Rabu, 04 September 2019

KONTEKTUALISASI DAN REPOSISI FUNGSI WAKAF


Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf

Ditulis oleh Achmad Kholiq
(Tela'ah atas Undang Undang RI Tentang Wakaf)

Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan. Tidak lagi sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqh yang belum seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah ijtimaiyyah. Karenanya redefinisi terhadap wakaf ,- agar lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis. 

Merujuk pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh para Shahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan umum. Institusi wakaf ini sesungguhnya telah dipraktikan dalam masyarakat jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, ia telah menjadi suatu bentuk adat kebiasaan yang melembaga di beberapa komunitas masyarakat di Indonesia. Sebut saja “Huma Serang”, praktik serupa wakaf dalam ajaran Islam ini telah lama dikenal di Banten,  di Lombok ada “Tanah Pareman”, atau “Tanah Perdikan” di Jawa Timur, .bentuk-bentuk tersebut hampir menyerupai wakaf keluarga apabila dilihat fungsi dan pemanfaatannya yang tidak boleh diperjual belikan.

Kronologi Historis Wakaf
Sejak datangnya Islam, wakaf dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum  lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur wakaf, masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan seperti mewakafkan tanah secara lisan dan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu tanpa melalui prosedur administratif karena dianggap sebagai suatu amalan ibadah semata dan harta wakaf merupakan milik Allah semata yang siapapun tidak akan berani menggugat.

Jika selama ini masalah wakaf kurang intensif dibahas bisa jadi karena umat Islam mulai hampir melupakan kegaiatan-kegiatan  yang berasal dari lembaga perwakafan, selain itu adanya mismanagemen dan korupsi dalam pengelolaan wakaf menyebabkan pamor lembaga wakaf makin terlupakan. Padahal, potensi wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun sosial ekonomi kehidupan umat, sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Wakaf telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit di beberapa negara Islam lain. Dengan pengelolaan aset wakaf yang professional,  Mesir telah berhasil membangun sektor pendidikan dan medis dari dana hasil pengelolaan wakaf. Universitas al-Azhar Cairo, rumah-rumah sakit, pendidikan dan pemberdayaan tenaga pendidik serta beasiswa bagi para mahasiswa dibiayai dari hasil wakaf. Bahkan sebagai gambaran di Amerika Serikat, sebuah negara sekuler terbesar telah mengelola wakaf dari warga muslim minoritasnya secara professional oleh  lembaga keuangan Islam, Kuwait Awqaf Pubilc Foundation (KADF).

Potensi wakaf di Indonesia sendiri sesungguhnya dapat menjadi tumpuan harapan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat serta pengentasan kemiskinan  - di samping zakat, infak dan shadaqah,- apabila dapat dikelola secara baik dan professional. Dalam praktiknya di Indonesia, perwakafan amat lekat dengan wakaf tanah meskipun pada hakikatnya benda yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada tanah. Menurut data yang ada di Departemen Agama RI, sampai dengan bulan September 2002, jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 362,471 lokasi dengan luas 1.535.198.586,59  m2. Namun data tersebut belumlah akurat mengingat data-data tentang asset wakaf tidak terkoordinir dengan baik dan terpusat dalam satu institusi yang professional. Dan umumnya tanah-tanah tersebut dikelola secara tradisional dan tidak produktif. Sehingga kurang terasa kontribusi dan manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat. Ironisnya disamping tidak terurus dan terbengkalai, banyak  tanah wakaf yang belum bersertifikat sehingga sering menjadi objek sengketa bahkan diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah telah mencanangkan beberapa tindakan antara lain : pertama, melakukan sertifikasi tanah wakaf yang ada di seluruh tanah air. Secara  teknis hal ini tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit maka penting untuk melibatkan instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam proses pembuatan sertifikat dan Pemerintah Daerah setempat guna menanggulangi pembiayaan sertifikasi, pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan tanah-tanah wakaf yang ada. Kedua, memberikan advokasi penuh terhadap tanah-tanah wakaf yang menjadi sengketa. Ketiga, menyusun suatu peraturan perundang-undangan yang komprehensif tentang wakaf, dalam bentuk Undang-undang. Keempat, pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara produktif.

Tela'ah Yuridis Formil Undang –Undang Wakaf
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur masalah perwakafan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain: UU No.5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, PP No.28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP No.28 Tahun 1977, Peraturan Dirjen Bimas Islam DEPAG RI No. Kep/D/75/1978 dan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)  dianggap belum memadai dan  masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan dengan baik,  sehingga kemauan kuat dari umat Islam untuk memaksimalkan peran kelembagaan dalam bidang perwakafan masih mengalami kendala-kendala formil. Berkaca dari peraturan tentang zakat, kelembagaan dan  pengelolaan wakaf masih jauh dari professional dan hanya diatur dengan beberapa peraturan yang belum integral.

Sejalan dengan Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Propenas tahun 2000-2004 dan TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum, maka dipandang perlu dan inhenren untuk menyusun suatu Rancangan Undang-undang tentang wakaf . Undang –undang wakaf yang telah dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah kita sesungguhnya menyiratkan satu harapan lahirnya suatu Undang-undang yang komprehensif tentang wakaf sehingga kendala-kendala formil yang menghambat pemberdayaan wakaf dapat segera teratasi.

Disadari bahwa masih belum terintegrasinya peraturan teknis pengelolaan wakaf, kelemahan pengaturan hukum persoalan wakaf terkait dengan kepastian perlindungan rasa aman bagi pihak-pihak terkait seperti wakif (orang yang mewakafkan);  Nadzir (pengelola wakaf) dan maukuf alaihi (peruntukan wakaf) baik perseorangan maupun badan hukum, dan keterbatasan aturan mengenai perwakafan merupakan kelemahan dan kendala formil yang mengurangi optimalisasi pemberdayaan wakaf secara keseluruhan. Wakaf  merupakan perbuatan hukum yang hanya dimiliki oleh Islam, maka potensial untuk dikembangakan sesuai dengan fungsinya dimana sekalipun berbentuk kebendaan tetapi tetap pada posisi sebagai perbuatan ibadah, karenanya penting untuk menyusun substansi yang komprehensif dan mewakili ruh yang hakiki dari lembaga wakaf ini mengingat  ia adalah produk fiqh yang tidak lepas dari khilafiyah, sehingga penting untuk mencapai satu kesepakatan hukum agar dapat diterapkan. Disanalah peran legalisasi dari pihak yang berwenang dalam mengatasi perbedaan persepsi tentang wakaf. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf” (keputusan pemerintah akan menghilangkan perbedaan).

Poin poin penting dalam Undang –Undang wakaf yang melingkupi materi yang mengatur masalah wakaf mulai dari ketentuan umum mengenai definisi dari wakaf dan hal-hal mendasar lainnya sampai pada ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal iru. Sistematika Undang undang ini tampak lebih sempurna dibanding aturan tentang wakaf yang ada dalam KHI. Munculnya  beberapa substansi baru yang diatur dalam undang-undang ini tampaknya merupakan jawaban dan solusi atas fenomena lembaga perwakafan di Indonesia sebagaimana digambarkan sebelumnya.
Beberapa catatan penting Undang undang tentang wakaf ini diantaranya ketentuan mengenai Wakif, jika dalam KHI disebutkan wakif sebagai orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.  Dalam dalam salah salah satu pasalnya, undang-undang wakaf telah mengalami penyempurnaan terutama yang mnyebutkan bahwa selain perseorangan, baik WNI maupun WNA, organisasi, badan hukum Indonesia maupun asing dapat mewakafkan hartanya.

Tampaknya undang-undang wakaf  ini berusaha menjaring pihak-pihak yang lebih luas guna mengoptimalkan potensi wakaf. Ketentuan mengenai nazhir sebagai pengelola wakaf memang tidak banyak mengalami perubahan, tetapi tampak ada penekanan persyaratan professional dan job description yang lebih jelas bagi nazhir, tidak semata pada persyaratan normative. Hal ini mengarah pada pengelolaan wakaf yang professional dan bertanggungjawab.  Selanjutnya reinterpretasi konsep wakaf yang dilatarbelakangi oleh perkembangan persoalan yang makin kompleks, perubahan sosial, perkembangan teori ekonomi dan moneter serta teori pembangunan memunculkan konsep wakaf tunai (cash waqaf) yang diprakarsai oleh Prof M.A. Mannan ,- pakar ekonomi dari Bangladesh,-. Dalam  upaya optimalissai pengelolaan potensi wakaf dan perluasan cakupan harta wakaf. Undang-undang  ini mengakomodir fenomena diatas dengan memungkinkan adanya waqaf dari benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga , kendaraan, HAKI, hak sewa bahkan membuka kemungkinan adanya bentuk benda/objek wakaf yang lain. Hal ini merupakan tuntutan dari stimulus riil dalam perkembangan ekonomi dan tidak lagi sekedar menjadi wacana karena telah dipraktekkan di negara-negara muslim lainnya seperti Bangladesh, Mesir, Qatar, Saudi Arabia, Kuawait dan lain-lainnya. Komisi fatwa MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai wakaf tunai  ini sejak Mei  2002.

Ketentuan mengenai wakaf tunai ini dapat memungkinkan timbulnya pembaharuan tentang keberlakuan wakaf yang permanen menuju wakaf dengan jangka waktu (berjangka) seperti tanah HGB, uang deposito, saham dan lain sebagainya. Walaupun udang-undang  ini memang tidak menyebutkan jenis wakaf seperti ini secara eksplisit tapi tidak menutup kemungkinan dalam peraturan pelaksanaannya diatur mengenai hal tersebut. Konsep  ini. pada hakikatnya bertujuan untuk menjaring potensi wakaf sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Wakaf tunai juga melibatkan lembaga keuangan syariah sebagai mediator, namun yang mungkin belum  diatur adalah adanya lembaga penjamin untuk mengantisipasi kemungkinan habisnya harta wakaf apabila terjadi pailit. Harus disadari pula bahwa pengelolaan dana wakaf tunai ini merupakan dana publik yang harus dipertanggungjawabkan secara trasparan dan accountable.

Suatu peraturan Undang-undang yang baik selain tergali dari nilai-nilai sosiologis masyarakat juga harus dapat diimplementasikan dan memiliki daya tegak. Karenanya  undang-undang ini perlu mendelegasikan peran-peran teknis tertentu kepada peraturan dibawahnya agar ketentuan dan norma-norma dalam undang-undang dapat teraplikasi dan menghindari undang-undang ini kelak dari kemandulan, sehingga perlu segera disiapkan peraturan pelaksana dan perangkat-perangkat penunjangnya. Disusunnya undang-undang ini juga dalam rangka menjamin kepastian hukum dan menjadi koridor kebijakan dalam advokasi dan penyelesaian sengketa wakaf. Undang undang wakaf ini mengamanatkan dibentuknya sebuah badan independen dan berskala nasional yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir, memberikan persetujuan dan perubahan peruntukkan status wakaf, mengelola dan mengembangkan wakaf serta berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Badan Independen ini pula yang bertugas mengembangkan wakaf secara produktif dan sesuai syari’at Islam melalui penggalian konsep fiqh wakaf. Tampaknya tugas inilah yang paling penting untuk segera direalisasikan. Pengawasan terhadap badan ini dilakukan melalui audit oleh lembaga audit yang juga independent dan hasilnya diumumkan pada khalayak.  Sosialisasi pengembangan wakaf produktif kepada masyarakat juga bukan masalah yang sederhana, pemahaman yang sudah melekat di masyarakat tentang bentuk wakaf yang tidak produktif dan terbatas pada fungsi-fungsi tertentu membutuhkan proses pembelajaran sekaligus pembuktian yang membutuhkan energi yang tidak sedikit.  Disanalah peran strategis BWI (Badan Wakaf Indonesia) dalam mereposisi peran wakaf agar mampu menjawab probelmatika sosial yang dialami umat.

Sesuai dengan pasal 14 PP Nomor 42 Tahun 2006 tersebut, masa jabatan seorang Nazhir adalah selama lima tahun dan dapat diangkat kembali. Namun, karena adanya konflik kepentingan, seringkali masalah ini yang muncul.

Seorang nazhir dapat diganti apabila: habis masa jabatannya, meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia (pasal 5, PP 42/2006). Dari beberapa survei yang dilakukan BWI, nazhir yang bermasalah itu biasanya dikarenakan tidak bisa menjalankan tugasnya atau bahasa hukumnya disebut berhalangan tetap.

Karena itulah Badan Wakaf Indonesia selaku organisasi yang menaungi para nazhir dan mengembangkan pengelolaan harta wakaf, akan berusaha maksimal dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan baik. Perlu digaris bawahi, BWI bukanlah pengadilan, tetapi bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan perwakafan. Jika nantinya BWI belum bisa menyelesaikan, maka penyelesaian masalah ditempuh melalui arbitrase atau pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum (pasal 62, UU 41/2004).



Penutup
Dengan lahirnya undang-undang trentang wakaf, maka peran dan tugas pemerintah sebagai pelaksana undang-undang ini tidaklah mudah. Kesungguhan dan profesionalitas harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan agar tujuan wakaf yang hakiki dapat terwujud. Dan bahwa undang-undang ini tidak sekedar menjawab kendala-kendala formil terkait dengan wakaf tapi menunjukkan  kesungguhan kita untuk membangun kembali kesejahteraan umat melalui potensi umat.

Undang-undang wakaf ini merupakan salah satu perangkat untuk mengembangkan wakaf produktif namun keberhasilan pengembangan wakaf tersebut juga sangat bergantung pada political will dari pemerintah dan komitmen seluruh umat Islam. Sungguh ini bukan proses yang ringan karena menyangkut banyak aspek dan terkait dengan pola pemahaman keberagamaan yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Selain kemaun dan kemampuan, dibutuhkan pula modal yang tidak sedikit.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar