NOTARIS PELAKU TINDAK
PIDANA
PASAL 266 ayat (1) KUHP Jo. PASAL 55 ayat (1) ke-1 KUHP *)
Menyimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan,
sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, yang menjatuhi hukuman yang lebih tinggi dan
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3036 / PID.B / 2009 / PN. Mdn
dan menambah hukuman bagi sang notaris dari hukumannya 1 (satu) tahun menjadi 2
(dua) tahun.
Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum terhadap sang Notaris, yaitu Primair melanggar
Pasal diancam pidana dalam Pasal 266 Ayat (1) jo
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dan Subsidair melanggar Pasal 263 Ayat (1) jo
Pasal 55 Ayat (1) ke-1KUH Pidana.
Tulisan
ini, tidak sampai masuk kedalam pokok perkara, namun hanya membahas isu
hukumnya, yaitu mungkinkah seorang Notaris yang membuat Akte Para Pihak (Akte
partie) dapat di jatuhi hukuman pidana berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP?
II.
Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi:
“Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam,
jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.”
Pasal 55 ayat (1)ke-1 KUHP,
berbunyi:
“1.
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”;
Memperhatikan ketentuan
Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a.
Barang siapa; b Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta
itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, kemudian memperhatikan
bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak
pidana yaitu: a, mereka yang melakukan, b. Mereka yang menyuruh melakukan, dan
c. Mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
a. Barang
siapa;
b. Menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik;
c. Dengan
maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan
sesuai dengan kebenaran;
d. Pelakunya:
- Mereka yang melakukan;
- Mereka yang menyuruh melakukan
- Mereka yang turut melakukan.
Berdasarkan Pasal 266
ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, kemudian dikaitkan dengan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan,
sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, tersebut dapat
dikemukakan, “barangsiapa” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1)
KUHP dan pelaku tindak pidana sebagaimana yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP tersebut adalah Notaris. Apakah sudah tepat bahwa yang dimaksud
sebagai pelaku dalam Pasal 266 ayat (1) adalah seorang Notaris?
III. Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku), yaitu
“yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan
bagian yang sangat penting (bestanddeel)
dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (notaris)
bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi para
pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena
merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.
Pejabat
notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut
Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh
melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek
(pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte
otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan
bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang
disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan
seterusnya.
Dalam dunia Notaris, dikenal adagium:
“setiap orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak
berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau
memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan
(para pihak)”. Kemudian, akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus
melihat apa adanya dan notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang
dibuat di hadapan atau oleh notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau
menyatakan akta notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau
menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai
prosedur hukum yang berlaku.
Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan
pejabat umum yang diantaranya mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik. Selanjutya, Notaris dalam menjalankan
tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian
hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN,
sehingga UUJN merupakan lex specialis
dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan
dengan Pasal 1869 KUHPerdata.
Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan,
salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para
penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan
aturan hukum yang berlaku”. Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan
Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan:
“Notaris fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan
dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban
bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang
dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris tersebut”;
Dengan demikian, menjadikan perbuatan
notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa memperhatikan aturan
hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi
kesalahanpahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan notaris dan juga akta
notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.
Keterangan atau pernyataan dan keinginan
para pihak yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris
untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap notaris,
tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak
mungkin notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan
yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak
menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti notaris memasukkan atau
mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara materil kepalsuan
atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan
tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan
melalui gugatan perdata.
Menafsirkan atau menerapkan Pasal 266 ayat (1) jo
Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP tentang kedudukan Pejabat Notaris sebagai “pelaku”
turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke
dalam akta autentik, merupakan suatu kekeliruan (karena telah terjadi error in persona). Kedudukan Pejabat
Notaris sebagaimana dalam dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP) tidak lebih sebagai “orang yang disuruh melakukan”. “Orang yang
disuruh melakukan” menurut ilmu hukum pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatannya, sehingga oleh karenanya tidak dapat dihukum.
Unsur “barang siapa”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, harus diartikan sebagai
pelaku atau subyek tindak pidana dalam
Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pelaku atau subjek dari tindak pidana Pasal 266 ayat
(1) KUHP, yaitu yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
autentik ...”. “Yang menyuruh” memasukkan
suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik” ditafsirkan ada pada si
penyuruh (pelaku/subjek) dalam hal ini para pihak yang membuat akta autentik
tersebut, sehingga pembuat akta otentik (notaris) hanyalah sebagai “orang yang
disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”,
sebab dalam dunia notaris dikenal adagium bahwa setiap orang yang datang
menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata
benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu
menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
Pejabat Notaris, akan membuat akta (akta partie) dari
para pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, notaris tidak
akan dapat membuat akta apapun, dan notaris
membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan
atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan
kepada atau dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris tersebut merupakan
akta partie atau akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak agar
notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak
berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para
pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris
Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang yang
menyuruh melakukan” dalam membuat akta otentik yang dibuat tersebut berupa akta
partie, oleh karena tidak mungkin seorang notaris akan menyuruh dirinya sendiri
untuk melakukan perbuatan “menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik ...”, kalaupun terjadi
“adanya keterangan palsu yang dimasukkan ke dalam suatu akta autentik”, notaris
hanya dapat dinyatakan sebagai “orang yang disuruh melakukan”.
Unsur “barang
siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP adalah “orang yang
menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. “Orang yang
menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...” dalam akta
partie yaitu para pihak dalam akta partie tersebut, sedangkan notaris
hanya sebagai “orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam
akta ...”. Penerapan hukum yang benar mengenai unsur barang siapa dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP, tidak dapat dikenakan kepada seorang Notaris. Notaris tidak
dapat dinyatakan sebagai “orang” yang memenuhi unsur “barang siapa” menurut
Pasal 266 ayat (1) KUHP, artinya notaris dalam hal ini hanyalah sebagai “orang
yang di suruh melakukan” bukan “orang yang menyuruh melakukan”.
Selanjutnya, “penyertaan” sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
kemudian dihubungan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, menunjukkan telah terjadi
kekeliruan menerapkan peraturan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Ketentuan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, mengklasifikasikan “pelaku tindak pidana”
yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang ikut serta
melakukan tindak pidana. Sehingga jika seorang Notaris didakwakan sebagai
pelaku “Penyertaaan” yang dihubungkan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, maka
dapat dikontruksikan bahwa Notaris tersebut adalah sebagai pelaku:
- “melakukan menyuruh menempatkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ....”;
- “menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ...”;
- “ikut serta menyuruh menempatkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ...”.
Jika seorang Notaris dinyatakan sebagai “orang yang
melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik
...”, adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris, oleh
karena:
a. akta yang
dibuat berupa akta partie, yaitu akta
yang dibuat oleh notaris berdasarkan atas permintaan para pihak untuk
mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak
berkaitan dengan tindakan hukum.
b. “orang yang
menyuruh melakukan” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu adalah mereka
yang melakukan semua unsur tindak pidana, artinya:
-
jika dikaitkan dengan kedudukan
seorang notaris yang membuat akte partie, adalah suatu hal yang berlebihan dan
tidak mungkin bisa dilakukan, sebab tidak mengkin terdakwa akan menyuruh ke dua
belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu di dalam akta otentik yang
dibuat oleh notaris tersebut.
- jika Notaris, dinyatakan sebagai “orang
yang menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu
akta otentik ...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris,
oleh karena ke dua belah pihak yang datang kepada Notaris untuk membuatkan akta
tersebut, dan hal tersebut merupakan kesepakatan ke dua belah pihak untuk
dituangkan di dalam akta, serta suatu hal yang aneh juga notaris sebagai
pejabat yang berwenang merupakan orang yang mempunyai kehendak melakukan tindak
pidana menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu pada akta
yang mereka kehendaki bersama, karena keterangan yang ada di dalam akta merupakan kesepakatan ke dua belah pihak.
- jika Notaris dinyatakan sebagai “orang yang
turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan, oleh karena menempatkan
keterangan palsu tersebut harus ada kesadaran kerjasama antara Notaris dengan
para pihak, dan kerjasama tersebut harus secara fisik. Suatu pertanyaan bahwa
mungkinkah para pihak pembuat akta akan mau disuruh Notaris untuk menempatkan
keterangan palsu dalam akta yang mereka buat dan akta itu merupakan kesepakatan
mereka bersama yang merupakan kehendak para pihak, dan apa untungnya maupun apa
yang menjadi motifasi Notaris tersebut untuk menyuruh menempatkan keterangan
palsu dalam akta tersebut.
IV. Menjatuhkan
hukuman terhadap seorang Notaris yang membuat akta partie berdasarkan Pasal 266
ayat (1) KUHP (apalagi di junctokan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP),
merupakan keliruan dalam menerapkan hukum dan telah terjadi kriminalisasi
terhadap pekerjaan/tugas notaris.
*) Tulisan Alvi Syahrin
Menurut saya notaris tidak boleh ditempatkan sebagai orang yang 'disuruh melakukan Alias pelaku' karena Notarais di hanya membuat akte(akte partie)/meng-Akte kan keterangan dan pernyataan para pihak dan jika ternyata keterangan2/pernyataan para pihak itu ternyata palsu,maka para pihak (penghadap notaris) tersebutlah yg mempertanggungjawabkan (adagium) Jadi soal menyuruh atau yg disuruh melakukan dalam pasal 266 atau pasal55 tidaklah melekat pada jabatan notaris selaku pejabat.tq
BalasHapusSemuanya casuistis bapak
BalasHapusKita harus cermati kronologis perkaranya.
Setiap orang sama kedudukan Dimata hukum, dan setiap orang dapat dipidana sepanjang terpenuhinya syarat pemidanaan dalam diri pelakunya.
Sepanjang actus Reus dan means rea terdapat pada notaris kenapa tidak ia dapat dipina.