Paska dibukanya hasil Ujian Calon Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah menimbulkan persoalan baru, antara lain banyak peserta yang lulus tersebut, yang juga telah menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, ternyata ada yang berbeda tempat kedudukan (kota/kabupaten) dalam wilayah jabatan (provinsi) yang sama atau ada juga yang berbeda wilayah jabatan yang sudah pasti berbeda tempat kedudukan.
Khusus untuk mereka yang lulus
sebagai PPAT dan ternyata dalam jabatan yang berbeda dengan Notaris, misalnya
sebagai Notaris di salah satu kota/kabupaten di Propinsi Jawa Barat, dan lulus
sebagai PPAT di Jakarta Selatan di DKI Jakarta, atau lulus sebagai PPAT yang
berbeda kota/kabupaten dalam wilayah jabatan yang sama, misalnya lulus sebagai
PPAT di Kota Kediri dan sebagai Notaris di Surabaya (keduanya Propinsi Jawa
Timur) menimbulkan permasalahan yang sangat unik dan lucu, yang hanya ada di
Indonesia, khususnya dalam dunia Notaris dan PPAT. Untuk melihat permasalahan
tersebut akan menempatkan UUJN sebagai aturan hukum untuk menyelesaikannya.
Bahwa dalam Pasal 17 huruf g UUJN,
ditegaskan Notaris dilarang merangkap jabatan diluar wilayah jabatan Notaris.
Jika larangan tersebut dilanggar maka berdasarkan Pasal 85 UUJN, dapat dikenai
sanksi administratif dari Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang Notaris
terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri mulai dari MPD, MPW, MPP
dan pada akhirnya atas usulan MPP akan dilakukan Pemberhentian tidak hormat
oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Bahwa kemudian dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf d UUJN, bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Maka dengan
demikian Notaris yang berbeda wilayah jabatan sebagaimana tersebut telah
melanggar Larangan jabatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 huruf g UUJN,
maka kepada Notaris yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari
Jabatannya selama 6 (enam) bulan (Pasal 9 ayat (4) UUJN). Dan sebelum
pemberhentian tersebut dilakukan kepada Notaris yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri secara berjenjang di hadapan Majelis Pengawas
(Daerah, Wilayah dan Pusat) lihat Pasal (Pasal 9 ayat (2) dan (3) UUJN.
Meskipun dalam hal ini berdasarkan
Pasal 10 ayat (2) UUJN Notaris yang diberhentikan sementara dari jabatannya
tersebut dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa
pemberhentian sementara berakhir. Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa diangkat
sebagai PPAT yang berbeda wilayah jabatan dengan Notaris tidak bersifat
sementara, tapi bersifat tetap, apakah mungkin, dengan tidak merubah (tidak
pindah) Wilayah Jabatan, setelah masa 6 (enam) bulan masa pembehentian
sementara sementara berakhir dapat diangkat kembali dalam wilayah jabatan yang
sama pula ?
Bahwa agar sama wilayah jabatan
Notaris dan PPAT, apakah bisa Notaris yang bersangkutan mengundurkan diri dari
wilayah jabatan yang lama agar sama dengan PPAT ? Jawabannya bisa, tapi
permasalahannya jika ternyata, pada wilayah jabatan tersebut
(kota/kabupatennya) tidak ada formasi, sudah tentu tidak dapat diangkat juga,
begitu juga sebaliknya, jika wilayah jabatan PPAT yang pindah untuk disesuaikan
dengan wilayah jabatan Notaris, permasalahannya, apakah ada formasi pada daerah
yang bersangkutan ? Jika tidak ada formasi, akhirnya tidak dapat diangkat juga.
Pada aturan hukum yang lain
disebutkan, bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c,
ditegaskan bahwa PPAT berhenti dari Jabatan sebagai PPAT karena melaksanakan
tugas sebagai Notaris pada daerah kota/kabupaten yang lain daripada daerah
kerjanya sebagai PPAT. Dengan demikian mereka yang lulus sebagai PPAT dan juga
telah menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris berbeda tempat kedudukannya
sebagai PPAT, maka PPAT yang bersangkutan secara otomatis berhenti sebagai
PPAT.
Dengan kejadian sebagaimana tersebut
di atas, sehingga pembelaan apapun yang akan dilakukan oleh Notaris di hadapan
Majelis Pengawas atau di hadapan Badan Pertanahan Nasional, tidak ada gunanya
karena sudah jelas kesalahannya dan pengaturannya sudah jelas, hanya dalam hal
ini telah terjadi pemahaman yang tidak utuh oleh rekan-rekan Notaris ketika
akan mengikuti ujian calon PPAT, baik terhadap UUJN maupun Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai wilayah jabatan dan tempat kedudukan, dalam
arti yang penting lulus ujian PPAT.
Ketentuan sebagaimana tersebut,
karena perintah undang-undang (UUJN) maka harus dilaksanakan seutuhnya oleh
Majelis Pengawas, jika Majelis Pengawas tidak mau melakukannya, maka Majelis
Pengawas telah melanggar UUJN. Permasalahan lain akan timbul pada satu sisi
Majelis Pengawas akan menegakkan aturan hukum tersebut, pada sisi yang lain
Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai organisasi Jabatan Notaris punya
kewajiban untuk membela para anggotanya yang mengalami permasalahan seperti
itu.
Jika ternyata pada kenyataannya, ada
rekan-rekan Notaris dan PPAT tetap menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris
dan PPAT meskipun telah jelas dan nyata melanggar ketentuan Pasal 17 huruf g
dan Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN serta Pasal 8 aya (1) huruf c Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
PPAT, adakah akibat hukum terhadap akta dan Notaris/PPAT yang bersangkutan ?
Pelanggaran seperti dapat dikembalikan kepada ketentuan Pasal 1868 dan 1869
KUHPerdata, yaitu dinilai Notaris/PPAT tersebut telah menjalankan tugas
jabatannya di luar wewenang, artinya sudah tidak mempunyai wewenang lagi untuk
membuat akta apapun, sehingga jika ternyata tetap membuat akta, maka akta yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
Kepada para pihak yang merasa dirugikan atas tindakan Notaris/PPAT seperti itu,
maka maka dipersilahkan untuk mengajukan gugatan secara perdata kepada
Notaris/PPAT yang bersangkutan, berupa ganti rugi secara materi dan immaterial.
Jika Notaris/PPAT yang bersangkutan tidak mampu membayar ganti rugi tersebut,
maka Notaris yang bersangkutan akan dinyatakan Pailit, dan kepailitan tersebut
pada akhirnya Notaris yang bersangkutan akan diberhentikan secara tidak hormat
dari Jabatannya sebagai Notaris (Pasal 12 huruf a UUJN).
Oleh karena itu diharapkan kepada
rekan-rekan yang mengalami permasalahan sebagaimana tersebut di atas,
disarankan dengan tegas jangan (dulu) membuat akta Notaris atau PPAT dalam
permasalahan beda tempat kedudukan dan wilayah jabatan sebagaimana tersebut di
atas, untuk menghindari sanksi dan tuntutan ganti rugi dari pihak tertentu
sebagaimana tersebut di atas, untuk sementara pilih salah satu saja,
menjalankan tugas jabatan Notaris atau PPAT saja.
Sekarang dipersilahkan kepada
Menteri Hukum dan HAM RI, Badan Pertanahan Nasional, INI dan IPPAT serta
Majelis Pengawas untuk duduk satu meja menyelesaikan permasalahan tersebut,
hilangkan dan/atau kubur hidup-hidup ego sektoral masing-masing.
Dalam hal ini perlu diingat UUJN
sebagai suatu Undang-undang tidak dapat dieliminasi dengan bentuk aturan hukum
di bawah undang-undang, sehingga bentuk penyelesaian yang paling elegant adalah
mengganti atau merubah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT untuk mengikuti atau diharmonisasikan
dengan pengaturan tempat kedudukan dan wilayah jabatan sebagai tersebut dalam
UUJN, karena sudah pasti UUJN lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah tersebut.
Jika ternyata ternyata Menteri Hukum
dan HAM RI, Badan Pertanahan Nasional, INI dan IPPAT serta Majelis Pengawas
keras kepala dan tidak mau berunding menyelesaikan permasalahan tersebut, maka
secara normatif pada dasarnya kepada rekan-rekan yang mengalami permasalahan
sebagaimana tersebut di atas, harus memilih Notaris atau PPAT saja.
Itulah dalam Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar