Minggu, 17 Desember 2023

 

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Suatu perjanjian—menurut Pasal 1313 KUHPerdata—adalah perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Perjanjian ada yang dibuat dengan cuma-cuma. Ada juga perjanjian yang dibuat atas beban tertentu seperti dimaksud oleh Pasal 1314 KUH Perdata. Perjanjian dengan cuma-cuma berisi pemberian keuntungan kepada pihak lain oleh satu pihak tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, isi perjanjian atas beban mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Rumusan ayat 1 Pasal 1338 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa orang boleh membuat perjanjian apa saja selama dibuat secara sah. Kata “semua perjanjian” mengandung asas kebebasan membuat perjanjian atau asas kebebasan berkontrak. Namun, hanya perjanjian yang dibuat secara sah saja yang mengikat para pihak pembuatnya seperti undang-undang.

Syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata ada empat. Keempat syarat itu harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah dan mengikat para pihak pembuatnya.

Syarat pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Selanjutnya Pasal 1322 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata mengatur tentang kekhilafan, paksaan, dan penipuan.

Syarat kedua, cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan tidak cakap membuat perjanjian.

Syarat ketiga, suatu hal tertentu. Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya”. Pasal 1332 KUHPerdata juga menentukan bahwa, “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”.

Syarat keempat, suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak mengatur apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Namun, Pasal 1337 KUHPerdata mengatakan, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. (Eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde).

Oorzaak atau sebab/kausa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Makna ini menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian. Makna lain dari Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata ‘oorzaak’ atau ‘causa’ berarti ‘sebab’, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah ‘tujuan’, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu....Dengan kata lain, causa berarti : isi perjanjian itu sendiri”.

Syarat pertama dan kedua dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan bagi subjek perjanjian, yakni pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat-syarat itu disebut dengan syarat subjektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan batal (vernietigbaar) ke Pengadilan. Perjanjian menjadi batal sejak dinyatakan batal oleh Hakim (ex nunc).

Syarat ketiga dan keempat dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan untuk objeknya, yaitu perjanjian itu sendiri. Syarat-syarat tersebut disebut syarat objektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dimaksud batal demi hukum (van rechtswege nietig). Kebatalannya berlaku sejak semula (ex tunc) seperti tidak pernah ada perjanjian.

Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.

Pasal ini mewajibkan digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia. Di sisi lain, bahasa nasional dari pihak asing atau bahasa Inggris juga digunakan. Maka, perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing—menurut Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa—harus dibuat/ditulis dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa asing/bahasa Inggris. Semua naskah perjanjian tersebut sama aslinya seperti Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya”.

Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian tertulis itu merupakan penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Namun, apa akibat hukumnya apabila ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa tidak dipenuhi? Penulis menilai tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris.

Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU Bahasa yang mengaturnya. Pendapat ini jelas terlihat dari kalimat terakhir pada Penjelasan Umum UU Bahasa, “Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini”.

Berbagai undang-undang lain—seperti Pasal 1851 KUHPerdata, Pasal 1682 KUHPerdata, dan Pasal 9 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) —yang mengharuskan persyaratan formal suatu perjanjian mengatur akibat hukum jika tidak dipenuhi.

Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan, “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”.

Menyimpang dari asas kebebasan berkontrak, Pasal 1851 KUHPerdata mensyaratkan perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi—dalam arti perjanjian perdamaian tidak dibuat secara tertulis—maka perjanjian tersebut tidak sah.

Selanjutnya Pasal 1682 KUHPerdata berbunyi, “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal ini mengharuskan hibah dilakukan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dilakukan dengan akta notaris maka hibah tersebut batal.

Terakhir, UU Arbitrase mensyaratkan perjanjian memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibuat secara tertulis dan berisi masalah yang dipersengketakan. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pasal 9 ayat 1, ayat 3 huruf a, dan ayat 4 UU Arbitrase menyatakan, “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak; (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. Masalah yang dipersengketakan; (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.

Perjanjian yang ditulis juga dalam bahasa asing hanya dalam hal perjanjian itu melibatkan pihak asing. Pasal 26 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Presiden No.63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa Indonesia) mengatur tentang bagaimana hubungan antara Perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan yang ditulis dalam bahasa asing.

Pasal-pasal itu selengkapnya berbunyi, “(3) Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing; (4) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian”.

Pasal 26 ayat 3 Perpres Bahasa Indonesia dengan tegas menyatakan bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menerjemahkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia—oleh penerjemah tersumpah—membuat keberadaan perjanjian itu dalam bahasa Indonesia diakui. Jadi, perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa.

Keberadaan perjanjian tertulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing diakui dan sesuai dengan ketentuan dalam UU Bahasa. Namun, mari kembali pada empat syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu yang digunakan untuk menilai keabsahan suatu perjanjian. Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dinilai tersebut yang dinyatakan batal atau batal demi hukum.

Contoh Perkara

Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah memeriksa dan memutus sengketa antara PT Bangun Karya Pratama Lestari—berkedudukan di Jakarta Barat—sebagai Penggugat melawan NINE AM Ltd—berkedudukan di Texas, AS—sebagai Tergugat dalam perkara No.451/PDT.G/2012/PN Jak.Bar. Penggugat mendalilkan bahwa hubungan hukum dengan Tergugat berdasarkan Loan Agreement bertanggal 23 April 2010. Loan Agreement dibuat, ditandatangani, serta tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Penggugat memperkarakan bahasa yang digunakan Loan Agreement adalah bahasa Inggris sehingga bertentangan dengan Pasal 31 UU Bahasa.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya No. 451/PDT.G/2012/PN Jak.Bar bertanggal 20 Juni 2013 pada pokoknya, “Menyatakan bahwa Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat batal demi hukum”. Beberapa poin pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat adalah sebagai berikut.

Loan Agreement tanggal 23 April 2010 antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam satu bahasa, yakni bahasa Inggris tanpa bahasa Indonesia. Fakta ini tidak memenuhi kewajiban Pasal 31 UU Bahasa. Perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia bertentangan dengan UU Bahasa. Maka, perjanjian ini terlarang seperti sebab yang dilarang dalam Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Oleh karena itu, Loan Agreement itu dinilai tidak memenuhi salah satu syarat esensial dari syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya No.48/PDT/2014/PT. DKI bertanggal 7 Mei 2014. Mahkamah Agung dalam putusannya No.601 K/Pdt/2015 bertanggal 31 Agustus 2015 menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh NINE AM Ltd. sebagai yang dahulu sebagai Tergugat dan Pembanding.

Menurut Mahkamah Agung, alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hukum putusan judex facti dinilai sudah tepat dan benar, serta tidak salah dalam menerapkan hukum. Pertimbangan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung ialah, “Bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya, bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009 menyebutkan bahwa : ‘Bahasa Indonesia WAJIB digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia, atau perseorangan WNI’, sebaliknya Tergugat tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil bantahannya”.

Tinjauan Lain

Sengketa dalam perkara di atas pada pokoknya didasarkan atas Loan Agreement yang ditulis dalam bahasa Inggris, tanpa bahasa Indonesia. Menurut hemat saya, bisa dinilai dengan tinjauan lain berikut ini.

Pertama, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—yang dibuat oleh dan antara Penggugat (lembaga swasta Indonesia) dengan Tergugat (pihak asing)—hanya ditulis dalam bahasa Inggris.

Kedua, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat— berdasarkan Pasal 31 ayat 2 jo. Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa — harusnya dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa nasional Tergugat atau bahasa Inggris, dan semua naskah sama aslinya.

Keberadaan Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat yang ditulis dalam bahasa Inggris—telah sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa. Namun, perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak/belum ada. Pasal ini memang mewajibkan suatu persyaratan formal tertentu untuk suatu perjanjian—yakni wajib digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia—tapi tidak mengatur apa akibat hukum bila tidak dipenuhi.

Sebagai bukti yang diajukan di persidangan pengadilan, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 tersebut harus diterjemahkan lebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Selanjutnya, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat tersebut dinilai keabsahannya menurut empat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Para pihak tidak mempermasalahkan mengenai syarat-syarat pertama, kedua, dan ketiga dari Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian tersebut pun sudah dilaksanakan sehingga ketiga syarat tersebut terbukti telah dipenuhi. Perlu diingat bahwa suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat—menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dan Prof. Subekti, S.H.—adalah isi perjanjian itu sendiri. Syarat keempat telah terpenuhi dengan kenyataan tiada suatu ketentuan undang-undang yang melarang isi perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat. Isinya perjanjian juga tidak bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Jadi, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 terbukti sah. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, perjanjian tersebut mengikat Penggugat dan Tergugat seperti undang-undang.

Perlu dicatat tinjauan di atas tidak menerapkan Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia. Hal itu karena Peraturan Presiden tersebut belum ada pada waktu Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus perkara. Perpres Bahasa Indonesia baru disahkan pada tanggal 30 September 2019.

 

*) Sumber : Marianna Sutadi, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 2004-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar