KULIAH KE-3
BAB III
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
FILSAFAT (TEORI) HUKUM
3.1 Pengertian
Istilah "jurisprudence" berasal dari kata Latin juris yang artinya hukum, dan prudence yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, jurisprudens dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum.
Seperti diketahui, kata hukum itu sendiri memiliki berbagai konotasi. Dalam hubungan dengan filsafat (teori) hukum, kata hukum dikaitkan dengan pengertian abstrak Jadi bukan dalam pengertian yang bersifat kongkret seperti misalnya dalam bentuk perundang-undangan. (A.K. Sarkar, 1979:1)"
Mengenai persoalan perumusan atau definisi,-- tidak terdapat kata sepakat. Mereka yang menolak memberikan perumusan, seperti yang dikatakan oleh Charles Conway (1971:1), alasannya karena selain istilah jurispruden itu tidak dapat mencakup keseluruhan materinya, juga karena:
1) Hingga saat ini belum didapat kata atau istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan kata jurisprudence. Masalahnya karena dalam istilah ini tercakup materi baik filsafat hukum maupun teori hukum. Barangkali istilah "filsafat. (teori) hukum", sebagaimana yang digunakan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dapat digunakan sebagai pegangan (lihat Pedoman Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tahun 1958), selain "ilmu hukum" dari Satjipto Rahardjo (1985).
Sebelum adanya terjemahan yang baku, saya sementara menerjemahkan dengan filsafat (teori) hukum seperti tersebut di atas. Mengenai pengertian jurisprudence ini lihat juga Dias, Jurisprudence, 1979:1; Charles Conway, 1971:1.3; Lord Lloyd of Hampstead, introduction to Jurisprudence, 1972:1-3.
"Jurisprudence has no universally agread usage; its meaning depends on (a) the subjek-matter of the inquiry; (b) the technique or method of inquiry. It is better there fore too look at the way the word is used than to attempt to give a verbal definition."
Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, banyak penulis di bidang ini tidak mengemukakan suatu perumusan terlebih dahulu. Mereka menerangkan pengertian filsafat (teori) hukum dengan uraian yang cukup panjang, dan menyerahkan kepada pembacanya untuk masing-masing membuat perumusannya sendiri.
Namun, beberapa penulis mencoba mengemukakan definisi, misalnya Salmond dan Gray. Salmond merumuskan filsafat (teori) hukum itu sebagai berikut:
"Jurisprudence is the name given to a certain type of investigation of an abstract general and theoretical nature wick seeks to lay bare the essential principles of law and legal systems by reflecting on (a) the nature of legal rules; (b) the underlying meaning of legal concepts and essential features of a legal system."
Yang lebih sederhana ialah perumusan filsafat (teori) hukum yang diketengahkan oleh Gray yang mengatakan bahwa:
"Jurisprudence is a science of law, the Statement and systematic arrangement of rules followed by the courts and the principles involved in these rules."
Pendapat Gray dinilai lebih modern karena dari perumusannya dapat ditangkap bahwa telah terjadi suatu perubahan pendekatan terhadap apa yang dimaksudkan dengan filsafat (teori) hukum itu. Perubahan ini, di samping disebabkan oleh perkembangan di bidang ilmu-ilmu social, juga disebabkan oleh adanya penekanan penyelidikan kepada masalah pola tingkah laku hukum yang bersifat faktual. Seperti diketahui, pengaruh adanya pendekatan baru ini melahirkan di bidang teori hukum adanya:
a. sociological jurisprudence, yaitu teori hukum yang menekankan studi tentang bekerjanya hukum secara aktual dalam suatu masyarakat tertentu.
b. comparative jurisprudence_ yaitu pengetahuan tentang perbandingan sistem-sistem hukum. (Charles Conway, 1971:2-3).
Perubahan pendekatan tersebut di atas sangat mempengaruhi penulis-penulis filsafat (teori) hukum setelah itu. Dias (1976), misalnya, secara empiric dengan mengkaji sistem hukum Inggris, mencoba mencari jawab atas beberapa pertanyaan seperti:
a. Faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya hukum?
b. Faktor-faktor apakah yang mendasari hukum itu sehingga secara terus-menerus dapat berlaku?
c. Bagaimana cara kerjanya?
d. Dapatkah hukum itu dikembangkan?
Sedangkan Stone (1962) melukiskan filsafat (teori) hukum itu sebagai pemikiran para ahli hukum, penafsiran para ahli hukum tentang ajaran-ajaran, teori-teori dan teknik hukum yang bersumber dari pengetahuan disiplin-disiplin ilmu ,masa kini yang buku hukum. Lord Lloyd of Hampstead (1972:14-15) menggambarkan perkembangan yang dicapai saat ini, yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut aliran sociological dan realist jurisprudence, dapat dikatakan sebagai "totally professionalised and i nterdicipli nary. Pendekatan yang diterapkan sudah sedemikian jauh sehingga Raab menghendaki suatu pendekatan sibernetika (cybernetics) digunakan dalam sociological jurisprudence, sedangkan Schwarz menyarankan field-experimentation in socio-legal research. Metode dan teknik tersebut sesungguhnya tidak dikenal oleh para pengikut mazhab sociological jurisprudence yang klasik.
Dalam masa yang bersamaan, para ahli hukum yang tergolong realist jurisprudence cenderung mendasarkan ajaran- ajaran nya atas judicial behaviouralism dan jurimetrics. Menurut Lord Lloyd of Hampstead (1972:15):,
"The jurist has sold his soul to the statistician, the boolean algebrist, the computer scientist. Jurisprudence is dead, according to Lee Loevinger, the prophet of this science. The next step forward in the long path of man's progress must be from jurisprudence (which is mere speculation about law) to jurimetrics - with is the scientific investigation of legal problems.
A glance at jurimetrics journal (formerly modern uses of logic in law) will horrify the average lawyer but the jurimetricians claim some real coups in predictive analysis of court decisions. An opinion on the movement must be reserved until American Realism is considered."
Demikianlah terdapat kecenderungan perkembangan dalam filsafat (teori) hukum dengan memanfaatkan kemajuan di bidang disiplin limn lain, terutama teknologi, dibarengi oleh penggunaan metodologi yang modern. Namun, Friedmann (1970) mencanangkan kekhawatirannya atas penggunaan secara berkelebihan kemajuan di bidang disiplin ilmu lain itu dengan mengatakan kemungkinan timbulnya bahaya. Yang dimaksudkannya ialah pada suatu saat nanti, akibat ilmu lain itu akan menghilangkan identitas hukum itu sendiri yang sejak berabad-abad lamanya merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat normatif dan mandiri.
3.2 Ruang Lingkup Penyelidikan Filsafat (teori) Hukum
Apa yang menjadi ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum, hingga saat ini juga masih dipersoalkan para ahlinya. Bahwa belum terdapat kata sepakat, untuk mudahnya dapat dilihat materi yang dibahas pada literatur-literatur yang menggunakan kata jurispruden sebagai judulnya."
Sebagai bukti dikutip di bawah ini daftar isi dari tiga bush literatur di bidang jurisprudence yang ter kenal sebagai berikut:
Lord Lloyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, membahas (secara garis besarnya):
(1) Nature of jurisprudence;
(2) Meaning of law;
(3) Natural law;
(4) Positivism, analytical jurisprudence and the concept of law;
(5) Pure theory of law;
(6) Sociological school;
(7) American realism;
(8) The Scandanavian realist;
(9) Historical and anthropological jurisprudence;
(10) Marxist theory of law and socialist legality;
(11) Juricial process.
Dias, Jurisprudence, membahas tentang:
(1) Introduction;
(2) Advantages and disadvantages;
(3) Distributive justice;
(4) The problem of power;
(5) Control of liberty;
(6) Justice in deciding disputes; percedent;
(7) Statutory interpretation;
(8) Custom;
(9) Values;
(10) Duties;
(11) Persons;
(12) Possession;
(13) Ownership;
(14) Justice in adapting to change.
Mulai ad 2 s/d 14 digolongkan dalam Part I: Aspects of Justice, sedangkan Part 11, yaitu Legal Theory, meliputi: (15) Positivism, British theories; (16) The pure theory; (17) Historical and anthropological approaches; (18) Economic approach; (19) Sociological approaches; (20) Modern realism; (21) Natural law.
G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence:
Book I: Introduction: (I) The nature of jurisprudence; (2) The evolution of law; (3) The definition of law.
BookII: The Purpose of Law: (4) Natural law; (5) Law as the protection of interests.
Book.III: Sources of Law: (6) The sources of law, (7) Custom, (8) The judicial method; (9) Statutes and. codes; (10) Juristic writing and professional opinion.
Book IV: The Technique of the Law: (11) Classification; (12)
Rights and duties; (13) Titles, acts, events.
Book V: Public Law: (14) Law and the state; (15) Criminal law.
Book V1: Private Law: (16) The concept of legal personality; (17) Rights created by a juristic act; (18) Rights directly created by law; (19) Remedial rights; (20) Extension of rights; (21) The concept of property,- (22) The concept of possession, (23) Law of procedure.
Dari perumusan Salmond ataupun Gray yang dikutip terdahulu sesungguhnya tersirat apa yang menjadi ruang lingkup filsafat (teori) hukum itu. Yang diselidiki filsafat (teori) hukum sebelum banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu-ilmu lain, menurut Salmond ialah: "...which seeks to lay bare the essential principles of law and legal systems." Jadi, mengenai prinsip-prinsip dasar dari hukum dan sistem-sistem hukum. Hal ini barangkali akan nampak jelas perbedaannya apabila dibandingkan dengan ilmu hukum . positif yang membahas bidang-bidang hukum tertentu yang berlaku pada saat ini di negara tertentu (A.K. Sarkar, 1970). Contohnya, misalnya hukum perjanjian (kontrak) atau tort terdiri dari serangkaian peraturan dan prinsip hukum yang berasal dari pihak yang berwenang yang ditetapkan kepada situasi Faktual untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam praktek. Sebaliknya filsafat (teori) hukum tidak terdiri atas seperangkat peraturan yang tidak bersumber dari pihak yang berwenang dan tidak memiliki nilai praktis. Akibat dari perbedaan ini, karena filsafat (teori) hukum membuka seluas mungkin kepada para ahlinya untuk menggunakan pemikirannya dan pendekatannya masing-masing, maka terdapat berbagai variasi ruang lingkup dalam berbagai buku teks mengenai obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum ini. Konsekuensi lainnya dari perbedaan ini ialah:
"...the method of inquiry apt for jurisprudence will not necesarily be one used in the study of ordinary legal subject. Thus, whereas in law we look for the rule relevant to a given situation (e.g. given the facts we can apply the rules wether a binding contract has been made). In jurisprudence we ask what it is for a rule to be a legal rule, what distinguishes law from morality, etiquette and other related phenomena. In this, jurisprudence comprises philosophy of law." (A.K. Sarkar, 1979:1)4)
4) Setha (1959) mengemukakan ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum dengan merumuskan: "Jurisprudence is the study of fundamental legal principles including their philosophical, his terical and sociological bases and an analysis of legal concepts." Menurut penulis ini, aspek-aspek filsafat, historis, sosiologis, dan analisisnya tercakup ke dalam filsafat (teori) hukum.
Dari kutipan di atas cukup jelas bahwa materi filsafat hukum tercakup ke dalam obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum, sebab filsafat (teori) hukum juga mencoba menjawab pertanyaan, apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu ketentuan hukum.
Dalam perkembangannya kemudian, yaitu setelah banyak dipengaruhi oleh disiplin-disiplin ilmu lain, ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum menjadi lebih luas dan lebih empiric. Hal ini dibuktikan oleh Dias (1976) mengenai masalah-masalah yang harus diselidiki dan dijawab oleh filsafat (teori) hukum yang meliputi: faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana days berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan.
3.3 Klasifikasi Bidang Filsafat (teori) Hukum
John Austin (1832) menggolongkan filsafat (teori) hukum itu sebagai berikut:
a. Expositorial jurisprudence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana adanya (as it is);
b. Censorial jurisprudence, mengkaji hukum sebagaimana seharusnya (as it right to be).
Analisis Austin dikenal sebagai pendekatan analitis (analytical approach), yakni menganalisis struktur formal hukum beserta. konsep-konsepnya. Pendekatan ini banyak diikuti oleh penulis-penulis filsafat' (teori) hukum. Kemudian, seperti yang digunakan oleh Salmond dari Holland, pendekatan seperti ini dikenal pula sebagai pendekatan teoretis dan filosofis.
Salmond mengemukakan penggolongan yang lain:
a. Analytical jurisprudence, yaitu analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis mau-pun aspek etisnya;
b. Historical jurisprudence, yaitu studi tentang perkembangan konsep hukum yang fundamental;
c. Ethical jurisprudence, yaitu studi mengenai kegunaan dan tujuan yang harus dicapai oleh hukum.
Secara tidak langsung Paton (1951:3) mengemukakan tentang adanya tiga golongan filsafat (teori) hukum yang menuntut pendapatnya ketiganya sedang berselisih paham mengenai apa yang menjadi . obyek utama pembahasan filsafat (teori) hukum.
Ketiga golongan tadi ialah:
a. Pure science of law yang mengkonsentrasikan penyelidikannya pada teori teori hukum yang bersifat abstrak, yaitu berusaha untuk menemukan elemen-elemen dari ilmu hukum murni berupa faktor-faktor yang diakui kebenarannya secara universal, terlepas dari preferensi, pandangan yang etis, dan sosiologis.
b. Functional (sociological) jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of law sebagai amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum itu, sesungguhnya berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut para pengikut aliran ini, "We can understand what a thing is only if we examine what is does."
c. Theological jurisprudence yang menganggap lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum adalah bahwa hukum itu merupakan produk dari pemikiran manusia yang berkaitan erat dengan tujuannya. Pertanyaan yang harus dijawab dalam hal ini ialah apakah yang menjadi tujuan utama dari hukum. Pendekatan filsafat (teori) hukum ini f ilosof itu.
3.4 Kegunaan Mempelajari Filsafat (teori) Hukum
Seringkali orang berpendapat bahwa mempelajari filsafat (teori) hukum itu memiliki nilai praktis yang sangat terbatas. Oleh A.K. Sarkar (1979:3) dikemukakan bahwa walaupun filsafat (teori) hukum itu bersifat abstrak dan teoritis untuk dipelajari, kegunaannya ialah:
a. filsafat (teori) hukum merupakan obyek studi yang menarik yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang sungguh-sungguh ingin mempelajarinya. Spekulasi dan teori memiliki days. tarik alami, apa pun obyeknya. Jika seseorang dapat berspekulasi tentang hakikat cahaya, mengapa tidak mengenai hakikat hukum?
b. penelitian-penelitian di bidang filsafat (teori) 'hukum memiliki manfaat bagi disiplin-disiplin ilmu lainnya. Pemantulannya meliputi keseluruhan seperti kedokteran, hukum, politik, dan pemikiran-pemikiran sosial.
c. filsafat (teori) hukum juga memiliki nilai praktis. Di bidang hukum, generalisasi bermakna kemajuan-kemajuan atau perkembangan. Hal ini dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah sosial dengan hanya menggunakan satu teknik. Jadi, kompleksitas hukum lebih dapat dikendalikan dan lebih rasional, yaitu teori dapat membantu dalam praktek.
d. filsafat (teori) hukum juga memiliki nilai pendidikan. Di sini penalaran konsep-konsep hukum lebih mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.
e. filsafat (teori) hukum akan membawa para ahli hukum dari cara berpikir hukum secara formal ke realitas sosial. Ini berarti bahwa dalam menerapkan hukum perjanjian, misalnya, para ahli hukum memerlukan pula pengetahuan-pengetahuan di bidang ekonomi, kriminologi, pidana, psikiatri, sosiologi, dan sebagainya.
f. pada akhirnya, filsafat (teori) hukum dapat membawa para ahli hukum untuk melihat jauh ke depan. Sudah barang tentu pula akan lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya. Mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluankeperluan sosial yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar