Kamis, 23 Februari 2017

Analisis UUJN

Analisis UUJN 

Analisis Beberapa Pasal Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Pasal 1 butir 5 juncto Pasal 82 ayat (1) :
Pasal 1 butir 5 :
Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
Pasal 82 ayat (1) :
Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

Analisis :
Satu Wadah Organisasi Notaris tersebut bisa berarti beranggotakan Notaris secara pribadi atau beranggotakan Organisasi-organisasi  Notaris (seperti wadah tunggal Advokat). Pasal tersebut menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi profesi notaris selain organisasi yang keberadaannya diakui oleh Departemen Hukum  dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yaitu INI (Ikatan Notaris Indonesia). Sebaiknya organisasi profesi notaris disebut dengan jelas dalam pasal tersebut, agar tidak menimbulkan kerancuan organisasi dan agar para notaris berjalan dengan satu kode etik dan standar profesi yang berlaku bagi seluruh Notaris di Indonesia serta mendapatkan kepastian hukum. Di antara organisasi non INI adalah PERNORI (Persatuan  Notaris  Reformasi Indonesia), HNI (Himpunan Notaris Indonesia), ANI (Asosiasi Notaris Indonesia).

Pasal 15
ayat (2) f :
Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
ayat (2) g :
Notaris berwenang pula membuat akta risalah lelang.

Analisis :
Pasal ini bertolak belakang dengan kewenangan khusus PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Pejabat Lelang, sehingga tidak dapat dilaksanakan, karena sampai saat ini Badan Pertanahan Nasional, Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kota/Kabupaten di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya bersedia untuk mendaftar akta-akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan bukan akta-akta yang dibuat di hadapan Notaris.

Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan dalam angka 24 bahwa: "Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT  adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

Mengenai kewenangan Notaris untuk membuat risalah lelang juga bertentangan dengan Vendu Reglement (S.1908 No . 189) yang sampai saat ini masih berlaku dan juga tidak dicabut oleh UUJN, karena pendaftaran peralihan hak melalui lelang disyaratkan risalah lelang yang dibuat oleh Kantor Lelang Negara. Pejabat lelang sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan adalah pihak yang paling berwenang dalam pembuatan risalah lelang. Hal ditegaskan dengan penggunaan azas hukum lex specialist derogat lex generalis, dimana Peraturan Menteri Keuangan nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang, berkedudukan sebagai peraturan yang lebih khusus dan spesifik dalam peraturan mengenai pembuatan risalah lelang.  

Pasal 17 huruf g :
Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.

Analisis :
Ketentuan tersebut mengandung satu  pernyataan yang positif dalam hubungannya  dengan eksistensi lembaga jabatan  PPAT  dalam tata hukum kita. Tetapi disamping unsurnya yang positif, rumusan pasal tersebut justru menciptakan suatu ketidakpastian mengenai hubungan institusional jabatan Notaris dan jabatan PPAT. Dalam Peraturan Jabatan PPAT pun PPAT dilarang merangkap jabatan Notaris, yang ada di luar daerah kerjanya. Notaris mempunyai wilayah jabatan yang meliputi satu Propinsi dan wajib mempunyai satu kantor di wilayah Propinsi yang bersangkutan. PPAT juga mempunyai daerah kerja yang meliputi satu Kabupaten atau Kota, dan juga wajib mempunyai satu kantor di daerah kerjanya. Sekarang ini Notaris boleh merangkap jabatan PPAT dan sebaliknya. Tetapi wajib berkantor satu, yang berarti berkedudukan dan berkantor di tempat yang sama. Tetapi dengan adanya larangan yang dirumuskan dengan kalimat tersebut tanpa disertai penjelasan justru memungkinkan adanya tafsiran yang berbeda.

Yang dilarang adalah Notaris merangkap jabatan PPAT di luar wilayah jabatannya. Misalnya, Notaris di Kota Bandung dengan wilayah jabatan Propinsi Jawa Barat, dilarang merangkap jabatan PPAT Kabupaten Tangerang, yang termasuk Propinsi Banten. Tetapi larangan tersebut juga dapat diartikan bahwa notaris Kota Bandung tidak dilarang merangkap jabatan PPAT yang daerah kerjanya dalam wilayah Jawa Barat. Dengan demikian dimungkinkan Notaris tersebut merangkap jabatan PPAT untuk Kabupaten Bekasi yang termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat.

Pasal 36 ayat (2) :
Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.

Analisis :
Kode etik notaris melarang seorang notaris menetapkan honorarium lebih rendah dari yang ditetapkan oleh organisasi. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran pasal tersebut, ditambah dengan banyaknya notaris saat ini, mengakibatkan persaingan yang sangat ketat.  

Pasal 38 ayat (2) :
Awal akta atau kepala akta memuat: 
a. judul akta; 
b. nomor akta; 
c.  jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan 
d.  nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

Analisis :
Pasal ini tidak membedakan antara format akta partij dan akta relaas, sehingga sebagai standar/acuan awal kepala akta setiap akta partij secara redaksional akan berbunyi sebagai berikut:

( J U D U L )
Nomor: ………………………………
Pada jam  ( pukul ) ... .....................hari………..., tanggal…......bulan……………, dan tahun ………………………………………………….. hadir di hadapan saya,
…….……………….…………………………., Notaris di ……………………….   

Seharusnya perlu dibakukan untuk keseragaman akta antar Notaris, seperti frasa “hadir di hadapan saya” atau “menghadap kepada saya” atau “berhadapan dengan saya”. Begitu juga untuk akta relaas seharusnya dijelaskan formatnya dalam pasal tersebut. 

Pasal 38 ayat (2) a :
Awal akta atau kepala akta memuat judul akta.

Analisis :
Judul akta adalah awal dari sebuah akta, misalnya Akta Jual Beli, Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Adanya ketentuan ini, maka akta notariil syariah tidak boleh diawali dengan basmalah atau ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist, karena bukan merupakan judul, dan akibat hukumnya sebuah akta tadi akan mengalami cacat formal. Adapun sanksi terhadap pelanggaran akta formal tidak dijelaskan di dalam UUJN tetapi dikembalikan kepada Pasal 1868, 1869, dan 1870 KUH Perdata dengan konsekuensi akta notariil tadi berubah menjadi akta di bawah tangan.

Pasal 38 ayat (2) c :
Awal akta atau kepala akta memuat jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun.

Analisis :
Tidak adanya aturan baku mengenai format kepala akta ini menimbulkan ketidakseragaman di kalangan Notaris. Ada yang menggunakan format kata “jam” dengan dasar bahwa UUJN menggunakan pilihan kata jam, ada pula yang menggunakan “pukul” dengan dasar penggunaan kaidah Bahasa Indonesia yang benar bahwa pukul itu digunakan untuk menunjukkan waktu.

Pasal 39 ayat (1) :
Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan 
b.  cakap melakukan perbuatan hukum.

Analisis :
Terdapat beberapa perbedaan mengenai batas usia dewasa dari berbagai undang-undang. Pasal 330 KUH Perdata (21 tahun dan belum kawin), Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan (sebelum 21 tahun harus ijin orang tua), Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan (pria: 19 tahun, wanita:16 tahun), Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan Anak (18 tahun).

Pasal 39 ayat 1 UUJN memang tidak diragukan lagi bahwa seseorang untuk dapat bertindak sebagai penghadap untuk membuat akta harus telah berusia 18 tahun. Akan tetapi apakah dengan adanya ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut berarti UUJN menentukan bahwa usia dewasa bagi seseorang untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun?

UUJN tidak menentukan bahwa usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Kenapa demikian? Disamping karena UUJN tidak menyatakan secara tegas hal tersebut, juga karena di dalam Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut disyaratkan bahwa disamping telah mencapai usia 18 tahun, seseorang untuk dapat bertindak sebagai penghadap harus memenuhi syarat lain yaitu cakap melakukan perbuatan hukum. 

Pendapat tersebut didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, yang menentukan pada asasnya setiap orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian ("cakap untuk melakukan perbuatan hukum"), kecuali jika oleh UU dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata).Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian (tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum) antara lain adalah anak yang belum dewasa (Pasal 1330 KUHPerdata).

Di samping masalah tersebut, masalah lain adalah masalah dalam praktik pembuatan akta PPAT. Masalah yang ada adalah masalah perbedaan pendapat di kalangan Badan Pertanahan Nasional berkaitan dengan batas usia dewasa tersebut. Hal tersebut berdampak ditolaknya pendaftaran atas akta-akta yang dibuat oleh mereka yang belum mencapai usia 21 tahun. 

Jika kita tetap menganut usia dewasa adalah 21 tahun, akan timbul jika yang akan membuat akta tersebut adalah anak yang telah mencapai usia 18 tahun atau lebih tapi belum mencapai 21 tahun. Permasalahannya adalah menyangkut siapa yang berwenang melakukan perbuatan hukum tersebut. 

Pertanyaan tersebut timbul oleh karena bagi mereka yang telah berusia 18 tahun akan tetapi belum mencapai 21 tahun tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya. Jadi karena mereka belum dewasa maka mereka tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan, sedangkan orang tua mereka tidak dapat mewakili mereka karena mereka tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian. Bagaimana dengan pembuatan akta yang bersangkutan? Apakah harus ditolak atau bagaimana? atau tetap berjalan  yang terjadi dalam praktik sekarang ini, di mana anak yang bersangkutan diwakili oleh orang tuanya (tanpa disadari oleh PPAT ybs bahwa orangtuanya tersebut bukan lagi sebagai walinya)? Apa akibat hukum terhadap aktanya?  

Pasal 66 ayat (1) :
Untuk  kepentingan  proses  peradilan,  penyidik,  penuntut  umum,  atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil  Notaris  untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang  berkaitan dengan  akta  yang  dibuatnya  atau  Protokol  Notaris  yang  berada dalam penyimpanan Notaris.

Analisis :
Pasal tersebut dapat menimbulkan kendala bagi Penyidik Kepolisian dalam menentukan/mengungkap pelaku dugaan Tindak Pidana Membuat Keterangan Palsu ke Dalam Akta Autentik, jika Penyidik tidak mendapatkan ijin/persetujuan dari Majelis  Pengawas  Daerah  Notaris bersangkutan.

Pasal tersebut bertolak belakang dengan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Kepolisian dan Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP, pada pokoknya menyatakan: “Dalam  rangka  menyelenggarakan  tugas,  Penyidik  Kepolisian  Negara Republik Indonesia berwenang untuk: f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi”.

Frasa “dengan  persetujuan  Majelis Pengawas Daerah” pada pasal tersebut sudah dicabut karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Mei 2013.   


Sumber :
www.mahkamahkonstitusi.go.id
alwesius.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar