Rabu, 19 Mei 2021

AKIBAT HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN AHLI WARIS


Untuk difahami terlebih dahulu bahwa dalam hal peralihan hak atas tanah yang dijual yang statusnya adalah tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris. Jika ingin dilakukan penjualan, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan dalam bentuk akta otentik dihadapan Notaris setempat. 

 

Jika ada pihak yang menjual tanah warisan tersebut tanpa persetujuan para ahli waris, para ahli waris dapat menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum. Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim.

 

Perlu pula diketahui bahwa dalam hal peralihan hak atas tanah melalui jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli tersebut wajib dilakukan dengan dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”). Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut. [1]

 

Dalam proses jual beli tersebut, dalam transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut:

 

1.    Data Tanah:

a.  PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima

Setoran (bukti bayarnya);

b.    Sertifikat Asli Tanah;

c.     Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional);

d.    Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada);

e.    Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan.

f.       Surat Keterangan Ahli Waris

 

2. Data Penjual dan Pembeli:

 

a.     Fotokopi Kartu Tanda Penduduk suami/istri Penjual dan Pembeli;

b.    Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah;

c.     Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.

 

Dibutuhkan data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu benda (menjual merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang memiliki hak milik atas benda tersebut.

 

Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.

 

Hal ini juga didasarkan atas Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yang mengatur tentang jual beli, yang secara implisit mempersyaratkan bahwa penjual haruslah pemilik yang berhak dari barang yang dijual:

 

Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.

 

Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPer:

 

Pasal 833 ayat (1) KUHPer:

 

Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

 

Pasal 832 ayat (1) KUHPer:

 

Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

 

Oleh karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan.

 

Jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan dalam bentuk akta otentik dihadapan Notaris setempat.

 

Jika jual beli tersebut telah terjadi dan tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris), maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer di atas, jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

 

Selain itu, jual beli tanpa menyertakan sertifikat tanah juga bertentangan dengan persyaratan dalam proses jual beli tanah.

 

Langkah Hukum yang Dapat Diambil

 

Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, yang berbunyi:

 

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

 

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:

 

a.           Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);

b.          Perbuatan itu harus melawan hukum;

c.           Ada kerugian;

d.          Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;

e.          Ada kesalahan.

 

Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:

 

1.          Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2.          Melanggar hak subjektif orang lain;

3.          Melanggar kaidah tata susila;

4.          Bertentangan dengan asas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

 

Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum, Anda harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan di atas.

 

Hal ini didukung juga dengan adanya Pasal 834 KUHPer, yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta peninggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas petitio.

 

Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim. Lebih lanjut, mengenai gugatan perdata (termasuk mengenai petitum).

 

Pasal 1365 KUHPer jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan ganti rugi.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

 

1.          Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.          Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

3.          Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

 

4.          Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

 

 



[1] Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar