Rabu, 26 Januari 2011

TEORI HUKUM MURNI

(the Pure Theory of Law)

Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.

1. Norma Dasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.

Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya. [aeroxenon]


Krisis Ajaran Hukum Murni Hans Kelsen

Positivisme secara tepat-konteks dipahami dalam suatu masa kesejarahan tertentu yaitu masa kemunduran Filsafat Hukum. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.
Segi tersembunyi (tacit knowledge) Ajaran Hukum Murni yang implisit adalah ketidakpercayaan terhadap positivisme, hukum alam, dan segala sesuatu yang menghubungkan norma dengan kenyataan sosial, sembari menciptakan “Ajaran” yang didefinisikannya sebagai “Teori”. Ajaran Hukum Murni mengkritik positivisme dan hukum alam, khususnya dalam ulasan epistemologis dan politis terhadap Idealisme Kritis dan Positivisme Hukum Kant.
Permainan bahasa dari Kelsen ini harus dicermati benar-benar bagaimana ia tidak menggunakan Filsafat Ilmu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Idealisme Kritis dan Positivisme. Kedua istilah ini merupakan aliran baru pasca Kant yaitu Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel) yang melanjutkan pikiran Kant: Subjek memberi struktur pada realitas, seluruh realitas terletak dalam kesadaran (Idea) Subjek, bukan pada realitas itu sendiri; dan Positivisme (Comte dan JS Mill) yang melanjutkan pikiran Kant pula: apa yang bisa diketahui hanyalah fenomen-fenomen saja sebagai data-data dari pengalaman empiris, di luar fakta-fakta positif itu tidak bisa dihasilkan pengetahuan.
Ajaran Hukum Murni tidak memiliki kaitan apa-apa dengan Idealisme Kritis dan Positivisme ini. Ajaran Hukum Murni memisahkan diri dari Filsafat dan Sosiologi yang dikategorikannya positivistik. Ajaran Hukum Murni dinyatakan Kelsen sebagai pelanjut Austin (Utilitarian; Ilmu Hukum Analitik) dengan menyingkirkan aspek di luar hukum yaitu fakta psikologis atas aturan. Ruang pengembangan Ilmu Hukum Normatif tereduksi pada sistematisasi-logis atau skillful yang bertumpu pada logika atas hukum positif.
Ajaran Hukum Murni menolak metafisika atas hukum positif. Doktrin hukum alam pada saat tertentu bersifat konservatif, bisa reformatif atau revolusioner. Doktrin hukum alam suatu saat membenarkan hukum positif karena sesuai dengan tata ketuhanan yang belum tentu dapat terbuktikan. Di saat lain, doktrin hukum alam mempertanyakan validitas hukum positif dan menyatakan hukum positif ini bertentangan dengan nilai-nilai dalam doktrin hukum alam yang absolut.
Ajaran Hukum Murni mencari landasan validitas pada suatu nonmetafisis dan nonmetayuridis yaitu hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm. Hipotesis yuridis ini diurai kritis oleh Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, selama Orde Baru Grundnorm diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni di kemudian hari.
Apakah putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan argumentasi hukum yang memancar ke Grundnorm? Norma yang lebih rendah dalam suatu putusan hakim cenderung tidak mengarah pada Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai Grundnorm secara eksplisit. Hipotesis yuridis berupa Grundnorm berbeda-beda di setiap negara, di setiap angan-angan individu, relativistik dan apologetik.
Terkecuali Nawiasky yang membenarkan pengetahuan Grundnorm, beberapa ilmuwan hukum yang disebutkan sebagai pembela Paradigma Normatif sudah menanggalkan Grundnorm itu, antara lain sebagai berikut.
Scholten menyatakan Ilmu Hukum itu “ilmu” dengan menoleh ke pendekatan lain yaitu Ilmu Bahasa (Saussure). Pendekatan filsafat ilmu sengaja dihindari Scholten demi menghindari watak spekulatif. Selain itu, di penghujung karirnya, Scholten menawarkan pengetahuan baru tentang eschaton untuk menunjukkan struktur ilmu hukum yang ilmiah. Puncak dari eschaton adalah Tuhan dalam pengertian Pascal yang filosofis dan religi. Scholten menyusun struktur ilmu hukum berbasis metafisika yang justru ditolak Ajaran Hukum Murni. Tawaran pengetahuan tentang eschaton ini tidak ada yang mengembangkan secara ilmiah, akademis dan pragmatis.
Visser ‘t Hooft menjelaskan Ilmu Hukum itu ilmu dengan cukup hati-hati terhadap penggunaan Epistemologi sebagai pendekatan atas Ilmu Hukum. Filsafat Ilmu Hukum-nya dengan leluasa membedakan Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu Hukum Empirik. Pendekatan yang cukup baru terdengar adalah Visser ‘t Hooft mengutip pendekatan filosofis Jürgen Habermas yang kritis terhadap modernitas: dalam kepentingan pragmatik, argumentasi hukum mensyaratkan rasionalitas komunikatif agar argumentasi dari hakim dan otoritas lainnya dapat diuji di ruang publik.
Bruggink meneruskan pembedaan biner antara pandangan atau paradigma normatif dan positivis. Ia berusaha lebih maju mengembangkan Ilmu Hukum Normatif dengan revolusi paradigma Thomas Kuhn. Di sisi metode, Bruggink mengembangkan asumsi-asumsi hermeneutik Gadamer dengan mensistematisasi “pasal” sebagai “kaidah”, kewenangan sebagai “metakaidah” dan hubungan antar pasal sebagai “sistem hukum”. Hermeneutik yang bersifat metodis ini mendapat tempat dalam Paradigma Normatif guna melegitimasi titik berdiri internal dari yuris.
Gijssels dan Hoecke menulis sejarah Teori Hukum sebagai disiplin mandiri dan menempatkan Dogmatik Hukum sebagai bagian dari Ilmu Hukum yang mensistematisasi hukum positif. Teori Hukum punya proyek ambisius yaitu memulihkan kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan sosial dengan memanfaatkan ilmu humaniora dan ilmu sosial seperti filsafat, psikologi, sosiologi, logika dan seterusnya.
Apa yang disebut Ilmu Hukum Normatif selama ini mengalami penyempitan atau sub-ordinasi dalam Dogmatik Hukum, sebagai bagian dari Ilmu Hukum yang selayaknya dipakai dalam “menghukumi suatu kasus/fakta/feiten”. Pengetahuan tentang interpretasi dari Ajaran Hukum Murni dalam mencari apa hukumnya suatu fakta pun mengalami krisis.
Interpretasi hukum dalam Ajaran Hukum Murni terbagi dua yaitu interpretasi dari kelembagaan yang ditentukan oleh Hukum Positif, dan interpretasi individual atau interpretasi dari Ilmu Hukum (tradisional). Interpretasi hukum yang pertama adalah otentik karena dilakukan langsung oleh pembentuk hukum, dan pemfungsian atas norma hukum menjadi norma konkret.
Sedangkan interpretasi hukum yang kedua adalah non-otentik karena dilakukan oleh pihak di luar pembentuk hukum, tidak membentuk norma hukum, lebih merupakan urusan ilmu hukum tradisional (seperti Begriffsjurisprudenz) atau politik hukum.
Dualitas model interpretasi menutup partisipasi pengetahuan sosial dan humaniora (rasionalitas komunikatif yang dipahami terbatas oleh Visser ‘t Hooft), interpretasi berbasis Ilmu Bahasa (Scholten), interpretasi berbasis hermeneutik (Bruggink) dan interpretasi berbasis pengetahuan semiotik (MA Loth).
Beberapa pendapat yang kikir ini dapat dipertimbangkan oleh pembaca sebagai alternatif model interpretasi dalam pengetahuan hukum. Ulasan Logika Hukum penting untuk bersama-sama kita dalami guna menampakkan dualitas antara fakta dan norma yang berimbas pada keilmuan Logika Hukum.
Apa yang dinyatakan sesat pikir dalam Logika tradisional dianggap valid oleh Logika Hukum. Contoh: penerapan Argumentum ad Hominem yang mendesak saksi/tersangka untuk mengaku. Ini adalah panggung sesat logika, tapi powerful dalam praktek hukum.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar