yang dapat dialami oleh kelompok masyarakat yang lain. Menjadikan tanah sebagai komoditas dapat mendorog terjadinya penguasaan sumberdaya agraria yang bersifat spekulatif.

Penggunaan tanah yang berorientasi hanya pada kepentingan pemiliknya akan dan telah menyebabkan terjadinya kenaikan harga tanah yang tidak terkendali. Bagi masyarakat lapisan atas kenaikan harga tanah tidak berdampak negatif, namun bagi masyarakat lapisan menengah-bawah kenaikan harga tanah secara terus-menerus itu mempunyai dampak negatif karena ketidakmampuan untuk membeli dan mempunyai tanah yang harganya terus meningkat. Maka terjadilah kesenjangan yang berarti semakin sulitnya mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Fungsi ekologis sumberdaya agraria menggariskan keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya agraria dengan daya dukung lingkungannya agar terjaga keberlanjutannya untuk berbagai kegiatan dan utuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang .  Dalam kaitan ini eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya agraria dengan tujuan pemenuhan kebutuhan jangka pendek yang sudah jelas dampak negatifnya, tidak dapat ditenggang lagi.

e. Penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Agar kepentingan yang beragam terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat berlangsung secara tertib, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah dilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang sudah ditetapkan, yang kemudian dijabarkan dalam pengaturan yang lebih rinci oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sebagai pelaksanaan asas-asas pemerintahan yang baik, maka penyusunan rencana tersebut harus melibatkan peran serta masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pemberian hak atas tanah, perlu diperhatikan juga prinsip untuk tidak boleh mengabaikan akses publik terhadap tanah yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal itu, maka berlaku larangan bagi negara untuk memberikan hak atas tanah jika tanah tersebut itu sangat penting untuk akses dan kepentingan masyarakat/publik. Sebaliknya, negara sebagai pengemban (“trustee) kepentingan publik, mempunyai kewajiban untuk menguasai dan mengelola tanah tersebut semata-mata untuk kemanfaatan publik. Termasuk dalam kriteria ruang publik yang tidak boleh diberikan dengan hak atas tanah antara lain pantai, sungai, taman kota, pedestrian, tempat penggembalaan ternak dan danau.

Di samping peruntukannya bagi ruang publik, bidang tanah yang berdasarkan Rencana Tata Ruang ditetapkan sebagai situs purbakala, cagar alam, dan konservasi tidak dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah. Demikian juga terhadap bidang tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang dilindungi maupun lingkungan setempat, tidak dapat diberikan sesuatu hak tanah.

Mengingat pola penggunaan tanah yang semakin timpang karena alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dan ketidakseimbangan pola penggunaan tanah antar wilayah dengan berbagai dampak negatifnya yang telah berlangsung selama ini, maka rencana umum penggunaan tanah harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: (1) melindungi tanah-tanah pertanian; (2) meningkatkan rasio penggunaan tanah; (3) menyediakan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan di berbagai wilayah; (4) melindungi dan memajukan lingkungan ekologis dan menjamin keberlanjutan penggunaan tanah .

6. Hak atas tanah.

a. Isi kewenangan hak atas tanah.

Hak atas tanah adalah kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah dan/atau ruang di bawahtanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula ruang bawah tanah, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaannya.

Pasal 16 UUPA menentukan bermacam-macam hak atas tanah. Dalam perjalanan waktu, sesuai dengan amanat UUPA, berkenaan dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Namun demikian, berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini, berbagai kasus terkait konflik/sengketa maupun “penelantaran” tanah-tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, maupun penyalahgunaannya, antara lain, hanya memanfaatkan sertipikat hak atas tanah sebagai jaminan utang tanpa upaya untuk menaati kewajiban yang disyaratkan dalam pemberian hak atas tanahnya, merupakan berita sehari-hari. Dampaknya tentu saja terjadinya ketidakadilan dalam pemanfaatan tanah bagi pihak yang kurang diuntungkan karena tidak mempunyai akses modal dan akses politik untuk memperoleh hak atas tanah.

Secara khusus, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan, dimuat prinsip-prinsip umum terkait dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dikembangkan dan dijabarkan dari ketentuan dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dengan mengakomodasi fakta empiris sebagai implikasi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait HGU, HGB, dan HP. Prinsip-prinsip tersebut terkait dengan isi kewenangannya, pemegang hak, peralihan dan pembebanannya dengan Hak Tanggungan. Mengingat berbagai dampak negatif penyalahgunaan hak atas tanah yang sudah diberikan, maka secara khusus, dalam rangka memberikan keadilan dalam pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan maupun Hak Pakai selaras dengan pelaksanaan fungsi sosial hak atas tanah, maka pemberian Hak Guna Usaha yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih, dan pemberian Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai Dengan Jangka Waktu untuk kegiatan usaha diberikan persyaratan yang obyektif. Bagi Hak Guna Usaha yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih, dipersyaratkan kepemilikan modal yang besarannya sesuai dengan luas tanah yang dimohon serta penerapan teknologi yang sesuai untuk kegiatan usahanya.

Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu untuk kegiatan usaha juga disertai persyaratan kesesuaian modal yang dimiliki dengan luas tanah yang dimohon. Persyaratan tersebut diberikan untuk mencegah penguasaan/pemilikan tanah yang bersifat spekulatif dan/atau digunakan untuk alat akumulasi modal.

Guna mencapai tujuan pemanfaatan tanah sesuai asas manfaat dan keadilan diperlukan pengaturan mengenai pembatasan pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. RUU ini pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha dibatasi luas minimum dan maksimumnya. Hal ini dimaksudkan agar penguasaan tanah yang sangat luas khususnya untuk usaha berskala besar bagi badan hukum atau sekelompok badan hukum dapat dimanfaatkan dengan baik dan efisien.

Berkenaan dengan Hak Pakai selama digunakan, untuk mencegah peluang penyalahgunaan hak yang berdampak negatif, ditegaskan bahwa Hak Pakai selama digunakan diberikan dalam rangka tugas pokok dan fungsinya, yang difokuskan pada pelayanan publik. Karena fungsi publik dari Hak Pakai selama digunakan maka jika karena satu dan lain hal pemegang Hak Pakai masih ingin mempertahankan Hak Pakainya tetapi menginginkan untuk pindah ke lokasi lain, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengadakan tukar bangun sehingga dengan demikian dapat dicegah penyimpangan dalam penggunaan Hak Pakai dalam rangka pelayanan publik.

Terkait dengan Hak Milik, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan ditegaskan prinsip-prinsipnya berkenaan dengan isi kewenangan Hak Milik, pemegang Hak Milik, terjadinya, peralihan dan pembebanannya dengan Hak Tanggungan. Sebagaimana diketahui, terkait dengan Hak Milik, belum diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana halnya dengan Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan 45 UUPA belum ditindaklanjuti pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Mengingat bahwa keberadaan hak tersebut disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang  Rumah Susun dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, walaupun tidak dipahami secara tepat, maka dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan  ditegaskan kembali pengaturan tentang HSUB, terjadinya, dan pemegang haknya. Perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan memperoleh HSUB dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pertimbangannya adalah karena HSUB termasuk dalam salah satu jenis hak atas tanah. Perjanjian antara pemegang Hak Milik, dengan pihak yang akan memperoleh HSUB memberikan hak bagi pemegang HSUB untuk membangun di atas tanah milik orang lain. Untuk memberikan jaminan kepastian hukum, jika dikehendaki, di atas sertipikat Hak Milik diberi catatan tentang keberadaan HSUB tersebut.

Oleh karena pemilikan pemegang HSUB adalah bangunannya, maka jika dikehendaki bangunan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang hal itu dimungkinkan dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya. Demikian juga, bangunan yang dimiliki oleh pemegang HSUB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.

b. Hak Ruang di atas tanah dan di bawah tanah

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, diperlukan kepastian hukum terhadap hak atas penggunaan ruang di atas tanah dan/atau di bawah tanah.

Pertama, konstruksi hukum terkait macam hak atas tanah yang dapat diberikan terhadap penguasaan dan penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah. Jika secara fisik bangunan di ruang bawah tanah merupakan bagian dari bangunan di atas tanah dan ruang di atas tanah, dan secara yuridis dimiliki oleh pemegang hak yang sama, maka penguasaan dan penggunaan ruang di atas dan di bawah tanah mengikuti status hak atas tanahnya.

Kedua, jika subyek yang menguasai ruang di atas tanah dan ruang di bawah tanah berbeda dengan pemegang hak atas tanah dan secara fisik pemanfaatan ruang di atas dan ruang di bawah tanah terpisah dengan pemanfaatan hak atas tanah, maka terdapat dua alternatif terkait dengan konstruksi hukumnya.

Alternatif pertama, terhadap pemanfaatan ruang di atas dan ruang di bawah tanah, dapat diberikan status hukum yang berbeda dengan status hak atas tanah (dari subyek hak yang berbeda) dengan tambahan penyebutan: HGB (Bawah Tanah), HP (Bawah Tanah), dsb yang isi kewenangannya mutatis-mutandis sesuai dengan kewenangan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Dasar pemikirannya adalah interpretasi ekstensif Pasal 4 ayat (2) UUPA.

Alternatif kedua, terhadap pemanfaatan ruang di atas dan ruang di bawah tanah diberikan hak tersendiri, yakni Hak Ruang Atas Tanah dan Hak Ruang Bawah Tanah (jenis hak baru)

c. Hapusnya hak atas tanah.

Hak atas tanah hapus karena berbagai hal, yakni:
a. jangka waktunya berakhir bagi hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. melanggar ketentuan sebagai subyek hak atas tanah;
h. ketidaksesuaian dengan tata ruang.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi bekas pemegang hak atas tanah dan terciptanya persepsi yang sama antara pihak-pihak berkenaan dengan implikasi yuridis hapusnya hak atas tanah, yang mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan negara, maka disusun prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. hapusnya hak atas tanah tidak menyebabkan hapusnya hak-hak keperdataan atas bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan  dengan tanah yang ada di atasnya;
b. apabila tidak terdapat hal-hal lain yang menghalangi, kepada bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk memohon kembali suatu hak yang sama atas tanahnya;
c. dalam hal hapusnya hak karena status subyek maupun kesesuaian  tata ruang, kepada bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk memohon hak atas tanah sesuai dengan persyaratan subyek dan sesuai dengan rencana tata ruangnya;
d. apabila terhadap tanah bekas hak dimaksud tidak dapat diberikan lagi kepada bekas pemegang hak semula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, hak-hak keperdataan yang ada di atasnya diselesaikan dengan mengutamakan prinsip musyawarah.

d. Bidang tanah yang tidak dapat diberikan dengan suatu hak atas tanah.

Di samping peruntukannya bagi ruang publik, bidang tanah yang berdasarkan Rencana Tata Ruang ditetapkan sebagai situs purbakala, cagar alam, dan konservasi tidak dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah. Demikian juga terhadap bidang tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang dilindungi maupun lingkungan setempat, tidak dapat diberikan sesuatu hak tanah.

Mengingat pola penggunaan tanah yang semakin timpang karena alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dan ketidakseimbangan pola penggunaan tanah antar wilayah dengan berbagai dampak negatifnya yang telah berlangsung selama ini, maka rencana umum penggunaan tanah harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: (1) melindungi tanah-tanah pertanian; (2) meningkatkan rasio penggunaan tanah; (3) menyediakan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan di berbagai wilayah; (4) melindungi dan memajukan lingkungan ekologis dan menjamin keberlanjutan penggunaan tanah .

7. Reforma Agraria.

a. Pengertian Reforma Agraria

Reforma Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (TAP MPR-RI No. IX/MPR/2001).

Gunawan Wiradi menyatakan bahwa Reforma Agraria adalah program operasional dalam jangka waktu tertentu yang merombak tatanan struktur agraria yang ada, yang kemudian disusul dengan program-program pengembangan dan penguatan ekonomi rakyat di pedesaan .

Badan Pertanahan Republik Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang tentang Reforma Agraria mendefinisikan Reforma Agraria sebagai penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan Akses Reformnya (Ketentuan Umum angka 1 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria).

b. Mengapa dan kapan Reforma Agraria diperlukan.

Reforma Agraria diperlukan
(1) selama kemiskinan dan terpinggirkannya hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang disebabkan karena ketidakadilan dalam akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah dan sumber-sumber agraria masih berlangsung.
(2) sebagai suatu agenda politik selama bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan yang terkait dengan pertanian.
(3) ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah.

c. Landasan hukum Reforma Agraria.

Landasan hukum Reforma Agraria adalah sebagai berikut.
(1) TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya terkait dengan Arah Kebijakan Pembaruan Agraria yang berbunyi sebagai berikut:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan PSDA.
b. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
c. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan PSDA.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
(2) TAP MPR RI Nomor V/MPR/2003 tentang Saran Kepada Presiden dan DPR Bagi Pelaksanaan Reformasi Agraria
Antara lain:
“menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukum sampai implementasinya di lapangan dan bersama-sama DPR membahas Undang-Undang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang akan berfungsi sebagai UU Pokok dan membentuk lembaga atau institusi independen lain untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi.” (garis bawah oleh penulis)

d. Prasyarat Reforma Agraria

a. Dilaksanakan tepat waktu (tidak ditunda-tunda);
b. Didukung oleh peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran, sinkron secara vertikal maupun horisontal dan serasi antara substansi dan wadah pengaturannya;
c. Didukung oleh dana dan sumberdaya manusia yang mempunyai komitmen dan integritas;
d. Didukung oleh organisasi pemangku kepentingan (petani, dan lain-lain) yang kuat;
e. Didukung oleh masyarakat melalui peran serta aktif pemangku kepentingan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya.

e. Upaya pelaksanaan Reforma Agraria .

Dalam rangka restrukturisasi pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, khususnya terkait program redistribusi tanah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Identifikasi dan inventarisasi tanah-tanah yang potensial menjadi objek redistribusi tanah antara lain dapat dicapai jika asas-asas pemerintahan yang baik dalam pelayanan pemberian hak, termasuk perpanjangan dan pembatalannya sungguh-sungguh ditegakkan dalam praktik;
2) Untuk mendukung identifikasi dan inventarisasi itu diperlukan tersedianya data dan informasi pertanahan yang akurat;
3) Gagasan “baru” dalam redistribusi tanah, misalnya tentang redistribusi tanah pertanian untuk pekarangan dengan luasan tertentu serta kriteria penerima redistribusi, seyogianya dilihat dalam konteks peraturan perundang-undangan yang ada.

Pada saat pucuk pimpinan BPN RI dipegang oleh Joyo Winoto, BPN RI pada tahun 2005 – 2009 mengklaim telah melaksanakan Reforma Agraria dalam bentuk pensertipikatan tanah (legalisasi aset), yang notabene pada masa yang lalu sudah ditetapkan sebagai tanah obyek landreform, tetapi belum dituntaskan pensertipikatannya. Kegiatan legalisasi aset ini sebenarnya bukan hal yang istimewa karena hal itu antara lain tugas pokok dan fungsi BPN RI. Reforma Agraria yang diklaim oleh BPN RI sebenarnya bukan distribusi atau redistribusi tanah tetapi “pensertipikatan tanah”. Hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai aset reform. Walaupuntetap dibanggakan sebagai Reforma Agraria, hal itu  merupakan “pseudo” Reforma Agraria. Reaksi sejumlah aktivis agraria bahkan menyebut legalisasi aset oleh BPN RI tersebut sebagai “Reforma Agraria palsu”) .

Terkait dengan penyusunan RUU Pertanahan, penjabaran Reforma Agraria dimaknai sebagai berikut .
1) Penguatan hak rakyat atas tanah melalui distribusi dasn redistribusi tanah obyek Pembaruan Agraria disertai pemberian akses permodalan, pasar, dsb.
2) Penyelesaian konflik pertanahan/agraria.
3) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat secara nyata.

Ketiga hal tersebut dapat dilakukan secara simultan dan dijabarkan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan.

Terkait dengan hal ini, bandingkan dengan rangkaian aktivitas Reforma Agraria yang dimuat dalam kertas posisi usulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada Presiden Republik Indonesia Tahun 2002

f. Obyek Reforma Agraria

Dalam rangka reformasi aset, ketersediaan tanah negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan merupakan prasyarat.
Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) adalah Tanah Negara yang berasal dari
1) Tanah negara bekas tanah terlantar;
2) Tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi;
3) Tanah dari sumber lain, yang berasal dari:
1. tanah  negara bebas;
2. tanah negara bekas hak barat;
3. tanah negara berasal dari tanah timbul;
4. tanah negara bekas swapraja;
5. tanah negara berasal bekas pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi;
6. tanah negara berasal dari pelepasan kawasan hutan;
7. tanah negara berasal dari tukar menukar atau perbuatan hukum keperdataan lainnya dalam rangka Reforma Agraria; atau
8. tanah yang diserahkan oleh pemegang haknya kepada negara untuk reforma agraria.

g. Penerima Reforma Agraria

Subyek yang memenuhi persyaratan subyek penerima Reforma Agraria adalah sebagai berikut.
a. Warganegara Indonesia;
b. Berusia 18 (delapan belas) tahun atau lebih atau berstatus suami/istri;
c. Miskin dan/atau menganggur; dan
d. Bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di kecamatan lokasi TORA.

Adapun prioritas penerima RA untuk pertanian adalah: a) penggarap tanah pertanian; b) buruh tani; c) pekerja tetap dibidang pertanian; atau d) petani yang memiliki kurang dari 0,5 hektar.

Sedangkan prioritas penerima RA untuk non pertanian adalah: a) penyewa tanah yang tidak memiliki tanah; b) pekerja/buruh di bidang non pertanian yang tidak memiliki tanah; c) pedagang informal yang tidak memiliki tanah; atau d) pekerja sektor informal yang tidak memiliki tanah.

h. Akses Reform

Dalam rangka pemanfaatan TORA diberikan akses Reform berupa: a) pengembangan usaha; b) sarana dan prasarana; c)pendampingan; d) pelatihan; dan/atau e) modal.

i. Hak-hak  dan kewajiban penerima TORA .

Hak  penerima TORA adalah sebagai berikut.
1) Memperoleh sertipikat hak atas tanah.
2) Memperoleh akses reform

Kewajiban penerima TORA adalah sebagai berikut.
1) Menggunakan dan mengusahakan tanah secara aktif.
2) Menaati ketentuan dan persyaratan dalam penggunaan dan pengusahaan tanah.

Larangan bagi penerima TORA
a) menelantarkan tanahnya;
b) mengalihkan hak atas tanahnya;
c) menyuruh pihak lain untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan tanahnya; atau
d) mengubah peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.

Sanksi terhadap pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan adalah bahwa jika tanah tidak digunakan dan diusahakan 2 (dua) tahun, hak atas tanah hapus dan tanahnya menjadi tanah negara dan hubungan hukumnya dengan TORA dibatalkan.

j. Penyelenggaraan Reforma Agraria dikoordinasikan oleh BPN RI, dilakukan berdasarkan koordinasidengan instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena Reforma Agraria merupakan program yang sangat strategis, maka pelaksanaan Reforma Agraria dilaporkan secara berkala kepada Presiden.

Jika Reforma Agraria dibandingkan dengan pengaturan serupa di Filipina, maka terdapat kemiripan dengan reforma agraria di Filipina yang landasan hukumnya adalah Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP) yang diatur dalam Comprehensive Agrarian Reform Law Tahun 1988 (CARL), maka
a. Esensi CARP adalah asset reform dan access reform of Capital Resources (RPP  RA meliputi akses reform dan aset reform)
b. Penerima TORA adalah:
(1) penyewa tanah pertanian;
(2) petani penggarap tetap;
(3) petani penggarap musiman;
(4) atau petani penggarap lainnya;
(5) pihak yang menduduki dan menggarap tanah;
(6) koperasi atau kelompok kecil para petani yang menggarap tanah tertentu;
(7) pihak-pihak lain yang secara langsung mengolah tanah pertanian.
c. Syarat-syarat penerima TORA:
(1) Tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah kurang dari 3 (tiga) Ha;
(2) Warga Negara Filipina;
(3) Minimal berumur 15 tahun atau merupakan kepala keluarga pada waktu proses penerimaan pembagian tanah; dan
(4) Mempunyai kemauan, kemampuan dan sikap untuk mengolah tanah, serta membuat tanah tersebut seproduktif mungkin.
d. Kewajiban penerima TORA:
(1) Memelihara produktivitas tanah;
(2) Mempertahankan penggunaan tanah atau penggunaan tanah tidak diubah kecuali dengan persetujuan Department of Agrarian Reform (DAR).


e. Prioritas obyek TORA adalah tanah terlantar.
Untuk pertanian: berasal dari idleand abandoned agricultural lands. Untuk non pertanian: berasal dari unregistered atau abandoned lands, dan idle lands.

Sedangkan perbedaannya dengan ketentuan reforma agraria di Filipina adalah sebagai berikut .
(1) Kepada bekas pemegang hak yang tanahnya dinyatakan sebagai tanah terlantar, diberikan ganti kerugian.
Untuk tanah pertanian, ganti kerugian diberikan oleh Land Bank of the Philippines (LBP) yang kemudian dibebankan kepada penerima TORA. Untuk tanah non pertanian, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti kerugian sesuai kesepakatan para pihak atau ditentukan oleh pemerintah.
Catatan: dalam PP No. 36 Tahun 1998 pembayaran ganti kerugian dibebankan kepada penerima hak baru. Dalam PP No. 11 Tahun 2010 kepada bekas pemegang hak tidak diberikan ganti kerugian.

(2) Peralihan TORA. Dalam jangka waktu 10 tahun penerima TORA untuk tanah pertanian tidak dapat mengalihkan, menjual, atau menghibahkan hak atas tanahnya kecuali, karena pewarisan, atau diserahkan kembali kepada pemerintah melalui LBP, atau kepada penerima TORA lain yang memenuhi syarat. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan alasan untuk membatalkan hak sebagai penerima TORA.
Setelah melewati jangka waktu 10 tahun, penerima TORA dapat mengalihkan hak atas tanahnya setelah melunasi semua kewajibannya, kepada pemerintah melalui LBP, kepada pihak ketiga yang memenuhi syarat sebagai penerima TORA. Dengan perkataan lain, tanah obyek TORA, walaupun dapat dialihkan, tetap kepada penerima TORA yang memenuhi syarat.

(3) Sengketa berkaitan dengan tanah dan implementasi, penegakan atau penafsiran peraturan  perundang-undangan  terkait reforma agraria ditangani oleh Department of Agrarian Reform (DAR), kecuali apabila hal tersebut termasuk yurisdiksi Department of Agriculture (DA) dan Department of Environment and Natural Resources (DENR).

Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan pengaturan tentang Reforma Agraria memuat hal-hal sebagai berikut.
1. Obyek TORA;
2. Subyek TORA;
3. Hak dan kewajiban penerima TORA;
4. Akses reform;
5. Peralihan TORA
6. Penyelenggaraan TORA;
7. Sanksi.
Khusus terhadap hal yang belum diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria,dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahandiusulkan bahwa peralihan TORA dimungkinkan setelah jangka waktu tertentu diusahakan oleh penerima TORA, misalnya 10 (sepuluh) tahun, dan dialihkan kepada penerima TORA yang memenuhi syarat, setelah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang.

8. Pendaftaran Tanah

Paradigma pendaftaran tanah, sesuai arah kebijakan yang ditetapkan dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, dilaksanakan dalam rangka pemerataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

a. Asas-asas pendaftaran tanah

Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, meliputi seluruh bidang tanah baik yang sudah ada haknya atau belum, di kawasan budi daya maupun non budi daya. Dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan diusulkan jangka waktu pendaftaran tanah di seluruh Republik Indonesia yang diharapkan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, didukung dengan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pendaftaran terhadap tanah ulayat meliputi pengukuran dan pemetaan batas-batas tanahnya serta pembukuannya dalam daftar tanah. terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan sertipikat tanah.

Bagi tanah yang sudah ada haknya, pendaftaran hak tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah. kepastian hukum memberikan kepastian tentang obyek, subyek, dan status hukum dari hak atas tanah. dengan kepastian itu sekaligus terkandung maksud pemberian perlindungan hukum kepada haknya. Kepastian hukum obyek terkait dengan fisik tanah misalnya letak, luas, batas-batas, jenis penggunaan tanahnya (pertanian atau non pertanian), dan benda yang ada di atasnya (jika ada). Kepastian subyek menyangkut identitas pemilik, riwayat perolehan tanah, dan hak-hak pihak lain serta beban-beban lain yang ada di atasnya. Keasrtian status hukum berkaitan dengan macam hak yang diberikan di atas tanah tersebut.

Di samping itu pendaftaran hak tanah bertujuan menyelenggarakan tertib administrasi dan membangun sistem informasi pertanahan. Tertib administrasi pertanahan merupakan prasyarat bagi upaya untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah. Tanpa didukung oleh tertib administrasi yang baik, tujuan pokok dari pendaftaran tanah tidak akan tercapai. Sistem informasi pertanahan merupakan perwujudan dari transparansi yang dituntut prinsip “good governance” yang bertujuan untuk membuka informasi berkenaan dengan tanah sehingga masyarakat luas dapat mengetahui tentang obyek, subyek, dan status hukum dari setiap hak tanah.

Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut di atas, pendaftaran hak atas tanah memerlukan prosedur yang cermat dan hati-hati dengan berlandaskan pada asas sederhana, khusus (spesialitas), terbuka (publisitas), aman, terjangkau, dan mutakhir. Asas sederhana menuntut agar prosedurnya mudah dipahami oleh masyarakat sehingga dapat diperkirakan jangka waktu yang diperlukan untuk penyelesaiannya. Asas spesialitas menuntut adanya ketegasan dan ketepatan tentang informasi yang berkaitan dengan obyek, subyek, dan status hukum tanah yang didaftar sehingga datanya sesuai dengan fakta yang ada. Asas publisitas menuntut data-data yang dikumpulkan melalui tahapan-tahapan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan diumumkan kepada masyarakat dan memperoleh persetujuan dari pihak yang berkepentingan. Asas aman mengandung maksud bahwa prosedur pendafaran tanah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang dinyatakan sebagai pemegang haknya. Di samping itu asas aman juga berkaitan dengan tanggung jawab pihak yang berkepentingan/pemohon hak untuk menjamin kebenaran dari data yang disampaikan sebagai dasar dilakukannya pendaftaran tanah. Asas terjangkau berkaitan dengan pembiayaan pendaftaran yang harus sesuai dengan kemampuan warga mayarakat dengan tetap membuka pembebasan biaya bagi mereka yang tidak mampu. Asas mutakhir berkaitan dengan upaya penyesuaian data-data yang ada dengan perubahan yang terjadi.

b. Kegiatan dalam pendaftaran tanah

Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dalam prosedur pendaftaran tanah meliputi:

(1) Pengumpulan, pengumuman dan pengesahan data fisik dan yuridis.

Data-data di atas dikumpulkan dari informasi yang disampaikan oleh pemilik tanah yang didaftar dan yang berbatasan, pihak-pihak lain yang berkepentingan, dan orang-orang yang mengetahui sejarah penguasaan tanah yang didaftar. Kebenaran informasi yang diterima dari pemilik tanah sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Jika ada kesalahan atau ketidak benaran informasi yang disampaikan, maka pemilik tanah harus bertanggung jawab atas kesalahan atau ketidakbenaran informasi tersebut. Kebenaran informasi yang diterima dari pihak di luar pemilik tanah menjadi tanggung jawab instansi yang menerbitkannya.

Data fisik dan data yuridis yang diperoleh disajikan dalam peta dan diumumkan kepada masyarakat agar masyarakat terutama pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan koreksi atas kebenaran data yang diumumkan. Data tersebut dijadikan dasar untuk dilakukannya pembukuan dan penerbitan tanda bukti haknya.

(2) Pembukuan dan penerbitan tanda bukti hak.

Pembukuan atas data fisik dan yuridis yang telah disahkan merupakan tahapan yang penting dalam pendaftaran hak tanah. berdasarkan pembukuan data diterbitkan surat tanda bukti hak (sertipikat) sebagai alat bukti yang kuat untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak tanah.

Sebagai alat bukti hak yang kuat maka kebenaran data fisik dan yuridis masih terbuka untuk  disanggah. Perubahan terhadap data dalam sertipikat masih mungkin dilakukan jika ada pihak lain yang dapat menyangkal kebenaran data dan menunjukkan bukti sebaliknya.

(3) Pemeliharaan data fisik dan yuridis.

Kegiatan pemeliharaan terkait dengan terjadinya perubahan data atau pembebanan hak atas tanah. Perubahan data terjadi karena adanya peralihan hak yang menyebabkan terjadinya perubahan subyek hak atau karena terjadinya peristiwa alam yang menyebabkan terjadinya perubahan subyek hak atau pengurangan atau hilangnya sebagian atau seluruh tanah. Pembebanan hak terjadi karena diberikannya hak tanah sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atau karena pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik. Perubahan atau pembebanan itu harus didaftarkan agar data yang ada selalu sesuai dengan kenyataan yang ada.

Karena perbuatan hukum berkenaan dengan pemindahan hak atas tanah mengandung aspek perdata dan adminisrasi dengan segala dampaknya, maka pemerintah melakukan pengawasan terhadap perbuatan-perbuatan hukum tersebut, yakni: jual beli, penukaran, penghibahan, pembebanan hak tanggungan, penyertaan modal dan pembebanan hak milik dengan hak atas tanah lain, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah  serta pengawasannya. Perbuatan hukum tersebut dilakukan berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang pengangkatan, penempatan serta pengawasan dan pembinaannya dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang di bidang pertanahan.

(4) Pembukuan dan penerbitan tanda bukti hak.

Yang dimaksud dengan pembukuan hak adalah proses yang ditempuh setelah dikumpulkannya alat bukti hak, penegasan dan pengakuan hak dan pemberian hak. Data tersebut kemudian dibukukan/dicatat dalam buku tanah.
Kegiatan selanjutnya adalah penerbitan sertipikat. Yang dimaksud dengan sertipikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen resmi.

(5) Pemeliharaan data fisik dan yuridis.

Setelah terbitnya sertipikat sebagai kegiatan pendaftaran pertama kali yang berdasarkan permohonan hak atas tanah, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencatat semua perubahan yang terjadi terkait subyek (data yuridis) dan/atau obyek (data fisik) dengan mencatatnya dalam daftar umum.

Pembukuan data yuridis berupa penerbitan hak karena berbagai sebab/alasan; hapusnya hak; pembagian hak bersama; putusan pengadilan; pemegang hak ganti nama; dan perpanjangan waktu hak atas tanah.

Perubahan data fisik disebabkan  karena (a) pemecahan bidang tanah; (b) pemisahan sebagian atau beberapa bagian di bidang tanah; (c) penggabungan dua atau lebih tanah.

c. Tanggung jawab keabsahan dokumen permohonan hak atas tanah.

Pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif, yang didaftarkan adalah hak atas tanah (registration of title). Sertipikat sebagai alat bukti hak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti hak yang kuat, artinya data  fisik dan yuridis diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya dengan alat pembuktian lain.
Dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disangsikan.

Oleh karena sertipikat dimaksudkan sebagai sarana untuk menjamin kepastian hukum terhadap subyek, obyek, hubungan hukum, dan perbuatan hukum yang terjadi di antara subyek terhadap obyek, yakni hak atas tanah yang bersangkutan, maka kebenaran data awal yang diajukan oleh pemohon sebagai calon pemegang hak atas tanah menjadi krusial, karena berperan sebagai penentu keabsahan data pendaftaran tanah. Pemohon hak atas tanah, sebagai pihak yang berkepentingan tentu berupaya mengumpulkan data seakurat mungkin, karena berkepentingan terhadap kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dimohon. Oleh karena itu, keabsahan semua semua dokumen yang diserahkan dalam proses permohonan hak atas tanah menjadi tanggung jawab pemohon hak atas tanah.

d. Tanggungjawab pelaksana pendaftaran tanah

Dalam sistem negatif, pendaftaran suatu hak atas nama seseorang yang tidak berhak dapat merugikan pemegang hak yang sebenarnya karena dengan didaftarnya seseorang dalam daftar umum, menjadikan yang bersangkutan sebagai pemegang sah menurut hukum.

Konsepsi ini menegaskan dua hal, yakni (1) bagi pemohon hak, kebenaran data fisik dan data yuridis yang diajukan sebagi syarat pendaftaran tanah itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemohon karena risiko atas ketidakbenaran atau ketidakabsahan data merugikan dirinya; (2) sebaliknya, karena konsepsi tersebut, maka bagi pelaksana pendaftaran tanah, tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya. Dengan perkataan lain, pelaksanapendaftaran tanah memeriksa dan bertanggungjawab terhadap kebenaran formal atas dokumen yang diserahkan oleh pemohon.

e. Pendaftaran tanah berdasarkan penguasaan fisik.

Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah, yakni untuk memberikan kepastian hukum terhadap subyek dan obyek, maka alat bukti yang diajukan untuk memperoleh, hak atas tanah, serta melakukan perbuatan hukum terkait dengan hak atas tanah, menjadi sangat penting. Alat bukti kepemilikan pada umumnya dalam bentuk tertulis, sebagaimana dimuat dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun demikian, karena sebelum berlakunya UUPA terjadi dualisme hukum pertanahan, maka dengan berlakunya UUPA terdapat tanah-tanah yang kepemilikannya hanya didasarkan pada penguasaan fisik semata. Hal ini sebagian besar menyangkut tanah-tanah bekas hak adat.

Menyadari keadaan tersebut, maka dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diberikan jalan keluar bagi pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan bukti penguasaan fisik, disertai persyaratan bahwa penguasaan tanah dilakukan secara nyata, dilandasi dengan itikad baik, selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan, diperkuat dengan keterangan saksi, tidak ada keberatan dari pihak lain, dan setelah dilakukan penelitian dan diumumkan, akan diterbitkan Surat Keputusan Pengakuan Hak yang merupakan dasar untuk mendaftarkan tanah yang bersangkutan.

9. Perolehan tanah untuk kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah.

a. Perolehan tanah untuk kepentingan umum.

Dalam rangka menyediakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, telah terbit Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum jo Perkaban Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 melanggar konsep tentang perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagai satu sistem, yakni dengan sama sekali tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, ketika musyawarah tidak mencapai hasil.Sebagai gantinya, penyelesaian sengketa tentang penentuan lokasi dan ganti kerugian ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung .

Oleh karena itu demi ketaatasasan pada konsepsi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang diterbitkan sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUPA, makapencabutan hak atas tanah dalam keadaan darurat/ sangat mendesak untuk menguasai tanah dilakukan melalui tata cara pencabutan hak atas tanah. Keadaan darurat itu misalnya ketika terjadi bencana alam, peperangan, konflik sosial yang meluas, yang memerlukan penanganan segera berupa penguasaan tanahnya, sedangkan penduduk direlokasi untuk sementara waktu atau tetap.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 melalui Pasal 49 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan pengadaan tanah dalam keadaan mendesak, sehingga  dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 telah secara “diam-diam” meninggalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tanpa keberanian untuk mencabut undang-undang yang bersangkutan.

Undang-Undang tentang Pertanahan bermaksud untuk mengembalikan konsepsi terkait perolehan tanah, setidaknya memberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 untuk penguasaan tanah dalam keadaan yang sangat mendesak.

b. Pengalihfungsian tanah.

Sudah merupakan kejadian sehari-hari, bahwa alih fungsi tanah, khususnya tanah pertanian, menjadi penggunaan non pertanian karena kebutuhan antara lain (1) perumahan, permukiman, pusat perbelanjaan, perkantoran; (2) industri; (3) pariwisata; (4) fasilitas olah raga; dan (5) infrastruktur.

Dampak negatif alih fungsi tanah pertanian sudah diminimalisasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Khusus terhadap alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (“LPPB”) dikenai sanksi dan dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum disertai degan persyaratan tertentu (Pasal 44).

Di luar itu, alih fungsi tanah, kecuali untuk kepentingan umum, ternyata dilakukan dengan melanggar ketentuan terkait dengan hal-hal sebagai berikut.
(1) bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rincian dari rencana tata ruang tersebut dituangkan dalam rencana peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai kepentingan.
(2) di samping itu, terdapat bidang tanah yang
a. diperuntukan bagi kepentingan publik (pedestrian, taman kota, lapangan olah raga, pantai, danau, dan sebagainya);
b. ditetapkan sebagai situs purbakala, cagar alam, konservasi;
c. secara topografis dan geologis membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna, dan lingkugan setempat.

Terhadap tanah-tanah ini tidak dapat diterbitkan hak atas tanah.
Oleh karena itu, mengingat kewenangan hak menguasai dari negara yang bertujuan agar keberadaan tanah bermanfaat bagi masyarakat, maka segala perbuatan hukum menyimpang dari tata ruang yang sudah ditetapkan, diberi sanksi berupa hapusnya hak.
Jika pemegang hak atas tanah yang menggunakan tanah menyimpang dari penetapan tata ruang tersebut akan mengalihkan hak atas tanahnya, prioritas diberikan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

(3) dalam situasi dan kondisi tertentu secara alamiah dan ilmiah, terdapat jenis tanaman tertentu, misalnya teh dan tanaman pangan tertentu, yang tidak dapat tumbuh dan menghasilkan secara optimal jika ditanam di lokasi lain.

Terhadap hal ini, tanah-tanah tempat tumbuhnya tanaman tertentu tersebut tidak dapat dialihfungsikan.

10. Pengadaan tanah untuk kepentingan peribadatan dan sosial.

Sebagai negara yang mengakui keberagaman, termasuk dalam menjalankan ajaran agama, maka terkait dengan penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial, di samping melalui lembaga wakaf yang dikenal dalam ajaran Islam, maka keberadaan lembaga yang mempunyai fungsi serupa dengan lembaga wakaf, yang berasal dari agama yang diakui oleh negara, diakui dan dilindungi.






11. Penyelesaian sengketa

a. Akar sengketa

Akar permasalahan yang menimbulkan sengketa disebabkan karena adanya persaingan yang tidak seimbang antar kelompok kepentinganuntuk memperoleh akses dan memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat langka.

Sengketa pertanahan berasal dari konflik yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Konflik kepentingan, yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif (contoh: hak atas sumberdaya agraria termasuk tanah), kepentingan prosedural maupun kepentingan psikologis.
2. Konflik struktural, yang disebabkan antara lain karena: pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol pemilikan atau pembagian sumber daya yang tidak seimbang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak seimbang; serta faktor geografis, fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama.
3. Konflik nilai, disebabkan karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau perilaku; perbedaan gaya hidup, ideologi atau agama/kepercayaan.
4. Konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk atau salah; pengulangan perilaku yang negatif.
5. Konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap; informasi yang keliru; pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan; interpretasi data yang berbeda; dan perbedaan prosedur penilaian .

b. Tipologi sengketa
a. Sengketa di atas tanah perkebunan. Para pihak adalah masyarakat (termasuk masyarakat adat) vs. Badan Hukum (PTPN/perkebunan swasta) dengan tuntutan pembatalan HGU, pengembalian tanah dan ganti kerugian.
b. Sengketa di atas tanah yang termasuk kawasan hutan. Para pihak adalah masyarakat (termasuk masyarakat adat) vs. Instansi Kehutanan dengan tuntutan permohonan hak atas tanah yang masih terdaftar sebagai kawasan hutan atau tuntutan pengembalian tanah masyarakat adat.
c. Sengketa di atas tanah yang telah dibebaskan oleh pengembang untuk perumahan/perkantoran/kawasan industri, dan lain-lain. Para pihak adalah masyarakat vs. pengembang dengan tuntutan  pembatalan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama  pengembang.
d. Sengketa di atas tanah obyek landreform. Para pihak adalah penggarap bukan penerima redistribusi vs. penerima redistribusi obyek landreform atau penggarap bukan penerima redistribusi vs. badan hukum.
e. Berbagai sengketa di atas tanah bekas tanah partikelir ex UU No. 1 Tahun 1958. Para pihak adalah ahli waris bekas pemilik tanah partikelir vs. pengembang atau ahli waris bekas pemilik tanah partikelir vs. masyarakat dengan tuntutan pembatalan HGB pengembang atau pengembalian tanah.
f. Sengketa di atas tanah bekas hak barat. Para pihak  adalah masyarakat vs. masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak asal konversi hak barat.
g. Sengketa di atas tanah yang dikuasai oleh ABRI (TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU). Para pihak  adalah masyarakat vs. pihak TNI dengan tuntutan  pengembalian tanah dan pemberian hak kepada masyarakat, bila TNI memerlukannya agar memberikan ganti kerugian kepada masyarakat.
h. Sengketa antara masyarakat dengan PT. KAI, PT. Pelindo, dan lain-lain, dengan tuntutan pemberian hak atas tanah kepada masyarakat.
i. Sengketa-sengketa lain terkait dengan pendaftaran tanah yang berasal dari tumpang tindih girik dan eigendom, tumpang tindih girik, dan konflik yang berasal dari pelaksanaan Putusan Pengadilan .

Konsorsium Pembaruan Agraria mengelompokkan sengketa agraria sebagai berikut .
a. Sengketa agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara massif.
b. Sengketa agraria akibat program swasembada beras yang pada praktiknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah, serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan  petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dan sebagainya.
c. Sengketa agraria di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan HGU mau pun karena pembangunan Perkebunan-perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya seperti, Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).
d. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya.
e. Sengketa agraria akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan.
f. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung, dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
g. Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria non tanah (perairan, udara dan isi perut bumi) dan menggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelompok kecil orang atau perusahaan tertentu meskipun sumber-sumber agraria tersebut berada dalam kawasan yang selama ini menjadi bagian dari kawasan tenurial lokal dari masyarakat setempat atau merupakan kawasan bebas .

Secara garis besar tipologi sengketa tanah menurut Badan Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut :.
a. Masalah penguasaan dan pemilikan tanah.
b. Masalah penetapan hak dan pendaftaran tanah.
c. Masalah mengenai batas/letak bidang tanah.
d. Masalah tuntutan ganti rugi eks tanah partikelir.
e. Masalah tanah ulayat.
f. Masalah tanah obyek landreform.
g. Masalah pembebasan/pengadaan tanah.
h. Masalah pelaksanaan putusan pengadilan.

Hukum telah menyediakan sarana untuk penyelesaian sengketa, terutama terkait dengan keabsahan pemilikan tanah, sebagaimana dibuktikan dengan data fisik, administratif dan yuridis terkait obyek dan subyek/pemegang hak atas tanah.

Penyelesaian sengketa terkait keabsahan pemilikan tanah dilakukan oleh badan peradilan karena hanya hakim yang dapat memutuskan mengenai kebenaran materiil suatu tuntutan. Jika sengketa diakibatkan oleh putusan pejabat, maka diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

Di luar itu, para pihak yang bersengketa, bila menghendaki, dapat memilih cara penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement) melalui cara negosiasi, konsiliasi, dan mediasi .

Khusus terhadap sengketa di bidang pertanahan telah disediakan upaya penyelesaiannya melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala BPN Nomor 34 Tahun 2007, lebih khusus lagi dalam Petunjuk Teknis Nomor 5/Juknis/D.V/2007 tentang Pelaksanaan Mediasi dan peraturan-peraturan yang terbit sesudahnya.
Penyelesaian sengketa alternatif hanya efektif jika kedua belah pihak benar-benar secara itikad baik menghendaki jalan hukum yang bersifat “win-win” .

Dengan semakin kompleksnya hubungan antara pihak-pihak terkait akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah yang timpang, semakin mundurnya kualitas dan kuantitas sumber daya alam, termasuk tanah, maka konflik antara Pemerintah dengan masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat), antara investor dengan Pemerintah, antara investor dengan masyarakat, antara investor dengan investor yang melibatkan kepentingan masyarakat, telah dan akan tetap terjadi jika tidak ada upaya penyelesaiannya secara tuntas.

Saat ini penyelesaian perkara pertanahan disatukan melalui mekanisme peradilan umum. Pada kenyataannya pengadilan yang ada belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Menurut data yang diperoleh dari KPA, ada sekitar 1700 kasus agraria yang tidak terselesaikan.

Untuk menyelesaikan konflik dan sengketa tanah yang terjadi, ada baiknya melihat kembali ide pembentukan pengadilan khusus landreform yang muncul dalam UU Pengadilan Landreform Tahun 1964 yang sudah dicabut pada tahun 1970. Aspek penting dari pengadilan landreform adalah ditegakkannya sebuah lembaga yang khusus menangani kasus sengketa yang muncul akibat pelaksanaan suatu program yang berhubungan dengan tanah. Sejak dihapuskannya pengadilan landreform dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1970 maka persoalan sengketa dan konflik pertanahan dikembalikan kepada pengadilan negeri jika tidak bisa diselesaikan di luar jalur pengadilan. Sebagai sebuah pengadilan yang berwatak khusus, pengadilan pertanahan merupakan langkah efektif dalam proses pencapaian keadilan dan kepastian hukum.

Berdasarkan hal tersebut, pemikiran ke arah pembentukan pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum merupakan suatu pemikiran yang perlu direalisasikan kembali, karena hal itu akan berpihak pada efektivitas dan efisiensi penanganan kasus atau sengketa pertanahan. Jika hal itu terjadi, maka kepentingan masyarakat juga mendapat perlindungan hukum secara optimal. Untuk kepentingan pembentukan pengadilan khusus pertanahan tersebut, pertama-tama harus dikaji dari berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada agar tidak terjadi disharmonisasi peraturan dengan landasan hukum bagi pembentukan pengadilan agraria.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan konstitusional dalam tata kehidupan berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ketika muncul pemikiran untuk mendirikan pengadilan agraria sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, pertama-tama yang perlu digali adalah landasan konstitusional yang bersumber pada UUD UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan ketentuan yang ada di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan. Hal-hal yang bersifat teknis akan merujuk pada undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, mahkamah agung, mahkamah konstitusi, dan/atau undang-undang lainnya. Dalam hal diperlukan badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman maka keberadaan badan tersebut harus diatur dengan undang-undang sehingga apabila diperlukan pengadilan agraria, maka Pasal ini dapat digunakan sebagai landasan hukumnya.

Selanjutnya, Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 25 Undang-Undang tersebut juga menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK, lingkungan peradilan di bawah MA terdiri atas peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Di dalam ketentuan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang diatur dengan undang-undang.

“Yang dimaksud dengan pengadilan khusus menurut Penjelasan Pasal 27 ayat (1) antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.” Istilah antara lain pada Penjelasan Pasal 27 ayat (1) tersebut di atas bermakna bahwa masih terbuka kemungkinan pembentukan pengadilan khusus selain yang telah disebutkan dalam rumusan penjelasan Pasal 27 ayat (1) tersebut. Pembentukan pengadilan khusus dimaksud harus ditetapkan dengan undang-undang.

Berdasarkan kajian dari beberapa peraturan perundang-undangan terkait, dapat dimungkinkan membentuk pengadilan khusus pertanahan, yang tidak akan melanggar UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang terkait sehingga harmonisasi pengaturan antar undang-undang tetap terjaga. Namun demikian, syarat pembentukannya ditetapkan dengan undang-undang. Adapun praktik mengenai pengadilan khusus melalui undang-undang  selama ini ada dua pola atau model, yaitu:
a. Pembentukan pengadilan khusus langsung melalui undang-undang, seperti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
b. Pembentukan pengadilan khusus dengan cara menetapkan pembentukannya dalam undang-undang terkait, seperti Pengadilan Niaga dibentuk/ditetapkan pembentukannya melalui UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk/ditetapkan pembentukannya melalui UU No. 30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk/ditetapkan pembentukannya melalui UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.  

Mengingat kompleksitas kasus pertanahan yang bersifat multidimensi dan spesifik, apabila dibentuk pengadilan khusus pertanahan maka pembentukannya dapat mengambil pola kedua, yaitu dengan melalui Undang-Undang Khusus Tentang Pengadilan Pertanahan. Dengan undang-undang khusus tersebut, maka pengaturannya dapat diatur secara lebih detail dan khusus.  Hal ini sejalan dengan TAP MPR IXIMPRI/ 2001 yang telah memberi perintah perlunya penanganan masalah pertanahan dengan menyelesaikan konflik pertanahan yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum.

Secara umum ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan peradilan pertanahan, yaitu:

1. Kompetensi peradilan.
Pengadilan pertanahan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara perdata di bidang pertanahan.

2. Hukum acara yang digunakan.
Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata yang berlaku bagi pengadilan negeri dengan kekhususan tertentu disesuaikan masalah pertanahan. Bila salah satu pihak keberatan terhadap putusan dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi dan kasasi ke MA serta terbuka kemungkinan untuk dimohonkan peninjauan kembali.

3. Kualitas hakim yang akan duduk sebagai majelis hakim.
Hambatan sumber daya manusia, di mana selama ini materi dari sumber daya manusia para hakim yang ada baik itu pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara pada saat menyelesaikan sengketa masih banyak belum menguasai dan memahami hukum dan peraturan pertanahan sehingga dalam memeriksa dan memutus perkara pertanahan tidak mencapai sasaran substansi akar permasalahan. Hakim yang memutus sengketa agraria pada saat ini, baik di pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara pada dasarnya memiliki pengetahuan hukum yang bersifat general sehingga seringkali dalam pertimbangan hukum  sering tidak mengacu pada hukum tanah nasional dan lebih mengedepankan hukum perdata dan hukum administrasi, hal ini disebabkan hakim tidak diarahkan ke spesialisasi. Untuk mengisi hakim-hakim yang menguasai pengetahuan dan pemahaman masalah hukum dan pertanahan dengan baik, pada pengadilan pertanahan dibuka kesempatan untuk hakim ad hoc disamping hakim karir dari pengadilan negeri.

12. Penataan, pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Pemerintah melakukan penataan dan pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka pemberian hak atas tanah, sesuai dengan kewengan dan kewajiban yang melekat pada hak yang bersangkutan, cara-cara pengusahaannya, serta kesesuaiannya dengan tata ruang yang ada.

 Untuk mendukung implementasi ketentuan-ketentuan yang mempunyai dampak penting bagi pencapaian tujuan kemanfaatan tanah bagi rakyat, pemegang hak atau warga masyarakat dapat dikenai sanksi terhadap pengalihfungsian penggunaan tanah dari rencana peruntukan dan penggunaan tanah semula dan/atau yang telah ditetapkan dalam pemberian hak.

Pengenaan sanksi didasarkan pada dampak dari pengalihfungsian yang telah melanggar peruntukan dan penggunaan yang telah ditetapkan dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan ekosistem. Sanksi yang dapat diberikan terhadap pengguna tanah yang menyimpang dari tata ruang yang berlaku ditetapkan berupa hapusnya hak. Terhadap pemegang hak atas tanah yang mengalihfungsikan tanah tanpa seizin instansi yang berwenang dikenai sanksi berupa hapusnya hak.

Sanksi pidana juga ditegaskan terhadap pelanggaran ketentuan tentang kesengajaan penyalahgunaan tanah dari rencana peruntukan dan penggunaan semula yang bersifat khusus (ruang publik, cagar alam, tanah-tanah yang potensial mengakibatkan bencana alam), dan yang menyebabkan tidak optimalnya produk yang dihasilkan dari tanah karena memang secara alamiah dan ilmiah produk tersebut tidak dapat optimal jika diusahakan di lokasi lain.






BAB VI
PENUTUP


A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam  Bab-bab terdahulu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara diberi kewenangan untuk menguasai bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan pertanahan, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan tanah; hubungan hukum antara orang dengan tanah; dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai tanah.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang terbit pada 24 September 1960 telah mengatur dan menjabarkan tentang pertanahan dalam pokok-pokoknya atau garis besarnya.

3. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sosial-ekonomi, dan budaya serta kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, UUPA perlu dilengkapi. Demikian juga karena kebijakan ekonomi pada tahun 1970an cenderung diarahkan pada pertumbuhan, dalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan terjadi penyimpangan dalam penafsirannya karena tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA, dan oleh karena itu perlu ditegaskan kembali.

4. Undang-Undang tentang Pertanahan disusun untuk melengkapi dan menjabarkan UUPA dan menegaskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip UUPA. Untuk mendukung upaya ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip UUPA diperkuat dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria.

5. Penyusunan Undang-Undang tentang Pertanahan juga dimaksudkan untuk menjadi “jembatan antara” dalam rangka meminimalkan ketidakkonsitenan antara UUPA dengan UU di bidangsumberdaya alam terkait pertanahan, sesuai dengan amanat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

B. Saran

Pembentukan Undang-Undang tentang Pertanahan merupakan keniscayaan untuk memberikan keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan tanah, dan memberikan kepastian hukum dalam penguasaan dan pemilikan tanah sehingga manfaat tanah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dapat dirasakan secara merata oleh seluruh kelompok masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA


Alrip, Ismail,  Farida Patittingi, Faisal Abdullah, Pengaturan Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Bachriadi, Dianto, 1998, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen, dalam  Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan KPA, Jakarta.

Harsono, Boedi,  1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Hartadi, Irvan Surya,  “Pentingnya Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria”, http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=131&b=I&v=1&j=I&id=6

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya yang Melekat pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas pemisahan horizontal, Aditya Bakti, Bandung.

Hutagalung, Arie S., 2012, Risalah Rapat Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan, Senin, 19 September 2012.

Ismail, Nurhasan, 2007, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik, HuMa dan Magister Hukum UGM, Jakarta,.

Konsorsium Pembaharuan Agraria, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan KPA, Jakarta.

Konsorsium Pembaruan Agraria, 2002. “Komite Nasional untuk Pembaruan Agraria”, usulan KPA kepada Presiden Republik Indonesia,

Konsorsium Pembaruan Agraria, 2004, Naskah Akademik “Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya di Indonesia”, Juli 2004.

Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung.

Mahfud MD, Moh, 2011, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Noor, Aslan, 2006, Konsepsi Hak Milik atas Tanah bagi Bangsa Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.

Notonegoro, 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektif Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Parlindungan, A. P., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

Rachman, Noer Fauzi, 2012, Land Reform dari Masa Ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta, Yogyakarta.

Reksodiputro, Mardjono, “Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat hukum Adat (Perlukah Reformasi Hukum Adat?)”, http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=378%3Ahukum-agraria-1960-dan-masyarakat-hukum-adat-perlukah-reformasi-hukum-agraria-&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in.

Sembiring, Julius, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta,.

Sitorus, Oloan, Ig. Indradi, Rakhmat Riyadi, Sapardiyono, Deden Dani Saleh dan Dominikus B. Insantun, 2008,  “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna  Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara”, dalam Bhumi, Jurnal STPN, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008.

Soebagjo, Felix O. (ed), 1995, “Arbitrase di Indonesia” , Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soetiknjo, Iman,  1987, Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sudiyat, Iman, 2012, Hukum Adat Skesta Asas, Cetakan ke-7, Liberty, Yogyakarta.

Sumardjono, Maria S. W., 1982, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, Andi Offset, Yogyakarta.

_____________________., 1991, “Redefinisi Hak atas Tanah: Aspek Yuridis dan Politis Pemberian Hak di Bawah Tanah dan Ruang Udara”, dalam Seminar Nasional Hak Atas Tanah dalam Konteks Masa Kini dan yang akan Datang, Kerjasama BPN-Fak. Hukum UGM, Yogyakarta, 15 Oktober 1991.

_____________________, 2002, UU Agraria: Menyelesaikan Pekerjaan Rumah, dalam Endang Suhendar et.al. (ed) Menuju Keadilan Agraria, Yayasan Akatiga, Bandung.

_____________________, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, cetakan kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

_____________________, 2009, Hak Pengelolaan, Perkembangan, Regulasi, dan Implementasi, dalam  Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, cetakan kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
_____________________, 2009, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan keenam, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

_____________________, 2010,Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat, Bagian Hukum Agraria UGM, Yogyakarta.

_____________________, 2010 “Quo vadis” UUPA, opini dalam SKH Kompas, Jakarta, 24 September 2010.

_____________________, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai, 2011, Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat, Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

_____________________, 2011,  “Tanah Negara, Barang Milik Negara/ Daerah (BMN/D), dan Penghunian/Penggarapan oleh Masyarakat di atas BMN/D”, Bahan diskusi Rakertas “Konsepsi Penyelesaian Sengketa Tanah Negara”, diselenggarakan oleh Sekjen Dewan Ketahanan Nasional, Jakarta, 29 November 2011.

_____________________, 2012, “Pembaruan Agraria dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan”, makalah pada RDPU Komisi II DPR-RI, Jakarta, 9 Februari 2012.

_____________________, 2012, “Penyelesaian  Konflik/Sengketa Pertanahan”, Presentasi pada RDPU Komisi II DPR RI, Jakarta 9 Februari 2012, diupdate untuk FGD UKP-PPP,  Jakarta 28 Februari 2012.

_____________________, 2012, Pragmatisme Pengadaan Tanah, Opini dalam SKH Kompas tanggal 7 Juni 2012.

_____________________, 2012, “Kepastian Hukum dan Pemanfaatan Tanah Aset PT KAI”, makalah dalam workshop “Permasalahan Hukum Pertanahan atas Aset Milik PT Kereta Api Indonesia (Persero)”, Bandung, 13 September 2012.

_____________________, 2012, “UUPA, Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai”, makalah disampaikan dalam “Pembekalan dan Ujian Kode Etik Profesi bagi Para Calon PPAT”, diselenggarakan oleh PP IPPAT, Jakarta, 19 September 2012.

_____________________, 2012, “Redistribusi Tanah”, presentasi pada Seminar Publik “Kebijakan Redistribusi Lahan di Indonesia: Implementasi, Manfaat dan Permasalahan”, Panitia Rakernas IKA UNDIP 2012, 1 Desember 2012.

Ter Haar, Bzn, 1994, Asas dan Susunan Hukum Adat, cetakan kesebelas, Pradnya Paramita, Jakarta.

Utomo, Laksono “Mendesak Penyempurnaan UUPA”   , http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=182403:mendesak-penyempurnaan-uupa&catid=17:nasional&Itemid=30
Wahyono, Ary,  2000, Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media Pressindo, Yogyakarta.

Warman, Kurnia, 2010, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, Huma-van Vollenhoven Institute-KITLV, Jakarta.

Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, dalam Noer Fauzi (ed), Insist Press bekerjasama dengan KPA, Yogyakarta.


Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor  V/MPR/2003 tentang Saran Kepada Presiden dan DPR Bagi Pelaksanaan Reformasi Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

Undang-Undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya

Undang-Undang Nomor  56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Undang-Undang Nomor  20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990  tentang Perlindungan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang Nomor  4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADS)

Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-Undang Nomor  41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor  25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor  26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor  27 Tahun 2007 tentang  Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Undang-Undang Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang Nomor  20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

Undang-Undang Nomor  2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian

Peraturan Pemerintah  Nomor  40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Barang Milik Daerah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permenag) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan