Kamis, 23 Februari 2017

Kriminalisasi Terhadap NotarisPPAT Benarkah ?

Kriminalisasi Terhadap NotarisPPAT Benarkah ?

“Stop menggunakan istilah kriminalisasi kalau tidak paham betul artinya,” kata AKBP Dr. Adang Oktori, SH, MH dalam penyampaiannya pada seminar sehari tentang “Kriminalisasi Dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris/PPAT” yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-Unibraw) Malang, pada 10 Agustus 2016 lalu.

Adang Oktori
Pada seminar yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Ke-59 FH-Unibraw itu, Adang Oktori tampil sebagai salah seorang narasumber dengan makalah berjudul “Kriminalisasi Notaris”. Dalam penyampaiannya, Dadang merngatakan bahwa istilah kriminalisasi mulai populer sejak tahun 2009, yaitu pada saat Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) POLRI melakukan penyidikan terhadap 2 pimpinan KPK, yakni Bibid Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, terkait kasus dugaan korupsi yang lebih dikenal dengan istilah “Cicak vs Buaya”. Dalam hal ini, KPK digambarkan sebagai ‘cicak’ dan POLRI sebagai ‘buaya’ yang dianggap telah mengkriminalisasi kedua pimpinan KPK tersebut. Penggunaan istilah ‘kriminalisasi’ disini, lanjut Adang, telah diartikan sebagai upaya untuk menjadikan seseorang yang tidak bersalah menjadi orang yang bersalah atas sangkaan sebagai pelaku suatu tindak pidana. “Pemahaman yang demikian jelas keliru,” tegas Adang, yang kini menjabat sebagai Analis Bidang Hukum POLDA Jatim itu.
Selanjutnya Adang menjelaskan bahwa menurut beberapa kamus yang dapat dijadikan sebagai pegangan di bidang hukum, diantaranya Black’s Law Dictionary, arti kriminalisasi sebagai terjemahan dari criminalization adalah, tindakan atau cara membuat suatu perbuatan yang awalnya tidak melawan hukum menjadi sutu tindakan kriminal, yang biasanya didasari dengan mengeluarkan regulasi atau Undang-Undang. Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa kriminalisasi ditujukan kepada suatu ‘perbuatan’, bukan kepada subyek hukum baik individu, korporasi, lembaga, institusi, maupun profesi tertentu. “Berarti, kriminalisasi terhadap Notaris-PPAT adalah penggunaan istilah yang sangat keliru,” jelas Adang. Terlebih lagi kalau kriminalisasi dikonotasikan sebagai upaya dari penegak hukum atau Penyidik untuk mencari-cari kesalahan seseorang, karena jelas dikatakan bahwa tindakan dimaksud didasarkan pada suatu regulasi atau undang-undang.
Lebih lanjut Adang mengatakan bahwa Penyidik selalu berpatokan kepada adanya alat bukti yang cukup, atau sedikitnya 2 alat bukti, sebagai dasar bertindak. “Dan satu hal yang perlu diketahui, bahwa adalah wajib bagi seorang Penyidik untuk melakukan pemeriksaan atas suatu laporan,” imbuh dia. Dikaitkan dengan penyidikan terhadap profesi tertentu seperti Notaris, Dokter ataupun Advokat, menurut Adang, Mabes POLRI yang diteruskan oleh wilayah-wilayah (POLDA) dan jajarannya, telah menginstruksikan bahwa salah satu alat bukti dimaksud harus berupa ‘keterangan ahli’. “Jadi kalau Pak Habib atau Pak Miftach sebagai saksi ahli mengatakan tidak ada unsur pidananya, penyidikan akan saya hentikan,” kata Adang sambil tersenyum menunjuk kedua narasumber yang duduk disebelahnya.
Terkait kemungkinan dilakukannya pemeriksaan terhadap Notaris, menurut Adang, dia cukup berpatokan kepada Pasal 15 (tentang kewenangan), Pasal 16 (kewajiban), dan Pasal 17 (larangan) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan penyidikan terhadap seorang Notaris. “Apabila perbuatan itu menyimpangi, bertentangan, atau melanggar salah satu ketentuan dari pasal-pasal tersebut, pasti saya periksa,” tandasnya. Salah satu indikasi adanya unsur yang demikian, menurut Adang adalah, apabila Notaris yang bersangkutan ikut turun mengurusi obyek ke lapangan. “Saya belum lama jadi Penyidik, baru dua puluh lima tahun, tapi pengalaman saya telah membuktikan hal itu,” kata Adang menambahkan.

Habib Adjie

Miftachul Machsun
Adang tampil sebagai pembicara ketiga dan terakhir pada sesi-I seminar tersebut. Sedangkan pembicara sebelumnya, berturut-turut Miftachul Machsun, SH sebagai pembicara pertama dan Dr. Habib Adjie, SH, MHum sebagai pembicara kedua. Miftachul Machsun lebih banyak membahas tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan seorang Notaris dalam pembuatan suatu akta yang dibuat oleh maupun di hadapan Notaris yang bersangkutan. Sementara Habib Adjie menyimpulkan penyampaiannya dengan sebuah “kredo”, bahwa perlindungan terbaik dalam menjalankan tugas jabatan Notaris adalah oleh diri Notaris sendiri dengan mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan berdoa sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan kita.

Pada sesi-II yang merupakan sesi terakhir, panitia menampilkan dua pembicara, masing-masing Dr. Bambang Sugiri, SH, MH dosen FH-Unibraw, dan Tri Oky Rudianto, SE, MSi dari Dispenda Kota Malang. Bambang Sugiri menyampaikan makalah berjudul “Kejahatan Di Lingkungan Profesi Notaris”, sedangkan Tri Oky Rudianto menyampaikan materi seputar pendapatan daerah dalam kaitannya dengan tugas jabatan Notaris-PPAT. Seluruh rangkaian acara yang dimulai pukul 09.00 WIB itu diakhiri pada pukul 16.30 WIB yang ditandai dengan penyerahan cinderamata kepada para narasumber.(Bima)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar