Kamis, 16 Maret 2023

 

 

Mana yang benar: suami/isteri bertindak atas harta bersama dilalukan dengan persetujuan isteri/suami atau dilakukan dengan kuasa dari isteri/suami atau dengan persetujuan dan kuasa dari isteri/suami?

 

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPerkawinan, maka suami atau isteri untuk harta bersama dapat bertindak atas persetujuan ke-dua belah pihak. Menurut doktrin harta bersama (gonogini) adalah milik suami istri masing-masing untuk ½ bagian tak terbagi sehingga adakalanya di dalam praktik orang menganggap adalah layak apa bila tindakan hukum yang dilakukan atas harta bersama tersebut harus dilakukan oleh suami dan isteri bersama-sama, bukan persetujuan. Akan tetapi, hak atas ½ bagian tak terbagi tersebut baru dapat dituntutkan oleh masing-masing suami isteri agar dibagikan ke pada mereka dalam hal perkawinan suami isteri putus (Pasat 38 UU Perkawinan).

 

Pemilikan bersama terjadi pula apabila dua orang membeli bersama-sama sebuah benda, dikenal sebagai pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom). Apabila para pesero suatu persekutuan perdata (maatschap) memitiki harta kekayaan persekutuan atau para ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris dan harta bersama suami isteri dikatakan adanya pemilikan bersama yang terikat gebonden mede-eigendom).[1] Menurut Pitlo, adaLah keliru apabila kita mensejajarkan saat meninggalnya pewanis dengan terjadinya perkawinan atau berdirinya persekutuan perdata. Haruslah disadari bahwa keadaan pemilikan bersama dan keterikatan para ahli wanis di dalam harta peninggatan adalah sama keterikatannya dengan harta benda perkawinan (gono-gini) dengan putusnya perkawinan atau sejak persekutuan perdata atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum dibubarkan. [2]

 

Jadi, kalau kita hendak membandingkan keadaan pemilikan bersama yang terikat, harustah dilihat pada:

• Meninggalnya pewaris, putusnya perkawinan, bubarnya persekutuan perdata (maatschap), atau bubarnya perkumputan yang tidak berbadan hukum.

 

Kembati menjawab mana yang benar, maka harus dipilah-pilah keadaan yang dihadapi:

 

• Selama perkawinan masih ada, maka sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPerkawinan, tindakan hukum atas harta bersama yang tertulis atas suami cukup dengan persetujuan isteri dan apabila tertulis atas nama isteri, cukup dilakukan dengan persetujuan suami.

 

• Apabila perkawinan putus karena perceraian dan belum dilakukan pemisahan dan pembagian harta benda perkawinan, timbulah pemilikan bersama yang terikat sehingga tindakan hukum atas benda yang berasal dari gonogini, baik benda tersebut tertulis atas nama suami maupun isteri harus dilakukan oleh suami dan isteni sendiri, masing-masing bertindak (sendiri) atas ½ bagian tak terbagi atas harta benda perkawinannya tersebut, bukan dengan persetujuan suami/isteri

 

• Apabila perkawinan putus karena meninggalnya, misalnya suami, harta gono-gini dibagi menjadi 2 bagian, yakni isteri (janda) ber-hak atas ½ bagian tak terbagi sebagai haknya atas harta benda perkawinannya dengan suami, sedangkan ½ bagiannya lagi adalah harta peninggalan suami yang merupakan hak para ahli waris, yakni istri bersama anak-anak dari isteri dengan pewaris.

 

Dengan demikian, isteri (janda) mempunyai dua kedudukan yakni:

a.       Untuk diri sendiri berhak ½ bagian haknya (sendiri) atas harta benda perkawinannya dengan almarhum suami.

b.      Sebagai ahli waris bersama dengan anak-anaknya.

 

Harap diperhatikan bahwa teori mengenai pemilikan bersama tidak hanya berlaku terhadap objek berupa tanah hak, tetapi berlaku pula untuk harta benda lainnya selain tanah hak.



[1]    Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan Ke-4, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016, hal. 335—350.

 

[2]     A. PitLo, Korte Uitleg van enige Burgerlijke Hoofdstukken, PT Penerbit dan Pertjetakan “Saksama”, Djakarta, 1964, hal. 75—76.

 Sumber : Herlien Budiono, Demikianlah Akta Ini Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris di dalam Praktik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar