Rabu, 09 April 2014

DEGRADASI KEHORMATAN DAN KEPERCAYAAN JABATAN NOTARIS






PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kita jumpai dibanyak tempat terjadi penurunan kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap Notaris, hal ini terjadi antara lain karena sikap dan perilaku Notaris yang tidak lagi sebagaimana digambarkan oleh Tan Tong Kie sebagai berikut :
        Setiap masyarakat membutuhkan seorang (figur) yang keterangan-keterangannya
        dapat diandalkan dan dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya
        (Capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan    
        penasehat yang tidak ada cacatnya (Onkreukbaar/unimpeachath), yang tutup mulut    
        dan yang membuat  perjanjian yang dapat melindunginya dihari-hari yang akan     
       datang.”

Pertanyaannya sekarang masihkah Notaris adalah figur sebagaimana tersebut diatas.
1. Keterangannya dapat dipercayai atau diandalkan.
2. Tandatangan dan segel atau capnya memberi jaminan dan bukti yang kuat.
3. Seorang ahli dibidangnya dan tidak memihak.
4. Penasehat yang tidak ada cacatnya.
5. Yang tutup mulut atau menjaga karahasiaan
6. Membuat perjanjian yang dapat memberikan perlindungan dihari-hari kemudian,
    baik terhadap Notaris maupuin klien-kliennya.

Apakah Notaris saat ini masih seperti tersebut, yang kalau kita sederhanakan menjadi :
Seorang ahli dibidangnya, mempunyai ilmu yang tinggi, dapat menjaga kepentingan pihak 
  (secara adil atau tidak memihak) dalam pembuatan aktanya, dapat menjamin kepastian
  tanggal pembuatan akta dan menjaga pembuatan aktanya dilakukan sesuai dengan
  ketentuan hukum dan perundang-undangan

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya (Pasal 1 ayat 1).

Sebagai pejabat umum Notaris mempunyai kewenangan dan kewajiban pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.

Inilah yang menjadi kewenangan pokok dari tugas jabatan Notaris, dari kewenangan tersebut Undang-undang memberikan kewajiban kepada Notaris masih dari pasal yang sama yaitu :
- Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
- Menyimpan akta,
- Memberikan Grosse, Salinan dan kutipan akta.

Selain mempunyai kewenangan Notaris dalam menjalankan jabatannya dibatasi dengan 4 (empat) batasan kewenangan.
G.H.S. Lumban Tobing menyatakan ada 4 (empat) pembatasan kewenangan yaitu :
1. Yang menyangkut akta,
2. Yang menyangkut orang,
3. Yang menyangkut waktu,
4. Yang menyangkut tempat.

Selain keempat batasan tersebut dalam membuat akta Notaris harus atau wajib melaksanakan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu Perjanjian.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.

Selain keempat syarat sahnya suatu perjanjian, Notaris harus pula memperhatikan Asas Good Faith atau Asas itikad baik, artinya perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas atau melakukan kajian atau temuan atas beberapa hal yang sering terjadi atau kita jumpai dalam Praktek Notaris :
1. Beberapa pasal yang karena kesalahan Notaris dapat mengakibatkan
    turunannya kekuatan bukti dari akta Notaris, dari semula akta Notaris atau akta otentik
    menjadi akta dibawah tangan  (lihat ketentuan pasal) :




    a. Pasal 38 ayat 4
        Bentuk dan sifat akta.
    b. Pasal 44 ayat 5
        Pembacaan dan penandatanganan akta
    c. Pasal 48
        Renvooi atau perubahan
    d. Pasal 50
        Renvooi atau perubahan (tata cara)
    e. Pasal 51
       Akta pembetulan.

2. Pelanggaran yang dapat menjadi dasar dikenakan teguran sampai dengan pemecatan.
   (lihat pasal) :
     a. Pasal 7 ( 60 hari setelah penganmbilan sumpah ),
     b. Pasal 16 ayat 1 hueuf a sd l ( kewajiban ),
     c. Pasal 17 ayat 1 ( larangan ),
     d. Pasal 19 ( kedudukan PPAT mengikuti kedudukan Notaris ).
     e. Pasal 32 ( serah terima Prokol Not – Cuti ),  
     f. Pasal 37 ( Ujasa Notaris secara Cuma –Cuma ),
     g. Pasal 54 ( Memberikan, Grosse Akta< Salinan Akta dan Kutipan Akta ),
     h. Pasal 65 A, pelanggaran terhadap Pasal 58 dan Pasal 59 ( pembuatan, penyimpanan 
        dan penyerahan protokol Notaris).
3. Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta
    1) Tanggal akta harus sama dengan tanggal tandatangan
    2) Pada prinsipnya tanda tangan, segera setelah akta dibacakan,
        artinya pada saat itu juga.
        - Tidak bersamaan, merupakan pengecualian tetapi tetap harus dilakukan dihari yang 
          sama.
4. Judul akta, perhatikan isi dan konstruksi hukum perjanjian.
    - Untuk perjanjian bernama, misal 
      (PPJB tanpa harga) tidak boleh
    - Untuk perjanjian tidak bernama
      Perhatikan unsur dan konstruksi hukum
      Misal : Perjanjian Kerja Sama (Pembagian keuntungan dalam besaran yang sama untuk
                setiap bulan).
5. Pembayaran
    - Sebelum, pada saat, segera setelah dan setelah akta ditandatangani
      membawa konsekwensi hukum yang berbeda.
6. Perhatikan kewenangan bertindak
    - Untuk diri sendiri,
    - mewakili, untuk dan atas nama
    - persetujuan
    - wali, dlsb
7. Akta harus dibacakan, tidak dibacakan harus diperhatikan :
    - tidak buta huruf
    - tingkat pengetahuan dan pemahaman serta hanya yang punya kemampuan 
      pemahaman terhadap isi akta sedangkan untuk hal-hal tertentu tetap harus dibacakan
      dan dijelaskan, lihat ketentuan pasal 16 ayat 7, yaitu : kepala akta, komparisi,
      penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas serta penutup akta.  
8. Legalisasi harus dibacakan dan dijelaskan.
9. Waarmerking harus dibaca apakah causanya halal atau tidak.
10. Fidusia secara On Line tetap harus diperhatikan :
     - Jumlah akta yang dibuat dalam satu hari.
     - Obyek, apakah sesuai dengan obyek fidusia.
11. Sanksi diluar UUJN
12. Pembebanan hanya dapat dilakukan oleh pemilik sehingga PPJB tidak dapat dijadikan 
     dasar untuk pembebanan.
13. Kewajiban merahasiakan hak atau kewajiban ingkar tetap melekat pada diri Notaris.
14. Take Over, apabila Sertifikat dan Surat Roya tdk dapat diterima pada hari itu maka  
     diperjanjikan dalam Perjanjian Kreditnya.
15. Kewajiban Ingkar/ Hak Ingkar, kepada Notaris diberikan kewajiban untuk merahasiakan
     isi akta dan keterangan – keterangan yang diperoleh sehubungan dengan pembuatan 
     akta ( lihat pasal 4 dan pasal 16 UUJN), kewajiban ini membawa sanksi yang cukup    
     berat bagi Notaris yaitu terdapat dalam pasal 322 KUHPidana, Notaris mempunyai  
     kewajiban untuk merahasiakan akta, kewajiban mana berlaku pula bagi semua orang  
     yang bekerja di kantornya.

HAK INGKAR
Pasal 170 ayat (1) KUHAP :
                   Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat jabatannya
                       diwajibkan menyimpan rahasia dapat dibebaskan dari kewajiban
                       untuk memberikan keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal
                       yang dipercayakan kepada mereka

Pasal 170 KUHAP memberikan pengertian kepada kita bahwa mereka yang karena pekerjaan/jabatannya berkewajiban untuk merahasiakan, dapat minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi akan tetapi terbatas hanya kepada yang dipercayakan kepada Notaris yaitu ” Mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris ” (pasal 4 UUJN mengenai Sumpah Jabatan).

Permintaan untuk tidak memberikan kesaksian/minta dibebaskan sebagai saksi ini penting karena untuk orang yang karena pekerjaan/jabatannya berkewajiban untuk merahasiakan tetapi   tidak    melaksanakan   kewajiban   tersebut   diancam  dengan  ancaman  hukuman
Pidana 9 (sembilan) bulan penjara atau denda Rp. 9.000,- (sembilan ribu rupiah).

Pasal 322 ayat (1) KUHPidana :
                   Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
                     disimpannya karena jabatan atau pencahariannya baik yang
                     sekarang maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara
                     paling lama sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya
                     Rp. 9.000,- (sembilan ribu rupiah).”

Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak berkaitan dengan isi akta atau keterangan-keterangan penghadap, Notaris diharapkan dapat menentukan atas pertimbangannya apa yang dapat/boleh disampaikan dan apa yang tidak boleh/tidak dapat disampaikan karena merupakan bagian dari kewajibannya untuk merahasiakan.

Hak atau kewajiban ingkar tidak boleh/tidak dapat digunakan untuk melindungi atau menutupi bentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam proses pelaksanaan tugas profesi Notaris atau hak ingkar dan rahasia jabatan tidak dapat dijadikan instrumen untuk melindungi oknum Notaris yang melakukan pelanggaran hukum dan etika dalam melaksanakan tugasnya (Prof.DR.Topan Gayus Lumbuun, SH.MH – Hakim Agung – Mahkamah Agung Republik Indonesia).

Rahasia Jabatan yang harus dipegang oleh Pengacara juga berlaku bagi semua orang yang bekerja dikantornya (B.R.V.C 8 Nop 1948, 1949 Nomor 66), ketentuan tersebut tentu juga dapat/harus pula diterapkan pada kewajiban rahasia jabatan bagi Notaris.

Hal ini dapat kita lihat/persamakan dengan :
”Rahasia Jabatan yang harus dipegang oleh seorang pengacara berlaku bagi semua orang yang bekerja dikantornya”.
Ketentuan menurut pasal 322 KUHPidana memberikan pengecualian jika seorang Pengacara atau sekretarisnya dipanggil ke sidang Pengadilan untuk memberikan kesaksian didalam suatu Perkara Pidana, B.R.V.C 8 Nop 1948, 1949 Nomor 66
(Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. & C.Djisman Samosir, SH) Hukum Pidana Indonesia Hal. 136

Kami berpendapat hal ini berlaku pula bagi Notaris dan semua orang yang bekerja di Kantor Notaris tersebut.
Kewajiban untuk merahasiakan melekat pada diri Notaris didasarkan pada syarat-syarat yang melekat pada diri Notaris sebagai Pejabat yang menjalankan kepercayaan masyarakat, kepercayaan dan kewajiban merahasiakan pada ketentuan UUJN, Kode Etik dan Sumpah Jabatan.

PENGAWASAN

Pengawasan dapat kita bagi menjadi 2 (dua) aktifitas :
Preventif : suatu tindakan pencegahan, pembinaan dan pengawasan dalam artian 
                 Pemberian pemahaman, pengertian dan memunculkan kesadaran serta
                 Ketaatan.
Kuratif    : adalah pengawasan dalam arti luas lebih yaitu memberikan tindakan
                dan/atau hukuman untuk memaksa pelaku dan membuat/memberikan
                efek jera kepada yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.

Tujuan pengawasan adalah untuk menjamin kepatuhan dan ketaatan Notaris terhadap Undang-undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.

Pengawasan pada dasarnya adalah upaya untuk melihat atau mengetahui apakah pelaksanaan pekerjaan atau jabatan telah dilakukan sesuai dengan seharusnya.
Pengawasan terhadap Notaris, seharusnya adalah sebuah upaya untuk mengetahui apakah Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.

Pengawasan juga dilakukan untuk mengetahui apakah Notaris dalam membuat akta telah sesuai dengan mekanisme/tata cara/prosedur sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris dan apakah pelaksanaan pekerjaannya telah sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh Notaris.

Apakah Notaris dalam melaksanakan jabatan telah bertindak Jujur, Mandiri, Tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi Sumpah Jabatan Notaris, dan Notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk ”Saksama” (teliti dan berhati-hati).
Teliti dan berhati-hati harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Notaris dalam menjalankan Jabatan dan Berperilaku.

Mengingat esensi pengawasan sebagaimana tersebut diatas maka seharusnya/seyogyanya pengawasan dilakukan oleh orang yang mengetahui atau memahami bagaimana pekerjaan/jabatan tersebut seharusnya dilakukan.
Hal ini tidak terkecuali terhadap jabatan Notaris.
Undang-undang Jabatan Notaris mengamanatkan pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri, yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari unsur :
a.      Pemerintah ;
b.      Organisasi Notaris ;
c.      Ahli/Akademisi.

Ketiga unsur tersebut seharusnya tidak saja mengetahui dan memahami bagaimana pekerjaan/jabatan Notaris dijalankan, akan tetapi memahami pula tugas dan fungsi Notaris.
Akan tetapi pada kenyataannya di banyak tempat Majelis Pengawas tidak diisi oleh mereka yang memahami tugas dan fungsi Notaris dan tidak memahami bagaimana pekerjaan/jabatan Notaris seharusnya dijalankan.

Organisasi Majelis Pengawas, hendaknya tidak berubah menjadi birokrasi atau dijalankan layaknya birokrasi yang terstruktur dan hierarkhi.

Melihat kenyataan tersebut menjadi kewajiban bagi organisasi Notaris khususnya Dewan Kehormatan Notaris untuk berperan aktif dalam mengisi kekosongan dan/atau keadaan tersebut sehingga pengawasan kepada Notaris dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tetap dapat menjaga Harkat dan Martabat sebagai bagian dari Jati Diri Notaris.
Melalui saran dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Rumah Tangga (ART).


PENUTUP

Teliti dan berhati-hati (saksama) adalah kewajiban yang melekat pada diri Notaris, hal ini merupakan konsekwensi logis dari tugas Notaris untuk memberikan kepastian hukum melalui akta yang dibuatnya.
Notaris harus selalu berada pada kebenaran dan keadilan.
 
Harus diingat oleh Notaris meskipun tugas Notaris adalah menuliskan dengan benar apa – apa yang dinyatakan oleh penghadap ( menuliskan secara benar/ autentik ) apa yang dinyatakan oleh penghadap/ pihak tetapi Notaris bukan juru tulis,  apalagi bertindak layak seorang upahan yang menuliskan apa yang menjadi kehendak pihak/ penghadap.

Sebagai sorang Notaris ia harus melaksanakan jabatannya  dengan memperhatikan ketentuan -  ketentuan Hukum  yang berlaku, memperhatikan asas – asas moral, kesusilaan dan kepatutan, serta selalu berada pada kebenaran dan keadilan, memperhatikan dan bertindak sesuai dengan Kode Etik, dan bersikap Profesional, untuk keperluan tersebut memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan aktanya.


 
  SUMBER :  BADAR BARABA, SH, MH.                                                        









                                    













                                    

Jumat, 04 Oktober 2013

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI NOTARIS DI INDONESIA BERIKUT SANKSINYA


Contoh pelanggaran terhadap kode etik Notaris oleh oknum Notaris dalam menjalankan jabatannya, yaitu :

1. Notaris menempatkan pegawai/asistennya di suatu tempat tertentu antara lain : di kantor perusahaan, kantor bank yang menjadi klien Notaris tersebut, untuk memproduksi akta-akta yang seolah-oleh sama dengan dan seperti akta yang memenuhi syarat formal;

2. Notaris lebih banyak waktu melakukan kegiatan diluar kantornya sendiri, dibandingkan dengan apa yang dilakukan di kantor serta wilayah jabatannya

3. Beberapa oknum Notaris untuk memperoleh kesempatan supaya dipakai jasanya oleh pihak yang berkepentingan antara lain instansi perbankan dan perusahaan real estate, berperilaku tidak etis atau melanggar harkat dan martabat jabatannya yaitu :
-memberikan jasa imbalan berupa uang komisi kepada instansi yang bersangkutan, bahkan dengan permufakatan menyetujui untuk dipotong langsung secara prosentase dari jumlah honorarium. Besarnya cukup bahkan ada yang sampai 60%. Atau mengajukan permohonan seperti dan semacam rekanan dan menandatangani suatu perjanjian dengan instansi yang sebetulnya adalah klien dari Notaris itu sendiri dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh instansi tersebut.

-Taktik banting harga yang terjadi di kalangan Notaris diakibatkan oleh Penumpukkan penempatan Notaris di suatu daerah tertentu. Hal ini menjadikan persaingan tidak sehat diantara kalangan Notaris. Hal ini akibat makin ketatnya persaingan pada profesi jabatan Notaris, sejalan dengan banyaknya berdiri praktik-praktik Notaris baru, oleh karena itu untuk menyiasati kondisi yang sedemikian sebagian Notaris memasang tarif untuk jasanya dengan harga dibawah standar.

Berdasarkan contoh di atas, rnasalah yang paling mendasar adalah etika dan moral seorang Notaris, yang notabene adalah seorang pejabat umum. Kalau menyangkut etika dan moral, sulit mengaturnya dalarn bentuk peraturan, bahkan di tingkat Kode Etik maupun tingkat Peraturan Umum sekalipun. Itu benar-benar menyangkut pribadi Notaris yang bersangkutan. Dampak dari kasus tersebut para Notaris telah menyelewengkan tugas jabatannya dan mengambil pekerjaan di luar wewenangnya.


Sanksi

Sanksi dalam Kode Etik tercantum dalam pasal 6 Kode Etik :

1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :

1.    teguran
2.    peringatan
3.    schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan
4.    onzetting ( pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan
5.    Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpufan


2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota.

Yang dimaksud sebagai sanksi adalah suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dalam menegakkan kode etik dan disiplin organisasi.

Penjatuhan sanksi terhadap anggota yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran kode etik termasuk didalamnya juga menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing (termuat dalam Pasal B)

Terhadap pelanggaran Notaris dilakukan pengawasan oleh organisasi Notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI) terhadap anggotanya, yang secara langsung mengontrol Notaris yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan, yang dalam

Pasal 1 angka (8) Kode Etik Notaris :

Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk :

-melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik;

-memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan rnasyarakat secara langsung

-memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris;

-Dewan Kehormatan memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang sifatnya "internal" atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung (pasal 1 ayat 8 bagian a)

Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Daerah yang baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya, setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari keperluan itu. Bila dalam Putusan Sidang Dewan Kehormatan Daerah terbukti adanya pelanggaran Kode Etik, maka sidang sekaligus "menentukan sanksi" terhadap pelanggarnya. (pasal 9 ayat (5)).

Sanksi teguran dan peringatan oleh Dewan Kehormatan Daerah tidak wajib konsultasi dahulu demgan Pengurus Daerahnya, tetapi sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan diputuskan dahulu dengan pengurus (Dasarnya (Pasaf 9 ayat (8)

Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Wilayah (Pasal 10). Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat diajukan/dimohonkan banding kepada Dewan Kehormatan Wilayah. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan tingkat banding.

Pemeriksaan dan Penjatuhan saksi pad a tingkat terakhir dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Pusat (pasal 11). Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukanl dimohonkan pemeriksaan pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.

Eksekusi atas sanksi-sanksi dalam pelanggaran kode etik berdasarkan putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Penqurus Daerah.

Dalam hal pemecatan sementara secara rind tertuang dalam pasal 13.

Dalam hal pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian juga sanksi onzetting maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota perkumpulan terhadap pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 diatas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.


KESIMPULAN

Notaris merupakan pejabat umum yang membuat akta otentik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Diperlukan tanggung jawab terhadap jabatannya, sehingga diperlukan lembaga kenotariatan untuk mengatur perilaku profesi notaris tersebut. Pada hakekatnya Kode Etik Notaris adalah merupakan penjabaran lebih lanjut apa yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris, mengingat Notaris dalam melaksanakan jabatannya harus tunduk dan mentaati segala ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur jabatannya.


Yang tercantum dalam kode etik notaris yang dibuat oleh organisasi INI yang merupakan satu-satunya organisasi notaris yang berbadan hukum sesuai dengan UUJN. Artinya seluruh notaris wajib tunduk kepada Kode Etik Notaris.


sumber :

- http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/12/kode-etik-notaris.html
- Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

PERATURAN DAERAH DASAR PEMBENTUKANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009[1] di Bidang Hukum khususnya, antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat

Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan[2]. Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat[3]. Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat[4].

Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah. Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.
Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara. Bentuk dan susunan suatu negara terkait dengan pembagian kekuasaan[5]. Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masingmasing.

pemerintah Indonesia melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk pendekatan. 
Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.20

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah21 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.22

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

B.     Identifikasi Masalah
1.      Apakah dasar konstitusional peraturan daerah?
2.      Bagaimana Prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Peraturan Daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan daerah) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Peraturan daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang.

Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah[6].
Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah[7], sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan daerah. 
Ada berbagai jenis Peraturan daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
1.      Pajak Daerah;
2.      Retribusi Daerah;
3.      Tata Ruang Wilayah Daerah;
4.      APBD;
5.      Rencana Program Jangka
6.      Menengah Daerah;
7.      Perangkat Daerah;
8.      Pemerintahan Desa;
9.      Pengaturan umum lainnya.

B.     Dasar Konstitusional Peraturan Daerah
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom. Regulasi Peraturan daerah merupakan bagian dari kegiatan legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang berkaitan dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

C.    Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala Daerah dan DPRD. Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Peraturan daerah merupakan hak legislasi konstitusional Pemda dan DPRD.
Rancangan Peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota (Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Rancangan Peraturan daerah harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama, rancangan Peraturan daerah tidak dibahas lebih lanjut.
Rancangan Peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai
Peraturan daerah. Penyampaian rancangan Peraturan daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan daerah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama (Pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam hal rancangan Peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka rancangan Peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Peraturan daerah dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi ‘Peraturan daerah dinyatakan sah’, dengan mencantumkan tanggal sahnya (Pasal 144 ayat (4), (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Peraturan daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama 7 hari setelah ditetapkan (Pasal 145 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

D.    Materi Muatan Peraturan Daerah
Peraturan daerah tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti halnya:
1.      politik luar negeri;
2.      pertahanan;
3.      keamanan;
4.      yustisi;
5.      moneter dan fiskal nasional; dan;
6.      agama[8]
Dalam pada itu, peraturan daerah mengatur semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. materi muatan peraturan daerah mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan[9].
Peraturan daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi peraturan daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan[10]

E.     Beberapa Asas Pembentukan Peraturan Daerah.
Di kala pembentukan peraturan daerah beberapa asas kiranya perlu diperhatikan, berikut ini:
1.      Muatan peraturan daerah mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas positivisme dan perspektif);
2.      Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat voor de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.
3.      Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.
4.      Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu[11].

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dasar konstitusional pembentukan peraturan daerah terdapat dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom.

Dalam pembentukan peraturan daerah harus harus seaui dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah tersebut seperti adanya materi muatan tentang peraturan daerah dan juga asas-asas dalam pembentukan peraturan daerah tersebut. Diamana peraturan daerah tersebut tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

[1] Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
[2] Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,200), hlm.5
[3] Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978, hlm.150-151.
[4]  Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 198, hlm. 52
[5] Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1980), hlm. 160.
[6] Lihat Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[7] Lihat Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[8]  Lihat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
[9] Lihat Pasal 138 ayat (1) UU. Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[10] Ibid Pasal 137
[11] Lihat jurnah HM. Laica Marzuki, Pembentukan Peraturan daerah 2008,