Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf
Ditulis oleh
Achmad Kholiq
(Tela'ah atas
Undang Undang RI
Tentang Wakaf)
Wacana
tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan. Tidak lagi sekedar
membincangkan tentang pandangan para ulama fiqh yang belum seragam tentang
pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana
mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial
masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah
satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang
berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah ijtimaiyyah.
Karenanya redefinisi terhadap wakaf ,- agar lebih memiliki makna yang relevan
dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat
strategis.
Merujuk
pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh
para Shahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi
benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda
tersebut. Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa
substansi wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya
(wakaf) tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut
untuk kepentingan umum. Institusi wakaf ini sesungguhnya telah dipraktikan
dalam masyarakat jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia ,
ia telah menjadi suatu bentuk adat kebiasaan yang melembaga di beberapa
komunitas masyarakat di Indonesia .
Sebut saja “Huma Serang”, praktik serupa wakaf dalam ajaran Islam ini telah
lama dikenal di Banten, di Lombok ada
“Tanah Pareman”, atau “Tanah Perdikan” di Jawa Timur, .bentuk-bentuk tersebut
hampir menyerupai wakaf keluarga apabila dilihat fungsi dan pemanfaatannya yang
tidak boleh diperjual belikan.
Kronologi
Historis Wakaf
Sejak
datangnya Islam, wakaf dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Islam Indonesia ,
yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf
sebelum lahirnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur wakaf, masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan seperti mewakafkan tanah secara lisan dan atas dasar saling percaya
kepada seseorang atau lembaga tertentu tanpa melalui prosedur administratif
karena dianggap sebagai suatu amalan ibadah semata dan harta wakaf merupakan
milik Allah semata yang siapapun tidak akan berani menggugat.
Jika
selama ini masalah wakaf kurang intensif dibahas bisa jadi karena umat Islam
mulai hampir melupakan kegaiatan-kegiatan
yang berasal dari lembaga perwakafan, selain itu adanya mismanagemen dan
korupsi dalam pengelolaan wakaf menyebabkan pamor lembaga wakaf makin
terlupakan. Padahal, potensi wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun
sosial ekonomi kehidupan umat, sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata.
Wakaf telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit di beberapa negara Islam
lain. Dengan pengelolaan aset wakaf yang professional, Mesir telah berhasil membangun sektor
pendidikan dan medis dari dana hasil pengelolaan wakaf. Universitas al-Azhar Cairo ,
rumah-rumah sakit, pendidikan dan pemberdayaan tenaga pendidik serta beasiswa
bagi para mahasiswa dibiayai dari hasil wakaf. Bahkan sebagai gambaran di
Amerika Serikat, sebuah negara sekuler terbesar telah mengelola wakaf dari
warga muslim minoritasnya secara professional oleh lembaga keuangan Islam, Kuwait Awqaf Pubilc
Foundation (KADF).
Potensi
wakaf di Indonesia
sendiri sesungguhnya dapat menjadi tumpuan harapan peningkatan kesejahteraan sosial
masyarakat serta pengentasan kemiskinan
- di samping zakat, infak dan shadaqah,- apabila dapat dikelola secara
baik dan professional. Dalam praktiknya di Indonesia ,
perwakafan amat lekat dengan wakaf tanah meskipun pada hakikatnya benda yang
dapat diwakafkan tidak terbatas pada tanah. Menurut data yang ada di Departemen
Agama RI, sampai dengan bulan September 2002, jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia
sebanyak 362,471 lokasi dengan luas 1.535.198.586,59 m2. Namun data tersebut belumlah akurat mengingat
data-data tentang asset wakaf tidak terkoordinir dengan baik dan terpusat dalam
satu institusi yang professional. Dan umumnya tanah-tanah tersebut dikelola
secara tradisional dan tidak produktif. Sehingga kurang terasa kontribusi dan
manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat. Ironisnya disamping tidak
terurus dan terbengkalai, banyak tanah
wakaf yang belum bersertifikat sehingga sering menjadi objek sengketa bahkan
diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Mengantisipasi
kondisi tersebut, pemerintah telah mencanangkan beberapa tindakan antara lain :
pertama, melakukan sertifikasi tanah wakaf yang ada di seluruh tanah air.
Secara teknis hal ini tidaklah mudah dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit maka penting untuk melibatkan instansi
terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam proses pembuatan
sertifikat dan Pemerintah Daerah setempat guna menanggulangi pembiayaan
sertifikasi, pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan tanah-tanah wakaf yang
ada. Kedua, memberikan advokasi penuh terhadap tanah-tanah wakaf yang menjadi
sengketa. Ketiga, menyusun suatu peraturan perundang-undangan yang komprehensif
tentang wakaf, dalam bentuk Undang-undang. Keempat, pemanfaatan dan
pemberdayaan tanah wakaf secara produktif.
Tela'ah
Yuridis Formil Undang –Undang Wakaf
Peraturan
perundang-undangan yang selama ini mengatur masalah perwakafan masih tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain: UU No.5 tahun 1960
tentang Undang-undang Pokok Agraria, PP No.28 tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP
No.28 Tahun 1977, Peraturan Dirjen Bimas Islam DEPAG RI No. Kep/D/75/1978 dan
Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dianggap belum memadai dan masih menjadi persoalan yang belum
terselesaikan dengan baik, sehingga
kemauan kuat dari umat Islam untuk memaksimalkan peran kelembagaan dalam bidang
perwakafan masih mengalami kendala-kendala formil. Berkaca dari peraturan
tentang zakat, kelembagaan dan
pengelolaan wakaf masih jauh dari professional dan hanya diatur dengan
beberapa peraturan yang belum integral.
Sejalan
dengan Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Propenas tahun 2000-2004 dan TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun
1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum, maka
dipandang perlu dan inhenren untuk menyusun suatu Rancangan Undang-undang
tentang wakaf . Undang –undang wakaf yang telah dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah
kita sesungguhnya menyiratkan satu harapan lahirnya suatu Undang-undang yang
komprehensif tentang wakaf sehingga kendala-kendala formil yang menghambat
pemberdayaan wakaf dapat segera teratasi.
Disadari
bahwa masih belum terintegrasinya peraturan teknis pengelolaan wakaf, kelemahan
pengaturan hukum persoalan wakaf terkait dengan kepastian perlindungan rasa
aman bagi pihak-pihak terkait seperti wakif (orang yang mewakafkan); Nadzir (pengelola wakaf) dan maukuf alaihi
(peruntukan wakaf) baik perseorangan maupun badan hukum, dan keterbatasan
aturan mengenai perwakafan merupakan kelemahan dan kendala formil yang
mengurangi optimalisasi pemberdayaan wakaf secara keseluruhan. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang hanya dimiliki
oleh Islam, maka potensial untuk dikembangakan sesuai dengan fungsinya dimana
sekalipun berbentuk kebendaan tetapi tetap pada posisi sebagai perbuatan
ibadah, karenanya penting untuk menyusun substansi yang komprehensif dan
mewakili ruh yang hakiki dari lembaga wakaf ini mengingat ia adalah produk fiqh yang tidak lepas dari
khilafiyah, sehingga penting untuk mencapai satu kesepakatan hukum agar dapat
diterapkan. Disanalah peran legalisasi dari pihak yang berwenang dalam
mengatasi perbedaan persepsi tentang wakaf. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
“hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf” (keputusan pemerintah akan menghilangkan
perbedaan).
Poin
poin penting dalam Undang –Undang wakaf yang melingkupi materi yang mengatur
masalah wakaf mulai dari ketentuan umum mengenai definisi dari wakaf dan
hal-hal mendasar lainnya sampai pada ketentuan pidana dan sanksi administratif
bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal iru.
Sistematika Undang undang ini tampak lebih sempurna dibanding aturan tentang
wakaf yang ada dalam KHI. Munculnya
beberapa substansi baru yang diatur dalam undang-undang ini tampaknya
merupakan jawaban dan solusi atas fenomena lembaga perwakafan di Indonesia
sebagaimana digambarkan sebelumnya.
Beberapa
catatan penting Undang undang tentang wakaf ini diantaranya ketentuan mengenai
Wakif, jika dalam KHI disebutkan wakif sebagai orang atau orang-orang ataupun
badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
Dalam dalam salah salah satu pasalnya, undang-undang wakaf telah mengalami
penyempurnaan terutama yang mnyebutkan bahwa selain perseorangan, baik WNI
maupun WNA, organisasi, badan hukum Indonesia
maupun asing dapat mewakafkan hartanya.
Tampaknya
undang-undang wakaf ini berusaha
menjaring pihak-pihak yang lebih luas guna mengoptimalkan potensi wakaf.
Ketentuan mengenai nazhir sebagai pengelola wakaf memang tidak banyak mengalami
perubahan, tetapi tampak ada penekanan persyaratan professional dan job
description yang lebih jelas bagi nazhir, tidak semata pada persyaratan
normative. Hal ini mengarah pada pengelolaan wakaf yang professional dan
bertanggungjawab. Selanjutnya
reinterpretasi konsep wakaf yang dilatarbelakangi oleh perkembangan persoalan
yang makin kompleks, perubahan sosial, perkembangan teori ekonomi dan moneter
serta teori pembangunan memunculkan konsep wakaf tunai (cash waqaf) yang
diprakarsai oleh Prof M.A. Mannan ,- pakar ekonomi dari Bangladesh,-.
Dalam upaya optimalissai pengelolaan
potensi wakaf dan perluasan cakupan harta wakaf. Undang-undang ini mengakomodir fenomena diatas dengan
memungkinkan adanya waqaf dari benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat
berharga , kendaraan, HAKI, hak sewa bahkan membuka kemungkinan adanya bentuk
benda/objek wakaf yang lain. Hal ini merupakan tuntutan dari stimulus riil
dalam perkembangan ekonomi dan tidak lagi sekedar menjadi wacana karena telah
dipraktekkan di negara-negara muslim lainnya seperti Bangladesh, Mesir, Qatar,
Saudi Arabia, Kuawait dan lain-lainnya. Komisi fatwa MUI sendiri telah
mengeluarkan fatwa mengenai wakaf tunai
ini sejak Mei 2002.
Ketentuan
mengenai wakaf tunai ini dapat memungkinkan timbulnya pembaharuan tentang
keberlakuan wakaf yang permanen menuju wakaf dengan jangka waktu (berjangka)
seperti tanah HGB, uang deposito, saham dan lain sebagainya. Walaupun
udang-undang ini memang tidak
menyebutkan jenis wakaf seperti ini secara eksplisit tapi tidak menutup
kemungkinan dalam peraturan pelaksanaannya diatur mengenai hal tersebut.
Konsep ini. pada hakikatnya bertujuan
untuk menjaring potensi wakaf sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Wakaf tunai juga melibatkan lembaga keuangan syariah sebagai
mediator, namun yang mungkin belum
diatur adalah adanya lembaga penjamin untuk mengantisipasi kemungkinan
habisnya harta wakaf apabila terjadi pailit. Harus disadari pula bahwa
pengelolaan dana wakaf tunai ini merupakan dana publik yang harus
dipertanggungjawabkan secara trasparan dan accountable.
Suatu
peraturan Undang-undang yang baik selain tergali dari nilai-nilai sosiologis
masyarakat juga harus dapat diimplementasikan dan memiliki daya tegak.
Karenanya undang-undang ini perlu
mendelegasikan peran-peran teknis tertentu kepada peraturan dibawahnya agar
ketentuan dan norma-norma dalam undang-undang dapat teraplikasi dan menghindari
undang-undang ini kelak dari kemandulan, sehingga perlu segera disiapkan
peraturan pelaksana dan perangkat-perangkat penunjangnya. Disusunnya
undang-undang ini juga dalam rangka menjamin kepastian hukum dan menjadi
koridor kebijakan dalam advokasi dan penyelesaian sengketa wakaf. Undang undang
wakaf ini mengamanatkan dibentuknya sebuah badan independen dan berskala
nasional yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir,
memberikan persetujuan dan perubahan peruntukkan status wakaf, mengelola dan
mengembangkan wakaf serta berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Badan
Independen ini pula yang bertugas mengembangkan wakaf secara produktif dan
sesuai syari’at Islam melalui penggalian konsep fiqh wakaf. Tampaknya tugas
inilah yang paling penting untuk segera direalisasikan. Pengawasan terhadap
badan ini dilakukan melalui audit oleh lembaga audit yang juga independent dan
hasilnya diumumkan pada khalayak.
Sosialisasi pengembangan wakaf produktif kepada masyarakat juga bukan
masalah yang sederhana, pemahaman yang sudah melekat di masyarakat tentang
bentuk wakaf yang tidak produktif dan terbatas pada fungsi-fungsi tertentu
membutuhkan proses pembelajaran sekaligus pembuktian yang membutuhkan energi
yang tidak sedikit. Disanalah peran
strategis BWI (Badan Wakaf Indonesia )
dalam mereposisi peran wakaf agar mampu menjawab probelmatika sosial yang
dialami umat.
Sesuai
dengan pasal 14 PP Nomor 42 Tahun 2006 tersebut, masa jabatan seorang Nazhir
adalah selama lima tahun dan dapat diangkat kembali. Namun, karena adanya
konflik kepentingan, seringkali masalah ini yang muncul.
Seorang
nazhir dapat diganti apabila: habis masa jabatannya, meninggal dunia,
berhalangan tetap, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia
(pasal 5, PP 42/2006). Dari beberapa survei yang dilakukan BWI, nazhir yang
bermasalah itu biasanya dikarenakan tidak bisa menjalankan tugasnya atau bahasa
hukumnya disebut berhalangan tetap.
Karena
itulah Badan Wakaf Indonesia
selaku organisasi yang menaungi para nazhir dan mengembangkan pengelolaan harta
wakaf, akan berusaha maksimal dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
Perlu digaris bawahi, BWI bukanlah pengadilan, tetapi bertanggung jawab untuk
menyelesaikan persoalan perwakafan. Jika nantinya BWI belum bisa menyelesaikan,
maka penyelesaian masalah ditempuh melalui arbitrase atau pengadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum (pasal 62, UU 41/2004).
Penutup
Dengan
lahirnya undang-undang trentang wakaf, maka peran dan tugas pemerintah sebagai
pelaksana undang-undang ini tidaklah mudah. Kesungguhan dan profesionalitas
harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan agar tujuan wakaf yang hakiki
dapat terwujud. Dan bahwa undang-undang ini tidak sekedar menjawab
kendala-kendala formil terkait dengan wakaf tapi menunjukkan kesungguhan kita untuk membangun kembali
kesejahteraan umat melalui potensi umat.
Undang-undang
wakaf ini merupakan salah satu perangkat untuk mengembangkan wakaf produktif
namun keberhasilan pengembangan wakaf tersebut juga sangat bergantung pada
political will dari pemerintah dan komitmen seluruh umat Islam. Sungguh ini
bukan proses yang ringan karena menyangkut banyak aspek dan terkait dengan pola
pemahaman keberagamaan yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Selain kemaun
dan kemampuan, dibutuhkan pula modal yang tidak sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar