Rabu, 26 Januari 2011

PENELITIAN ATAU PENGKAJIAN ILMU HUKUM NORMATIF

(Catatan Kuliah : Metode Penelitian Hukum)


1. Pengertian Penelitian Ilmu Hukum Normatif

Hukum dapat diartikan sebagai norma tertulis yang dibuat secara resmi dan diundangkan oleh pemerintah dari suatu masyarakat. Di samping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma di dalam masyarakat yang tidak tertulis tetapi secara efektif mengatur perilaku para anggota masyarakat. Norma tersebut pada hakekatnya bersifat kemasyarakatan, dikatakan demikian karena norma selain berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat juga merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat. Norma merupakan manifestasi dari sistem nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Melalui sosialisasi yang panjang norma-norma tersebut diinternalisasikan pada seluruh anggota masyarakat.

Norma atau kaidah berisi kehendak yang mengatur perilaku seseorang, sekelompok orang, atau orang banyak dalam hubungannya dengan orang lain atau dengan makhluk lain, dan alam sekelilingnya. Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam norma seperti; norma moral, norma susila, norma etika, norma agama, norma hukum, dan lain-lain. Di antara norma-norma tersebut norma hukum merupakan norma yang paling kuat berlakunya, karena bagi pelanggarnya dapat diancam sanksi pidana atau sanksi pemaksa oleh kekuasaan negara, oleh karena itu norma hukum mempunyai sifat keberlakuan yang heteronom sedang norma-norma lain mempunyai sifat keberlakuan yang otonom.

Norma hukum sebagaimana halnya dengan norma-norma lainnya tersusun secara hierarkis dan berjenjang ke atas berhadapan dengan norma hukum yang membentuknya, dan ke bawah berhadapan dengan norma hukum yang dibentuknya. Susunan tersebut berpuncak pada norma tertinggi yang disebut sebagai norma dasar yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat yang bersangkutan. Norma hukum berisi kehendak yang dikategorikan dengan Das Sollen, yaitu suatu kategori yang bersifat imperatif. Kehendak itu dapat berupa suruhan atau larangan, dan dapat juga berupa pem" bebasan dari suruhan atau pengecualian dari larangan. Norma hukum selain berfungsi mengatur perilaku, juga berfungsi memberi kuasa kepada norma hukum lain untuk mengatur perilaku atau berfungsi mengubah atau mengganti norma hukum lain, menurut Bruggink (1996:100), norma hukum sebagai norma perilaku berisi:
(a)    Perintah (gebod); yaitu kewajiban masyarakat untuk melakukan sesuatu.
(b)   Larangan (verbod); yaitu kewajiban masyarakat untuk tidak melakukan sesuatu.
(c)    Pembebasan/Dispensasi (vrijfstelling); yaitu pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
(d)   Izin (toestemming); yaitu pembolehan (perkenan) atau pengecualian khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Muatan norma hukum yang mengatur perilaku ini dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dilihat dari orang-orang yang diatur perilakunya, pada tataran ini norma bersifat umum dan individual. Kedua, dilihat dari perilaku yang diaturnya, pada tataran ini norma bersifat abstrak dan konkrit. Dengan demikian muatan norma hukum yang sifatnya umum dan abstrak dirumuskan dalam undang-undang dan norma hukum yang sifatnya konkrit dan individual dimuat dalam Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya menurut Hart sebagaimana dikutip Bruggink (1996:102), disamping norma perilaku terdapat sekelompok norma yang menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri yang disebut dengan meta norma, yaitu:
a)      Norma Pengakuan (Rules of Recognition); yaitu norma yang menetapkan norma perilaku mana yang di dalam suatu masyarakat hukum tertentu harus dipenuhi.
b)      Norma Perubahan (Rules of Change); yaitu norma yang menetapkan bagaimana sesuatu norma perilaku dapat diubah.
c)      Norma Kewenangan (Rules of Adjudication); yaitu norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.

Norma hukum berhubungan dengan asas-asas hukum, hubungan tersebut terletak dalam proses pembentukan norma hukum, sebab asas-asas hukum sebagai ketentuan moral mempengaruhi pembentukan hukum, jadi norma hukum bertumpu pada asas hukum. Mengenai asas hukum ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan hukum, pendapat pertama menyatakan bahwa asas hukum merupakan bagian dari sistem hukum. Jadi sebagaimana halnya norma hukum maka asas hukum mengikat masyarakat, pendapat kedua menyatakan asas hukum tidak merupakan bagian dari sistem hukum, karenanya tidak mengikat masyarakat. Terlepas dari pandangan mana yang dianut, tidak dibahas lebih lanjut dalam buku ini, sebab kedua pendapat tersebut baik pendapat pertama maupun kedua, sama-sama merupakan bidang kajian dari penelitian ilmu hukum normatif.

Penelitian ilmu hukum normatif sejak lama telah digunakan oleh ilmuwan hukum untuk mengkaji masalah-masalah hukum. Penelitian ilmu hukum normatif meliputi pengkajian mengenai:
(a) Asas-asas hukum-,
(b) Sistematika hukum;
(c) Taraf sinkronisasi hukum;
(d) Perbandingan hukum;
(e) Sejarah hukum.

Salah satu contoh adalah seperti yang dikemukakan oleh Sumitro (1983:10); Penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari perundang-undangan terse-but, atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.

Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian hukum adalah:
(a)      Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahanbahan hukum tersebut terdiri dari:

Ø      Bahan Hukum Primer:
-Peraturan Perundang-undangan;
-Yurisprudensi:
-Traktat, convensi yang sudah diratifikasi;
-perjanjian-perjanjian keperdataan para-pihak;
-dan sebagainya.

Ø      Bahan Hukum Sekunder:
-Buku-buku ilmu hukum;
-Jurnal ilmu hukum-,
-Laporan penelitian ilmu hukum;
-Artikel ilmiah hukum; dan
-Bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya.

(b)     Pendekatannya Yuridis Normatif
Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan huk um tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan ukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.

(c)      Menggunakan Metode Interpretasi
Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif digunakan metode interpretasi untuk memaparkan atau menjelaskan hukum tersebut, metode interpretasi yang digunakan terdiri dari:
-Interpretasi gramatikal;
-Interpretasi sistematis;
-Interpretasi historis;
-Interpretasi perbandingan hukum;
-Interpretasi antisipasi;
-Interpretasi ideologic.

(d)     Analisisnya Yuridis Normatif
Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif, kegiatan analisisnya berbeda dengan cara menganalisis ilmu hukum empiris, dalam pengkajian ilmu hukum normatif, langkah atau kegiatan melakukan analisis mempunyai sifat yang sangat spesifik atau khusus, kekhususannya di sini bahwa yang dilihat adalah apakah syarat-syarat normatif dari hukum itu sudah terpenuhi atau belum sesuai dengan ketentuan dan bangunan hukum itu sendiri.

(e)     Tidak Menggunakan Statistik
Penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif tidak menggunakan statistik, karena penelitian ilmu hukum normatif merupakan penelitian atau pengkajian yang sifatnya murni hukum.

(f)       Teori Kebenarannya Pragmatic
Teori kebenaran penelitian ilmu hukum normatif adalah kebenaran pragmatic artinya dapat bermanfaat secara praktis dalam kehidupan masyarakat.

(g)     Sarat Nilai
Sarat nilai artinya ada pengaruh dari subyek, sebab menurut pandangan penganut ilmu hukum normatif justru dengan adanya pengaruh penilaian itulah sifat spesifik dari ilmu hukum normatif dapat diungkap.

Dengan melihat karakteristik penelitian ilmu hukum normatif tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hal yang paling prinsip dan mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan merumuskan masalah penelitiannya secara te-pat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih metoda untuk menentukan langkah-langkahnya dan bagaimana ia melakukan perumusan dalam membangun teorinya.


2. Pendekatan Penelitian Ilmu Hukum Normatif

Pengertian yuridis diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan persyaratan keahlian hukum. Istilah yuridis itu sendiri berasal dari bahasa Romawi kuno, yaitu Yuridicus. Pada masa kejayaan kerajaan Romawi hampir semua daratan eropa berada di bawah kekuasaannya, oleh karena itu hukum yang berlaku di daratan eropa sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Istilah Yuridicus dalam hukum Romawi berkembang pula di Perancis yang dikenal dengan istilah "Yuridique" dan di Belanda disebut dengan istilah Yuridisch yang artinya menurut hukum (Arief, 1995:202).

Mengacu pada pengertian yang demikian ini pendekatan yuridis pada hakekatnya menunjuk pada suatu ketentuan, yaitu harus terpenuhi tuntutan secara keilmuan hukum yang khusus yaitu ilmu hukum dogmatik. Ukuran yang digunakan untuk melihat atau untuk menentukan apakah suatu permasalahan hukum konkrit telah memenuhi kriteria yuridis atau tidak (Koesnoe, 1992) harus dilihat dari empat macam karakteristik, yaitu: dari sudut sistem ilmiahnya, sistem normatifnya, sistem pendekatannya dan dari sistem interpretasinya. Untuk lebih jelasnya pengertian terhadap keempat ukuran tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Sistem Ilmiahnya
Maksudnya ialah bahwa setiap tata hukum dari suatu bangsa bersifat tersendiri, karenanya setiap tata hukum nasional sifatnya. Ilmu hukum positif yang obyeknya ketentuan-ketentuan hukum positif dari suatu tata hukum juga nasional sifatnya, oleh karenanya tinjauan atas suatu perkara atau isi hukum, dapat dinilai sudah tepat atau tidal,,, secara yuridis. Cara mengukurnya ialah dengan mengkaji apakah sudah terpenuhi atau tidak tuntutan dan persyaratan dari ilmu hukum positif itu. Dalam penelitian ilmu hukum normatif tuntutan atas persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi adalah:

(a)     Dalam membangun konsep harus beranjak dan berpegang teguh pada hakekat keilmuan itu sendiri, yaitu ilmu hukum normatif atau ilmu hukum positif.

(b)     Hakekat keilmuan ilmu hukum normatif itu dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
Ø      Dari sudut filsafat ilmu dengan menggunakan pandangan Hukum Normatif;
Ø      Dari sudut teori Hukum meliputi tiga lapisan ilmu Hukum, yaitu:
-dogmatik hukum;
-teori hukum; dan
-filsafat hukum.

(c)     Langkah-langkahnya harus langkah kajian ilmu hukum normatif, yaitu: Diawali perumusan masalah atau penetapan isu hukum, kemudian diikuti penetapan metode dan perumusan teori.

(d)     Pemilikan metode yang digunakan harus sesuai dengan metode ilmu hukum normatif.

(e)     Perumusan teori. Dalam merumuskan teorinya mengacu pada penalaran hukum dan penalaran itu bertumpu pada aturan berpikir yang dikenal dalam logika_

(f)       Sifatkeilmuan hukumnya meliputi:
Ø      Proses yaitu prosesnya harus bersifat ilmiah.
Ø      Produk yaitu produknya ilmu.
Ø      Produsen yaitu melahirkan konsensus di antara sesama kolega, artinya hasil penelitian itu memperoleh persetujuan atau pengakuan dari kalangan ilmuwan hukum itu sendiri.

(g)     Teori kebenarannya pragmatic, yaitu kebenarannya mementingkan berfungsinya teori keilmuan secara memuaskan, atau dengan kata lain ber-guna dalam hal-hal praktis.

(h)     Hasil pengkajian berupa argumentasi hukum dan akhirnya diarahkan pada perumusan teori.


2. Sistem Normatifnya

Maksudnya ialah bahwa tinjauannya itu berangkat dan memfokuskan diri, pada ketentuan hukum positif tata hukum yang menguasai perkara atau isu hukum yang bersangkutan. Artinya berada dalam kerangka kemauan dan maksud dari tata hukum yang bersangkutan. Untuk melihat sistem normatif dari ilmu hukum harus dipahami terlebih dahulu ciri-ciri atau karakter ilmu hukum normatif tersebut seperti dikatakan oleh Meuwissen (1994:26-28), yaitu:

a)      Bersifat analitis, artinya tidak semata-mata menjelaskan, akan tetapi juga memaparkan dan menganalisis isi dan struktur hukum positif yang berlaku.

b)      Bersifat terbuka atau open system, artinya karena ilmu hukum normatif mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis, maka hal itu merupakan pengembangan yang mengarah pada suatu sistem hukum yang logis dan konsisten.

c)      Bersifat hermeneutic, artinya berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam aturan hukum itu.

d)      Bersifat normatif, artinya selain obyeknya norma, ilmu hukum normatif juga memiliki dimensi penormaan.

e)      Memiliki arti praktis, maksudnya apa yang dikemukakan ilmu hukum normatif berkaitan dengan penerapan praktis dari hukum.


3. Sistem Pendekatannya
Yaitu tinjauannya dilakukan dengan berpegang pada metode dogmatik. Di dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah adanya perkembangan dalam ilmu hukum positif, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu hukum positif yang praktis dengan ilmu hukum positif yang teoritis. Jadi pengolahan dengan interpretasi yuridis, harus dapat teruji dengan teori yang mencakup apa yang disebut dengan pengertian hukum yang sesungguhnya dan ukuran-ukuran yang dituntut dalam metode-metode yuridis.

Dalam penelitian ilmu hukum normatif banyak pendekatan yang dapat digunakan baik secara terpisahpisah berdiri sendiri maupun secara kolektif sesuai dengan isu atau permasalahan yang dibahas. Pendekatan tersebut antara lain:
(a)     Pendekatan undang-undang atau statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.
(b)     Pendekatan historis, yaitu penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk hukum berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatarbelakanginya.
(c)     Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti; sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranch atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep dasar.
(d)     Pendekatan komparatif, yaitu penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai perbandingan sistem hukum antarnegara, maupun perbandingan produk hukum dan karakter hukum antarwaktu dalam suatu negara.
(e)     Pendekatan politis, yaitu penelitian terhadap pertimbangan-pertimbangan atau kebijakan elite poLitik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan penegakan berbagai produk hukum.
(f)       Pendekatan kefilsafatan, yaitu pendekatan mengenai bidang-bidang yang menyangkut dengan obyek kajian filsafat hukum yang meliputi:
a)      Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakekat hukum seperti hakekat demoluasi, hubungan hukum dengan moral, dan sebagainya.
b)      Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai kebenaran, dan sebagainya.
c)      Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ilmu hukum.
d)      Teleologi hukum, yaitu menentukan isi dan tujuan hukum.
e)      Ideologi hukum, yaitu pemahaman secara menyeluruh tentang manusia dan masyarakat.
f)        Logika hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berpikir secara hukum dan argumentasi hukum.
g)      Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta teo- r  bagi -i hukum.


4. Sistem Interpretasi
Yaitu penggunaan metode yuridis dalam membahas suatu persoalan hukum, dituntut untuk selalu berpegang kepada yuridisme yang dianut oleh tata hukum yang bersangkutan. Artinya, apakah tata hukum yang bersangkutan yang menguasai perkara atau isu hukum itu menganut yuridisme positif atau menganut yuridisme idealis. Sistem yuridisme positives, adalah sistem yang membatasi dalam menafsirkan sesuatu ketentuan aturan hukum positif terbatas hanya pada apa yang tercantum di dalam ketentuan undang-undang saja. Dalam sistem yuridisme positives, ketentuan dalam undang-undang tidak dibenarkan untuk diuji dengan ketentuan yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Sebaliknya sistem yuridisme idealistic menentukan bahwa apa yang tercantum dalam ketentuan undang-undang, harus dihubungkan pengertiannya dengan semangat atau jiwa tata hukum yang bersangkutan.

Dalam penafsiran hukum dikenal penafsiran hukum dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Penafsiran hukum dengan pengertian luas, mengacu kepada arti normatif dari suatu rumusan kaidah. Penafsiran dengan arti yang normatif itu berlaku apabila bersangkutan dengan bahasa hukum pada umumnya. Setiap penggunaan bahasa mengandung implikasi penafsiran, yaitu suatu derivasi arti tertentu dari suatu rumusan bahasa. Penafsiran hukum dengan pengertian yang sempit terjadi dalam praktek penerapan hukum. Dalam hubungan ini, suatu rumusan kaidah memerlukan penafsiran hanya apabila timbul keraguan mengenai artinya dalam konteks tertentu. Rumusan kaidah yang sama mungkin dalam konteks tertentu memerlukan penafsiran, tetapi dalam konteks lain tidak memerlukan penafsiran karena artinya cukup jelas atau arti prima facie-nya memenuhi kebutuhan si pemakai. Dalam hubungan ini sebagaimana dikatakan oleh Rasjidi dan Sidharta (1994:197); penafsiran hanyalah merupakan penjelasan arti atas suatu rumusan kaidah hukum yang bersangkutan.

Jerzy Wroblewski membedakan penafsiran sebagai;
(1) operative interpretation dan
(2) doctrinal interpretation sebagai berikut:

1)      "The operative interpretation takes place if there is a doubt concerning the meaning of a legal norm which has to be applied in a concrete case of decision-making by a law-applying agency. The interpretation has to fix doubtful meaning in a way sufficiently precise to lead to a decision in a concrete case.
"Operative interpretation is evaluative process because of the evaluative components of interpretive heuresis and/or of the justification of an interpretive decision. The operative interpretation, as a rule, is s presented as the unique right answer to an interpretive doubt and concerns only a concrete interpreted norm-formulation. The right interpretation discovers the 'true meaning' of the interpreted text (true meaning thesis). "

2)      "The doctrinal interpretation is proper for legal dogmatics. Its crucial task in the systematization of valid law, and for this purpose it has to construct an appropriate conceptual apparatus and, sometimes, to remove the doubts concerning norm-formulations. If the systematization in question is thought of as a reformulation of a system of law, then doctrinal interpretation is one of its tools. The result of the interpretation in question can be a statement determining the linguistically possible meanings of an interpreted text. The doctrinal interpretation, however, often not only describes the linguistic possibilities, but also chooses one of them as the 'true meaning' of the text in question. But there is in principle no commitment to the true meaning thesis, as in the operative interpretation. "

Adapun metode-metode penafsiran dalam penelitian ilmu hukum normatif banyak, macamnya. Untuk menentukan metode penafsiran mana yang paling tepat untuk dipilih, sangat tergantung pada isu hukum atau permasalahan hukum yang diangkat dan metode penelitian yang bagaimana yang digunakan. Untuk memahami lebih jelas tentang penafsiran ilmu Hukum normatif yang dimaksud dapat dipahami pada uraian di bawah ini:
1)      Penafsiran gramatikal
Yaitu penafsiran menurut tata bahasa sesuai dengan apa yang tertera atau apa yang tertulis secara eksplisit dalam aturan tersebut, dalam. kegiatan penafsiran ini si peneliti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menetapkan segala sesuatu yang menyangkut mengenai kejelasan pengertian dengan mengemukakan arti yang dimaksud oleh aturan tersebut.
2)      Penafsiran historis
Yaitu penafsiran yang dilakukan dengan maksud untuk mencari atau menggali makna yang ada di dalamnya sehingga diketahui maksud atau keinginan dari pembentuk undang-undang pada saat mereka merumuskan aturan-aturan Hukum ke dalam undang-undang tersebut.
3)      Penafsiran sistematis
Yaitu penafsiran dengan menggunakan hubungan yang lebih luas terhadap aturan hukum atau norma-norma Hukum yang terkandung di dalamnya. Penafsiran ini dilakukan dengan cara mengamati dan mengkaji dengan seksama dan cermat hubungan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang itu sendiri maupun yang terkandung dalam undang-undang lain, tujuannya agar makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami secara jelas dan tepat tanpa ada keraguan sama sekali.
4)      Penafsiran teleologic
Yaitu penafsiran dengan memperhatikan secara khusus keadaan-keadaan masyarakat dan lingkungannya, dengan kata lain maksud dan tujuan hukum disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.
5)      Penafsiran analogic
Yaitu penafsiran dengan memberi kiasan atau analogi terhadap suatu aturan Hukum, sehingga suatu peristiwa dianggap sama artinya dengan ketentuan pasal tersebut.
6)      Penafsiran resmi
Yaitu penafsiran terhadap suatu aturan sesuai dengan apa yang diberikan atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.


3. Pengkajian Bahan-bahan Hukum

3.1. Bahan Hukum Sebagai Kajian Normatif

Penelitian ilmu hukum normatif adalah pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder- Apabila seorang peneliti ilmu hukum normatif telah menemukan permasalahan yang akan ditelitinya, kegiatan berikutnya adalah mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan, kemudian dipilih informasi yang relevan dan essensial, baru ditentukan isu hukumnya (legal issues). Adakalanya untuk menentukan isu hukum tersebut diperlukan informasi yang bersifat umum, informasi ini dimaksudkan agar dapat membantu memberi orientasi terhadap masalah yang diteliti- Jika seorang peneliti menghadapi situasi yang demikian ini, jalan terbaik yang harus dilakukannya adalah diperlukan penelaahan terhadap bahan hukum sekunder, melalui bantuan bahan hukum sekunder tersebut isu hukum dapat dirumuskan dengan tajam. Di samping itu melalui penelaahan terhadap bahan-bahan hukum sekunder dapat diidentifikasi bahan hukum yang diperlukan.

Mencari atau menentukan bahan-bahan hukum bukanlah merupakan pekerjaan mudah, alasannya karena tidak semua bahan hukum yang ada didokumentasikan secara baik dan sistematis. Untuk itu diperlukan ketekunan dan ketelitian serta keahlian menelusuri bahan-bahan hukum yang diperlukan. Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum, antara lain:
·        Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan oleh Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang umumnya berisi peraturan di bidang tugasnya masing-masing.
·        Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang khusus mengatur bidang pokok tertentu yang banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga penerbitan. Misalnya: himpunan peraturan kepegawaian, himpunan peraturan di bidang ketenagakerjaan, himpunan peraturan di bidang kesehatan, dan sebagainya.
·        Himpunan putusan Mahkamah Agung.
·        Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara.
·        Berita Negara.
·        Lembaran Daerah.
·        Berbagai dokumen yang memuat perjanjian-perjanjian internasional yang banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga internasional.

Bahan-bahan hukum dalam bentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikelompokkan menurut tingkatan atau hierarkinya terdiri dari
-Undang-Undang Dasar 1945;
-Undang-undang;
-Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
-Peraturan Pemerintah;
-Keputusan Presiden;
-Peraturan Daerah.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut di atas, masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang sampai saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945, Peraturan dimaksud adalah:
-Wet;
-Algemene Maatregel van Bestuur;
-Ordonantie;
-Regeringsverordening;

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia selalu berkembang pemahamannya dari waktu ke waktu, sesuai dengan pergantian konstitusi beserta penafsiran-penafsirannya. Untuk itu perlu diketahui sejarah pertumbuhan jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut di negara kita. Mempelajari perbandingan dan sejarah jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan Indonesia sangat penting sebagai bagian dari penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif.

Untuk dapat membandingkan Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan peraturan perundang-undangan negara lain, terlebih dahulu perlu dipahami teori bernegara bangsa Indonesia dalam membentuk Negara Republik Indonesia dan teori bernegara bangsa-bangsa lain. Pangkal toloknya terletak pada pemahaman tentang undang-undang, pembentuk undang-undang dan fungsi. perundang-undangan dalam negara yang bersangkutan.
Sebelum UUD 1945 diamandemen di negara Republik Indonesia fungsi perundang-undangan merupakan bagian dari fungsi Pemerintahan negara. Presiden ialah Kepala negara yang memperoleh Mandat dari MPR untuk menyelenggarakan Pemerintahan negara. Karena itu menurut konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia Undang-undang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, setelah UUD 1945 diamandemen fungsi pembentukan Undang-undang sepenuhnya berada di tangan DPR sebagai lembaga legislatif- Di negara lain seperti di Amerika Serikat fungsi perundang-undangan ber-ada di tangan Congress, yaitu suatu lembaga legislatif yang terpisah dari lembaga eksekutif. Presiden Amerika Serikat hanya melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Congress. Presiden tidak ikut serta dalam membentuknya, paling-paling hanya memvetonya apabila tidak menyetujui, itupun bukan tanpa batas. Pembagian kekuasan negara ala Montesquie terlihat wujudnya pada kekuasaan-kekuasaan Congress, President dan Supreme Court. Di negeri Belanda masih terlihat sisa-sisa sistem konstitualisme sebagai wujud dua kekuasaan yang berdampingan, yaitu Kroon (Pemerintah) dan Steten General, di Negeri Belanda undang-undang (Wetin formelezin) merupakan hasil bentukan kedua lembaga tersebut secara bersama-sama. Perbedaan dalam sistem pembentukan undang-undang pada negara-negara lain, mengakibatkan terjadinya perbedaan pada wewenang atribusi dan delegasi dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah.


3.2. Telaah Pustaka
Telaah pustaka merupakan sumber inspirasi bagi seorang peneliti untuk merumuskan permasalahan penelitiannya. Peneliti harus mampu menunjukkan komitmen bahwa ia bermaksud mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan ber-- tanggung jawab. Di samping itu telaah pustaka juga mem-
punyai hubungan langsung dengan tujuan penelitian serta metode penelitian yang akan dipergunakan, serta dapat mencegah terulangnya penelitian terhadap masalah yang sama sehingga tidak perlu diteliti lagi, karena hanya akan menghabiskan waktu dan biaya. Telaah pustaka dapat berfungsi sebagai bekal bagi si peneliti untuk:
·        Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti-,
·        Menegaskan kerangka teoritis dan konseptual yang menjadi landasan kajian;
·        Menghindarkan terjadi duplikasi;
·        Melalui telaah pustaka dibangun konsep-konsep dan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Sehubungan dengan itu, agar penelitian yang dilakukan mempunyai dasar yang kokoh dan dapat diandalkan hasil yang diperolehnya, pemahaman terhadap berbagai sumber kepustakaan memegang peranan yang sangat penting. Telaah pustaka merupakan kegiatan untuk mengkaji secara kritis bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian, bahan-bahan pustaka yang dikaji tersebut kemudian dirinci secara sistematis dan dianalisis secara deduktif.

Dalam melakukan telaah pustaka, perlu diperhatikan beberapa hal penting yang akan mendukung kelancaran si peneliti memperoleh informasi yang diperlukan, sehingga apa yang diinginkannya dari bahan-bahan terse-but, benar-benar merupakan informasi yang dapat dipercaya keunggulannya, kemutakhiran dan kebenaran ilmiahnya sebagai bahan acuan untuk memecahkan masalah-masalah yang diteliti. Beberapa hal yang penting untuk mendapat perhatian dari seorang peneliti dalam melakukan telaah pustaka adalah:


1.      Penggunaan kepustakaan
Dalam kegiatan pengkajian kepustakaan, penggunaan kepustakaan banyak ragamnya, namun secara garis besar kepustakaan yang digunakan dalam penelitian dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
·        Kepustakaan atau bahan bacaan yang memberi gambaran secara umum mengenai obyek yang diteliti.
·        Kepustakaan atau bahan bacaan yang isinya memuat unsur-unsur yang diteliti.
·        Bahan bacaan yang menyediakan informasi ter-baru sebagai pelengkap.

Dari bahan-bahan ini, ada yang perlu mendapat pengkajian secara cermat dan mendalam karena informasi yang diperlukan terdapat di dalamnya, untuk itu perlu dibuat catatan-catatan guna bahan analisis.


2.      Kemutakhiran bahan kepustakaan
Banyak bahan bacaan yang isinya sudah ketinggalan zaman, usang dan penuh dengan prasangka-prasangka atau memuat teori-teori dan konsep-konsep yang sudah tidak berlaku lagi karena sudah digantikan oleh konsep-konsep dan teori baru. Untuk itu kepustakaan yang digunakan seyogianya merupakan hasil penemuan-penemuan yang berisi konsep-konsep atau teori yang baru.

3.      Relevansi kepustakaan
Kepustakaan yang digunakan harus mempunyai relevansi dengan penelitian, oleh karenanya bahan-bahan yang akan di telaah harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat dan cermat untuk melihat kepustakaan mana saja yang mempunyai relevansi dengan obyek yang diteliti atau dikaji.

Kepustakaan sebagai suatu bahan yang berisi informasi yang diperlukan dalam penelitian perlu mendapatkan seleksi secara ketat dan sistematis, prosedur penyeleksian didasarkan pada relevansi dan kemutakhiran. Dalam penelitian ilmu hukum, penyeleksian terhadap kepustakaan yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku ilmu hukum, akan tetapi meliputi aturan perundang-undangan dan dokumen, baik dokumen resmi atau tidak maupun berupa catatan dan memo atau nota yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara. Memo atau nota termasuk dalam ruang lingkup kajian hukum admiinistrasi, hal ini didasarkan pada pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, di dalam penjelasan umum undangundang tersebut dinyatakan: "Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara- Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk memudahkan segi pembuktian, oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan merupakan suatu keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas:
·        Badan atau pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
·        Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu-,
·        Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang diterapkan di dalamnya.

Dengan fungsi memo atau nota yang demikian ini, maka dalam penelitian ilmu Hukum, memo atau nota merupakan bahan informasi yang digolongkan ke dalam bentuk dokumen.

Pengertian dokumen menurut Poerwadarminta (1984: 256), adalah sesuatu yang tertulis atau tercetak, yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan. Pengertian lain tentang apa yang dimaksud dengan dokumen ditemukan dalam Black's Law Dictionary (1979:432), Document: An instrument on which is recorded, by means of letters, figures, or marks, the original, official, or legal form of something, which may be evidentially used. In this sense the term "document" applies to writings; to words printed, ligthographed, or photographed; to maps -6r plans; to seals, plates, or even stones on which inscription are cut or engraved. In the plural, the deeds, agreement, titlepapers, letters, receipts, and other written instrument used to prove a fact.    Within meaning of the best evidence rule, document is any physical embodiment of information or ideas; e.g. a letter, a contract, a receipt, a book of account, a blueprint, or an X-ray plate.

Pengertian dokumen dalam kamus hukum (Puspa, 1977:323), adalah surat asli sebagai simpanan yang dianggap sangat berharga. Sesuai dengan pengertian atau definisi di atas, dokumen sebagai bahan tertulis atau tercetak (periksa definisi Poerwadarminta), jika di lihat dari sifatnya dokumen dapat dibedakan menjadi:
·        Dokumen Primer; yaitu dokumen yang memberikan informasi dan data (fakta hukum) secara langsung baik yang dipublikasikan atau tidak yang benar-benar asli sifatnya, misalnya sertifikat tanah, akte kelahiran, akte nikah, dan sebagainya.
·        Dokumen sekunder; yaitu yang memberikan informasi dan data yang merupakan saduran, terjemahan atau foto copy dari sumber aslinya.

Selanjutnya apabila dokumen dilihat sebagai simpanan yang dianggap sangat berharga, dokumen dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu:

·        Dokumen Rahasia; yaitu dokumen yang hanya boleh diketahui oleh kalangan tertentu, dan tidak disebarluaskan untuk umum- Contohnya dokumen perjanjian yang menurut kategorinya dianggap sebagai rahasia negara, rahasia bank, rahasia perusahaan, dan lain-lain yang sama sifatnya.
·        Dokumen Resmi; yaitu dokumen yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh lembaga-lembaga resmi dengan maksud untuk diketahui oleh masyarakat. Contohnya Lembaran Negara, Berita Negara, Lembaran Daerah, dan sebagainya.
·        Dokumen Tidak Resmi; yaitu dokumen yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh lembaga-lembaga swasta, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan telaah pustaka, seorang peneliti yang melakukan penelitian melalui berbagai literatur dan dokumen yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti, si peneliti tersebut dihadapkan pada proses kegiatan yang sesungguhnya, yaitu melakukan kegiatan membaca secara kritis analisis dan membuat catatan-catatan yang diperlukan. Kegiatan membaca sebagai telaah pustaka bukan merupakan pekerjaan yang mudah, namun juga bukan merupakan pekerjaan yang sulit jika diketahui teknik-tekniknya. Untuk itu dalam kegiatan membaca terlebih dahulu harus dipahami teknik tertentu untuk menampung atau merangkum sari dari suatu bahan bacaan. Cara yang digunakan ada bermacam-macam terserah cara mana yang akan digunakan, sebagai pedoman dapat dipilih salah satu cara di bawah ini:

1)      Memilih dan mengumpulkan pokok isi yang nyata saja.
2)      Mencari jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya sudah dipersiapkan, misalnya apa (yang dimaksud dengan batasan atau pernyataan itu), siapa (yang terlibat, pelaku, korban), bilamana (terjadi), di mana (tempat kejadian), bagaimana (duduk perkaranya), me-ngapa (penyebabnya), berapa (ukuran), dan sebagainya.
3)      Menelaah bahan bacaan secara seksama, untuk mengecek kebenaran suatu pernyataan, baik pernyataan dari sumber informasi lain, maupun pernyataan dalam bahan bacaan itu sendiri.

Jadi kegiatan membaca dengan tidak menggunakan teknik tertentu, hanya akan membuang waktu saja dengan membolak balik halaman tanpa memperoleh hasil yang nyata- Dalam kegiatan membaca perlu dibuat catatan terhadap bahan-bahan yang dianggap penting dan diperlukan. Untuk pencatatan tersebut disediakan kartu khusus berukuran 10x15 cm atau sesuai kebutuhan. Kartu tersebut disusun menurut ukuran alfabet sesuai dengan pokok masalah yang dicatat dan setiap kartu harus memuat:
§         Sumber yang tepat dari mana catatan itu diambil.
§         Informasi atau pendapat yang diperlukan.
§         Pokok masalah.

Pada umumnya kartu yang digunakan untuk pencatatan dapat dibagi tiga macam bentuk yaitu: Pertama, kartu yang isinya kutipan, Kedua, yang berisi ikhtisar dan Ketiga berisi ulasan. Untuk lebih memudahkan, pada bahan atau skema di bawah ini akan diberikan contoh kartu yang berisi kutipan, ikhtisar, dan ulasan.
KARTU KUTIPAN
Warjiyati, Sri, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Buruh, Tarsito, Bandung 2003, hal 231."
            Kebebasan, merupakan hak asasi yang sifatnya kodrati, oleh karena itu aktivitas buruh untuk berorganisasi dan atau berserikat, tidak boleh dilarang atau dibatasi oleh pengusaha. Pembatasan terhadap kebebasan tersebut hanya dapat diatur oleh undang-undang. Namun demikian kebebasan juga bukan bersifat mutlak, sebab kebebasan harus dapat menjamin terlaksananya kepentingan umum".

KARTU ULASAN
Anonim, Buletin Hukum Ketenagakerjaan, Vol.3 Tahun IX, Edisi November- Desember, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta, 2001, hal. 15
Kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia selalu mendapat sorotan dari dunia Internasional, persoalannya karena pemerintah atau pengusaha, tidak pernah konsisten memberi kebebasan kepada buruh untuk berorganisasi. Dalam praktek para pengusaha terkesan mengekang kebebasan ini dengan cara-cara yang tidak masuk akal.

KARTU IKHTISAR
Warjiyati, Sri, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Buruh, Tarsito, Bandung 2003, hal 231.
Jika memang Kebebasan merupakan hak asasi yang sifatnya kodrati, seperti yang dikemukakan oleh Sri Warjiyati, dapat disimpulkan bahwa: [1) kebebasan adalah pemberian Tuhan, r2] pengekangan hak berserikat berarti melawan kodrat dan merupakan penindasan terhadap hak-hak buruh; 13] hak berserikat itu hanya dapat dibatasi dengan undang-undang.


Pencatatan isi yang akan digunakan dalam kartu rangkuman atau intisari, sangat tergantung pada keahlian dan ketajaman pemahaman dan atau kemampuan analisis peneliti untuk mengambil sari atau inti yang terpenting dari bahan yang dibacanya, oleh karena itu pemahaman terhadap alinea-alinea dan keahlian membuat ringkasan dari suatu bahan bacaan tetap menjadi dasar yang sangat penting. Seorang peneliti harus memiliki kejelian dan kepekaan terhadap apa yang dikemukakan dalam suatu bahan bacaan. Terkadang suatu bahan bacaan terlebih dahulu menguraikan secara panjang lebar mengenai suatu masalah, sehingga apabila si peneliti tidak mengamati secara seksama, akan sangat sulit baginya mengambil intisari dari tulisan tersebut. Bagi seorang peneliti pencatatan ikhtisar atau intisari suatu tulisan sangat penting karena merupakan salah satu bahan kajian yang dapat digunakan sebagai pangkal tolak berpikir untuk membangun konsep-konsep penelitiannya.


4. Membangun Konsep dan Teori
Dalam penelitian ilmu hukum normatif, pada dasarnya hasil yang diharapkan dari pengkajian itu adalah argumentasi hukum yang akan diarahkan pada perumusan teori. Atas dasar itu, dalam pengkajian ilmu hukum normatif membangun konsep hukum guna penyusunan teori sangat penting. Kegiatan membangun konsep ini merupakan pengamatan dan pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat essensial dan yang tidak essensial serta mengelompokkan berdasarkan persamaan konsep-konsep hukum tertentu.

Membangun konsep dalam pengkajian ilmu hukum pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengkonstruksi teori, yang akan digunakan untuk menganalisis-nya dan memahaminya. Dalam kegiatan mengkonstruksi teori ini, langkah yang dilakukan adalah berupa kegiatan menentukan isi aturan hukum, artinya menetapkan apa yang menjadi kaidah hukumnya dan merumuskan makna aturan Hukum itu.

Dalam pandangan inilah tepat apa yang dikemukakan oleh Aarnio (1983:64) bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang makna-makna. Menentukan makna dari sesuatu gejala hukum berarti melakukan interpretasi terhadap gejala hukum tersebut, sehingga dengan demikian kegiatan tersebut berupa kegiatan memaparkan aturan Hukum, kegiatan memaparkan aturan Hukum ini akan sangat tergantung pada bagaimana cara seorang peneliti membangun konsepnya dari menyusun teori untuk menginterpretasikan gejala-gejala hukum. Bila hal ini yang terjadi maka seorang pengkaji ilmu hukum atau ilmuwan hukum dalam upayanya merumuskan teorinya, harus memilih dari berbagai makna aturan hukum yang mungkin terdapat dalam gejala-gejala hukum itu. Jadi pengembangan atau pengkajian ilmu hukum tidak hanya berupa kegiatan memaparkan bagaimana aturan hukum dapat diinterpretasi, melainkan juga menentukan pilihan di antara berbagai kemungkinan alternatif makna hukum yang terdapat dalam aturan hukum.

Dalam pengkajian ilmu hukum obyek telaah ilmu hukum adalah teks otoritatif yang bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan, putusan hakim atau dokrin. Untuk dapat menghimpun, menata, memaparkan dan mensistematisasinya guna membangun konsep dan membangun teori, maka teks otoritatif itu hingga derajat tertentu harus dipahami terlebih dahulu, dan untuk itu harus dikaji dari diinterpretasi menurut aturan dan langkah-langkah yang jelas, tersusun dan terarah dengan menggunakan metoda peng-kajian hukum. Caranya dengan menghimpun dan mengolah tatanan aturan yang ada, yang di dalamnya berlangsung interpretasi, pembentukan dan penjabaran pengertian-pengertian dalam hukum serta mempertimbangkan konsekuensi kemasyarakatan dari solusi masalah yang dapat dirancang dan ditawarkan.

Dalam kegiatan yang demikian ini, pengkajian atau pengembanan ilmu hukum sesungguhnya ikut memainkan peranan dalam membuat perangkat aturan yang ada menjadi produktif, dalam menentukan apa hukumnya bagi suatu situasi konkrit tertentu. Ini berarti bahwa pengembanan ilmu hukum berpartisipasi dalam proses pembentukan hukum.

Dari apa yang sudah dikemukakan di atas, sudah tampak bahwa pengkajian ian ilmu hukum itu mengacu pada praktek atau penerapan praktis dan menyandang sifat normatif atau mengkaidahi. Selanjutnya dalam pengkajian ilmu hukum tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan peri-dapat tentang makna kaidah hukum. Menetapkan apa hukumnya yang seharusnya berlaku bagi suatu situasi, berarti memilih kaidah hukum dan makna yang paling tepat atau paling dapat diterima dari berbagai kemungkinan kaidah hukum, dari perangkat aturan hukum yang terkait dalam hubungan dengan situasi kemasyarakatan yang bersangkutan. Dalam proses pengkajian yang demikian itu, peneliti atau ilmuwan hukum harus memberikan alasan atau argumen untuk secara rasional mendukung apa yang dipandangnya sebagai fakta relevan dari kaidah hukum serta maknanya yang paling tepat atau paling dapat diterima dari aturan hukum terkait.

Ini berarti bahwa kegiatan pengkajian ilmu hukum berintikan argumentasi, yakni argumentasi yuridis atau penalaran Hukum, oleh karena itu teori argumentasi me megang peranan sangat penting dalam pengkajian ilmu hukum., sebab teori ini dapat memberikan sudut pendekatan, di mana berdasarkan teori argumentasi ini seorang ilmuwan hukum dapat menjelaskan dasar-dasar yang melandasi putusan tentang apa fakta relevannya dan apa hukumnya serta pengujian terhadapnya. Dengan kata lain teori argumentasi dapat menyajikan kriteria rasionalitas untuk mengkaji kegiatan dan produk pengembanan ilmu hukum.

Argumentasi pada dasarnya adalah bentuk penampilan proses kegiatan berpikir, sejak zaman Yunani sudah dibedakan dua kutub cara berpikir, yakni berpikir aksiomatik dan berpikir tipikal. Berpikir aksiomatik merupakan proses berpikir yang bertolak dari kebenaran yang tidak diragukan melalui mata rantai yang bebas ragu, sampai pada kesimpulan yang mengikat. Proses berpikir ini mengacu pada model pengetahuan yang pasti yang digambarkan dalam sebuah sistem yang puncaknya berupa seperangkat aksioma yang eviden, selanjutnya melalui mata rantai perantara yang            bebas-ragu dijabar ke dalam suatu keseluruhan putusan detail. Model pikiran ideal ini mencerminkan usaha yang sudah tertanam dalam pikiran manusia. Dalam proses berpikir, manusia selalu berusaha menemukan landasan dan pembenaran bagi pendapatnya dan mengusahakan juga kesatuan, kesaling berkaitan, kebertatanan. Kutub lawannya, yakni berpikir problematik adalah berpikir dalam suasana yang di dalamnya tidak ditemukan kebenaran bebasragu, yang di dalam pertentangan pendapat masalahnya bergeser dari hal menentukan apa yang konklusif menjadi hal menentukan apa yang paling dapat diterima, yang paling akseptabel dan yang paling plausibel. Untuk itu maka diajukan alasan-alasan untuk mendukung pendapat tertentu yang kekuatannya diuji dalam diskusi.

Dalam pengkajian ilmu hukum untuk membangun konsep dan teori, model berpikir yang digunakan adalah model berpikir problematik. Hal ini karena dalam membangun konsep atau dalam menyusun teori model berpikir ini sangat berpengaruh untuk merumuskan argumentasi hukum. Alasannya karena argumentasi hukum itu terdiri dari unsur-unsur diskursus hukum, retorika hukum dan logika hukum sehingga dengan demikian melibatkan perangkat kaidah logika formal. Aspek retorika dari penalaran hukum ditujukan pada aktivitas hukum yang mencakup pembentukan hukum maupun pemberian putusan hukum. Ciri khan dari retorika hukum adalah mengacu pada sumber hukum formal. Dalam retorika hukum alasan-alasan yang dikemukakan untuk melandasi suatu pendapat pada akhirnya akan selalu mengacu pada perangkat sumber hukum formal.

Dalam membangun konsep dan penyusunan teori didasarkan pada ketepatan merumuskan masalah hukum kedalam pertanyaan-pertanyaan yuridis. Ketepatan perumusan masalah hukum itu ditentukan oleh ketepatan persepsi atau pemahaman terhadap situasi yang memunculkan masalah hukum. Untuk memperoleh pemahaman masalah setepat mungkin, maka situasi tersebut harus dianalisis ke dalam fakta-fakta relevan yang mewujudkannya. Mengkualifikasi situasi untuk menetapkan fakta-fakta yang yuridis relevan dengan memisahkannya dengan yang tidak relevan, dilakukan berdasarkan kaidah hukum yang akan ditemukan, dengan menggunakan metode interpretasi atau konstruksi Hukum, terhadap aturan hukum atau sejumlah aturan hukum yang relevan terhadap situasi faktual yang dihadapi. Sebaliknya, memilih aturan dan menemukan kaidah hukum yang relevan, harus atau hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dari sudut situasi kenyataan faktual yang dihadapi. Jadi, dalam proses berpikir untuk merumuskan konsep dan teori guna penyelesaian masalah hukum, berlangsung dalam proses lingkaran hermeneutika.

Proses membangun konsep yang demikian ini, menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan ilmu hukum selalu melibatkan dua aspek, yakni kaidah hukum dan fakta, dengan kata lain aspek normatif preskriptif untuk menemukan kaidah hukumnya dan aspek empiris deskriptif untuk menetapkan fakta yang relevan dari kenyataan yang dihadapi, bahwa dalam proses pengembanan-nya kedua aspek itu berinteraksi atau harus diinteraksikan. Putusan yang diambil untuk ditawarkan sebagai penyelesaian bagi masalah hukum yang dihadapi itu dimaksudkan sebagai penyelesaian definitif yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam pengkajian ilmu hukum terutama dalam membangun konsep dan menyusun teori harus selalu mengacu pada nilai, sebab hukum yang menjadi obyek studi ilmu hukum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib berkeadilan. Tiap kaidah hukum positif adalah produk penilaian manusia terhadap perilaku manusia yang me ngacu pada ketertiban berkeadilan yang berakar pada nilai-nilai. Hukum dengan berbagai kaidahnya adalah aspek kebudayaan. Ini berarti bahwa tata hukum itu ber-muatan atau mencerminkan sistem nilai, sehubungan dengan itu pemahaman secara ilmiah terhadap hukum dan penggunaannya dalam kehidupan nyata hanya mungkin bermakna jika dilakukan dengan mengacu pada nilai dari titik berdiri internal terbatas. Dengan kata lain, ilmu hukum itu tidak bebas nilai.

Mengingat bahwa obyek telaahnya adalah realitas yang sarat nilai, dan ilmu hukum itu sendiri tidak bebas nilai, maka pengembanan ilmu hukum juga mengemban fungsi kritis terhadap obyek telaahnya. Dilaksanakannya fungsi kritis ini, dengan mengacu pada cita hukum sebagai norma kritisnya, akan mendorong penerapan dan pengembangan hukum yang sesuai dengan tujuannya, sehingga dengan itu mendorong dilaksanakannya praksis dan politik hukum yang adekuat, terhadap tujuan hukum dalam kerangka cita negara dan tujuan menegara pada umumnya. Atas dasar itu juga, pengembanan ilmu hukum berdampak atau menyandang sifat mengkaidahi, dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses pembentukan hukum dan penemuan hukum.

Atas dasar hal tersebut dalam membangun konsep dan menyusun teori pada kajian ilmu hukum normatif, memerlukan kepekaan dalam menganalisis masalah, memerlukan ketajaman pikiran guna menyusun teori, sehingga mampu menjelaskan gejala-gejala hukum dengan jelas. Penyusunan teori itu sendiri harus dilakukan menurut kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam ilmu pengetahuan hukum, yaitu dirumuskan dalam konsep yang jelas, konsisten, sederhana, dan akurat.


5. Penalaran Hukum
Kajian ilmu hukum normatif, adalah proses nalar dan penalaran hukum yang bertumpu pada aturan berpikir yang dikenal dalam logika. Penggunaan logika dalam ilmu hukum mengandung ciri khas yang berkenaan dengan hakekat hukum, sumber hukum dan jenis hukum. Jadi dalam pengkajian ilmu hukum normatif ketiga masalah ini harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, sebab apabila seorang peneliti atau pengkaji hukum tidak memperhatikannya akan terjadi bias terhadap hasil pengkajian. Dalam penalaran hukum, persoalan yang timbul dengan penggunaan logika jika berhadapan dengan hakekat hukum akan menimbulkan persoalan tentang norma, sebab hakekat hukum sebagai norma adalah pedoman perilaku. Dalam kehidupan masyarakat pedoman perilaku bukan hanya hukum, tapi juga ada norma lain seperti norma moral, norma agama, norma susila, dan sebagainya, jadi apakah norma moral juga uga merupakan norma kelakuan yang dapat dipaksakan berlakunya secara yuridis? Hal ini merupakan kajian yang khas dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif.

Begitu pula halnya dengan penggunaan logika jika berhadapan dengan sumber hukum. Sumber hukum sesuai dengan tingkatannya menghasilkan berbagai jenjang norma, artinya norma yang terkandung dalam Undangundang sebagai sumber Hukum, berbeda dengan norma yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, begitu. juga dengan norma yang terkandung dalam hukum dasar atau konstitusi. Jadi pada ta.- taran yang demikian penalaran hukum akan berhadapan dengan permasalahan jenjang norma. Hukum konstitusi ini merupakan bagian hukum yang Barat dengan politik. Boleh dikatakan hukum konstitusi berpijak pada dua kaki, kaki pertama adalah politik; yaitu yang menentukan gagasan-gagasan politiknya, kaki kedua adalah hukum; yaitu yang memberikan bentuk hukum pada gagasan kebijakan politik yang telah diputuskan sehingga dapat dijadikan dasar kekuatan berlakunya kebijakan tersebut, karena itu hukum konstitusi juga disebut hukum politik. Kemudian dalam suatu sistem hukum Indonesia, ditemukan bagian hukum lain yang bukan mengatur negara, tetapi mengatur masyarakatnya. Bagian ini disebut hukum dalam arti yang sebenarnya atau yang dikenal dengan ordinary law yang dilawankan dengan constitutional law, bagian ini masih dibagi lagi dalam sub-bagian seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara. Dalam sistem hukum Romawi dikenal adanya pembagian lain, yaitu hukum privat yang dalam hal ini adalah hukum perdata, dan hukum publik yang termasuk di sini hukum pidana dan hukum administrasi negara.

Dalam banyak hal, akan lebih sulit lagi apabila penggunaan logika dalam penalaran hukum berhadapan dengan jenis hukum, pada tataran ini penalaran hukum harus sesuai dengan asas dan paradigma dari jenis hukum yang bersangkutan. Maksudnya-paradigma tentang tujuan hukum berupa keadilan dan kebenaran yang terdapat pada setiap jenis hukum itu kadarnya berbeda satu sama lain. Misalnya keadilan dan kebenaran menurut asas hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum pidana tidak bisa disamakan, walau ketiga bagian hukum itu mengacu pada kepentingan masyarakatnya bukan individunya. Keadilan politik yang diem-ban oleh hukum tata negara mengacu pada peningkatan akses sebanyak mungkin anggota masyarakat, untuk dapat berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik yang secara umum disebut sebagai demokrasi. Intinya ialah kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, kebebasan dalam menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya asas-asas hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran hukum di sini lebih ditekankan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbeda dengan aspek keadilan dan kebenaran dari segi hukum administrasi negara. Fungsi hukum di sini intinya mengemban dan melayani kepentingan masyarakat, baik material maupun spiritual. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok besar dan kecil, terdiri dari unit-unit yang satu dengan. yang lain yang berbeda sifatnya. Ada kelompok yang disebut keluarga yang mendasarkan pada keturunan, ada kelompok usahawan, kelompok profesi dan kelompok lainnya yang mendasarkan pada tercapainya atau terpeliharanya kepentingan mereka. Jumlah kelompok tersebut tidak dapat dihitung, akan tetapi yang jelas kepentingan masing-masing kelompok sangat berbeda-beda, bahkan kadang-kadang berlawanan antara satu dengan lain. Disinilah fungsi hukum administrasi negara, di satu pihak bagaimana dapat melayani sekian banyak kepentingan secara optimal sedang di lain pihak bagaimana dapat menyerasikan kepentingan-kepentingan tersebut agar tidak berbenturan satu dengan lain. Pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan tersebut di atas, diarahkan agar tercapai keadilan secara merata atau yang disebut sebagai keadilan distributif.

Suatu hal yang menjadi sifat atau ciri khas hukum administrasi negara yang tidak ada atau tidak ditemukan pada hukum perdata maupun hukum pidana ialah; penentuan norma hukum atau materinya. Penentuan norma hukum administrasi  tidak sekali jadi, artinya tidak hanya ditentukan oleh pembuat undang-undang, dalam hal ini pembuat undang-undang hanya dapat menentukan norma yang bersifat umum dan abstrak. Dalam pelaksanaan selanjutriya secara bertahap norma yang umum dan abstrak tersebut, melalui produk-produk peraturan yang makin lebih rendah secara berjenjang berturut-turut menjadi norma umum yang konkrit, artinya dihubungkan dengan masalah tertentu, kemudian turun lagi menjadi norma individual tetapi masih abstrak dan tahap yang terakhirnya barulah berwujud menjadi norma yang individual dan konkrit, hal ini banyak ditemui dalam bentuk keputusan-keputusan pajabat administrasi negara.

Aspek keadilan dalam hukum pidana, mempunyai sifat yang lain, fungsi hukum pidana adalah sebagai hukum pengawal, yaitu menjaga agar kepentingan-kepentingan hukum yang ada dalam hukum tata negara, hukum administrasi negara dan juga dalam hukum perdata benar-benar ditaati dan tidak dilanggar. Ada yang disebut hukum pidana umum, yaitu yang memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut pera.- saan hukum masyarakat merupakan kejahatan. Setelah negara timbul, negara mengambil alih dalam menjaga dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut dengan menjadikannya, sebagai perbuatan pidana dan disusun dalam suatu kodifikasi yang dikenal dengan kitab undangundang hukum pidana.

Tentang hukum perdata, asas keadilannya ialah yustitia commutative atau asas keadilan timbal balik di antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan pada umumnya asas ini dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang terkait sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Hanya dalam jenis hubungan perdata yang memerlukan persyaratan- persyaratan kompleks, seperti perdagangan efek, kredit dengan jaminan yang meliputi jumlah uang yang besar dan lainnya sering timbul sengketa. Dalam sengketa perdata ini, kebenaran yang dapat diperoleh hanyalah kebenaran formal, sehingga keadilan dalam penyelesaian sengketa itu hanyalah bersifat formal. Dengan demikian jelas bahwa penalaran hukum dengan menggunakan logika dalam pengkajian ilmu hukum Normatif, memerlukan kehati-hatian dan harus memenuhi aturan proses berpikir yang ditentukan dalam logika. Dalam penalaran hukum, kesimpulan sering tergantung pada penilaian kelayakan dari pengambilan keputusan, karena itu dalam praktek yang sering terjadi. adalah proses Tatar belakang berpikirnya selalu dirumuskan dalam bentuk silogistik. Tentang kualitas logika penalaran hukum, Bermann menunjuk pada ciri-ciri khas penalaran hukum sebagai berikut: 

Pertama, penalaran hukum berusaha mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah keyakinan bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang masuk ke dalam yurisdiksinya. Jadi terhadap kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia simlibus atau asas persamaan. 

Kedua, penalaran hukum berusaha memelihara kontinuitas dalam waktu. Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu, sehingga dapat menjamin stabilitas dan prediktabilitas. Ketiga, dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal yakni menimbang-nimbang klaim yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada pembentukan undang-undang maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan atau dalam proses negosiasi.

Kesimpulannya, dalam tiga ciri khas penalaran hukum itu secara implisit terkandung analogi, yakni membanding-bandingkan hal atau kejadian untuk menemukan kesamaan dan perbedaan, untuk kemudian berdasarkan temuan itu menarik kesimpulan. Pada dasarnya, bentuk logika hukum yang paling utama adalah penalaran analogikal. Penalaran analogikal sebagai pola dasar penalaran Hukum, dapat dibedakan ke dalam analogi doktrin hukum dan analogi preseden. Analogi doktrin hukum dirumuskan dalam undang-undang dan bentuk aturan hukum yang lain, misalnya membandingkan kasus yang dihadapi dengan kasus yang secara eksplisit diatur dalam suatu aturan hukum. 

Berdasarkan kesamaan dan perbedaan antara dua kasus tersebut, ditentukan apakah kasus yang tengah dihadapi termasuk ke dalam jangkauan keberlakuan atau wilayah penerapan aturan hukum tersebut atau tidak. Pada analogi preseden yang terjadi adalah membandingkan fakta-fakta dari kasus yang dihadapi dengan fakta-fakta dari kasus-kasus yang sudah diputus di masa lalu. 

Jadi penalaran hukum melibatkan penalaran induksi jika penalarannya berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang sudah diputus, dan juga melibatkan penalaran deduksi jika penalarannya bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum.





1 komentar:

  1. maaf mau tanya...?/
    kalu mengenai kalimat anya yang bisa digunakan untuk rumusan masalah dalam penelitian hukum normatif biasanya seperti apa ya....?//
    mohon bantuanya.

    BalasHapus