Minggu, 23 Januari 2011

PENGERTIAN, TEMPAT, SERTA MANFAAT FILSAFAT HUKUM

KULIAH Perdana Filsafat Hukum

BAB I
PENGERTIAN, TEMPAT, SERTA MANFAAT
FILSAFAT HUKUM

1.1 Pengertian Filsafat Hukum
Bila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, akan kita temukan berbagai definisi, perumusan, ataupun uraian yang diutarakan oleh para penulisnya. misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979:11),  Satjipto Rahardjo (1982:321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan. yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu; Gustav Radbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.

Beberapa penulis hukum- seperti van Apaldoorn, E. Utrecht, dan Kusumadi Pudjosewojo tidak mengetengahkan definisi atau perumusan, tetapi, mereka menjelaskan arti filsafat hukum itu dengan suatu uraian yang agak panjang.

Lihat juga: LILT RASJIDI, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT Citra Aditya Bakti, 1993, hal 1 - 11 .

Uraian ketiga penulis tersebut dianggap penting, karena itu berturut-turut akan dikutip di bawah ini.

Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut:
"Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan:'Apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang "hukum".
Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya?
Dapat, hanya, tak dapat ia memberikan jawaban yang serba memuaskan karena ia tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. la tak melihat "hukum"; ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan pancaindera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.

Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya. Kaidah-kaidah hukum termasuk dunia yang lain daripada kebiasaan-kebiasaan hukum; kaidah hukum tak termasuk dunia kenyataan, dunia sein, dunia alam (natuur), tetapi. termasuk dunia nilai, termasuk dunia sollen dan mogen, jadi termasuk dunia yang lain daripada dunia penyelidik ilmu pengetahuan.

 Di mana ilmu pengetahuan hukum berakhir, di sanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Jumlah pertanyaan tersebut tak terhingga banyaknya, ilmu pengetahuan tak memberi jawaban satu pun atas pertanyaan hukum tersebut. Segala pertanyaan hukum dapat merupakan obyek pertimbangan filsafat, sebagai juga Socrates membuat hal-hal dari hidup sehari-hari yang biasa sebagai titik pangkal dari pandangan-pandangan filsafatnya. Akan tetapi, ahli filsafat hukum pada hakikatnya lebih suka mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang terpenting. Apa yang dimaksud dengan itu merupakan pula suatu penilaian yang di dalamnya, pandangan seorang penyelidik memegang peranan yang penting. Keadaan waktu dapat mempengaruhi pandangan itu sepanjang ia dapat membuat pertanyaan-pertanyaan yang tertentu menjadi masalah-masalah yang penting. Akan tetapi, ada juga pertanyaan-pertanyaan yang pokok, yang jawabnya rupa-rupanya merupakan permulaan dari segala kepandaian yuridis, dan justru karena itu sukar. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dengan mendesak pada tiap-tiap manusia yang memikirkan keadilan dan ketidakadilan, dan yang juga dipelajari oleh ahli-ahli pikir yang besar-besar dan setiap zaman. Kita akan berhenti sebenarnya pada masalah pokok tentang filsafat hukum itu, tentunya bukan untuk segera memberikan jawaban, melainkan hanya dengan harapan, membangkitkan perhatian untuk soal itu."

Rumusan lain adalah dari E. Utrecht (1966). la mengetengahkan sebagai berikut: "Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum) Apakah sebabnya kita menaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum) Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik-buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan hukum) Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiric hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch wardeoordeel. Filsafat hukum berusaha membuat 'dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh pancaindera' dari hukum (de onzichtbare ethische Wereld achter het recht).  Filsafat hukum menjadi suatu ilmu normatif, seperti halnya dengan (ilmu) politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu rechtsideaal yang dapat menjadi 'dasar umum' dan 'etis' (ethisch) bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti Grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Kantianisme). Filsafat pada umumnya mencari etische dan ideate levenshouding yang dapat menjadi dasar tetap petunjuk-petunjuk hidup kita. Pada zaman sekarang, khusus di Jerman dan di Amerika Serikat ada perhatian besar terhadap filsafat hukum. Di Indonesia ada kecenderungan untuk mendasarkan pelajaran hukum sebanyak-banyaknya atas filsafat (Universitas Negeri Gajah Mada). Kerugian (nadeel) yang dapat ditimbulkan oleh suatu pelajaran hukum yang didasarkan atas filsafat ialah hal peninjauan para pelajar dapat dijauhkan dari sociale werkelijkheid dari hukum."

Uraian lainnya tentang filsafat hukum adalah dari Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan, karena sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: "Dan sekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan pertanyaan-pertanyaan  demikian orang sudaH melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak  lapangan 'filsafat hukum' (aslinya dicetak tebal, pen.) sebagai ilmu pengetahuan filsafat."

Uraian yang lengkap dikemukakan oleh L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: "Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari berbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut juga etika. Obyek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk yang khas, yang ditemukan dalam tingkah laku manusia, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika untuk pendapat ini saya juga dapat menyampaikan bukti-bukti yang meyakinkan. Namun, saya sama sekali tidak meminta agar para pembaca menerima dalil bahwa filsafat hukum itu merupakan bagian dari etika, sebelum diyakinkan oleh bukti-buktinya. Akan tetapi, untuk sementara dalil ini saya kemukakan begitu saja karena bagi mereka yang membaca dan. mempelajari bahasan ini akan bermanfaat bila sejak semula telah mengetahui di mana tempat filsafat hukum dalam kerangka keseluruhan filsafat. Mengapa bukti nya baru akan dikemukakan kemudian? Oleh karena untuk pembuktian diperlukan pengertian yang baik tentang hukum, pengertian yang baik tentang apa hukum itu. Justru untuk keperluan itulah maksud pembahasan ini. Para pembaca akan melihat bahwa dalil tersebut logis dan dengan jelas sekali merupakan kesimpulan dari bab-bab yang kami yakinkan mengenai hakikat. Dalam bab terakhir hal itu dapat kami cukupkan dengan menunjukkan bahwa dalil tersebut, dengan logika yang tidak dapat disangkal, merupakan kesimpulan dari yang akan kami tetapkan  melalui argumentasiargumentasi.

Sifat khas dari filsafat ialah bahwa ilmu itu membahas masalah-masalah yang sifatnya umum. Obyek filsafat hukum pun, karenanya, adalah hukum yang demikian. Ia memasalahkan hakikat hukum, alasan terdalam dari eksistensinya (tujuan, subyek, pembuat), sifat-sifatnya. Bukan mengenai hukum ini atau hukum itu, misalnya hukum Belanda atau hukum Romawi, bukan mengenai hukum pidana, tetapi mengenai hukum an sick. Oleh sebab itu, kesimpulan-kesimpulan filsafat hukum berlaku umum bagi setiap hukum. Sebab, apa yang baik' bagi hukum, dengan sendirinya baik juga bagi hukum Belanda dan hukum Cina, bagi hukum perdata dan bagi hukum pidana. Filsafat hukum hanya membahas satu bagian saja dari hukum, yaitu bagian yang paling umum dari hukum, dalam hukum alam (natuurrecht) dan hukum positif. Bagian yang paling umum ini berlandaskan hakikat hukum itu sendiri dan mengarah kepada dua kategori hukum yang keduanya masih sangat umum, yang masing-masing  secara tersendiri dibahas langsung oleh filsafat hukum. Itulah sebabnya, setelah membahas masalah umum dari hukum tanpa pembedaan, filsafat hukum juga mengajukan pertanyaan: apa hukum alam (natuurrecht) itu; apa hakikatnya, alasan eksistensinya, sifatsifatnya. Kemudian ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama yang mengenai hukum positif.

Untuk memperoleh pengertian yang tepat mengenai sifat filsafat hukum, pengertian yang baik mengenai perbedaan yang ada di antara ilmu ini dengan ilmu-ilmu yang lain yang menunjukkan kesamaan, tidak sedikit bantuannya.

Pertama-tama adalah ilmu hukum yang merupakan mata kuliah paling penting yang diajarkan di setiap fakultas hukum. Subyek ilmu ini bukan untuk mengetahui apa hukum itu (quid just?), melainkan untuk mengetahui apa isi perundang-undangan tertentu (quid yuris?) (Kebanyakan mengenai yang sekarang berlaku di sini). Apa yang kini sesungguhnya berlaku di Nederland sebagai hukum: bagaimana hukum Nederland itu harus diartikan dan diterapkan? Itu sebabnya hukum Nederland itu harus diartikan dan diterapkan? Itu sebabnya pada berbagai waktu dan tempat, subyek ilmu hukum itu berbeda-beds. Jawaban atas pertanyaan: 'Apa yang kini berlaku.sebagai hukum di sini?' di negeri yang sama pada zaman Hammurabbi berbeda dengan jawaban sekarang. Demikian juga jawaban sekarang di Nederland berbeda dengan di Cina. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan filsafat hukum setiap waktu dan di mana pun sama, setidak-tidaknya bila jawaban itu benar. Jawaban yang tepat atas pertanyaan: apa hukum itu, hanya bila satu. Jika ada dua jawaban yang isinya satu sama lain tidak sama, pastilah sekurang-kurangnya satu di antaranya salah.

Sejarah hukum dengan cara yang lain lagi dibedakan dari filsafat -hukum. Sesungguhnya tugasnya adalah memastikan apa yang pada masa-masa lampau berlaku sebagai hukum pada satu bangsa atau pada semua bangsa; ia juga menyelidiki hubungan yang mungkin ada di antara berbagai  sistem hukum atau berbagai undang-undang, yang satu sama lain telah saling mengikuti. Jadi, sejarah hukum menggarap yang beraneka ragam, berbagai bentuk yang dalam perkembangan zaman menampakkan gejala 'hukum'. Filsafat hukum justru mencari yang dalam berbagai hukum adalah sama, .yaitu yang hakiki dan yang tidak dapat berubah dalam hukum. Dengan ini tentu saja kami tidak bermaksud menyatakan bahwa sejarah hukum bukan alat pembantu yang penting untuk mendapatkan data, yang berguna sebagai titik tolak dan dasar untuk penyelidikan filsafat mengenai apa yang disebut hukum.

Nampaknya hampir tidak perlu untuk menunjukkan perbedaan antara filsafat hukum dan sejarah filsafat hukum. Ilmu yang terakhir ini tidak menanyakan 'apa hukum. itu', tetapi 'bagaimana orang lain dalam perjalanan sejarah menjawab pertanyaan apa hukum .itu'. Walaupun tidak diragukan bahwa pengetahuan tentang sejarah suatu ilmu memberikan banyak dukungan dalam mempelajari ilmu itu, dan lebih-lebih sebagai pengetahuan ilmiah yang berkaitan (memiliki hubungan keluarga) sukar ditinggalkan, di antara kedua ilmu itu toh ada perbedaan hakiki. Yang pertama adalah filsafat, yang kedua adalah sejarah. Yang pertama mencari kebenaran mengenai hukum, yang kedua mencari pendapat-pendapat mengenai hukum, tanpa menghiraukan apakah pendapat-pendapat itu menyatakan atau tidak. Menganggap filsafat pada umumnya dan filsafat hukum pada khususnya sebagai pengetahuan tentang pendapat-pendapat yang dianut dalam berbagai zaman adalah kesalahan yang sangat serius, yang dalam zaman ini banyak dilakukan, walaupun hal itu dilakukan oleh para ahli filsafat kenamaan.

Studi perbandingan hukum juga sedikit berbeda dengan filsafat hukum. la menetapkan tugasnya untuk memperbandingkan sistem-sistem hukum yang ada, yang ditetapkan dalam perundang-undangan, baik yang ada pada masa lampau maupun yang berlaku di berbagai negara, agar dengan demikian dapat mengenal unsurnya yang, di mana  ada hukum, selalu dan di mana pun dapat ditemukan. Dengan cara ini memang berbagai, data yang. bagi ahli filsafat hukum besar manfaatnya, dapat dikumpulkan. Namun, studi ini bukanlah filsafat hukum yang sesungguhnya.
Lebih sukar lagi untuk menyatakan dengan tepat, apa yang harus diartikan dengan ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Namanya agak kabur. Biasanya ajaran hukum umum diartikan sebagai pengantar ilmu hukum positif yang biasa dan, di samping tafsiran dan keterangan mengenai istilah-istilah, juga tanpa dapat dihindari mengandung penjelasan-penjelasan yang termasuk  ke dalam filsafat hukum. Memang, ajaran hukum yangpaling umum tidak lain adalah filsafat hukum.

Kebutuhan akan, dan dorongan kepada, filsafat sangat manusiawi, sehingga mereka yang dengan sadar mengecualikan filsafat pun menggantinya dengan sesuatu yang semacam. Ajaran hukum umum adalah substitusi dari filsafat hukum. Berbagai masalah filsafat dikemukakan walaupun pembahasannya tidak selalu sedalam yang diperlukan oleh filsafat.

Sebenarnya terlalu berlebihan untuk mengemukakan juga teologi di sini. Akan tetapi, keperluannya untuk menyingkirkan kesalahpahaman memaksa kami mengemukakannya. Arti teologi yang setepat-tepatnya adalah ilmu yang bersandar pada kebenaran yang diwahyukan Tuhan sebagai prinsip-. prinsipnya (dasar-dasarnya). Ia bertolak dari apa yang, menurut kepercayaan, kita akui sebagai kebenaran. Subyek teologi adalah Tuhan. Akan tetapi, tidak hanya ditinjau sebagai Tuhan an sick, melainkan juga Tuhan dalam hubungannya dengan insan; Tuhan sebagai penyebab (asal, sumber) dan Tuhan sebagai tujuan. Bagian teologi yang membahas Tuhan sebagai tujuan manusia dan tingkah lakunya disebut teologi moral. Di sans juga dibahas .mengenai kebajikan-kebajikan dan kesusilaan (akhlak) yang baik dari, di samping itu, juga teologis mengenai hukum. -Perjanjian ini, sebagai teologi hukum, dapat kita hadapkan dengan filsafat hukum.

Namun, perlu kita ketahui dengan baik, tepatnya dalam hal apa teologi hukum berbeda dengan filsafat hukum. Keduanya mengenai hukum. Keduanya membahas masalah-masalah-umum yang sama mengenai hukum, Perbedaannya terletak pada cara, bagaimana keduanya membahas masalah-masalah itu. Teologi bertolak dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan, yang* diakui dengan kepercayaan; teologi mengenal hukum dengan bantuan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Filsafat bertolak dari kebenaran-kebenaran dan n prinsip-prinsip yang diakui dengan naluri alami; filsafat mengenal hukum dengan bantuan akal yang wajar. Dengan ini perbedaan itu ditunjukkan dengan tepat. Perlu dengan tegas kami tunjukkan bahwa perbedaan teologi dan filsafat bukanlah bahwa teologi membahas --mengenai Tuhan dan filsafat tidak membahas mengenai Tuhan. Filsafat juga membahas mengenai Tuhan. Memang bukan hanya mengenai Tuhan, tetapi juga mengenai Tuhan. Tuhan tidak sejak semula dikecualikan sebagai subyek pembahasan filsafat. Sesungguhnya ciri filsafat ialah bahwa ia membahas masalah-masalah yang bersifat umum dengan bantuan akal yang wajar. ar. Juga masalah-masalah mengenai Tuhan yang . bersifat umum dapat dibahas dengan bantuan akal yang wajar. Bagian filsafat yang membahas mengenai Tuhan biasanya kita sebut theodicee atau ajaran ketuhanan alami (Natuurlijke Godsleer): Ini, disebut juga teologi alami (natuurlijke theologie). Bagaimanapun perlu diperhatikan agar kata teologi digunakan tidak dalam arti harfiah, yaitu dalam arti ilmu mengenai Tuhan, dan bukan dalam arti ilmu yang sebenarnya; yang bersandar kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan.

Dari apa yang kita katakan dengan singkat di sini mengenai teologi, ternyata bahwa pendapat yang menyatakan ahli filsafat hukum tidak boleh membicarakan tentang Tuhan, dan ia dilarang menyangkutpautkan Tuhan- dalam argumentasinya, adalah kesalahpahaman yang serius. Hal ini juga dinyatakan oleh para ahli filsafat hukum yang ternama seperti Giorgio del Vecchio. Para ahli filsafat yang berbicara demikian membuktikan bahwa mereka tidak tahu dengan tepat perbedaan antara teologi dan filsafat. Dalam bab-bab selanjutnya para pembaca tidak akan menemukan sepotong pun teologi. Namun, dalil-dalil yang menyangkutkan Tuhan sebagai Pencipta dan sebagai Pengemudi (Penguasa) alam semesta akan turut dibahas. Dalil-dalil itu ialah yang juga akan . dibuktikan dalam filsafat sendiri, tanpa bergantung pada kepercayaan dan agama.

Sering kali dibuat kesalahan, yaitu mengidentifikasikan filsafat hukum dengan hukum alam (natuurrecht: lebih tepat harus disebut: ajaran hukum alam). Dengan ini terjawab bahwa ilmu hukum hanya ditugasi untuk mempelajari hukum positif, dan filsafat hukum untuk mempelajari hukum alam. Dalam kenyataan keduanya, filsafat hukum dan ilmu hukum, berhubungan dengan kedua bagian utama hukum: hukum alam dan hukum positif. Akan tetapi, kedua ilmu itu masing-masing mengajukan pertanyaan yang berlainan mengenai subyek ini. - Masalah-masalah yang diajukan filsafat hukum, misalnya apa hukum itu, apa daya-paksa-hukum (rechtsfdwingbaarheid), dan sebagainya, sama-sama mempunyai kaftan dengan hukum positif. Ada juga ditulis bahasan bahasan filsafat mengenai hukum positif, misalnya J. Dabin: La Philosophic de Vordre Jurilique Positif, dan J. Austin: Lectures on Jurisprudence or the Philosophy of Positive Law. Dan sebaliknya dengan ilmu hukum yang menanyakan quid yuris? Dengan perkataan lain, apa yang kini berlaku sebagai hukum, misalnya; hukum apa yang kini berlaku di Nederland, tidak hanya menunjukkan apa yang diartikan oleh undang-undang positif, tetapi juga apa yang diartikan oleh peraturan-peraturan yang khas dalam hukum, seperti misalnya orang tidak boleh mernbunuh, mencuri, memberikan kesaksian palsu; orang harus membayar utangutangnya. Ini bukan hukum positif Nederland, melainkan  hukum yang kini berlaku di Nederland karena itu adalah .hukum, yang selalu dan di mana pun berlaku. Tidak ada yang akan membantah hal itu."

Apabila diteliti definisi, perumusan maupun uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para penulis filsafat hukum itu sepakat bahwa filsafat hukum itu adalah:
a.       sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau moral;
b.      bahwa yang menjadi obyek pembahasannya adalah hakikat hukum, yaitu inti atau dasar yang sedalamdalamnya dari hukum;
c.       mempelajari/menyelidiki lebih lanjut hal-hal yang tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu hukum. (Lill Rasjidi, 1985:4).


1.2 Tempat Filsafat Hukum dalam Kerangka Filsafat pada Umumnya

Anggapan bahwa filsafat hukum itu merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau moral, memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dengan kata lain, dalam uraian singkat berikut ini dicoba dijawab di mana sesungguhnya tempat filsafat hukum itu dalam kerangka keseluruhan filsafat. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu patut disimak secara ringkas apa yang dimaksud dengan filsafat itu.
"Filsafat" berasal dari kata Yunani- filosofie (I.R. Pudjawijatna, 1963:1; Lili Rasjidi, 1985:5). Kata filsafat ini terdiri dari kata filo yang artinya cinta atau ingin, sedangkan sofie berarti kebijaksanaan. Filosofie dapat diartikan cinta atau menginginkan kebijaksanaan, atau suatu kebijaksanaan hidup (Theo-Huijbers, 1982:11). Selanjutnya dari pengertian ini terdapat banyak definisi atau perumusan.
Yang dilakukan para ahli filsafat ialah berusaha menjelaskan apa sesungguhnya art( filsafat itu. Pada dasarnya inti berbagai perumusan itu menyatakan bahwa filsafat adalah  karya manusia tentang hakikat sesuatu. Karya berupa apa? Tuhan YME menciptakan manusia disertai alat-alat kelengkapan yang lengkap dan sempurna yang dapat digunakan sepanjang hayatnya. Dengan kelengkapannya itu manusia dapat mencapai. tujuan hidupnya. Alat-alat kelengkapan itu terdiri dari raga, rasa, dan rasio. Dalam manusia berkarya, ketiga alat perlengkapan itu digunakan secara serentak karena ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hanya terdapat perbedaan unsur, mana yang paling menonjol digunakan dalam karya-karyanya. Mereka yang berkarya mencapai tujuan hidupnya seperti para petani yang mencangkul tanah sawah atau kebun, dan mereka yang bekerja mengangkat barang-barang penumpang, dan lain-lain, jelas di sini lebih menonjolkan penggunaan unsur raganya. Sedangkan mereka yang bekerja di bidang seni akan menonjolkan unsur rasanya. Dalam hal orang berkarya filsafat, pada mulanya yang tampil ke hadapan adalah unsur rasanya. Rasa heran dan kagum manusia atas alam semesta dengan segala isinya yang dilihatnya menyebabkan manusia itu kemudian mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan cara bagaimana terjadinya alam semesta itu beserta segala isinya. Kesemua pertanyaan itu memerlukan jawaban. Dalam usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah tampil ke hadapan unsur rasionya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam orang berfilsafat, maka ia berkarya menggunakan pemikirannya. Jadi, filsafat adalah hasil pemikiran manusia tentang hakikat sesuatu. Lalu, apa yang dimaksud dengan hakikat sesuatu itu? Ada yang mengatakan bahwa hakikat sesuatu itu adalah tempat sesuatu di alam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta yang lain. Kata "sesuatu" dapat berarti alam semesta itu sendiri atau segala isinya. Jika yang menjadi "sesuatu" tadi adalah manusia sebagai salah satu isi alam semesta, maka berfilsafat tentang manusia berarti mengkaji secara mendalam tempat manusia itu di alam semesta dan bagaimana hubungan manusia tadi dengan  segala isi alam semesta lainnya. Atau ada juga yang mengatakan dengan cara yang lebih sederhana, mengkaji manusia dari-segi inti dan dasar yang sedalam-dalamnya.

Pada mula orang berfilsafat, perhatian para filsuf lebih lanjut kepada alam semesta itu sendiri. Filsuf-filsuf kenamaan pada zaman purbakala (pra-Socrates), seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Pitagoras, dan lain-lain, mencoba mencari inti alam semesta dengan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh mereka. Thales yang hidup pada tahun 624-548 berpendapat bahwa inti alam semesta itu ialah air. Anaximandros mengatakan toapeiron yang menjadi inti alam, yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan Anaximenes (590-528) menyebutkan udara. Yang sangat berbeda sekali pendapatnya ialah Pitagoras. Menurut filsuf ini, yang menjadi dasar dari segala sesuatunya adalah bilangan.

Sebagaimana ternyata nanti dalam uraian tentang sejarah arah perkembangan filsafat hukum dari para filsuf alam tersebut di atas, karena sifat kajiannya, tidak sampai pada analisis mengenai filsafat hukum. Sebab hukum itu berkenaan dengan manusia. Dengan mengambil obyek filsafat yang bukan manusia, sudah barang tentu tidak akan sampai pada uraian mengenai hukum dari segi filsafatnya. Baru setelah masa Socrates, yang juga dimulai oleh filsuf besar ini, perhatian para filsuf tertuju pada manusia sebagai obyek filsafat mereka. Segala segi dari mahluk manusia ini dicoba dikaji. Cara berpikirnya menghasilkan filsafat logika, karya seninya melahirkan filsafat estetika, tingkah lakunya diselidiki oleh filsafat etika. Segala upaya manusia dalam mencapai tujuan hidupnya menghasilkan cabang-cabang filsafat lainnya seperti filsafat negara, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat hukum, dan lain-lain.
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hanya ada hukum jika ada manusia, yaitu 'manusia dalam  berfilsafat tentang hukum apabila terlebih dahulu berfilsafat tentang manusia. Sebab, salah satu aspek dari manusia yang sangat eras kaitannya adalah tingkah lakunya, Melalui filsafat tingkah laku ini, atau filsafat etika, laku orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian, dalam pohon filsafat manusia, maka filsafat etika merupakan salah satu cabangnya, sedangkan filsafat hukum lebih lanjut merupakan cabang dari filsafat etika ini atau merupakan salah satu ranting dari filsafat manusia tadi.

Sering kali juga orang mengatakan bahwa filsafat manusia itu merupakan genus filsafat, sedangkan filsafat etika adalah species filsafat yang memiliki filsafat hukum sebagai sub species-nya. Filsafat hukum mempelajari sebagian dari tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku (atau perbuatan) yang akibatnya diatur oleh hukum (Lill Rasjidi, 1985:5-7).


1.3 Manfaat Filsafat Hukum
Sering kali orang beranggapan bahwa mempelajari filsafat hukum sama saja dengan mempelajari filsafat, sukar dihayati dan tidak terlihat manfaatnya secara langsung. Anggapan ini ada benarnya, terutama bagi mereka yang tergolong praktisi hukum, yaitu yang tugasnya melaksanakan hukum positif. Bagi mereka ini manfaat filsafat hukum paling tidak adalah untuk mengimbangi efek dari spesialisasi yang sempit yang diperoleh mereka disebabkan oleh adanya program spesialisasi yang dimulai di fakultas-fakultas hukum pada tahun keempat (Mochtar Kusumaatmadja, 1975:9).

Bagi mereka yang bergerak di dunia teoretisi dan yang tugas pokoknya dalam lingkup pembentukan atau pembinaan hukum, amatlah besar manfaat mempelajari filsafat hukum. Dan lagi pada dewasa ini tampaknya harus dikesampingkan anggapan bahwa tidak ada guna praktisnya mempelajari filsafat hukum apabila kenyataan menunjukkan bahwa semenjak pertengahan abad kedua puluh, melalui ajaran-ajaran  Sociological Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism ditonjolkan peranan hukum yang semakin meningkat, yaitu bukan semata-mata menjaga ketertiban dan mewujudkan keadilan saja, melainkan juga dapat berfungsi sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (a tool of Social Engineering). Dalam hubungan manfaat dan kegunaan filsafat hukum serta sukar tidaknya mempelajarinya, dikutip di bawah ini pendapat L. Bender O.P. sebagai berikut:`

Apakah Filsafat Hukum Itu Sukar?
Pertanyaan. ini tidak ditujukan kepada para pembaca yang telah menikmati pendidikan filsafat yang mendalam. Juga tulisan ini tidak semata-mata ditujukan kepada mereka, bahkan tidak diutamakan bagi mereka. Tujuan kami lebih banyak untuk memberikan pengetahuan filsafat hukum yang baik dan sehat kepada para ahli hukum yang kebanyakan, dengan alasan apa pun, tidak pernah mendapat pendidikan filsafat hukum yang khusus dan mendalam. Bagi mereka pertanyaan yang kami ajukan itu sangat penting. Kami bermaksud untuk menanyakan, apakah dengan usaha keras yang biasa, yang disyaratkan bagi setiap ilmu yang serius, tetapi tanpa terlebih dulu melakukan studi khusus dalam keseluruhan filsafat serta segala masalah filsafat yang mengajukan masalah filsafat hukum, mungkin bisa mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga tentang filsafat hukum; pengetahuan yang, walaupun bukan puncaknya kesempurnaan, tidak terlalu banyak cacatnya, terlalu ringkas, terlalu dangkal dan kurang diendapkan, sehingga sesungguhnya sedikit artinya.

Menurut pendapat kami, sangat besar kemungkinannya untuk menulis filsafat hukum yang dapat dibaca, -dipelajari, dan. dipahami dengan sangat bermanfaat dan sangat memuaskan, oleh semua orang terpelajar. Alasannya ialah, karena obyek filsafat hukum, yaitu hukum, adalah sesuatu

Lihat bukunya: Het Recht, Rechtsphilosophische Verhandelingen, Paul Brand-Bnosum, 1948.

yang mendapat cukup kepercayaan semua orang. Hukum termasuk ke dalam kehidupan lahiriah praktis; sehari-hari kita mengambil bagian di dalamnya. Hukum juga bukan pengertian yang terlalu umum dan terlalu abstrak. Hal ini menyebabkan banyak dalil filsafat hukum yang dapat dibuktikan (dengan argumentasi) dan dipahami tanpa. pengamatan yang terlalu mendalam mengenai pengertian yang paling umum dan sulit. Kami ingin mengulang lagi: pengetahuan filsafat mengenai hukum yang diperoleh dengan cara demikian tidak sama sekali sempurna. Terutama bagi kita tidak cukup untuk, tanpa bantuan ilmu yang lain, mempelajari filsafat sebagai ilmu, misalnya untuk memberikan bantahan ilmiah dan sistematik terhadap sistem-sistem filsafat hukum yang tidak benar, atau untuk melawan dalil-dalil (juga dalil-dalil filsafat hukum) yang berdasar atas penyesatan dari prinsip-prinsip pertama semua filsafat. Akan tetapi, juga bukan untuk ini tujuan utama seorang ahli hukum memperoleh pengetahuan filsafat hukum. Pertama-tama, ahli hukum itu akan menggunakannya untuk mendapat pengertian tentang ajaran yang sebenarnya mengenai hukum yang sebenarnya saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain, dan juga bagaimana ia, dengan argumentasi sederhana yang sangat mudah dilihat kaitannya satu sama lain dan mudah dikontrol, dapat disimpulkan dan dibuktikan dari prinsip-prinsip yang dapat diterima dengan spontan oleh akal sehat dan oleh pikiran manusia umum; ya, juga tanpa meragukan dapat diterapkan sehari-hari. Prinsip-prinsip, yang diragukan atau diingkari oleh paling banyak beberapa orang, itu pun hanya secara teori, yaitu oleh para ahli filsafat yang ketika menyusun sistem filsafat tidak tertarik pada kenyataan, atau tidak mengenal kenyataan, sehingga meniru sistem orang lain yang disusunnya salah.


Apakah Filsafat Hukum itu Bermanfaat?

Juga pertanyaan' ini memiliki arti yang khusus. Di sini kita .tidak menanyakan nilai yang umum yang dimiliki setiap ilmu, karena semua pengetahuan mengenai kebenaran  adalah penyempurnaan akal, jadi juga penyempurnaan manusia. Pertanyaan yang kami ajukan itu tidak begitu penting bagi para ahli filsafat, tetapi lebih ditujukan kepada para ahli hukum. Apakah studi mengenai filsafat hukum itu perlu, atau sekurang-kurangnya banyak manfaatnya bagi para ahli hukum? Dalam menjawab pertanyaan ini orang bisa salah ke arah dua jurusan. Yaitu untuk mempelajari hukum positif orang dapat menilai filsafat hukum terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kesalahan yang terakhir jauh lebih sering terjadi, dan justru dilakukan oleh para ahli hukum. Filsafat hukum memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang hukum, yang menjadi obyek hukum positif. Karena itu, tidak bisa lain, filsafat hukum memiliki nilai yang tinggi bagi mereka yang mempelajari pengetahuan hukum ini.

Adakalanya orang berkata atau menulis: Filsafat hukum bagi ahli hukum adalah seperti ilmu kimia bagi pelukis. Ilmu kimia mempelajari bagaimana dan dari unsur-unsur apa cat itu tersusun, sebagaimana filsafat hukum mempelajari bagaimana hakikat terdalam dari hukum, dan apa sifat-sifat internalnya. Pelukis dapat menghasilkan karya seni yang sempurna tanpa mengetahui bagaimana susunan cat yang digunakannya.

Demikian juga orang dapat menjadi ahli hukum yang sempurna dan menghasilkan karya hukum yang sempurna (mengenal undang-undang dan menerapkannya dengan baik) tanpa mengetahui apa hukum itu. Apa yang dikatakan di sini tidak seluruhnya salah, tetapi toh mengandung berbagai ketidakbenaran yang kasar. Bahwa pelukis itu tidak perlu mengetahui susunan catnya hanya benar jika ia tidak perlu membuat sendiri cat itu. Ini hanya terjadi bila cat itu benda alam, yaitu ditemukan di alam dalam keadaan slap pakai, atau jika ada orang lain yang memproduksi cat itu sehingga pelukis dapat dilengkapi dengan cat yang baginya tidak bisa tidak harus ada. Akan tetapi, dalam hal yang terakhir, maka orang lain itu harus memiliki pengetahuan yang diperlukan mengenai susunan cat itu, dan dalam mengembangkan seninya, si pelukis. bergantung pada orang itu.

Dari perbandingan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ahli hukum itu tidak perlu memiliki pengetahuan mengenai apa hukum itu bila hukum ditemukan slap pakai di alam, atau dibuat oleh orang lain yang harus tahu apa hukum itu, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi oleh hukum yang dibuatnya supaya benar-benar adil. Karena itu, ahli hukum dapat menunggu sampai hukum itu diberikan orang lain kepadanya, dan ia dapat merasa puss dengan menerapkan hukum itu dengan tepat pada kehidupan praktis. Setiap ahli hukum akan segera mengakui bahwa hukum, yang dengan studi hukum diambilnya dan diterapkannya, sama sekali tidak disajikan slap pakai oleh alam. Jelas ia merupakan sesuatu yang, setidak-tidaknya sebagian benar, dibuat oleh manusia. Jadi, pertanyaannya adalah: Siapakah yang membuat hukum itu? Apakah ahli hukum atau orang lain, misalnya ahli filsafat? Juga di sini ahli hukum tidak akan ragu-ragu sejenak pun untuk mendapat jawabannya, dan mengatakan: Hukum dibuat oleh para ahli hukum. Hukum positif adalah pekerjaan orang-orang dari ilmu hukum. Merekalah yang di sini dan di mana pun, dulu dan sekarang, dengan cara membuat, mengubah, dan memperbaiki perundang-undangan, membuat dan menyempurnakan hukum.

Dengan menetapkan hal ini sebagai kebenaran yang diterima umum kami tidak ingin menyatakan bahwa setiap ahli hukum akan diminta untuk turut serta bekerja dalam penciptaan hukum. Akan tetapi, penciptaan, pengembangan, dan perbaikan hukum memang karya para ahli hukum. Pengetahuan hukum, yang dengan taraf yang tinggi dimiliki pembuat undang-undang sendiri, atau yang dimiliki orang lain sehingga,  dengan cara menggunakan mereka sebagai penasihat atau pembantu, pembuat undang-undang dapat memiliki pengetahuan itu, memegang peranan yang memimpin dalam pembuatan hukum atau undang-undang. Membuat undang undang dari rnenciptakan hukum adalah fungsi ahli hukum, salah satu fungsinya yang tertinggi;. dan untuk itu hanya ahli-ahli terbaik di antara mereka yang akan diminta membuatnya.

Dari sini ternyata ketidaktepatan ungkapan: ahli hukum tidak perlu tahu apa hukum itu, seperti pelukis tidak perlu tahu apa cat itu. Pelukis tidak dituntut untuk membuat cat, tetapi hanya untuk menggunakan cat. Sebaliknya para ahli hukum dituntut untuk membuat hukum (menyempurnakan, memperbaiki, mempertahankan mutunya jika keadaan kehidupan berubah dan untuk menerapkannya). .

Sekarang nampaknya tidak sulit bagi kita untuk memahami bahwa seseorang yang harus membuat dan menyempurnakan sesuatu tidak dapat bersikap acuh tak acuh terhadap pertanyaan: apa benda yang harus dibuatnya itu; dengan perkataan lain, ia harus mengenal hakikat, tujuan, dan sifat-sifat benda itu. Jika tugas saya membangun usaha pertanian yang baik dan sesempurna-sempurnanya, maka yang .pertama kali harus saya ketahui adalah: apa usaha pertanian itu. Orang yang tidak mengenalnya dan kemudian membuat rencana, maka sama benar kemungkinannya bahwa rencana yang dikemukakannya itu merupakan rencana usaha pertanian, rencana sebuah toko, satu sebuah pabrik cerutu. Hal yang sama berlaku hukum. Seseorang yang harus membuat atau menyempurnakan hukum, sendirian atau bersama orang lain, harus tahu apa hukum itu. Jika tidak, ada resiko mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya, dan yang dihasilkan bukan hukum, melainkan sesuatu yang mungkin ada bagiannya yang mirip hukum, tetapi sebenarnya bukan hukum; ada resiko pekerjaannya itu bukan menyempurnakan hukum yang ada, melainkan merusak dan memperburuknya.

Justru filsafat hukumlah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan umum mengenai hukum, mengenai hakikat dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu, filsafat hukum bermanfaat sedikit-banyak dapat meninggalkan  pengetahuan filsafat hukum, ialah dengan seumur hidupnya membatasi diri pada sebagian dari tugas yang diperuntukkan bagi ahli hukum, yaitu pada pencari keterangan tentang undang-undang yang dibuat orang lain, dan menerapkannya.

Untuk tugas yang tertinggi dan termulia bagi sarjana hukum, filsafat hukum itu sangat besar manfaatnya, dan sungguh-sungguh tidak dapat ditinggalkan. Sejarah menunjukkan bahwa hukum selalu mendapat pengaruh besar dari sistem-sistem filsafat yang sedang disukai dan sedang. berkuasa. Pengaruh ini dapat juga baik atau buruk akibatnya, sesuai dengan benar atau tidaknya pendapat-pendapat dalam bidang filsafat hukum, dari para ahli yang berpengaruh.

Akan tetapi, di lain pihak, orang dapat juga berlebihan dengan menyatakan bahwa bagi ahli hukum praktis yang -baik, bagi pengacara atau hakim, filsafat hukum itu mutlak tidak dapat ditinggalkan. Terutama dalam kaitannya dengan. urusan-urusan praktis seperti hukum, seseorang yang terpelajar dapat dengan mudah memiliki sekurang-kurangnya cukup banyak pengetahuan umum yang perlu untuk mempelajari dan melaksanakan ilmu yang positif seperti ilmu hukum.

Walaupun demikian, bagi para ahli hukum; pengetahuan filsafat hukum yang baik itu menghilangkan suatu kekosongan, yang bagi orang terpelajar, apalagi yang berpendidikan akademis, dirasakan sebagai kekurangan yang menyakitkan. Sudah pembawaannya jiwa manusia memiliki kebutuhan akan pengertian yang lebih mendalam. Kecuali jika membiasakan untuk tidak menghiraukan masalah apa pun, selama masih dapat maju, orang tidak akan merasa puss dan cukup jika karena pekerjaannya sehari-hari harus berkecimpung dalam hukum sedangkan pertanyaan-pertanyaan pertama mengenai hukum tidak dapat menjawabnya. Mengenal kebenaran adalah sesuatu yang mulia dan agung sehingga orang yang benar-benar mulia selalu mendapat kegembiraan dan kepuasan karenanya.

1 komentar: