Penerapan Sistem Pembuktian
Terbalik Dalam Menerapkan Tanggung Jawab Pidana Terhadap Korporasi Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup Melalui UU Money Laundering Dan UU
Perseroan Terbatas
A.
Pendahuluan
Dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional, diarahkan bahwa dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional.[1]
Adapun
beberapa hal yang menjadi kekhawatiran dan rencana pembangunan nasional berkenaan
dengan lingkungan hidup antara lain :
1. Kondisi sumber daya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan atas lahan dan sumber daya hutan yang tidak pada tempatnya, meluasnya perambahan dan konversi hutan alam, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Tahun 2004, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi setiap tahun mencapai 1,6-2 juta hektar;
2. Sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan; (5) adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan;
3. Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum diakui. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
4.
Desentralisasi
pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik antar wilayah, antara pusat
dan daerah, serta antar penggunaan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar
Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis
pangan, dan krisis energi.
Penurunan
kualitas lingkungan pada prinsipnya akan terus menerus terjadi secara alamiah,
hukum lingkungan mengatur kegiatan manusia yang mempercepat penurunan kualitas
lingkungan melalui suatu kegiatan usaha yang hanya mungkin apabila kegiatan
usaha tersebut dilaksanakan oleh suatu korporasi yang berbadan hukum dan
kegiatan usahanya diduga dapat mencemari dan merusak lingkungan serta
memberikan dampak besar dan penting kepada lingkungan.
Secara umum untuk menanggulangi masalah pencemaran/perusakan lingkungan hidup harus ada kerjasama yang terpadu antara pihak eksekutif (melalui departemen yang terkait) dengan pihak yudikatif (pihak peradilan) untuk menegakkan UUPLH sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Disamping itu harus ada kerjasama antara dua lembaga tingi negara lainnya, yaitu Presiden dan DPR (dalam hal ini bertujuan untuk mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup Indonesia). Agar suatu undang-undang (UUPLH) dipatuhi oleh masyarakat sebagai individu maupun kelompok masyarakat, perusahaan dan sebagainya, maka dalam UUPLH ini ditetapkan adanya suatu sanksi, yaitu sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta adanya tindakan tata tertib. Keempat sanksi ini harus ditegakkan dan diterapkan oleh lembaga yang terkait baik lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif sesuai dengan kewenangan dari lembaga itu masing-masing.[2]
Dalam sistem hukum lingkungan di Indonesia, penegakan hukum menjadi sangat penting dalam perlindungan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ditujukan untuk penegakan hukum secara hukum administrasi melalui pengadilan tata usaha Negara, pengadilan Umum (Perdata dan Pidana).
Dalam salah satu kasus tindak pidana korporasi, Pengadilan Negeri Manado dalam Putusannya Nomor 284/Pid/B/2005/PN Manado Tanggal 17 November 2006, dengan mendasarkan pada unsur Menimbang menyatakan bahwa PT. NMR Manado (Terdakwa I) dan Richard Bruce Ness (Terdakwa II) tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana.
Putusan Pengadilan
Negeri Manado ini antara lain didasarkan kepada pertimbangan pemerintah selama
ini tidak pernah memberi peringatan/teguran apalagi sanksi kepada PT. NMR
berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Pertimbangan lain adalah bahwa tidak
terbukti kalau perkara dengan Terdakwa I dan II telah memenuhi kriteria bahwa
sanksi bidang hukum lain (administrasi, perdata, mediasi/ADR) tidak efektif dan
tidak ditaati oleh PT. NMR.[3]
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Ketentuan dalam penjelasan tersebut menggambarkan bahwa secara materiil penegakan hukum pidana dapat diterapkan sebagai pilihan utama (premium remedium) bagi setiap korporasi yang melakukan kegiatan usaha dalam pengelolaan lingkungan hidup selain pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
B.
Kerangka Teoretis
1.
Korporasi Sebagai Subyek Hukum Tindak Pidana
Dalam hukum dikatakan, bahwa tiap-tiap yang membawa hak dan kewajiban adalah subyek hukum. Oleh karena itu subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak serta kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Subyek hukum
mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum,
khususnya hukum keperdataan karena subyek hukum ituah nantinya yang dapat
mempunyai wewenang hukum. Dalam literatur hukum, terdapat dua macam subyek
hukum, yaitu manusia dan badan hukum.[4]
Jadi setiap
subyek hukum baik orang maupun badan hukum pada umumnya dapat mempunyai hak dan
kewajiban. Sehingga kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban
tersebutlah yang dinamakan kewenangan hukum.[5]
a. Manusia
Pada prinsipnya manusia mempunyai hak sejak lahir, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.[6] Hanya yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yang tidak memiliki kewenangan dan kecakapan tersebut sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1329 KUHPerdata.
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak ia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup (Pasal 2 KUHPerdata). [7]
Hal ini mempunyai arti penting apabila kepentingan anak itu menghendakinya, misalnya dalam hal menerima warisan, menerima hibah. Asas ini dapat diikuti dalam pembinaan hukum perdata nasional.
b. Badan Hukum (Korporasi)
Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum dalam bahasa Belanda disebut “rechtpersoon”. Rechtpersoon adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.[8]
Sedangkan
menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa badan hukum adalah subjek hukum ciptaan
manusia pribadi berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti
manusia pribadi. Menurut
ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum
berdasarkan eksistensinya, yaitu:[9]
a).
Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah;
b).
Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti perseroan terbatas,
koperasi;
c).
Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang
bersifat ideal, seperti yayasan.
Dengan menyandang hak dan kewajban tersebut tidak
setiap subyek hukum dapat disebut memiliki kecakapan hukum. Artinya tidak
setiap subyek hukum dapat dianggap cakap dalam melaksanakan beberapa hak dan
kewajiban. Hal tersebut biasanya berlaku bagi subyek hukum berupa manusia (persoon).
Sedangkan bagi badan hukum, antara kewenangan
hukum dan kecakapan hukum diperolehnya pada saat memperoleh pengakuan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat badan hukum
tersebut berdiri.
Badan hukum ini tentunya berbuat melalui
perantara, yaitu pengurus, karena badan hukum hanya merupakan suatu pengertian,
yang bertindak selalu orang-orang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1655
KUHPerdata.[10]
Hal tersebut biasanya juga termuat dalam anggaran
dasar atau undang-undangnya maupun dalam anggaran rumah tangga dari badan hukum
tersebut yang mencantumkan atau menunjuk siapa saja yang dapat bertindak hukum
(melakukan perbuatan hukum) untuk badan hukum tersebut.
Perumusan korporasi ini, dapat diartikan secara luas maupun sempit. Perumusan korporasi dalam arti sempit yaitu korporasi sebagai badan hukum a corporation is a legal person artinya korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian seperti dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya sumpah palsu, perkosaan, dan sebagainya.[11] Dalam arti luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Arti sempit, korporasi mempunyai figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja. Artinya bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya. Menurut hukum perdata yang diakui, mendirikan korporasi adalah orang manusia (natural person) dan badan hukum.
Dalam hukum pidana bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV dan persekutuan, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Juga sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi.[12]
Menurut Suprapto
yang menyatakan bahwa korporasi seperti halnya manusia memiliki kesalahan, akan
tetapi kesalahan tersebut adalah kesalahan yang bersifat kolektif.[13]
Kesalahan tersebut dapat berupa pengetahuan dan kehendak bersama dari sebagaian
besar pengurus korporasi atau pengetahuan dan kehendak bersama dari
individu-individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.[14]
Korporasi atau badan hukum dalam hukum perdata merupakan manusia yang
diciptakan oleh hukum yang terdiri atas kumpulan individu. Korporasi dapat
melakukan perbuatan melalui individu-individu tersebut yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi.[15]
Mengenai
kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi,
terdapat model-model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai
berikut:[16]
a.
Pengurus korporasi
sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab,
b.
Korporasi sebagai
pembuat dan pengurus bertanggungjawab,
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dianut di dalam KUHP, dimana KUHP tidak mengenai korporasi sebagai subyek hukum. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 59 KUHP, yaitu sebagai berikut:
“Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
Dengan kalimat Pasal 59 KUHP yang demikian itu, maka sekalipun pengurus korporasi bertindak mewakili korporasi atau bertindak atas nama korporasi, ketika suatu peristiwa yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana itu terjadi karena perbuatan pengurus korporasi tersebut, bukan korporasi yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidananya, tetapi pribadi-pribadi pengurus korporasi itu.[17]
Hal ini menguatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP. Hanya manusialah yang dikenal oleh KUHP sebagai subjek hukum pidana. Apabila pengurus suatu korporasi melakukan perbuatan hukum dalam kapasitasnya mewakili korporasi, sehingga karena itu bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya tidak dibebankan kepada korporasi, tetapi kepada pribadi-pribadi pengurus yang bersangkutan.
Namun seiring terjadi perkembangan dalam masyarakat, ternyata badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang tertentu pidana yang diberikan adalah berupa (reele execute) terhadap harta kekayaannya. Sekalipun dalam Pasal 59 dan 169 KUHP ada ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, tetapi kesan pasal tersebut ternyata tertuju kepada manusianya, yaitu siapa yang ikut dalam perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.
Jadi
sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP saja yang membuat ketentuan
tentang dapat dipidananya badan hukum,[18] yaitu
antara lain, seperti:
a. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15),
b. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
c. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos,
d. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
e. Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
f. Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai,
g. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
h. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
i. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
j. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
k. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
l. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan,
m. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
n.
Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan lain sebagainya.
Pembagian
badan hukum menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal dua macam
badan hukum, yakni:
a.
Badan hukum
orisinil, yaitu negara. Contohnya Negara Republik Indonesia yang berdiri pada
tanggal 17 Agustus 1945,
b.
Badan hukum yang
tidak orisinil, yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan
ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata, yang menyatakan:
“Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui juga perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.”
Menurut
pasal tersebut ada empat jenis badan hukum, sebagai berikut:[19]
a.
Badan hukum yang
diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum, misalnya propinsi, bank-bank yang
didirikan oleh negara,
b.
Badan hukum yang
diakui oleh kekuasaan umum, misalnya perseroan, maupun subak di Bali,
c.
Badan hukum yang
diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan,
d.
Badan hukum yang
didirikan untuk suatu maksud/ tujuan tertentu.
e.
Badan hukum jenis
ketiga dan keempat ini dinamakan pula badan hukum dengan konstruksi
keperdataan.
2.
Doktrin Piercing The Corporate Veil
Perseroan
Terbatas mempunyai ciri utama yaitu Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum
yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab
terbatas (limited liability) bagi
para pemegang saham, anggota Direksi dan Komisaris, yaitu sebesar saham yang
dimasukkanya ke dalam Perseroan tersebut.
Pasal 40
ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan bahwa para pemegang saham
tidak bertanggung jawab untuk lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu.
Kemudian hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UU PT)
bahwa pemegang saham perseroan terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan terbatas dan tidak bertanggung
jawab atas kerugian perseroan terbatas melebihi saham yang dimilikinya. Dalam
penjelasannya dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PT yang
mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar
setoran atau seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan
pribadinya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT ini, seandainya suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta kekayaan perseroan terbatas ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang perseroan terbatas, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan terbatas tersebut. Akan tetapi, hukum perseroan terbatas pada umumnya, termasuk UU PT Indonesia, menentukan pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab tersebut, yang dalam hukum perseroan prinsip ini dinamakan dengan doctrine piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, mulailah hukum
Indonesia mengakui Doktrin piercing the
corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) ini sampai batas-batas
tertentu, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal
yang sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.
Menurut UU
PT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa dalam hal-hal tertentu,
tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas tersebut.
Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran
antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan terbatas,
sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata sebagai alat yang
dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. Dengan dianutnya
prinsip atau asas piercing the corporate
veil (penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan,
pertanggungjawaban hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi
tidak terbatas dalam hal-hal tertentu.
Walaupun
demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham tetap kuat
tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada direksi atau pemegang
saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar bahwa
perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari pemegang
saham”.[20]
Dimana
sebagai konsentrasi di dalam penulisan ini, Penulis menggunakan doctine piercing the corporate veil atau
dikenal juga dengan nama lifting the
corporate veil. Doctrine piercing the
corpoarte veil ini mengajarkan bahwa pada dasarnya pertanggungjawaban
pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam perseroan berbadan hukum adalah
terbatas. Namun pertanggungjawaban tersebut tidak berlaku mutlak. “Hal ini
timbul terutama jika sebuah badan hukum dijadikan sebagai vihicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma hukum”.[21]
Oleh karena
itu, timbul suatu prinsip yaitu piercing
the corproate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung
jawab terbatas pemegang saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal
tertentu dapat menjadi tidak terbatas.
Dalam
Black’s Law Dictionary, doktrin piercing
the corporate veil dijelaskan sebagai berikut:[22]
“Piercing
corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of
corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g. when
incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which
holds that the corporate structure with its attended limited liability of
stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however,
may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the
remedying of injustice.”
(è terjemahan bebas: Menyingkap
tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan
mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan
dari tanggung jawab aktifitas perusahaan: misalnya ketika dalam perusahaan
dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur
perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat
mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur
perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya
dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau
pemberian sanksi hukuman.)
Doktrin piercing the corporate veil tidak
diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan
KUHD), tetapi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas sebagaimana diubah menjadi Undnag-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UU PT). Doktrin ini mengajarkan bahwa
sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanyaterbatas pada
harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab
tersebut dapat ditembus (piercing).[23]
Prinsip piercing the corporate veil ini
hanya dikenal dan berkembang dalam konsep hukum perseroan negara-negara yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System, yang
kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum perseroan Indonesia.[24]
Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab
dari pemegang saham dikenal dengan prinsip piercing the corporate veil.
Prinsip ini dalam Bahasa Indonesia selalu diartikan “menyingkap tabir atau
cadar perseroan.
Tabir atau cadar yang disingkap dimaksud
adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham yang telah
ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT.
Secara harfiah istilah piercing the
corporate veil diartikan “mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.[25] Sedangkan
dalam ilmu hukum perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan:
Suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani
tanggung jawab kepada orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang
dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada
fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku
tersebut.[26]
Dalam hal seperti ini pengadilan akan
mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan
tanggung jawab kepada pihak “organizers” dan “managers” dari
perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari
perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka.
Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan
bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to
pierce the corporate veil).
Biasanya teori piercing the corporate
veil ini muncul dan diterapkan ketika ada kerugian atau tuntutan hukum dari
pihak ketiga terhadap perseroan tersebut.[27]
Doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan untuk menghindari
hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan
sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang
terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari
perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum. Beberapa contoh fakta yang
secara universal teori piercing the corporate veil ini dapat diterapkan
antara lain sebagai berikut: [28]
a.
Permodalan yang
tidak layak (terlalu kecil).
b.
Penggunaan dana
perusahaan secara pribadi.
c.
Ketidakadaan
formalitas eksistensi perseroan.
d.
Terdapatnya
elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.
e.
Terjadi transfer
modal/asset kepada pemegang saham.
f.
Keputusan diambil
tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk
kegiatan yang memerlukan RUPS.
g.
Sangat dominannya
pemegang saham dalam kegiatan perseroan.
h.
Tidak diikutinya
ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi.
i.
Tidak dipenuhinya
formalitas tentang pembukuan dan record keeping. Misalnya terjadi
pencampuradukan antara dana milik perseroan
dengan dana milik pribadi pemegang saham.
j.
Pemilahan badan
hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar karena
kemungkinan gugatan dari pihak korban kebakaran, pengusaha taxi membuat
perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah untuk setiap taxi yang
dimilikinya.
k.
Misrepresentasi.
Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-olah perusahaan memiliki
permodalan yang besar dengan asset yang banyak, mengingat pemegang sahamnya
memang memiliki asset yang besar.
l.
Perusahaan holding
dalam kelompok usaha lebih besar,
kecenderungannya untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan
anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal.
m.
Perseroan tersebut
hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebut sebagai instrumentally,
dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.
n.
Piercing the
corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum
(openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan
hal-hal yang tidak pantas (improper conduct).
o.
Piercing the
corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi
criminal (quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai
sarana untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing
the corporate veil secara hukum dapat dijatuhkan sanksi adalah sebagai
berikut:[29]
a.
terjadinya penipuan;
b.
didapatkan suatu ketidakadilan;
c.
terjadinya suatu
penindasan (oppression);
d.
tidak memenuhi unsur
hukum (illegality);
e. dominasi pemegang saham yang berlebihan;
f.
perusahaan merupakan
alter ego dari pemegang saham mayoritasnya
3.
Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi
a. Doctrine Identification
Doctrine identification merupakan salah satu
doktrin yang digunakan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi. Doktrin ini berasal dari Inggris. Dalam doktrin ini korporasi
dipandang memiliki unsur kesalahan atau mens
rea[30] dan dapat
melakukan perbuatan. Korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana melalui
individu-individu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan korporasi
dan dapat dipandang sebagai korporasi tersebut.[31]
Dalam hal ini kedudukan individu-individu tersebut begitu pentingnya dalam
korporasi yang bersangkutan sehingga pikiran, kehendak dan perbuatannya dapat
diidentifikasikan sebagai kehendak dan perbuatan dari korporasi.
Individu-individu tersebut
ialah mereka yang menduduki posisi strategis dan berada dipuncak dalam struktur
kepengurusan korporasi yang dapat melakukan pengendalian atas kebijakan
korporasi. Mereka bukanlah bertindak untuk dan atas nama korporasi tetapi
bertindak sebagai korporasi.[32]
b. Doctrine Aggregation
Doctrine aggregation lahir atas ketidakpuasan doctrine identification yang dianggap
tidak memadai dalam mengatasi kenyataan proses pengembalian keputusan dalam
korporasi modern yang besar dan memiliki struktur yang komplek. Doctrine aggregation ini merupakan
pengembangan dari doctrine vicarious
liability “This new model reflects
interesting processes of change and expansion that have affected the doctrine
of vicarious liability.”[33]
Berbeda dengan doctrine
identification dimana pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
didasarkan atas kesalahan individu-individu yang merupakan high managerial agent, otak dan pusat syaraf dan pejabat senior
yang disebut sebagai directing mind
atau alter ego, maka dalam doctrine aggregation untuk membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi disyaratkan ada kombinasi kesalahan
dari sejumlah orang baik itu merupakan karyawan biasa maupun mereka yang
bertindak sebagai pengurus korporasi. Menurut doktrin ini semua perbuatan dan
kesalahan dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan
korporasi dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja. Menurut Clarkson
dan Keating dalam doctrine identification
pengatributan kesalahan kepada korporasi hanya didasarkan pada kesalahan satu
orang saja, sedangkan doctrine
aggregation untuk dapat mengatributkan kesalahan kepada korporasi harus
dapat ditentukan terlebih dahulu suatu kesalahan yang merupakan kombinasi dari
kesalahan-kesalahan beberapa orang.[34]
c. Doctrine of Strict Liability
Strict liability sering
diartikan sebagai liability without fault
atau
pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan. Dalam hal ini pembuat tindak pidana sudah dapat dipidana jika sudah
terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tanpa harus
membuktikan unsur kesalahan dari pembuat tindak pidana. Doktrin ini merupakan
pengecualian dari doctrine of mens rea
yaitu actus non facit reum, nisi mens sit
rea atau tiada pidana tanpa kesalahan.[35]
Dalam common law system sesorang
dapat dipidana apabila memenuhi dua syarat yaitu perbuatan lahiriah yang
terlarang atau actus reus dan sikap
batin yang jahat atau mens rea.[36]
d. Doctrine Vicatious Liability
Doctrine vicarious liability diartikan sebagai
the legal responsibility of one person
for the wrongful acts of another atau pertanggungjawaban menurut hukum atas
perbuatan salah yang dilakukan orang lain.[37]
Barda Nawawi Arif menyepadankan vicarious
liability dengan istilah pertanggungjawaban pengganti, sedangkan Sutan Remy
Sjahdeini menyepadankan vicarious
liability dengan istilah pertanggungjawaban vikarius.[38]
Vicarious liability merupakan
ajaran yang berasal dari hukum perdata dalam common law system, yaitu doctrine
of respondeat superior dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau
antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adigum qui facit per alium facit per se yang berarti seorang yang berbuat
melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri.
Dalam hal ini majikan bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh karyawannya sepanjang kesalahan tersebut dilakukan dalam rangka
pekerjaannya.[39]
Majikan dianggap harus
bertanggungjawab atas seluruh tindakan yang dilakukan oleh karyawan dalam
rangka pekerjaannya karena majikan dianggap dapat melakukan tindakan pencegahan
atau preventif agar karyawan tersebut tidak
melakukan kesalahaan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga.
Dalam hukum pidana doctrine vicarious liability merupakan
pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan dan asas umum yang berlaku
dimana seorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan salah
yang dilakukan oleh karyawannya
e. Management Failure Model
Komisi Hukum di Ingggris telah
mengusulkan satu kejahatan pembunuhan tanpa rencana (manslaughter) yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan
manajemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan
kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari
yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefinisikan
dengan mengacu ke kegagalan manajemen
(sebagai lawan dari kegagalan korporasi), sebab secara implisit Komisi Hukum
Inggris melihat orang-orang dalam korporasi yang melakukan kejahatan dan pra
syarat dari kejahatan yang mereka usulkan, yaitu “pembunuhan akibat
kesembronoan/kelalaian” tidak tepat diterapkan kepada korporasi. Berdasarkan
hal itu, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam
rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi.
Dari pandangan tersebut
kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine. Daripada melihat kegagalan dari pihak
individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat
adalah kegagalan manajemen. Namun demikian, Komisi Hukum Inggris kemudian
mendefinisikan kegagalan manajemen sebagai “melakukan kesalahan untuk
memastikan keamanan dalam manajemen dan organisasi dalam kegiatan-kegiatan
korporasi”. Hal ini sangat potensial memecah organisasi perusahaan dan
aktivitas-aktivitasnya sebagai korporasi sendiri daripada secara sederhana
memfokuskannya pada tindakan-tindakan individu-individu di dalam perusahaan.
Tetapi doktrin ini akan
mengangkat kembali problem lama yang sama, yaitu pekerja yang mana dan sistem
yang mana yang dapat dikatakan yang merupakan korporasi ? Secara ringkas,
usulan Komisi Hukum Inggris bisa membantu tetapi tidak cukup memadai.
f. Corporate Mens Rea Doctrine
Gagasan tanggung jawab langsung
korporasi semacam ini (sebagai lawan dari attribution doctrines telah
diadvokasi dengan besar-besaran di Amerika Serikat dengan menggunakan berbagai
nama seperti the "corporate ethos
standard" atau "strategic
mens rea". Gagasan ini juga diperkenalkan di Australia dan diusulkan
di Inggris. Doktrin dikenal dengan istilah "corporate mens rea doctrine". Ide dasar doktrin ini ada karena
seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas kompleksnya organisasi
korporasi dan dinamika proses secara organisasional, struktur, tujuan,
kebudayaan dan hirarki yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk suatu etos
yang mengijinkan atau bahkan mendorong dilakukannya sebuah kejahatan.
Berdasarkan pandangan ini, maka
korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak
melalui staf mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan dalam praktek
dan kebijakan korporasi. Sebagai contoh, untuk pembunuhan tanpa rencana (manslaughter), bila satu korporasi gagal
mengadakan prosedur keamanan yang nyata dan perlu, pra syarat pengabaian yang
berat untuk kejahatan dapat ditemukan dalam praktek korporasi ini dan kelemahan
dari kebijakan keselamatan.
Barangkali mudah untuk memahami
gagasan tentang pengabaian besar yang dilakukan korporasi tidak membutuhkan
unsur mental element. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu
kesembronoan (recklessness) atau
maksud, dapat ditemukan di dalam kebijakan-kebijakan, operasional prosedur dan
lemahnya tindakan pencegahan korporasi.
Bila budaya korporasi
mengijinkan atau mendorong perbuatan salah,
barangkali akan mudah untuk menyimpulkan bahwa korporasi itu sendiri
harus telah menduga kemungkinan terjadinya kesalahan atau telah timbul resiko
yang serius dan nyata dari hasil kesalahan atau konsekuensi yang sangat pasti
terjadi dari maksud yang mungkin sudah diduga.
Poin penting dari pendekatan
ini adalah bukan tentang apakah individu di dalam perusahaan telah dapat
memperkirakan kerugian yang akan terjadi, tetapi apakah dalam struktur
korporasi yang benar dan terorganisasi dengan baik resiko-resiko telah nyata.
C.
Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Menerapkan
Tanggung Jawab Pidana Terhadap Korporasi
Topik kejahatan korporasi memang penting untuk didiskusikan, terutama kaitannya dengan pembaharuan KUHP kita yang sekarang naskah terakhirnya sudah sampai di Prolegnas 2012. Kita tidak bisa memungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat penting. Peran mereka mendominasi kehidupan sehari-hari, apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang menyediakan kebutuhan, tapi korporasi. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun revolusi struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehinga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Karena itu korporasi harus memiliki tanggung jawab. Ini seperti setiap individu tidak dapat melukai setiap individu lainnya. Dalam hal ini perlu ada pertanggungjawaban pidana secara tegas, agar korporasi tidak mencemari sungai, pantai atau membahayakan jiwa pekerja atau publik atau lainnya. Juga agar korporasi tidak menjadi tempat tumbuh suburnya tempat korupsi. Berbagai usaha untuk menuntut tanggung jawab korporasi terus dilakukan, namun penuh hambatan, di antara mereka tidak tersentuh oleh hukum. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggungjawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan.[40]
Agar dapat berlaku efektif, maka hukum dalam kegiatannya ditegakkan dengan dukungan sanksi baik sanksi administrasi, sanksi perdata maupun sanksi pidana.[41] Sehingga untuk menjamin dukungan sanksi tersebut, maka haruslah dijalin hubungan harmonisasi dan sinkronisasi pada semua lalu lintas kehidupan bersama, dengan menjadikan satu panduan sebagai pedoman berkaitan mengenai bagaimana seharusnya bertindak dan diharapkan bertindak.
Suatu korporasi yang memfokuskan diri kepada peningkatan perekonomian dengan mengeksplorasi sumber daya alam dan/atau memanfaatkan alam sebagai ‘bejana’ dalam aktifitasnya, memunculkan permasalahan lingkungan hidup yang patut menjadi perhatian yang cukup ketat.
Hampir sebahagian besar, Korporasi
multinasional (MNCs) pada akhirnya merampok kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di
wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa
dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya
kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata
terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah,
menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di
telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.
Dari hasil eksploitasi dan eksplorasi
yang tanpa arah yang jelas tersebut, korporasi mengatasnamakan HAM, korporasi mendapatkan
banyak sekali keuntungan finansial. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun
2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara
dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan
ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari
120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790,
sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang
diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau
Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka
dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.[42]
Keuntungan yang diperoleh
korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk
Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut
menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum
sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya
mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya
50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163
juta US$), dan lain-lain.
Berkuasanya korporasi di
beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan
berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof
Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri
perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang
sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan
menjadi sangat kaya raya.
Oleh korporasi
multinasional tersebut, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari
lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah
usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan
suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.
Termasuk dampak yang
ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa bahwa
hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan tersebut
tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan
lingkungan.
Laporan 6 Nopember 2009 dari
Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau
Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau
Sumatera dalam lima tahun terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau
Sumatera dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan
Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau.
Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi dan hampir
separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.
Pulau Sumatera menjadi tempat
nyaman bagi industri boros lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah
mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di
kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai pulau Sumatera,
deforestasi hutan-hutan dataran tinggi hingga perusakan kawasan rawa
gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap
tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir
besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan
untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan PT RAPP, IKPP dan
anak anak perusahaannya . Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di
Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena
asap kebakaran mencapai 10.094 orang.
Diperolehnya keuntungan yang besar dari perusakan lingkungan hidup, baik SDA maupun masyarakatnya, Penulis berpendapat, bahwa pada prinsipnya merupakan kerugian bagi Negara. Bahwa komponen pembentukan suatu Negara adalah diantaranya batasan wilayah tertentu, dalam artian pulau-pulau, dan rakyat, dalam artian masyarakat. Sehingga kerusakan yang timbul baik yang dialami oleh daerah-daerah tertentu dan sekelompok masyarakat, hendaknya dapatlah dianggap sebagai kerugian terhadap keuangan negara. Hal ini dilandaskan pula dengan akan semakin meningkatnya pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk melakukan recovery kepada daerah-daerah yang telah tereksploitasi dan tereksplorasi.
Penjeratan korporasi sebagai subyek hukum pelaku tindak pidana selalu mengalami tarik ulur kepentingan. Penerapan ultimum remedium dianggap sebagai suatu senjata ampuh untuk menghindarkan diri dari jeratan pidana, dengan memunculkan isu corporate social responsibility (CSR) kepada korporasi yang memanfaatkan alam untuk mencari keuntungan.
Isu tanggung jawab sosial (social corporate responsibility) adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Disini terdapat tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan dan masyarakat disekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji standar moral seseorang atau standar moral masyarakat.[43]
Aktivitas ekonomi dan perkembangan kelembagaan yang mewadahinya telah berjalan secara asimetris. Aktivitas ekonomi yang terkonstruksi melalui aktivitas individu bersifat sangat dinamis. Karakter ini dapat ditengarai melalui sifatnya yang mengglobal, bersifat cair dan akomodatif terhadap setiap perkembangan baru, hampir pada semua aspek kehidupan masyarakat, jauh lebih inovatif, dan tidak (kurang) birokratis. Dinamika yang tinggi dari aktivitas ekonomi ini di dorong dan dipengaruhi oleh “persaingan” yang merupakan condition sine qua non[44] dari sistem ekonomi pasar.
Sehingga jika dikait dengan
mekanisme penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang semakin
kompleks, Penulsi sangat sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Deputi IV unit
kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Mas Achmat
Santosa yang menegaskan bahwa penanganan kejahatan lingkungan dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, yaitu multi-door approach dan kerja sama dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Multi-door approach menurutnya berupa
pendekatan penegakan hukum pidana yang mengandalkan berbagai rezim hukum. Pendekatan
pertama pakai multi-door approach, dengan menggunakan UU money laundering,
dengan menggunakan UU Pajak, dengan menggunakan UU Antikorupsi, dengan
menggunakan UU Tata Ruang, dan Undang-undnag lainnya. Penyidik polisi memang
tak bisa kerja sendiri, harus kerja sama dengan kejaksaan, PPATK dan lainnya,
membutuhkan sinergi.[45]
Penerapan multi door approach tersebut, yang pada akhirnya merupakan pintu masuk untuk dapat digunakan pembalikan beban pembuktian melalui sistem pembuktian terbalik sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mengapa tidak menggunakan UU Antikorupsi? Yang pula memiliki Sistem Pembuktian Terbalik?
Perbedaan yang sangat mencolok di dalam diantara kedua Undang-undang tersebut adalah bahwa di dalam UU Antikorupsi mengadopsi “pembuktian terbalik yang seimbang dan terbatas”, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanyadan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.[46]
Berbeda dengan pembuktian di dalam UU TPPU, Pasal 77 UU TPPU menegaskan sebagai berikut:
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Dikaitkan dengan Pasal 69 UU TPPU, yang menegaskan sebagai berikut:
“Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Yang dimaksud dengan tindak pidana asal, sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf x UU TPPU yang menegaskan sebagai berikut:
“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: di bidang lingkungan hidup.”
Penerapan UU TPPU justru akan memberikan ruang gerak yang cukup bagi penegak hukum untuk menjerat perilaku korporasi dalam melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Dalam hal ini, pihak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu terhadap kekayaan korporasi yang diduga diperoleh dari kejahatan lingkungan hidup.
Namun demikian, penerapan UU TPPU terhadap korporasi pun wajib memperhatikan asas-asas umum perseroan terbatas, berkaitan dengan tanggung jawab terbatas yang dimiliki oleh para persero nya. Sehingga pihak penyidik, penuntut dan hakim, wajib menguasai prinsip piercing the corporate veil sebagai satu-satunya doktrin yang memperbolehkan penegak hukum untuk membuka semua kerahasiaan yang dapat memunculkan tanggung jawab renteng kepada persero dan direksi nya.
Penerapan masalah ini dalam UUPT sangat sulit untuk diungkap, satu lain hal, di Indonesia menganut hukum kontinental, di mana dalam penegakannya lebih condong pada positivisme hukum. Sedangkan doktrin piercing the corporate veil bersumber pada anglo saxon.
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Sebagaimana diketahui juga bahwa penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya.
Bahkan menurut Munir Fuady “Penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris”.[47]
Pembebanan tanggung jawab, selain dibebankan kepada korporasinya sebagai badan hukum, maka pelanggaran prinsip fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Pasal 97 ayat (2) tersebut yang menyatakan:
“Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”.
Apabila Direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty tersebut, yaitu tidak dengan itikad baik dan bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya, maka pihak Direksi bertanggungjawab secara pribadi.[48]
Namun dalam hal ini UU
Perseroan Terbatas pun memberikan peluang untuk dilakukannya pembuktian
terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang bersangkutan. Sebab, menurut
Pasal 97 ayat (5) UUPT, para anggota direksi atau komisaris dibebaskan dari
tanggung jawabnya tersebut apabila dapat membuktikan :
(1).
Keadaan yang bersangkutan bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
(2).
Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
(3).
Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan
(4).
Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Dengan demikian bisa saja ada
anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang harus bertanggungjawab secara hukum,
tetapi Dewan Komisaris atau ada juga anggota Direksi yang lain yang dapat
membuktikan tidak bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.
Sehingga patut dicermati Pasal 9 UU TPPU yang menegaskan sebagai berikut:
“Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.”
Sehingga untuk menajatuhkan
vonnis berdasarkan pasal tersebut, maka Hakim, wajib terlebih dahulu memperoleh
keyakinan dari proses pembuktian terhadap korporasi yang diduga melakukan
tindak pidana lingkungan hidup, telah terjadi pelanggaran fiduciary duty doctrine dalam sistem management di korporasi
tersebut.
D.
Penutup
Bahwa penanganan tindak pidana lingkungan hidup tidak lagi dapat bergantung kepada single theory, namun perlu dibuatkan kajian yang lebih komprehensif dalam berbagai teori pidana, sehingga proses penegakan hukum tidak mengalami stagnasi, hanya dikarenakan adanya pengkotak-kotakan atau pengelompokan hukum pidana, yang sifatnya sangat penting terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Namun demikian, peningkatan keilmuan SDM dari institusi penegak hukum juga sangat penting, sehingga kemajuan teori ilmu hukum pidana mampu diserap dengan baik oleh penegak hukum agar tidak terjebak kepada pemikiran-pemikiran klasik dan akhirnya menimbulkan perilaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah hukum.
[1] Undang-Undang Republik
[2]
Indriati Amarini, Pertenggungjawaban
Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH),
Sumber: http://jurnal.ump.ac.id/index.php/HUKUM/article/download/287/272, hlm. 5
[3] Hurizal Chan, Catatan Hukum Terhadap Keputusan
Pengadilan Negeri Manado Atas Perkara Pidana PT. Newmount Minahasa Raya (PT.
NMR) DAN MR. Richard Bruce Ness/Perkara Teluk Buyat, Procedding Bedah Kasus
Sengketa Lingkungan Putusan Pengadilan Negeri Manado No.
284/Pid.B/2005/PN.MDO.(PT NMR), Pusat Pengkajian Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan Kementerian Negera
Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Bandung 2008.
[4] Salim
HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 23
[5]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum.
Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 67.
[6] Ibid., hlm. 24; lihat juga Elsi Kartika
Sari & Advendi Simangunsong, Hukum
Dalam Ekonomi, (Jakarta: Gramedia Widiarsarana Indonesia, 2005), hlm. 8.
[7]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 28.; lihat juga R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermasa, 2003), hlm. 20.
[8]
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan
Terbatas, Yayasan & Wakaf, (Bandung: Eresco, 1993), hlm. 10.; Penj:
bahwa banyak para sarjana menyarankan menggunakan istilah lain seperti pusura
hukum, pribadi hukum, dan lain sebagainya. Namun, istilah badan hukum sudah
umum dipergunakan.
[9]
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm.
29.
[10]
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung:
Alumni,1999), hlm. 185.
[11] Sutan
Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 43
[12] Ibid., hlm. 44-45
[13] Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 65-66.
[14] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum
Pidana Material Bagian Umum [Ons Strafrecht 1 Het materiele strafrecht algemeen
deel], diterjemahkan oleh Hasan, (Bandung: Binacipta, 1984), hlm. 237.
[15] Roland Hefendehl, “Corporate Criminal Responsibility: Model Penal Code Section 2.07 and
the Development in Western Legal System,” Buffalo Criminal Law Review Volume 4 (
[16]
Muladi dan Dwidja, Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung,
1991), hlm. 67.; lihat pula dalam Mardjono
Reksodiputro (I), “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi,” dalam Kemajuan
Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan Kumpulan Karangan Buku Kesatu (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), hlm. 67.
[17]
Mardjono Reksodiputro (II), Pengabdian
Seorang Guru Besar Hukum Pidana, (Depok: Bidang Study Hukum Pidana Sentra
UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, 2007), hlm. 569.
[18]
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum
Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 95.
[19]
Setiyono, Kejahatan Korporasi
Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003), hlm. 4.
[20] Chatamarrasjid Ais, Penerobosan
Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004), hlm. 1
[21] Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan
Perseroan) Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin
Hukum dan UU PT, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 30.
[22] Henry Campbell Black, Black’s Law
Dictionary, Sixth Edition, (St Paul: Minn West Publising Co, 1990), hlm.
1033.
[23]
Munir Fuady I, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 61
[24] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan
Perseroan Terbatas, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 152
[25]
Munir Fuady II, Doktrin-doktrin Modern
Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 8
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid.,
hlm. 9-10
[29] Ibid.,
hlm. 10
[30] Men rea merupakan unsur kesalahan yang sering diterjemahkan
sebagai sikap batin yang jahat. Namun men rea lebih luas dari pada itu
karena men rea tetap ada pada sikap sesorang yang dengan kesadaran jiwa
yang bersih serta menyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan moral dan hukum
yang berlaku. Seperti hal nya dengan unsur kesalahan dalam civil law system yang
terdiri dari kesengajaan dan kelalaian dengan berbagai degradasinya, maka dalam
men rea terdiri atas intention, recklessness dan negligence.
[31] Chidir Ali, Op.cit., hlm. 50
[32] Michael J. Allen, Criminal
Law, (
[33] Sutan Remy Sjahdeini, Op.
cit., hlm. 110.
[34] C.M.V.Clarkson, “Corporate
Culpability,”
<http://webjcli.ncl.ac.uk/1998/issue2/clarkson2.html#Heading9,> diunduh
tanggal 15 Juli 2013.
[35] A.P Simester dan W.J Brookebanks, Principles of
Criminal Law (Welington: Brookess A Thomson Company, 2000), hlm. 225
[36] Barda Nawawi Arif, Perbandingan
Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 26-28
[37] Ibid, hlm. 33
[38] Ibid.; Lihat juga: Sutan Remy Sjahdeini, Op.
cit., hlm. 84.
[39] Ibid
[40] Abdul Hakim Garuda
Nusantara, Kejahatan Korporasi Dalam RUU
KUHP, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1.
[41] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1986), hlm. 111.
[43]
Manuel G. Velasquez, Business Ethics
Consepts And Cares, (London : Prentice Hall International, 2002), hlm. 8-13
[44]
Teori Condition Sine Qua non adalah Aliran
yang mengatakan bahwa tak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi
sebab-musabab dari suatu akibat, yang mungkin hanyalah menentukan secara
negatif, yaitu apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab
dari akibat itu. Teori
ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari
Jerman.
[46]
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan
Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Bandung:
Mandar Maju, 2001), hlm. 108.
[47] Munir Fuady, II, Op cit, hlm.
17.
[48]
Indonesia, Op.cit., Pasal 97 ayat (3)