I. Pendahuluan
Tuntutan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan tidak adanya satu sistem ketatanegaraan yang digambarkan sudah sempurna saat dilahirkan, UUD 1945 adalah produk zamannya, hasil dari pemikiran para negarawan yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh bangsa pendiri negara lebih setengah abad yang lalu. Ternyata dalam perkembangannya menuntut adanya perubahan-perubahan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat.[1]
Hal serupa yang terjadi dan perlu dicermati adalah berkembangnya masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi di segala bidang, terutama pada bidang pelayanan public oleh para birokrat yang merupakan pokok dari upaya memajukan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang harus mampu menjalankan amanah konstitusi demi menciptakan perubahan yang positif dalam pembangunan.
Berbagai upaya reformasi birokrasi yang telah dilakukan melalui kegiatan yang rasional dan realistis dirasakan kurang memadai dan masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Hal tersebut terkait dengan banyaknya permasalahan yang belum sepenuhnya teratasi. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga
akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.
Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan dalam penyerahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan. Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai permasalahan masih banyak dihadapi.
Permasalahan tersebut antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan yang tinggi; rendahnya kinerja sumber daya aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi merupakan tantangan sendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan
cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dengan melakukan aliansi strategis untuk menjaga keutuhan bangsa.
Pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini masih dirasakan kurang berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi, hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan. Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam upaya mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara. Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia. Politik hukum dijadikan senjata ampuh untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, namun permasalahannya adalah mampukah politik hukum dijadikan sarana dalam mewujudkan tuntutan rakyat Indonesia tersebut. Karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi menuntut kerja keras untuk pertama-tama mewujudkan pemerintahan yang bersih. Kenyataan yang terjadi adalah hingga saat ini, dengan politik hukum yang telah dijalankan ternyata belum juga dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih. Untuk itu maka pada tulisan ini akan membahas khusus tentang peran politik hukum dalam mewujudkan pemerintah yang bersih.
B. Pengertian Politik Hukum
LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.[2] Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.[3] Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[4]
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[5] Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum.[6] Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh Hikmahanto. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut dengan politik hukum.[7]
Mengenai politik hukum ini ada banyak sekali pendapat berkaitan dengan definisinya. Dipandang dari segi teori hukum murni (pure yuridis theoritis) politik huum adalah satu disiplin ilmu yang membahas perbuatan aparat yang berwenang dengan memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk memproduksi suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan Negara.
Pengertian ini kemudian diuraikan[8] sebagai berikut;
Politik hukum mengandung 4 faktor/ elemen:
- harus ada aparat yang berwenang (kompetensi)
- harus ada alternative yang tersedia
- harus ada produk hokum yang dilahirkan
- harus ada tujuan Negara sebagai terminal atau tujuan akhir.
Berdasarkan pelbagai pengertian tentang politik hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan sarana penguasa dalam mencapai tujuan Negara. Apakah untuk menjaga ketertiban, keamanan, pembangunan perekonomian, atau juga untuk menciptakan suasana pemerintahan yang kondusif dalam mewujudkan pemerintah yang bersih.
C. Hukum dan Pemerintahan yang Bersih (Law and Clean Government)
Pemerintah sebagai wakil atau tangan rakyat menjadi ujung tombak dalam pembangunan Negara. Amanah yang diberikan rakyat dalam Undang-undang yang mewajibkan pemerintah mewujudkan pembangunan yang dicita-citakan sudah semestinya dijalankan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena dengan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan kunci keberhasilan pembangunan.
Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara konstitusional. Oleh sebab itu reformasi hukum yang sedang berjalan saat ini hanya akan berhasil dan memiliki efektifitas bagi kesehjahteraan rakyat bila pemerintahan yang akan datang merupakan pemerintahan yang bersih. [9]
Berbagai kebijakan terkait reformasi birokrasi terus diupayakan untuk disempurnakan dan ditingkatkan dalam rangka menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hal mendasar yang perlu segera diselesaikan karena akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi ke depan adalah perlunya percepatan penyelesaian dan penetapan beberapa RUU menjadi UU yang menjadi landasan hukum pelaksanaan reformasi birokrasi, antara lain, RUU Pelayanan Publik, RUU Kementerian Negara, RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Etika (Kode Etik) Penyelenggara Negara, RUU Tata Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan RUU Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.[10]
Politik hukum sebagai sarana penguasa dalam mengatur berbagai hal termasuk menciptakan kondisi dimana posisi hukum menjadi dominan menguasai aspek-aspek lain termasuk mengkondisikan jalannya pemerintahan yang bersih mendorong terjadinya pembangunan yang baik sesuai tujuan Negara. Hukum yang mulanya dianggap produk politik pada kenyataannya dapat menjelma sebagai sebuah kekuatan yang menimbulkan perbaikan sistem pemerintahan ke arah yang lebih baik.
Pada posisi ini letak politik hukum dalam system tata hukum menurut Roscoe Pound adalah Skin In System yakni hukum sangat dominan dalam memberi corak atau warna pada fenomena lain, dalam hal ini pemerintah yang bersih. Hukum direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat menjadi aturan main (rule of play) dalam penyelenggaraan pemerintah yang kemudian pada akhirnya tidak hanya masalah-masalah saja yang timbul akibat diterbitkannya produk hukum, akan tetapi akan terciptanya produk hukum yang membuat segala masalah dapat teratasi.
Dalam upaya mendukung terwujudnya tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik telah dilakukan pula penegakan hukum dari pelaksanaan hukum atau peraturan yang merupakan produk dari politik hukum itu sendiri. Dalam hal ini harus ada system pengawasan yang berkelajutan dalam menindak para birokrat yang menjadi oknum dalam menjalankan pemerintahan dengan tidak bersih.
Pemerintah pun menpunyai andil dalam menciptakan kodisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam menjalankan pemerintahan dalam kenyataannya ada banyak masalah terkait penegakan hukumnya. Oleh sebab itu Peran politik hukum harus diimbangi dengan penegakan hukum. Dengan penegakan hukum yang baik akan timbul juga stabilitas pada aspek-aspek lain yakni pada penyelenggaraan pemerintahan. Politik hukum dalam penerapannya tidak dapat berdiri sendiri namun juga harus berjalan bersama dengan pelindungnya yakni upaya penegakan hukum.
Permasalahan hukum terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Dari sini timbullah permasalahan yang menyangkut dengan politik hukum yang sedang di jalankan. Permasalahan penegakan hukum sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari berhasil atau tidaknya peran politik hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
penegakan hukum oleh aparat. Dari sini timbullah permasalahan yang menyangkut dengan politik hukum yang sedang di jalankan. Permasalahan penegakan hukum sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari berhasil atau tidaknya peran politik hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa social. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Dalam pemerintahan juga akan timbul konflik yang menjadikan terganggunya jalannya pemerintahan hingga mengakibatkan tersendatnya pembangunan. Makin lama konflik ini dibiarkan maka akan terjadi ketidakstabilan.
Politik hukum yang dijadikan dasar kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih mengindikasikan bahwa begitu besar peran politik itu sendiri. Namun kembali lagi dalam penerapan politik hukum dalam mengatur jalannya pemerintahan tidak serta merta dapat terwujud sempurna. Ada pelbagai masalah yang akan dihadapi.
D. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan bahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih ternyata tidak mudah. Ada banyak kendala terutama pada masalah internal seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan. Hal inilah yang menyebabkan ketidak bersihan pada pelaksanaan pemerintahan.
Politik hukum didaulat dapat menjalankan perannya dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sebagaimana pendapat Roscoe Pound yang menyatakan bahwa politik hukum dalam sistem tata hukum pada posisi Skin In System yakni hukum sangat dominan dan dapat mempengaruhi aspek lain sehingga dengan menerapkan politik hukum yang bertujuan untuk mengatur jalannya pemerintahan hingga menjadi pemerintahan yang bersih pada kenyataanya masih juga terkendala dalam pelaksanaannya.
Saran
Peran politik hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih ternyata harus diimbangi dengan penegakan hukum yang konsisten. Penegakan hukum yang dimaksud adalah bagaimana politik hukum yang telah diterapkan terjaga dan tetap menjadi rel yang kuat sehingga tujuan poitik hukum atau produk hukum yang dihasilkan dapat dijalankan dengan baik guna mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dan pelaksanaan pemerintah tetap pada rel politik hukum tersebut.
[1]Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD
1945”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: UII, 4 Mei2002), hlm. 5.
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
hlm. 9.
1990), hlm. xi.
hlm. 4.
Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988).
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
[9] By Indra Safitri Senior Partner in Safitri, Motik & Tim'S email :safitri@dnet.net.id or safitri@safitri.com. 2009
[10] aparaturnegara.bappenas.go.id/.../download.php?...Pemerintahan...Bersih. 2009
Oleh Agus Triono, S.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar