Jumat, 22 Desember 2023

 

PERLINDUNGAN HUKUM PEMENANG LELANG TERHADAP OBJEK LELANG YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ;

Bank sebagai Pemegang Hak Tanggungan

Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Serta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT) dalam Pasal 6 UUHT menyebutkan apabila debitur ingkar janji (wanprestasi), maka pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Pemegang hak tanggungan merupakan kreditur preferen dimana dalam hal ini sebagai kreditur preferen pemegang hak tanggungan sekalipun terjadi kepailitan terhadap debitur tersebut, maka pemegang hak tanggungan harus didahulukan pelunasan hutangnya dari kreditur lainnya atau dengan kata lain pemegang hak tanggungan merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa dari kreditur lainnya.

Pemenang lelang hak tanggungan secara teori memang disebutkan sebagai pembeli yang beritikad baik dan patut dilindungi, namun dalam pelaksanaannya dilapangan yang terjadi, dimana perlindungan hukum yang disebutkan tersebut sering kali tidak dapat dirasakan oleh pemenang lelang tersebut.

Hal mana dapat dilihat bahwa pemenang lelang sering kali setelah memenangkan lelang terhadap objek hak tanggungan tersebut ketika ingin melakukan proses balik nama terhadap objek lelang tersebut sering kali terkendala di Badan Pertanahan Nasional hal mana dengan dasar adanya blokir dari debitur atau pemilik asal objek hak tanggungan tersebut.

Sering kali antara pemilik asal objek lelang yang dibebani hak tanggungan tersebut digugat oleh pihak ketiga yang seolah-olah pihak ketiga tersebut mempunyai hak juga terhadap objek lelang dikarenakan pemilik asal (debitur) mempunyai hutang kepada pihak ketiga tersebut, yang pada umumnya patut diduga hal tersebut hanyalah rekayasa yang bertujuan supaya ada dasar untuk mengajukan blokir pada Badan Pertanahan Nasional agar pemenang lelang tidak dapat melakukan proses balik nama terhadap objek lelang yang dimenangkannya.

Sikap Badan Pertanahan Nasional

 Pada Badan Pertanahan Nasional dengan membayar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah) dan melampirkan gugatan, maka Badan Pertanahan Nasional akan memblokir objek lelang tersebut sehingga tidak dapat dilakukan proses peralihan balik nama tersebut.

Pengaturan mengenai blokir di Badan Pertanahan Nasional sendiri sebenarnya sudah sangat tegas diatur dalam aturan yang mengatur tentang blokir tersebut, yang mana dalam hal ini tentang blokir yang  diajukan oleh perorangan sebagaimana dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah  Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 126  yang pada intinya mengatur secara tegas bahwa catatan blokir yang diajukan akan hapus dengan sendirinya dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pencatatan blokir tersebut diajukan, kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan, namun apabila tidak ada maka akan hapus dengan sendirinya tanpa haarus didahului permintaan pencabutan oleh pihak yang mengajukan blokir.

Peraturan lain yang mengatur tentang blokir juga dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Blokir Dan Sita :

·        Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan blokir;

·        Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan adanya perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan.

 Apabila kita lihat kedua aturan tersebut dimana keduanya sudah sangat jelas mengatur tentang tata cara blokir dan hapusnya blokir pada Badan Pertanahan, dimana keduanya mengatur bahwa jangka waktu blokir akan hapus dengan sendirinya dalam jangka waktu 30 hari apabila tidak ada penetapan terhadap objek perkara diletakkan sita jaminan.

Namun keadaan dilapangan yang sering dialami oleh pemenang lelang, setelah lewat 30 hari dan terhadap objek blokir juga tidak ada keluar penetapan sebagai dasar perpanjangan blokir tersebut dimana pihak Badan Pertanahan Nasional tetap melakukan proses pemblokiran terhadap objek lelang tersebut dengan alasan bahwa perkaranya belum selesai sehingga harus tetap diblokir, hal tersebut yang terkadang pihak Badan Pertanahan Nasional dapat dikatakan cari aman dan mengesampingkan peraturan-peraturan terkait yang sudah sangat jelas mengatur tentang blokir tersebut.

Dugaan Tindak Pidana

Bahwa terhadap hal tersebut sebenarnya pihak Badan Pertanahan Nasional dapat dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan dugaan Penyalagunaan Wewenang  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Hal mana unsur melawan hukum yang diduga dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pegawai Negeri adalah Membiarkan sesuatu, dimana dengan aturan yang ada namun tidak mengindahkan aturan yang mengatur tetntang blokir tersebut dan malah membiarkan sesuatu yang dalam hal ini tetap melakukan blokir terhadap objek lelang maka sangat beralasan terhadap hal tersebut dapat diterapkan Pasal 421 KUHP tersebut.

Adanya Kerugian Negara

Objek lelang hak tanggungan lama kelamaan akan kehilangan minat orang untuk membelinya dikarenakan sangat sulitnya proses balik nama pada Badan Pertanahan Nasional dikarenakan adanya blokir yang dengan membayar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah) dengan memblokir secara permanen maka telah merugikan pemenang lelang yang terkadang sudah keluar uang milliaran rupiah, dimana hal tersebut sangat miris kita melihatnya.

Kerugian negara yang kami maksudkan disini adalah negara tidak mendapatkan pemasukan apabila orang tidak lagi berminat untuk mengikuti atau membeli asset melalui proses lelang yang dalam hal ini lelang objek hak tanggungan, dimana yang seharusnya apabila orang membeli objek melalui lelang tersebut negara mendapatkan pemasukan berupa pajak dari transaksi pembelian melalui proses lelang tersebut.

Dalam kaitan lainnya juga lembaga perbankan yang tadinya mengharapkan pelunasan hutang debitur yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun dengan perbuatan debitur yang wanprestasi tersebut, dimana lembaga perbankan sangat mengaharapkan pelunasan hutang debitur melalui penjualan asset yang menjadi jaminan terhadap hutang debitur tersebut, namun apabila orang tidak lagi berminat untuk membeli barang lelang yang diajukan oleh lembaga perbankan tersebut, maka keuangan dari lembaga perbankan tersebut akan diam ditempat, hal mana kita juga mengetahui bahwa ada juga sebagian besar lembaga perbankan yang merupakan BUMN yang 50 persen sahamnya adalah milik negara, bukankah dalam hal ini negara juga telah dirugikan dengan keadaan tersebut.

Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)

Bahwa terhadap susahnya proses balik nama atau blokir yang secara terus menerus dibiarkan oleh Badan PertanahanNasional dengan mengesampingkan atau seolah-olah menutup mata terhadap aturan-aturan yang sudah sangat jelas mengatur tentang blokir tersebut diatas, terkadang memang para pemenang lelang mendatangi pihak KPKNL untuk meminta pertanggungjawaban, namun dalam hal ini sebagaimana dalam Peraturan menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dimana KPKNL hanyalah sebagai instansi yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melaksanakan lelang yang didahului dengan adanya permohonan dari pihak yang pemegang hak tanggungan tersebut, dan setelah meneliti kelengkapan berkas maka KPKNL akan melaksanakan penjualan barang yang terbuka untukumum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untukmencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang, sehingga KPKNL tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemenang lelang terhadap kendala yang dihadapi oleh pemenang lelang untuk melakukan balik nama di Badan Pertanahan Nasional. Terhadap debitur ataupun pihak ketiga yang merasa ada kaitan dengan objek lelang tersebut, namun apabila sebagaimana yang menjadi acuan dalam Peraturan menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang tersebut ada yang tidak sesuai maka terhadap proses pelaksanaan tersebut dapat dibatalkan dengan cara mengajukan gugatan.

Praktek yang sering terjadi bahwa keberatan ataupun blokir yang diajukan oleh debitur (pemilik asal) adalah setelah terjadinya pelaksanaan lelang dan pemenang lelang sudah ditetapkan, hal tersebutlah terkadang kuat dugaan kita hanyalah gugatan yang dibuat untuk mempersulit pemenang lelang untuk proses balik nama, padahal sebenarnya gugatan itu harus diajukan sebelum pelaksanaan lelang sehingga proses lelang dapat dipending.

Pemenang Lelang Sebagai pembeli yang Beritikat Baik

Menurut hemat kami, frasa “itikad baik” yang dimaksud dalam doktrin “pembeli beritikad baik harus dilindungi oleh undang-undang” merupakan asas itikad baik yang memiliki kesamaan fungsi dalam hukum benda, di mana bezit (kedudukan berkuasa) yang diperoleh dengan itikad baik harus dilindungi oleh undang-undang. Jual beli, sebagaimana hibah atau pembebanan hak jaminan kebendaan, pada dasarnya merupakan suatu sarana untuk mengalihkan hak kebendaan, di mana pihak penerimanya kemudian menjadi berkuasa atas benda terkait. Begitu pula halnya dengan pembeli, dia memperoleh hak kebendaan melalui transaksi jual beli yang dilakukannya.

Pemenang lelang sebagai pembeli yang beritikat baik secara teorinya hukumnya harus dilindungi hal mana dikarenakan pembeli melalui lelang adalah proses pembelian yang dilakukan oleh pelelangan umum dan dilakukan oleh instansi yang memang diberikan kewenangan oleh aturan-aturan terkait, hal mana juga dapat dilihat dari berbagai macam Yurisprudensi yang kesemuanya menegaskan bahwa pembeli melalaui pelelangan umum adalah merupakan pembeli yang beritikat baik dan patut untuk dilindungi.

Apabila terhadap objek lelang yang dimenangkan terkendala untuk melakukan proses balik nama, dalam hal ini memang pemenang lelang dapat mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum kepada Badan Pertanahan dan juga terhadap pihak yang mengajukan blokir tersebut, dimana dari berbagai banyak gugatan yang diajukan oleh pemenang lelang terhadap blokir tersebut pada umunya pemenang lelang dimenangkan, namun hal tersebut akan memakan waktu yang begitu panjang dan apabila kita lihat dalam pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim yang mengadili tersebut tetap pertimbangan hukumnya mengacu kepada dua peraturan yang telah disebutkan diatas tentang blokir yang tegas menyatakan bahwa blokir hapus dengan sendirinya dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pencatatan blokir kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Akhir kata maka kita juga merasa sangat miris dengan keadaan ini, maka semua pihak yang mempunyai kaitan dalam permasalahan ini harus dapat berfikir dengan arif dan bijaksana dengan memperhatikan aturan yang sudah ada dan jangan lagi diterjemahkan dan memberikan penafsiran yang aneh-aneh terhadap aturan yang sudah sangat jelas tertulis, sehingga hak-hak dari pemenang lelang dapat terlindungi secara hukum sebagai pembeli yang beritikat baik.

Harapan kita juga bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini, karena apabila dibiarkan maka akan berdampak buruk juga terhadap perekonomian negara secara luas. 

 

***

 

KEDUDUKAN NOMINEE AGREEMENT DALAM ATURAN HUKUM DI INDONESIA

Konsep nominee atau kadang disebut konsep trust  tidak dikenal dalam sistem hukum civil law yang berlaku di Indonesia. Konsep nominee pada awalnya hanya terdapat pada sistem hukum common law, namun seiring berjalannya waktu Konsep Nominee Agreement  lambat laun dan bahkan sudah marak terjadi di sistem hukum Civil Law di Indonesia.

Para pemodal pada umumnya memilih perseroan terbatas, sebagai bentuk dari badan hukum untuk menjalankan kegiatan investasinya di Indonesia secara langsung atau direct investment. Pendirian perseroan terbatas menurut Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, untuk selanjutnya disebut “UUPT”, Pasal 7 ayat (1), dapat dilakukan oleh 2 orang atau lebih. Syarat mendirikan perseroan terbatas melalui perjanjian yang menyebabkan pendirian perseroan terbatas harus dilakukan oleh 2 orang atau lebih sebagai pemegang saham, karena tidak mungkin satu orang mengadakan perjanjian dengan dirinya sendiri.

Praktek saham pinjam nama  atau yang lazim dikenal dengan sebutan Nominee Arrangement adalah merupakan  perjanjian yang menyatakan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Praktek saham pinjam nama tersebut saat ini sering dijumpai di Negara Indonesia, yang mana disatu sisi dalam akta pendirian suatu Perseroan Terbatas disebutkan bahwa nama yang tercantum dalam akta tersebut yang merupakan pemilik lembaran saham yang sah tercantum didalamnya, namun disisi lain adanya akta yang lain yang terbit dan menyatakan bahwa lembaran saham sebagaimana dalam akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut bukanlah milik orang yang sebagaimana yang disebutkan dalam akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut namun merupakan milik orang lain atau nama yang disebutkan dalam Akta Nominee tersebut.

Pihak yang menunjuk nominee seringkali dikenal sebagai pihak beneficiary. Nominee mewakili kepentingan-kepentingan dari beneficiary dan karenanya nominee dalam melakukan tindakan-tindakan khusus harus sesuai dengan yang diperjanjikan dan tentunya harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh pihak beneficiary.

Apabila dilihat dari seluruh pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam konsep nominee dikenal dua pihak, yaitu pihak nominee yang tercatat secara hukum dan pihak beneficiary yang menikmati setiap keuntungan dan kemanfaatan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak yang tercatat secara hukum.

Secara de jure, nominee adalah pemegang hak yang sah atas benda tersebut, yang tentunya memiliki hak untuk mengalihkan, menjual, membebani, menjaminkan serta melakukan tindakan apapun atas benda yang bersangkutan, sedangkan pihak beneficiary secara de facto tidak diakui sebagai pemilik atas benda secara hukum.

Dasar Hukum

Dari hal tersebut diatas sesungguhnya terhadap perbuatan hukum Nominee Agreement bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, hal mana dapat dilihat pada Undang- Undang Nomor  40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 48 Ayat (1) yang menyebutkan “Saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya”, jadi saham itu wajib atas nama si pemegang saham, tidak boleh nama pemegang saham berbeda dengan pemilik sebenarnya. Nominee Agreement  juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) Pasal 33 Ayat (1) da (2) yang menyebutkan:

Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

   

Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.

Maka sebagaimana pada ayat (2) diatas Mengenai perjanjian nominee yang menyatakan kepemilikan seluruh saham perseroan adalah milik orang lain, berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinyatakan bahwa seseorang dilarang mengadakan perjanjian nominee (nominee agreement), yaitu jika seseorang mengaku sebagai pemegang saham tetapi namanya tidak tercantum sebagai pemegang saham dalam anggaran dasar suatu perseroan, maka keberadaannya tidak diakui, perjanjiannya seperti itu tidak memiliki causa yang halal, sehingga perjanjiannya menjadi BATAL DEMI HUKUM.

Kalau kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bahwa sebagaimana dalam Pasal 1337 yang menyebutkan “ Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang”, maka oleh karena itu terhadap praktik saham pinjam nama yang dilarang dalam sistem hukum di Indonesia sehingga perjanjiannya menjadi BATAL DEMI HUKUM.

Melihat hal tersebut maka pada Undang-Undang Penanaman Modal, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah memasukkan larangan mengenai perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain pada pasal 33 ayat (1) Undang-undang Penanaman Modal. Larangan tersebut memiliki tujuan untuk menghindari terjadinya kepemilikan perseroan yang berbeda.

Bahwa terhadap praktik saham pinjam nama tersebut walaupun dilarang secara tegas oleh undang-undang yang disebutkan diatas, namun hal tersebut masih terus terjadi, terkadang memang terhadap praktik saham pinjam nama tersebut selagi terjalinnya hubungan yang harmonis antara orang yang dipinjam namanya dengan orang yang merupakan pemilik saham yang sesungguhnya maka tidak akan ada masalah, namun apabila dikemudian hari terjadi suatu hubungan yang tidak harmonis lagi, maka ini yang akan berujung kepada suatu permasalahan hukum, dan kadang harus sampai kepada proses hukum di pengadilan, namun dalam hal ini terhadap siapa yang merupakan pemilik saham adalah sebagaimana nama pemilik saham yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan tersebut, karena sebagaimana dalam Undang-undang Perseroan Terbatas didalam penjelasan Pasal 48 Ayat (1) dengan jelas dinyatakan bahwa perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan pereroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk, maka terhadap pemilik saham yang tercantum dalam akta lain diluar akta pendirian perseroan terbatas tersebut secara hukum tidak diakui, dan terhadap akta perjanjian dan atau pernyataan yang dibuat diluar akta perseroan terbatas tersebut secara hukum dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.

Batal Demi Hukum mempunyai pengertian secara otomatis akta tersebut Batal Demi Hukum tanpa harus dibatalkan, hal tersebut sebagaimana bunyi dari undang-undang yang mengaturnya, namun pihak yang merasa dirugikan tentunya tidak secara sukarela membiarkan hal tersebut, ujung-ujungnya masuk kedalam proses hukum di pengadilan.

Pelaksanaan nominee agreement di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, menemui beberapa kendala. Pelanggaran terhadap syarat obyektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sebab yang halal dan penjabarannya mengenai sebab yang halal dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa nominee agreement tidak boleh bertentangan dengan undang-undang menjadi alasan nominee saham di Indonesia tidak dapat dituntut pemenuhannya atau pelaksanaannya dihadapan hukum. Hal ini dikarenakan saham pinjam nama bertentangan dengan Pasal 52 ayat (4) UUPT mengenai konsep kepemilikan saham secara dominium plenum (kepemilikan saham secara penuh atau mutlak).

Kesimpulan

Berdasarkan nominee agreement, dapat dilihat bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri dalam penggunaan nominee memperlihatkan terdapatnya 2 pihak, yaitu pihak yang diakui secara hukum dan pihak yang berada di belakang pihak yang diakui secara hukum tersebut, dimana 2 pihak tersebut dalam kepemilikan saham melahirkan pemisahan kepemilikan atas suatu benda yaitu pemilik yang diakui secara hukum (pihak nominee) dan pemilik yang sebenarnya atas benda (pihak beneficiary). Biasanya Selain nominee agreement terdapat beberapa perjanjian dan kuasa yang biasanya ditandangani oleh pihak nominee dan pihak beneficiary sebagai komponen pendukung.

Perjanjian dan kuasa-kuasa tersebut dibutuhkan untuk memberikan kepastian ataupun perlindungan kepada beneficiary sebagai pemilik sebenarnya atas benda yang dimiliki oleh nominee secara hukum. Regulasi sudah mengatur untuk pelarangan praktek nominee saham ini, yang diatur dalam pasal 33 ayat 1 dan 2 dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Perjanjian nominee saham tidak hanya terdiri dari satu perjanjian saja, melainkan terdiri dari beberapa perjanjian yang apabila dihubungkan satu sama lain akan menghasilkan nominee saham inilah yang dapat dikatakan sebagai nominee arrangement, Hal ini dapat dikatakan sebagai penyelundupan hukum pada perjanjian nominee saham dalam prakteknya di Indonesia.

 

Apabila terhadap perkara saham pinjam nama ini masuk keranah pengadilan, maka disinilah hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya harus memperhatikan aturan terkait yaitu undang-undang yang telah tegas mengaturnya yang tidak perlu lagi memberikan penafsiran yang terjemahannya menjadi berbeda dari apa yang disebutkan oleh undang-undang yang telah mengaturnya, dikarenakan sudah sangat jelas aturannya, kalau tadinya tidak diatur secara tegas, maka untuk mengisi kekosongan hukum maka dapat memberikan suatu penafsiran lain.

Sumber : RUDOLF NAIBAHO, S.H (LAW FIRM RUDOLF NAIBAHO & PARTNERS)

 

akta notaris tentang Pengikatan Saham dan Kuasa Saham  berisiko sebagai praktek nominee arrangement

Akta pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai praktek nominee arrangement. Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham tersebut dilimpahkan pada orang lain.  Nominee arrangement ini sebenarnya tidak diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Pasal 33 ayat (1) UUPM melarang penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) UUPM selanjutnya mengatur bahwa perjanjian semacam itu dinyatakan batal demi hukum.

Larangan ini juga diperkuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Dalam pasal 48 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa saham dikeluarkan atas nama pemiliknya. Jadi, saham itu haruslah atas nama si pemegang sahamnya, tidak bisa nama pemegang sahamnya berbeda dengan pemilik sebenarnya.

Dengan demikian perjanjian pengikatan saham dan kuasa saham yang dibuat dengan akta Notaris tersebut tidak cukup untuk melindungi orang yang memiliki uang yang sebenarnya tersebut. Hal ini karena struktur nominee arrangement demikian tidak diperbolehkan dalam perundang-undangan di Negara Republik Indonesia.

 

Dasar hukum:

-Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

-Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

 

 

 

Pokok pokok pikiran terhadap TANGGUNG JAWAB NOTARIS AKIBAT PEMBUATAN AKTA NOMINEE YANG MENGANDUNG PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PARA PIHAK

sebagai berikut:

1.     Notaris diberikan kewenangan dalam suatu pembuatan akta otentik, sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan dalam pembuatan akta otentik, maka ia harus bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya. Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, sehingga Notaris dapat dimintakan pertanggung jawaban sebagai berikut :

a.        Tanggung jawab Notaris Secara perdata, Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata berupa tuntutan ganti kerugian

b.        Tanggung Jawab Notaris secara pidana, Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan dituntut pasal penipuan dan pemalsuan terhadap akta yang dibuat oleh Notaris.

c.        Tanggung jawab Notaris secara administratif, notaris dapat dikenai sanksi administratif sampai pada pemberhentian secara tidak hormat.

2.     Dalam mengkonstruksikan Perjanjian Nominee dalam penulisan ini, berdasarkan teori Lawrence M. Friedman yaitu sebagai berikut :

a.     Struktur Hukum (Legal Structure) Karena suatu sistem tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada penegak hukum yang kredibilitas, maka dari itu aparat penegak hukum dalam hal ini khususnya kepada Majelis Pengawas Notaris, serta seluruh aparat penegak hukum memperbaiki sistem keamanan dan memberikan sanksi.

b.     Substansi Hukum (substance of the law) dari segala aturan yang berkaitan dengan nominee maka pada bagian isi/substansi ini harus adanya kejelasan norma, adanya pelarangan terhadap nominee yang merupakan perbuatan melawan hukum, dan juga adanya sanksi yang tegas.

c.     Budaya Hukum, konstruksi hukum yang diharapkan untuk perjanjian nominee ini dilakukan dengan menggunakan dan disesuaikan dengan Budaya Hukum yang ada di Indonesia maka harus lebih menekankan kepada kesadaran masyarakat dan juga jika perlu dilaksanakannya sosialisasi mengenai nominee ini.

 

3.     Sebagai Pejabat Umum, Notaris harus lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menangani para penghadap yang hendak dimintakan membuat akta, Notaris juga seharusnya lebih dapat bersikap tegas untuk dapat memillah dan menolak membuat akta apabila akta tersebut berindikasi perbuatan melawan hukum atau melanggar ketentuan Undang-undang yang dapat merugikan para pihak, negara bahkan Notaris itu sendiri;

4.     Merekomendasikan kepada Presiden dan DPR-RI sebagai bagian dari pemerintah yang berwenang membuat Undang-Undang dapat juga merombak UUPA tentang pembatasan hak atas tanah terhadap Orang Asing yang lebih dipersempit kembali, mengkonstruksikan Hukum yang baru terhadap pelarangan Nominee lebih tegas dan terang dalam bentuk aturan dan juga melakukan denda terhadap pelaku yang telah terlanjur melakukannya, pemerintah juga dihimbau bekerjasama dengan aparat penegak hukum lain agar hukum dapat dilaksanakan dengan baik maka selalu melakukan pemeriksaan terhadap segala transaksi yang mengatas namakan orang lain.

 

TANGGUNG JAWAB NOTARIS AKIBAT PEMBUATAN AKTA NOMINEE YANG MENGANDUNG PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PARA PIHAK

Perjanjian Nominee dalam hukum perjanjian di Indonesia dikategorikan sebagai perjanjian yang berindikasi menciptakan penyelundupan hukum. Perjanjian ini belum diatur dalam KUHPerdata namun dalam kenyataannya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,perjanjian ini juga masuk dalam kategori  jenis perjanjian tidak bernama (Innominat Contract).

Perjanjian “Nominee” atau “Nominee agreement”  diartikan sebagai perjanjian pernyataan sebenarnya dan kuasa, perjanjian nominee ini biasanya dituangkan dalam bentuk akta oleh para pihaknya untuk memperkuat perjanjian tersebut yang dibuat dengan akta otentik.

Tanggung Jawab Notaris terhadap perbuatan melawan  hukum yang dilakukan para pihak  dalam akta Nominee, kepada Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap pembuatan akta yang merupakan perbuatan melawan hukum secara Perdata, Pidana, dan juga secara administrasi.

Karena tidak diaturnya nominee maka dalam  mengkonstruksikan hukum untuk menanggulangi perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam akta nominee yang dibuat oleh Notaris dengan menggunakan Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Meir Friedman mengenai struktur hukum yang harus lebih memperketat keamanan oleh MPD, MPW bahkan sampai pada MPN, isi/subtansi hukum  harus adanya kejelasan norma, adanya pelarangan Nominee, sampai pada pemberian sanksi yang tegas, yang terakhir mengenai budaya hukum yang harus disesuaikan dengan budaya di Indonesia, peningkatan kesadaran masyarakat, bahkan jika perlu diadakannya sosialisasi tentang nominee kepada masyarakat.

 

KEABSAHAN Nominee Agreement di Indonesia

“Nominee agreement merupakan suatu praktik yang sering terjadi di Indonesia yang mana terdapat pihak yang meminjam nama pihak lain sebagai pemegang saham dalam suatu PT.”

Nominee agreement atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perjanjian saham pinjam nama adalah perjanjian yang pada dasarnya menyatakan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas (PT) untuk dan atas nama orang lain.

Nominee agreement merupakan praktik yang sering terjadi di Indonesia, yang mana disatu sisi dalam akta pendirian suatu PT dinyatakan bahwa nama yang tercantum dalam akta tersebut yang merupakan pemilik lembaran saham yang sah tercantum didalamnya, tetapi disisi lain dalam nominee agreement dinyatakan bahwa lembaran saham sebagaimana dalam akta pendirian PT tersebut bukanlah milik orang yang sebagaimana disebutkan dalam akta tersebut namun merupakan milik orang lain atau nama yang disebutkan.

Lalu, apakah sebenarnya hal tersebut merupakan praktik yang diperbolehkan di Indonesia? Ternyata, nominee agreement telah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Berdasarkan UUPM Pasal 33 ayat (1) UUPM mengatur secara tegas bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam PT membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

Lebih lanjut dalam Pasal 33 ayat (2) UUPM dinyatakan bahwa apabila penanam modal membuat perjanjian tersebut, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pasal 1337 KUHPer menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, yang mana apabila perjanjian dibuat berdasarkan sebab yang terlarang maka perjanjian tersebut tidak sah dan mengakibatkan batal demi hukum.

Berdasarkan UUPT Sejalan dengan UUPM, Pasal 48 UUPT juga mengatur bahwa saham PT dikeluarkan atas nama pemiliknya. Sehingga tidak diperbolehkan saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilik yang bukan pemilik aslinya.

Terdapat kemungkinan risiko yang dihadapi dengan membuat nominee agreement, antara lain:

·        Apabila terjadi sengketa, pengadilan tidak akan mengakui nominee agreement         sehingga tidak dapat diproses di pengadilan.

·        Nama pemilik saham yang berada dalam akta pendirian perseroan yang akan diakui     oleh hukum di Indonesia; dan

·        Nominee agreement dapat digugat oleh pihak ketiga atas dasar penipuan. 

 

****

Minggu, 17 Desember 2023

 

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Suatu perjanjian—menurut Pasal 1313 KUHPerdata—adalah perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Perjanjian ada yang dibuat dengan cuma-cuma. Ada juga perjanjian yang dibuat atas beban tertentu seperti dimaksud oleh Pasal 1314 KUH Perdata. Perjanjian dengan cuma-cuma berisi pemberian keuntungan kepada pihak lain oleh satu pihak tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, isi perjanjian atas beban mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Rumusan ayat 1 Pasal 1338 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa orang boleh membuat perjanjian apa saja selama dibuat secara sah. Kata “semua perjanjian” mengandung asas kebebasan membuat perjanjian atau asas kebebasan berkontrak. Namun, hanya perjanjian yang dibuat secara sah saja yang mengikat para pihak pembuatnya seperti undang-undang.

Syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata ada empat. Keempat syarat itu harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah dan mengikat para pihak pembuatnya.

Syarat pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Selanjutnya Pasal 1322 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata mengatur tentang kekhilafan, paksaan, dan penipuan.

Syarat kedua, cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan tidak cakap membuat perjanjian.

Syarat ketiga, suatu hal tertentu. Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya”. Pasal 1332 KUHPerdata juga menentukan bahwa, “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”.

Syarat keempat, suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak mengatur apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Namun, Pasal 1337 KUHPerdata mengatakan, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. (Eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde).

Oorzaak atau sebab/kausa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Makna ini menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian. Makna lain dari Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata ‘oorzaak’ atau ‘causa’ berarti ‘sebab’, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah ‘tujuan’, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu....Dengan kata lain, causa berarti : isi perjanjian itu sendiri”.

Syarat pertama dan kedua dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan bagi subjek perjanjian, yakni pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat-syarat itu disebut dengan syarat subjektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan batal (vernietigbaar) ke Pengadilan. Perjanjian menjadi batal sejak dinyatakan batal oleh Hakim (ex nunc).

Syarat ketiga dan keempat dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan untuk objeknya, yaitu perjanjian itu sendiri. Syarat-syarat tersebut disebut syarat objektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dimaksud batal demi hukum (van rechtswege nietig). Kebatalannya berlaku sejak semula (ex tunc) seperti tidak pernah ada perjanjian.

Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.

Pasal ini mewajibkan digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia. Di sisi lain, bahasa nasional dari pihak asing atau bahasa Inggris juga digunakan. Maka, perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing—menurut Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa—harus dibuat/ditulis dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa asing/bahasa Inggris. Semua naskah perjanjian tersebut sama aslinya seperti Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya”.

Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian tertulis itu merupakan penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Namun, apa akibat hukumnya apabila ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa tidak dipenuhi? Penulis menilai tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris.

Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU Bahasa yang mengaturnya. Pendapat ini jelas terlihat dari kalimat terakhir pada Penjelasan Umum UU Bahasa, “Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini”.

Berbagai undang-undang lain—seperti Pasal 1851 KUHPerdata, Pasal 1682 KUHPerdata, dan Pasal 9 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) —yang mengharuskan persyaratan formal suatu perjanjian mengatur akibat hukum jika tidak dipenuhi.

Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan, “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”.

Menyimpang dari asas kebebasan berkontrak, Pasal 1851 KUHPerdata mensyaratkan perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi—dalam arti perjanjian perdamaian tidak dibuat secara tertulis—maka perjanjian tersebut tidak sah.

Selanjutnya Pasal 1682 KUHPerdata berbunyi, “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal ini mengharuskan hibah dilakukan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dilakukan dengan akta notaris maka hibah tersebut batal.

Terakhir, UU Arbitrase mensyaratkan perjanjian memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibuat secara tertulis dan berisi masalah yang dipersengketakan. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pasal 9 ayat 1, ayat 3 huruf a, dan ayat 4 UU Arbitrase menyatakan, “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak; (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. Masalah yang dipersengketakan; (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.

Perjanjian yang ditulis juga dalam bahasa asing hanya dalam hal perjanjian itu melibatkan pihak asing. Pasal 26 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Presiden No.63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa Indonesia) mengatur tentang bagaimana hubungan antara Perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan yang ditulis dalam bahasa asing.

Pasal-pasal itu selengkapnya berbunyi, “(3) Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing; (4) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian”.

Pasal 26 ayat 3 Perpres Bahasa Indonesia dengan tegas menyatakan bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menerjemahkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia—oleh penerjemah tersumpah—membuat keberadaan perjanjian itu dalam bahasa Indonesia diakui. Jadi, perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa.

Keberadaan perjanjian tertulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing diakui dan sesuai dengan ketentuan dalam UU Bahasa. Namun, mari kembali pada empat syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu yang digunakan untuk menilai keabsahan suatu perjanjian. Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dinilai tersebut yang dinyatakan batal atau batal demi hukum.

Contoh Perkara

Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah memeriksa dan memutus sengketa antara PT Bangun Karya Pratama Lestari—berkedudukan di Jakarta Barat—sebagai Penggugat melawan NINE AM Ltd—berkedudukan di Texas, AS—sebagai Tergugat dalam perkara No.451/PDT.G/2012/PN Jak.Bar. Penggugat mendalilkan bahwa hubungan hukum dengan Tergugat berdasarkan Loan Agreement bertanggal 23 April 2010. Loan Agreement dibuat, ditandatangani, serta tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Penggugat memperkarakan bahasa yang digunakan Loan Agreement adalah bahasa Inggris sehingga bertentangan dengan Pasal 31 UU Bahasa.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya No. 451/PDT.G/2012/PN Jak.Bar bertanggal 20 Juni 2013 pada pokoknya, “Menyatakan bahwa Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat batal demi hukum”. Beberapa poin pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat adalah sebagai berikut.

Loan Agreement tanggal 23 April 2010 antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam satu bahasa, yakni bahasa Inggris tanpa bahasa Indonesia. Fakta ini tidak memenuhi kewajiban Pasal 31 UU Bahasa. Perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia bertentangan dengan UU Bahasa. Maka, perjanjian ini terlarang seperti sebab yang dilarang dalam Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Oleh karena itu, Loan Agreement itu dinilai tidak memenuhi salah satu syarat esensial dari syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya No.48/PDT/2014/PT. DKI bertanggal 7 Mei 2014. Mahkamah Agung dalam putusannya No.601 K/Pdt/2015 bertanggal 31 Agustus 2015 menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh NINE AM Ltd. sebagai yang dahulu sebagai Tergugat dan Pembanding.

Menurut Mahkamah Agung, alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hukum putusan judex facti dinilai sudah tepat dan benar, serta tidak salah dalam menerapkan hukum. Pertimbangan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung ialah, “Bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya, bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009 menyebutkan bahwa : ‘Bahasa Indonesia WAJIB digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia, atau perseorangan WNI’, sebaliknya Tergugat tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil bantahannya”.

Tinjauan Lain

Sengketa dalam perkara di atas pada pokoknya didasarkan atas Loan Agreement yang ditulis dalam bahasa Inggris, tanpa bahasa Indonesia. Menurut hemat saya, bisa dinilai dengan tinjauan lain berikut ini.

Pertama, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—yang dibuat oleh dan antara Penggugat (lembaga swasta Indonesia) dengan Tergugat (pihak asing)—hanya ditulis dalam bahasa Inggris.

Kedua, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat— berdasarkan Pasal 31 ayat 2 jo. Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa — harusnya dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa nasional Tergugat atau bahasa Inggris, dan semua naskah sama aslinya.

Keberadaan Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat yang ditulis dalam bahasa Inggris—telah sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa. Namun, perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak/belum ada. Pasal ini memang mewajibkan suatu persyaratan formal tertentu untuk suatu perjanjian—yakni wajib digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia—tapi tidak mengatur apa akibat hukum bila tidak dipenuhi.

Sebagai bukti yang diajukan di persidangan pengadilan, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 tersebut harus diterjemahkan lebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Selanjutnya, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat tersebut dinilai keabsahannya menurut empat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Para pihak tidak mempermasalahkan mengenai syarat-syarat pertama, kedua, dan ketiga dari Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian tersebut pun sudah dilaksanakan sehingga ketiga syarat tersebut terbukti telah dipenuhi. Perlu diingat bahwa suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat—menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dan Prof. Subekti, S.H.—adalah isi perjanjian itu sendiri. Syarat keempat telah terpenuhi dengan kenyataan tiada suatu ketentuan undang-undang yang melarang isi perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat. Isinya perjanjian juga tidak bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Jadi, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 terbukti sah. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, perjanjian tersebut mengikat Penggugat dan Tergugat seperti undang-undang.

Perlu dicatat tinjauan di atas tidak menerapkan Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia. Hal itu karena Peraturan Presiden tersebut belum ada pada waktu Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus perkara. Perpres Bahasa Indonesia baru disahkan pada tanggal 30 September 2019.

 

*) Sumber : Marianna Sutadi, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 2004-2008.