Mana yang benar:
suami/isteri bertindak atas harta bersama dilalukan dengan persetujuan
isteri/suami atau dilakukan dengan kuasa dari isteri/suami atau dengan
persetujuan dan kuasa dari isteri/suami?
Mendasarkan pada ketentuan Pasal 36 ayat (1)
UUPerkawinan, maka suami atau isteri untuk harta bersama dapat bertindak atas
persetujuan ke-dua belah pihak. Menurut doktrin harta bersama (gonogini) adalah
milik suami istri masing-masing untuk ½ bagian tak terbagi sehingga adakalanya
di dalam praktik orang menganggap adalah layak apa bila tindakan hukum yang dilakukan
atas harta bersama tersebut harus dilakukan oleh suami dan isteri bersama-sama,
bukan persetujuan. Akan tetapi, hak atas ½ bagian tak terbagi tersebut baru
dapat dituntutkan oleh masing-masing suami isteri agar dibagikan ke pada mereka
dalam hal perkawinan suami isteri putus (Pasat 38 UU Perkawinan).
Pemilikan bersama terjadi pula apabila dua
orang membeli bersama-sama sebuah benda, dikenal sebagai pemilikan bersama yang
bebas (vrije mede-eigendom). Apabila para pesero suatu persekutuan perdata
(maatschap) memitiki harta kekayaan persekutuan atau para ahli waris
terhadap harta peninggalan pewaris dan harta bersama suami isteri dikatakan
adanya pemilikan bersama yang terikat gebonden mede-eigendom).[1]
Menurut Pitlo, adaLah keliru apabila kita mensejajarkan saat meninggalnya
pewanis dengan terjadinya perkawinan atau berdirinya persekutuan perdata. Haruslah
disadari bahwa keadaan pemilikan bersama dan keterikatan para ahli wanis di dalam
harta peninggatan adalah sama keterikatannya dengan harta benda perkawinan
(gono-gini) dengan putusnya perkawinan atau sejak persekutuan perdata atau perkumpulan
yang tidak berbadan hukum dibubarkan. [2]
Jadi, kalau kita hendak membandingkan
keadaan pemilikan bersama yang terikat, harustah dilihat pada:
• Meninggalnya pewaris, putusnya perkawinan,
bubarnya persekutuan perdata (maatschap), atau bubarnya perkumputan yang
tidak berbadan hukum.
Kembati menjawab mana yang benar, maka harus
dipilah-pilah keadaan yang dihadapi:
• Selama perkawinan masih ada, maka sesuai
dengan bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPerkawinan, tindakan hukum atas
harta bersama yang tertulis atas suami cukup dengan persetujuan isteri dan
apabila tertulis atas nama isteri, cukup dilakukan dengan persetujuan suami.
• Apabila perkawinan putus karena perceraian
dan belum dilakukan pemisahan dan pembagian harta benda perkawinan, timbulah
pemilikan bersama yang terikat sehingga tindakan hukum atas benda yang berasal
dari gonogini, baik benda tersebut tertulis atas nama suami maupun isteri harus
dilakukan oleh suami dan isteni sendiri, masing-masing bertindak (sendiri) atas
½ bagian tak terbagi atas harta benda perkawinannya tersebut, bukan dengan
persetujuan suami/isteri
• Apabila perkawinan putus karena meninggalnya,
misalnya suami, harta gono-gini dibagi menjadi 2 bagian, yakni isteri (janda)
ber-hak atas ½ bagian tak terbagi sebagai haknya atas harta benda perkawinannya
dengan suami, sedangkan ½ bagiannya lagi adalah harta peninggalan suami yang
merupakan hak para ahli waris, yakni istri bersama anak-anak dari isteri dengan
pewaris.
Dengan demikian, isteri (janda) mempunyai
dua kedudukan yakni:
a. Untuk diri sendiri berhak ½
bagian haknya (sendiri) atas harta benda perkawinannya dengan almarhum suami.
b. Sebagai ahli waris bersama
dengan anak-anaknya.
Harap diperhatikan bahwa teori mengenai pemilikan
bersama tidak hanya berlaku terhadap objek berupa tanah hak, tetapi berlaku pula
untuk harta benda lainnya selain tanah hak.
[1] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Cetakan Ke-4, PT Citra Aditya Bakti,
[2] A. PitLo, Korte Uitleg van enige Burgerlijke
Hoofdstukken, PT Penerbit dan Pertjetakan “Saksama”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar