Kamis, 03 Februari 2011

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA

A. PENDAHULUAN.

1 . Latar Belakang

Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka[1]. Menurut sejarah, Lembaga Notariat tersebut sudah dikenal sejak abad ke-11 atau ke-12 di Italia Utara[2].

Saat ini di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam Undang –Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Berdasarkan UUJN tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini[3].

Selanjutnya ditentukan pula bahwa[4]:
1)      Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,  perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang  berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan dengan undang-undang.

2)      Notaris berwenang pula :
a.        mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b.       membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
c.        membuat kopi dari asli surat-surat  di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
d.       melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e.        memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f.         membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g.        membuat akta risalah lelang

Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan[5].

Maka berdasarkan atas uraian tersebut dapat dikatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta notaris dimana yang dimaksud dengan akta notaris tersebut adalah akta otentik.


2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan akta otentik dan syarat – syarat apa sajakah yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik? 
2.      Bagaimana kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik?

3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan maka yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan akta otentik dan mengetahui syarat-syarat apa saja yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik.
  2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik.


B. PEMBAHASAN

1. Akta Otentik

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian[6]. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam pasal 1869 KUHPer bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai  dimaksud di atas (pasal 1868 KUHPer) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.

Ini berarti bahwa surat tanpa apa tanda tangan seperti karcis parkir tidak termasuk akta.Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut[7].

Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri[8].

Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking[9].

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam pasal 1868 KUHPerdata yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan[10].

Berdasarkan pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya[11], akta ini meliputi akta otentik dibidang hukum publik dan yang membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara (TUN), contohnya adalah KTP, SIM, IMB, paspor. Contoh akta – akta tersebut dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga yang dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, berita acara sidang, akta banding atau kasasi, dll.

Adapun akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta hibah, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya antara para pihak yang berkepentingan  saja. Dalam KUHPer diatur dalam pasal 1875 bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau  yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak  dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa)[12]. Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari[13].


2. Akta Otentik sebagai Alat Bukti yang Sempurna    
Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka[14] dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu[15].  Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.

Menurut system dari HIR hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 164 HIR alat-alat bukti terdiri dari :

   1. Bukti tulisan;
   2. Bukti dengan saksi;
   3. Persangkaan;
   4. pengakuan;
   5. sumpah.

Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.  Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN (Undang Undang Jabatan Notaris) :
-Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.     
-Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata.
-Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini.    

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende)sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik.    

Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil[16].

1.      Kekuatan pembuktian lahir. Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu  berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya[17]. Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik

2.      Kekuatan Pembuktian Formil. Artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat.

Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/ akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.

3.Kekuatan Pembuktian Materiil
Bahwa secara hukum (yuridis) suatu akta otentik memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu akta notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus:
1.      Para penghadap yang telah memenuhi syarat (Minimal berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja notaris ybs tersebut;
2.      Para penghadap tersebut harus dikenal notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
3.      Para penghadap mengutarakan maksudnya;
4.      Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;
5.      Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;
6.      Segera setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut.

Kemudian berdasarkan atas undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat lainnya, dalam hal ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai.

Namun tidak adanya materai dalam suatu akta atau surat perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang biasa disebut probationis causa yang berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari semula tidak diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan belakangan.    

Maka suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila  akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.     

Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.


C. PENUTUP

Kesimpulan  

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:

1.           Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Syarat – syarat yang diperlukan agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu akta otentik adalah :
-pertama suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil;
-Kedua harus memenuhi syarat otentisitas seperti yang dipersyaratkan dalam UUJN.

2.           Kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik adalah sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata.  Bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.


—————–


DAFTAR PUSTAKA  :
§         Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok: 2008.
§         Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun  2004 tentang Jabatan Notaris.
§         R. Soesilo, RIB/ HIR dengan penjelasan, Politeia, Bogor: 1995.
§         Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keduapuluhtujuh, PT Pradnya Paramita, Jakarta: 1995.
§         Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty: 1993.

CATATAN KAKI :
 [1]  Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok: 2008.

 [2] Ibid.

 [3] Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun  2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal  1 Angka 1.

[4] Ibid,  Pasal 15 ayat (1) dan (2)

 [5] Ibid., Pasal 1 Angka 7.

 [6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty: 1993, hal.121.

 [7] Ibid.

 [8] Ibid.

 [9] Ibid.

 [10] Ibid.

 [11] Ibid.

 [12] Ibid.

 [13] Ibid.

 [14] Ibid, hal 108.

 [15] Ibid, hal 109.

 [16] Ibid.

 [17] Ibid.

ACTIO PAULIANA DALAM KEPAILITAN (CLAW BACK PROVISION)

ACTIO PAULIANA DALAM KEPAILITAN (CLAW BACK PROVISION)

- Hak yang merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditor atas perbuatan Debitor yang dapat merugikan Kreditor. Hak tersebut diatur oleh KUH Perdata dalam Pasal 1341.

- Yaitu berupa tindakan Debitor yang karena merasa akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum memindahkan haknya atas sebagian dan harta kekayaannya yang dapat merugikan para Kreditornya.

- Peraturan pelaksanaannya dalam UUK terdapat dalam ketentuan Pasal 41 s.d. Pasal 51 UUK. Yang harus dibuktikan hanyalah bukti bahwa pada saat Debitor melakukan tindakan hukum tersebut, ia dan pihak dengan siapa Debitor melakukan tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatannya itu akan merugikan Kreditor.

Menurut Pasal 1341 KUHPerdata:
Meskipun demikian, tiap orang berpiutang (Kreditor) boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan dilakukan oleh si berutang (Debitor) dengan nama apa pun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor), asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan itu dilakukan, baik si berutang (Debitor) maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang (Debitor) itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor).

Hak-hak yang diperoleh dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi.

Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma-cuma oleh si berutang (Debitor), cukuplah si berpiutang (Kreditor) membuktikan bahwa si berutang (Debitor) pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan kepadanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak.


Seperti dikemukakan oleh Fred B.G. Tumbuan, S.H., bila kita simak, Pasal 41 UUK terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar pauliana itu berlaku:
a.       Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b.      perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan Debitor;
c.       perbuatan hukum dimaksud telah merugikan Kreditor;
d.      pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor; dan
e.       pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.


- Fred B.G. Tumbuan berpendapat, adalah tugas Kurator untuk membuktikan telah terpenuhinya kelima persyaratan tersebut.

- Apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan hanya Debitor saja yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, sedangkan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu diiakukan ternyata beriiikad baik? Hal ini tidak diatur oleh UUK.

- Biasanya, apabila Debitor itu adalah Perseroan Terbatas, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Pengurus dari Perseroan Terbatas itu harus bertanggung jawab secara pribadi.

Pasal 42 UUK adalah sebagai berikut:
Apabila perbuatan hukum yang merugikan para Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut:
a.       merupakan perikatan dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan;
b.      merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih;
c.       dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau terhadap:
1)      suami atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2)      suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor;
d.      dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau terhadap:
1)      anggota direksi atau pengurus dari Debitor atau suami/istri atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota atau pengurus tersebut.
2)      Perorangan baik sendiri ataupun bersama-sama dengan suami/istri atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan tersebut, yang ikut secara langsung ataupun tidak langsung, dalam kepemilikan pada Debitor paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
3)      perorangan yang suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung ataupun tidak langsung, dalam kepemilikan pada Debitor paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
e.       dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya, apabila:
1)      perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2)      suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3)      perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami/istri, atau anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga baik sendiri atau bersama-sama, ikut secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor, atau sebaliknya.
4)      Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5)      badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami/istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor
f.        dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya dalam kelompok badan hukum dimana Debitor adalah anggotanya.

- Pasal 43 UUK, hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalannya, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Pasal 44 UUK, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan

- Baik Pasal 43 maupun Pasal 44 UUK tidak menentukan bahwa penerima hibah harus pula mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Jadi dapat disimpulkan kalo si penerima hibah wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan oleh Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

- Pasal 46 Fv menentukan bahwa pembatalan pembayaran hanya berlaku apabila pembayaran itu memberi keuntungan kepada Kreditor yang bersangkutan yang mendahulukan pembayaran tersebut mendahului pembayaran utang kepada para Kreditor lainnya.

- Pasai 47 ayat (1) Fv menentukan bahwa berdasarkan pasal sebelumnya (Pasal 46 Fv, penulis), tidak dapat dilakukan penagihan kembali dari seorang pemegang surat perintah pembayaran atas order atau surat pembayaran atas unjuk yang karena hubungan antara para pemegangnya yang terdahulu, diwajibkan menerima pembayaran tersebut.
- Pasal 47 ayat (2) Fv, dalam hal ini maka orang yang mendapat keuntungan dari penerbitan surat berharga tersebut wajib mengembalikan jumlah uang tersebut kepada harta pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa surat-surat tersebut dikeluarkan atas dasar maksud sebagaimana dimaksud dalam pasal sebelumnya, atau apabila surat-surat berharga tersebut merupakan hasil perundingan yang dimaksud pasal sebelumnya.

- Yang berhak mengajukan permohonan pembatalan terhadap perbuatan pengalihan harta kekayaan Debitor tersebut adalah Kurator (Pasal 48 ayat (1) Fv).
- Bila orang yang disebut terakhir itu tidak dapat mengembalikan barang yang telah diterimanya dalam keadaan seperti semula, Pasal 50 ayat (2) Fv mewajibkan dia memberikan ganti rugi kepada harta pailit itu.

- Namun menurut Pasal 50 ayat (3) Fv, dalam hal hak kebendaan ya harus dikembalikan itu diperoleh oleh pihak ketiga dengan itikad bait maka pihak ketiga itu harus dilindungi. Ketentuan Pasal 50 ayat (3) Fv tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1341 ayat (2) KUH Perdata.

- Pasal 50 ayat (4) Fv, semua barang atau nilai uangnya yang telah diterima oleh Debitor pailit, wajib dikembalikan oleh Kurator sepanjang (dengan pengembalian tersebut) harta pailit mendapat manfaat- tidak berlaku apabila dengan pengembalian tersebut justru harta pailit mengalami kerugian.

- Pasal 51 ayat (1) Fv menentukan bahwa setiap pembayaran yang telah dilakukan oleh seseorang kepada Debitor pailit untuk memenuhi perikatan yang telah ada sebelum pernyataan pailit, membebaskannya (dan dengan demikian maka pembayaran tersebut) berada di luar harta pailit, sepanjang ia tidak mengetahui tentang adanya harta pailit itu.

- Pasal 51 ayat (2) Fv menentukan bahwa pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terjadi sesudah adanya pernyataan pailit, tidak dapat dibebaskan dan (dengan demikian pembayaran tersebut tidak diperlakukan) berada di luar harta pailit.

- Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (2) UUK dan Pasal 1341 KUH Perdata, keterikatan pembeli rumah untuk mengembalikan rumah tersebut dan menerima harga semula adalah tergantung kepada itikad baik pembeli. Apabila pembeli memang beritikad baik, yaitu pembeli dapat membuktikan bahwa pada saat jual-beli rumah tersebut dilakukan, pembeli tidak mengetahui atau sepatutnya memang tidak mungkin mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan mengakibatkan kerugian bagi para Kreditor, maka pembeli tidak berkewajiban untuk mengembalikan rumah tersebut.

- Sebelum berlakunya UU No. 4 tahun 1998, actio pauliana juga telah dianut daiara Faillissementsverordening (SA9Q5 No. 217 jo S. 1906 No. 348), hanya saja bedanya dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1998 adalah mengenai jangka waktunya. Dalam Faillissementsverordenim jangka waktunya adalah 40 (empat puluh) hari, sedangkan dalam UU No.X Tahun 1998 jangka waktunya adalah 1 (satu) tahun.

KEPAILITAN ORANG MATI
- Apakah setelah seseorang meninggal dunia dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya? Ternyata UUK menentukan bahwa hal yang demikian dapat dilakukan oleh para Kreditor dari almarhum.

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pailit terhadap Orang Mati
- Pasal 197 Fv, harta kekayaan dari seorang yang telah meninggal dunia harus dinyatakan dalam keadaan pailit, bila seseorang atau beberapa Kreditor mengajukan permohonan dan mengemukakan secara singkat bahwa orang yang meninggal dunia itu berada keadaan berhenti membayar utang-utangnya, ataupun pada saat meninggal dunia, harta warisannya (peninggalannya) tidak cukup untuk membayar utang-utangnya.

- Menurut ketentuan Pasal 198 ayat (1) Fv, permohonan itu harus diajukan kepada PN yang pada waktu meninggalnya Debitor bersangkutan, berwenang untk memberikan keputusan pernyataan pailit tersebut.
- Berdasarkan ketentuan Pasal 199 Fv, pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan orang yang meninggal dunia dipisahkan demi hukum dari harta kekayaan pribadi dari para ahli warisnya, dengan cara seperti yang diuraikan dalam Pasal 1107 KUH Perdata.

- Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah dilakukan penerimaan warisan oleh para ahli waris, atau sebelum 6 (enam) bulan sejak meninggalnya Debitor yang bersangkutan. Demikian ditentukan dalam Pasal 200 Fv.

- Menurut Pasal 201 Fv, Bagian 6 Bab I UUK tidak berlaku bagi kepailitan harta peninggalan (warisan). Begitu pula Bab VIII tidak berlaku bagi kepailitan harta peninggalan, kecuali bila harta peninggalan tersebut tidak diberikan secara tidak bersyarat.



Beberapa Catatan Tentang Kontrak Bisnis Internasional Penyelesaian Sengketa



Pendahuluan

Untuk menghindarkan salah satu pengertian, perlu dijelaskan terlebih dahulu maksud kata internasional dalam istilah kontrak bisnis internasional.

Dengan kata internasional dimaksudkan antar negara, sehingga kadang-kadang kontrak-kontrak bisnis internasional disebut juga sebagai kontrak bisnis transnasional (antar negara) ataupun "cross-border business contract". Penggunaan kata Internasional kadang-kadang bisa menyesatkan. Sebab, tidak ada suatu aturan hukum yang berlaku secara internasional (dalam arti berlaku untuk dua atau lebih negara tertentu) yang mengatur hubungan hukum (kontrak) bisnis internasional.

Kita berhadapan dengan suatu kontrak bisnis internasional apabila suatu kontrak bisnis tertentu mengandung unsur-unsur asing, baik ditinjau dari segi pihak-pihaknya maupun ditinjau dari segi substansi kontraknya. Dengan demikian apabila suatu kontrak umpamanya, melibatkan disatu pihak, pribadi atau badan hukum yang tunduk pada hukum Singapura dengan pihak lain, pribadi atau badan hukum, yang tunduk pada hukum Indonesia, maka bisa dikatakan kontrak bisnis tersebut merupakan kontrak bisnis internasional, antar negara ataupun internasional.

Demikian pula jika suatu kontrak bisnis ditutup oleh pihak-pihak, baik pribadi maupun badan hukum, yang tunduk pada hukum Indonesia, akan tetapi mengenai suatu substansi, seperti umpamanya jual beli tanah yang terletak di Kanada, bisa juga dikatakan bahwa kontrak sedemikian itu merupakan kontrak bisnis internasional.

Hukum apakah (atau hukum negara manakah) yang berlaku bagi suatu kontrak bisnis internasional? Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih prinsipil, yakni pertanyaan apakah ada suatu aturan hukum tertentu, dalam arti aturan hukum yang berlaku secara internasional, di lebih dari suatu negara yang mengatur kontrak-kontrak bisnis internasional tadi? Jawabnya : tidak. Justru disinilah letak pokok permasalahannya.

Masalah-masalah hukum dalam suatu kontrak bisnis internasional diselesaikan oleh ketentuan hukum perdata internasional berupaya mencari jawaban bagaimana sebenarnya bunyi hukum Indonesia sendiri dalam menghadapi kontrak-kontrak bisnis internasional tadi dari segi yuridisnya. Akan tetapi, sebagaimana sering dikatakan oleh Prof. S. Gautama, hendaknya diingat, sekalipun suatu kontrak bisnis internasional dikuasai oleh bidang hukum yang dikenal dengan nama hukum privat internasional, tidaklah bahwa di seluruh dunia hanya ada satu hukum privat internasional saja. Tiap-tiap negara, tiap sistem hukum tertentu memiliki kelompok aturan hukumnya sendiri yang mengatur hubungan-hubungan hukum internasional ditinjau dari segi kaca mata negara atau sistem hukum tertentu tadi. Jadi sebenarnya kita hanya bisa berbicara tentang kaidah-kaidah hukum privat internasional Singapura dan lain sebagainya.

Oleh karenanya istilah yang lebih sesuai menggambarkan sifat hukum perdata internasional ialah yang berasal dari system Common Law. Sistem Common Law menggunakan istilah Conflict Of Laws Rules: kaidah hukum yang mengatur (dalam arti memberi penyelesaian) bilamana dalam suatu perjanjian atau transaksi tertentu ada benturan (konflik) antara dua system hukum atau lebih. Kaidah hukumnya yang memberikan pengaturan atau penyelesaian itu sebenarnya merupakan bagian dari sistem hukum nasional negara tertentu. Dengan perkataan lain, saya ulangi, tidak ada suatu hukum privat internasional yang berlaku bagi semua negara di dunia. Setiap negara memiliki hukum privat internasionalnya sendiri. Masalah inilah sebenarnya yang menjadi pokok pangkal kesulitan guna memahami sauatu kontrak bisnis internasional dari segi yuridis.

Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini ada upaya untuk menyusun ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum yang bisa berlaku bagi semua negara di dunia ini, khususnya di bidang transaksi bisnis. Salah satu contohnya ialah "United Nations Convention on Contracts for the Internasional Sale of Goods", yang ditandatangani di Wina pada tahun 1980, akan tetapi baru menjadi efektif pada tahun 1986. Negara kita belum meratifikasi konvensi itu.

Dengan demikian dalam menghadapi masalah-masalah yuridis dalam kontrak-kontrak bisnis internasional masih harus digunakan ketentuan-ketentuan dalam Algemene Bepealingen van Wetgeving (khususnya 16, 17 dan 18) beserta yurisprudensinya. Sengaja saya sebutkan kata yurisprudensi, sebab sebagian terbesar kaidah-kaidah hukum internasional Indonesia justru dapat kita jumpai dalam yurisprudensi.


Jenis Kontrak Bisnis Internasional

Kontrak bisnis internasional meliputi bebetapa meliputi jenis kontrak, akan tetapi jenis-jenis kontrak yang paling sering kita jumpai adalah kontrak jual beli (sales contracts), kontrak investasi (investment contracts), kontrak pembiayaan (financing contracts) dan kontrak di bidang jasa (services contracts). (Benny S. Tabalujan, Singapura Business Law, An Introductory Text, Thomson Information, 1996, p.413).

Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa jenis-jenis kontrak bisnis internasional yang disebutkan diatas kadang-kadang bersifat saling melengkapi. Sehingga, masalah sebenarnya terutama dari segi hukum, tidak terletak pada jenis-jenis kontrak tersebut, akan tetapi pada tiga masalah pokok :



Masalah hukum yang berlaku dan pilihan hukum;

Masalah yurisdiksi;

Masalah pelaksanaan putusan Pengadilan atau putusan arbitrase asing.

Ketiga masalah tersebut di atas yang lazim dirangkum dalam pengertian "resolution of disputes" (penyelesaian sengketa), akan saya jelaskan satu demi satu.

Governing Law ( Hukum yang Berlaku) dan Choic Of Law (Pilihan Hukum).

Dibagian awal uraian tadi disebutkan bahwa kita menghadapi suatu kontrak bisnis internasional jika dalam suatu kontrak bisnis terdapat unsur-unsur asing, baik disebabkan karena salah satu pihak dalam kontrak itu tunduk pada hukum yang berbeda dengan pihak yang lain maupun karena substansi kontrak itu tunduk pada hukum negara lain.

Diluar dua kemungkinan itu tadi, khususnya terlepas dari fakta bahwa pihak-pihak yang terikat dalam suatu kontrak bisnis internasional tunduk pada hukum yang berbeda, suatu kontrak bisnis bisa juga menjadi kontrak bisnis internasional jika sejak dari awal mulanya pihak-pihak yang terikat mengadakan pilihan hukum yang akan mengatur, menguasai atau berlaku bagi kontrak bisnis internasional tadi. Sebenarnya masalah pilihan hukum tidak dapat dipisahkan dengan masalah Governing Law. Yang dimaksud dengan governing law ialah hukum yang menguasai kontrak bisnis internasional yang bersangkutan. Jika para pihak tidak menentukan hukum apa yang akan dipilih, maka hukum yang akan menguasai kontrak bisnis internasional yang bersangkutan ditentukan oleh Pengadilan yang bakan memeriksa dan mengadili perkara itu. Pedoman yang digunakan untuk menentukan ialah kaidah hukum privat intenasional dari system hukum dari negara dimana pengadilan itu terletak. Akan tetapi jika pihak-pihak yang terikat dalam suatu kontrak bisnis internasional sejak semula sudah menentukan hukum apa (Negara mana) yang mereka pilih, maka dengan batasan-batasan tertentu, hukum yang dipilih itulah yang digunakan oleh pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara itu.

Dalam kepustakaan, pilihan hukum ini dinamakan choice of law. Pilihan hukum dapat diibaratkan suatu kaca mata. Jika kita menggunakan kaca mata yang lensanya berwarna hijau, maka segala benda akan tampak sebagai hijau. Demikian pula jika para pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional memilih hukum Negara tertentu, seperti umpamanya hukum Indonesia, maka kontrak bisnis internasional itu akan dilihat dari segi kaca mata hukum serta dikuasai oleh hukum Indonesia.


Dari uraian singkat ini saja tampak betapa pentingnya masalah pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional. Sebab, hukum yang dipilih bersifat menentukan dalam hal kita menilai keabsahan suatu kontrak bisnis internasional. Hukum yang dipilih juga menentukan syarat-sayarat dan kapan terjadinya wanprestasi serta sanksi apa yang bisa dijatuhkan pada salah satu pihak dalam hal terbukti melakukan wanprestasi.

Pada asasnya terdapat kebebasan dalam hal memilih hukum yang akan diperlakukan bagi suatu kontrak bisnis internasional, asal saja hukum yang dipilih itu memiliki keterkaitan dengan kontrak bisnis internasional itu tadi. Dengan demikian, umpamanya, tidak dapat dipilih hukum negara ketiga yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan kontrak bisnis internasional tadi, baik dengan pihak-pihaknya maupun dengan substansi kontraknya. Demikian pula pilihan hukum tidak dapat dilakukan untuk menyelundupi suatu larangan dalam system hukum tertentu yang berlaku bagi salah satu pihak yang terkait dalam kontrak itu ataupun yang berlaku bagi subsatnsi kontrak itu. Pilihan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar asas ketertiban umum (orde public). Pilihan hukum harus dilakukan dengan itikad baik.


Legal Opinion

Adanya choice of law (pilihan hukum) menyebabkan bahwa salah satu pihak yang terkait dalam kontrak bisnis internasional itun harus mengetahui "isi perut" hukum yang dipilih. Khususnya apabila hukum yang dipilih adalah hukum asing. Hal ini mengakibatkan bahwa pihak-pihak yang cermat dan teliti, sebelum menandatangani sebuah kontrak bisnis internasional dengan sutu pilihan hukum asing, meminta terlebih dahulu suatu pendapat dari seorang lawyer yang menguasai "isi perut" hukum asing yang dipilih itu. Pendapat itu lazim dinamakan "legal opinion".

Secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu legal opinion atau pendapat hukum adalah pendapat dari segi hukum yang diberikan oleh konsultan hukum atau penasehat hukum salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bermaksud untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian (atau transaksi). Pengikatan diri dalam suatu perjanjian atau transaksi lazim dinamakan sebagai suatu "closing". Dengan demikian suatu legal opinion diberikan sebelum terjadinya closing.

Dari segi bentuknya, legal opinion merupakan suatu surat yang ditujukan kepada pihak yang mensyaratkan adanya legal opinion tadi itu. Dalam suatu perjanjian tentang utang piutang, umpamanya pihak yang mensyaratkan adanya legal opinion itu adalah pihak kreditur.

Suatu legal opinion secara garis besarnya memuat beberapa hal sebagai berikut :

a) Penegasan tentang dalam kepastian hukum apa ahli hukum yang memberi legal opinion bertindak;

b) Dalam rangka transaksi atau perjanjian yang mana legal opinion itu diberikan;

c) Apa pendapat lawyer yang memberi legal opinion tadi.


Secara lebih terinci, legal opinion dalam suatu perjanjian kredit internasional biasanya memuat hal-hal sebagai berikut :

a) Penegasan dalam kapasitas hukum apa ahli hukum yang memberikan legal opinion itu bertindak;

b) Dalam rangka transaksi atau perjanjian mana legal opinion itu diberikan;

c) Dokumen apa saja yang diperiksa dalam rangka memberikan legal opinion itu;

d) Ahli hukum yang memberi opinion itu membatasi ruang lingkup system hukum yang mendasari legal opinion itu;

e) Penegasan tentang status hukum pihak debitur, serta bahwa pihak debitur berhak menjalankan usahanya yang sedang dijalankan serta berhak membuat perjanjian hutang atau menjadi pihak dalam transaksi yang dimaksudkan;

f) Konfirmasi bahwa orang (orang) yang mewakili debitur dan atau penjamin itu memang berhak melakukannya;

g) Konfirmasi bahwa perjanjian hutang atau transaksi yang bersangkutan tidak bertentangan dengan hukum Indonesia dan dapat dieksekusikan bilamana perlu;

h) Konfirmasi tentang legalitas dokumen jaminan;

i) Jika ada pilihan system hukum asing, konfirmasi bahwa pilihan itu tidak bertentangan dengan hukum Indonesia.

(Kartini Muljadi, S.H., dari catatan penulis sendiri)

Dalam pada itu, seorang konsultan hukum yang memberi legal opinion selalu membuat suatu kwalifikasi dalam arti adanya kemungkinan bahwa pendapat yang diberikan dalam legal opinion tadi tidak akan diikuti atau akan berubah di kemudian hari, khususnya bila menyangkut suatu yurisprudensi. (Lihat juga, Mr, A.G.J. van Wassenaer, Legal Opinions, Behendigheidsspel op een mijnenveld (permainan ketangkasan di atas lapangan penuh ranjau) dalam Advocatenblad, 16 September 1988). Walhasil, suatu legal opinion merupakan hal yang sangat penting bagi suatu transaksi bisnis internasional.

Choice of Jurisdiction (Pilihan Yurisdiksi).

Suatu kontrak yang baik, demikian pula suatu kontrak bisnis internasional yang baik , selalu dibuat dengan antisipasi untuk menghindari sejauh mungkin suatu sengketa. Akan tetapi jika sengketa itu tidak dapat dihindari, maka kontrak itu harus memuat klausula penyelesaiannya. Klausula penyelesaian sengketa (resolution of disputes), disatu pihak berkaitan dengan klausula pilihan hukum (choice of law) dan dilain pihak berkaitan dengan klausula pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction).

Berlakunya hukum disuatu negara tertentu dibatasi oleh wilayah negara tertentu itu tadi. Demikian pula kewenangan system pengadilan suatu negara tertentu yang dapat diakui dan dilaksanakan (recognized and enforced) di negara lain, karena hal itu akan bertentangan dengan asas kedaulatan negara. Kecuali tentunya apabila antara negara-negara yang bersangkutan itu tadi ada perjanjian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan hakim asing. (Treaty on the recognition and enforcement of foreign judgments).

Memperhatikan fakta-fakta di atas, maka klausula tentang penyelesaian sengketa khususnya klausula tentang pilihan yurisdiksi selalu merupakan klausula penting dalam suatu kontrak bisnis internasional. Karena adanya klausula itu menentukan sengketa (jika ada) akan diselesaikan dimana dan apakah putusan dari badan-badan yang menyelesaikan sengketa itu dapat dilaksanakan atau tidak.

Choice Of Jurisdiction (Pilihan Yurisdiksi) dan Choice Of Forum (Pilihan Forum)

Kata yurisdiksi mengacu pada kewenangan. Yakni kewenangan untuk mengadili. Dengan perkataan lain, apabila pihak-pihak yang terkait dalam kontrak bisnis internasional sejak semula sudah menentukan pilihan yurisdiksinya, maka hanya pengadilan di negara yang dipilih atau ditunjuk itulah yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul dari kontrak bisnis intenasional itu. Sudah barang tentu pengadilan yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa itu hanya bisa melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan putusan tentang sengketa itu., jika menggunakan aturan-aturan hukum, dalam hubungannya dengan masalah pilihan hukum, maka pengadilan yang memiliki yurisdiksi itu akan menggunakan hukum yang dipilih itu tadi. Sebaliknya, jika tidak ada pilihan hukum (atau jika hukum yang dipilih itu bertentangan dengan ketertiban umum dari negara-negara yang pengadilannya memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili atau pun hukum dari negara lain sesuai ketentuan kaidah hukum perdata internasional dari negara yang pengadilannya memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili perkara itu.

Dalam praktek, kata yurisdiksi sering dicampur adukkan dengan kata forum dan kata domisili. Padahal ketiga kata tersebut berbeda artinya antara yang satu dengan yang lain. Berbeda halnya dengan yurisdiksi yang mengacu pada kewenangan, maka kata forum mengacu pada tempat atau badan yang berwenang memeriksa dan mengadili. Dengan demikian sebenarnya kita hanya menggunakan kata forum, atau choice of forum jika pihak-pihak yang terkait dalam kontrak bisnis internasional tadi sepakat untuk memilih badan atau lembaga lain dari pada pengadilan untuk memeriksa dan mengadili sengketanya. Badan atau lembaga lain ini biasanya adalah arbitrase. Sebagai akibatnya, maka kata choice of forum lazim digunakan jika pihak-pihak yang terikat dalam satu kontrak bisnis internasional sepakat menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada forum arbitrase.

Di Negara kita, badan arbitrase yang sudah lama berdiri adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) sekarang juga ada badan arbitrase lain yang merupakan bagian dari Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia atau Indonesian Alternative Disputes Resolution Centre; kedua-duanya di Jakarta.

Di dunia internasional badan arbitrase yang terkenal adalah badan arbitrase Internasional Chamber of Commerce (ICC) di Paris, dan akhir-akhir ini mulai juga dikenal SIAC di Singapura.

Patut kiranya diperhatikan bahwa badan-badan arbutrase yang disebutkan di atas memiliki aturan pemeriksaannya (rulesnya) masing-masing yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Arbitration rules ini dapat diibaratkan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku bagi masing-masing pengadilan di negara-negara tertentu.

Dalam pada itu, kata domisili hanya mengacu pada tempat dimana pihak-pihak yang terikat dalam suatu kontrak bisnis internasional dapat dipanggil dengan resmi; karena tempat itulah yang dipilih sebagai tempat kedudukannya menurut hukum atau domisilinya, dan tidak ada hubungannya dengan masalah forum (lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Mei 1988 No. 3992 K/Pdt/1984, dalam kasus PT. Batu Mulia Utama; dalam himpunan putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase, 1989, halaman 73 dan seterusnya).

Non Exclusive Jurisdiction Clause

Dalam praktek, pilihan yurisdiksi selalu berwujud pilihan yurisdiksi yang non-eksklusif (non exclusive jurisdiction clause). Jika dalam suatu perjanjian utang piutang umpamanya, yang memiliki corak transnasional, pihak kreditur mengadakan pilihan yurisdiksi yang non eksklusif, maka hal itu berarti bahwa pihak kreditur bisa (tidak harus) menggugat debitur di Pengadilan di Negara yang dipilih yurisdiksinya ataupun di pengadilan di negara lain, sesuai pilihan kreditur. Disini kreditur memiliki kebebasan untuk memilih; dan kebebasan untuk memilih ini pada umumnya berkaitan dengan tempat atau negara dimana harta kekayaan debitur terletak.

Dalam hubungan ini, pilihan yurisdiksi yang non eksklusif biasa dilakukan oleh kreditur atas dasar pertimbangan bahwa putusan dari pengadilan di negara yang yurisdiksinya dipilih tadi dapat diakui dan dilaksanakan di negara tempat debitur berdomisili atau di tempat debitur memiliki harta kekayaan.

Dalam melakukan pilihan yurisdiksi, khususnya pilihan yurisdiksi non esklusif, hendaknya dihindari pencampur-adukkan dengan pilihan forum (arbitrasse). Sebab, jika demikian, maka akan mengakibatkan terjadinya suatu sengketa "multi-fora", dimana pokok sengketa hanya bisa diselesaikan melalui arbitrase. Situasi sedemikian ini terutama bisa timbul dalam pejanjian kontrak bangunan: induk perjanjiannya (perjanjian antara "owner" dan "contractor") dipilih penyelesaiannya melalui arbitrase; sedangkan dalam perjanjian antara "contractor" dengan "sub-contractor" tidak dipilih forum arbitrase, yang berakibat bahwa sengketa antara "contractor" dan "sub-contractor" hanya bisa diselesaikan oleh pengadilan. Hal ini bisa menimbulkan situasi hukum yang rumit (yang lazim dikenal dengan sengketa "multi-fora" tadi).

Foreign Attachment.

Pilihan yurisdiksi, khusunya pilihan yurisdiksi yang bersifat non eksklusif, berkaitan dengan masalah foreign attachment. Di Negara-negara tertentu di dunia ini, umumnya di Negara-negara Common Law dikenal doktrin yang dinamakan "attachment creates jurisdiction". Jika seorang kreditur dalam contoh diatas tadi berhasil mengetahui bahwa debiturnya memiliki harta kekayaan di Negara X umpamanya, maka si kreditur bisa meminta Pengadilan negara X untuk menyita (jaminan) harta kekayaan debitur yang terletak di Negara X itu tadi. Dan apabila pengadilan di Negara X itu tadi mengabulkan permohonan sita dan meletakkan sita atas harta kekayaan debitur, maka pengadilan di Negara X itu tadi menjadi memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara itu; (karenanya dinamakan "attachment (=penyitaan) creates jurisdiction)" sekalipun pengadilan di Negara X itu tadi sebelumnya tidak disebut-sebut sebagai pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilinya. Masalah ini umumnya kurang dipahami di dalam praktek sehingga banyak debitur merasa dirugikan.

Eksekusi Putusan Hakim Asing

Di bagian awal uraian ini telah disinggung adanya masalah hukum ketiga dalam suatu transaksi bisnis internasional; yakni masalah tentang pengakuan dan eksekusi putusan hakim asing, disamping masalah tentang pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi.

Sekalipun sudah ada pilihan yurisdiksi tidaklah berarti bahwa masalah hukum diseputar transaksi bisnis internasional sudah selesai. Pada asasnya suatu putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di negara kita, karena hal itu akan bertentangan dengan asas kedaulatan Negara; kecuali-seperti telah disebutkan di atas-jika ada suatu treaty tentang "recognition and enforcement of foreign judgments".

Sejauh mengenai pengakuan (recognition) terhadap putusan hakim asing, hingga saat ini masih diikuti pendirian dalam arrest lama dari negeri Belanda yang terkenal dengan nama Bontmantel Arrest dari tahun 1924. Luasnya pengakuan terhadap suatu putusan hakim asing sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim dalam kasus demi kasus. Sedangkan eksekusi putusan hakim asing tidak diperkenankan. Oleh karenanya dalam melakukan pilihan yurisdiksi hendaknya pihak-pihak yang terikat dalam suatu kontrak bisnis internasional benar-benar waspada, yakni apakah putusan dari hakim dari negara yang yurisdiksinya dipilih itu tadi dapat dilaksanakan di negara pihak yang lain atau tidak.

Kendala ini dapat diatasi jika pihak-pihak memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketanya. Sebab, dengan adanya Konvensi New York tahun 1981, maka pelaksanaan putusan arbitrase asing dipermudah (dalam arti bahwa putusan arbitrase negara anggota Konvensi New York yang satu dapat dilaksanakan di negara anggota Konvensi New York yang lain). Sekalipun harus diakui bahwa praktek di negara kita tidak selamanya demikian.



Penutup

Menutup uraian ini, saya teringat akan ramalan para penulis, yang memprediksikan bahwa batas-batas antar negara akan hapus. Saya sendiri meragukannya, khususnya di bidang hukum. Secara ironis dapat dikemukakan bahwa adanya apa yang sekarang di namakan kerja sama regional dan bahkan organisasi perdagangan dunia (WTO) justru mempertajam (setidak-tidaknya dari segi hukum) batas-batas antar negara. Kerja sama regional di wilayah kita, ASEAN-pun, belum melangkahkan kakinya untuk menghapus perbedaan-perbedaan di bidang hukum antara Negara anggota. Kendatipun demikian, setidak-tidaknya harmonisasi antar system hukum sangat dibutuhkan; khususnya untuk memperlancar jalannya arus bisnis antar negara.

Barang kali kita dapat belajar dari sebuah anekdot yang dikemukakan menjelang pembentukan Uni Eropa (Masyarakat Ekonomi Eropa) tahun 1992. Anekdot tersebut berbunyi sebagai berikut: "Jika seseorang memiliki uang Eropa, maka diakhiri perjalanannya uangnya hanya akan bersisa US $ 500; sekalipun ia tidak membelanjakan sepeserpun".

Apakah kita akan mengulangi pengalaman pahit pelancong itu ?

Oleh : Setiawan
Sumber : Varia Peradilan No 145 Oktober 1997.