Dari sekian banyak kasus pembatalan surat kuasa mutlak, masih tepatkah penggunaan surat kuasa mutlak untuk mengamankan transaksi?
Semakin kompleks tingkat transaksi dan semakin tinggi kebutuhan untuk mengamankan transaksi yang dilakukan, para pelaku bisnis tentunya meminta agar penasihat atau konsultan hukum mereka memberikan advis dan jalan yang terbaik guna mengakomodasi kebutuhan tersebut. Salah satunya yang masih jamak dipraktikkan adalah mengenai penggunaan surat kuasa yang bersifat mutlak atau Surat Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali.
Perlu diperhatikan, jauh sebelumnya sudah terdapat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah (“Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14/1982”), yang melarang penggunaan surat kuasa mutlak untuk pemindahan hak atas tanah. Kasus mengenai hal ini pun sudah pernah terjadi pada tahun 1986 silam, dan telah menjadi yurisprudensi sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 2584K/PDT/1986 tanggal 14 April 1988, lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 434/PK/PDT/2007
Surat kuasa mutlak masih kerap ditemui dalam loan restructuring yang memiliki tujuan sama dengan konsep nominee arrangement, pengendalian dan keuntungan. Ketika persentase saham dibatasi dalam porsi tertentu bagi pihak tertentu,, maka mereka umumnya mengambil jalan dengan memberikan fasilitas pinjaman sejumlah tertentu.
Nantinya melalui pinjaman itulah mereka dapat mengendalikan kegiatan usaha di dalam suatu perusahaan target. Dengan skema demikian, mereka akan mendapat pengalihan-pengalihan keuntungan yang seharusnya dapat dinikmati oleh si peminjam loan tadi.
Misalnya, sebagai jaminan agar peminjam mengembalikan pinjaman tersebut, maka peminjam menggadaikan saham miliknya di perusahaan tersebut kepada pemberi pinjaman tadi. Tidak hanya gadai saham, peminjam juga memberikan kuasa kepada pemberi pinjaman berupa kuasa untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan mengeluarkan hak suara serta kuasa untuk menjual saham tersebut melalui surat kuasa khusus.
Jika si peminjam tadi juga memiliki tanah dan bangunan, maka tanah dan bangunan inipun dijadikan sebagai salah satu jaminan. Namun, jaminan ini bukan dengan pembebanan hak tanggungan, melainkan peminjam memberikan kuasa khusus kepada pemberi pinjaman untuk menjual hak atas tanah tersebut dengan pelbagai pertimbangan.
Perjanjian yang Tidak Dapat Ditarik Kembali?
Hal yang menarik dikaji adalah, para penasihat hukum seringkali mempersiapkan draft surat kuasa khusus yang tidak dapat ditarik kembali, Irrevocable Power of Attorney. Dengan adanya tambahan kata “irrevocable” dalam draft surat kuasa, maka surat kuasa tersebut tidak dapat diakhiri atau ditarik kembali dengan cara apapun yang diatur dalam KUHPerdata.
Dari segi hukum, pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak, dimana pemberi kuasa memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian kuasa ini yang umumnya dituangkan secara tertulis oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik dalam surat kuasa umum ataupun khusus. Bedanya, surat kuasa khusus hanya mencakup satu kepentingan tertentu atau lebih. Sedangkan surat kuasa umum meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1792 dan 1795 Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata).
Selanjutnya, ketentuan Pasal 1813, 1814, 1815 KUHPer dan seterusnya mengatur tentang berbagai macam cara untuk mengakhiri atau menarik kembali surat kuasa tersebut, di antaranya: penerima kuasa menarik kembali atau memberitahukan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa kepada pemberi kuasa; pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal, atau diampu, atau pailit; sewaktu-waktu pemberi kuasa menarik kembali kuasanya dan jika disertai alasan, pemberi kuasa berhak memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa yang sudah diberinya; atau penerima kuasa meninggal. Di sisi lain, ketentuan yang isinya melarang suatu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali memang tidak diatur dalam Buku III tentang Perikatan KUHPerdata ini.
Sebagian ketentuan dalam Buku III KUHPerdata bersifat sebagai hukum yang mengatur saja (aanvulen recht)[1]. Jadi bersifat optional atau hanya untuk melengkapi. Dengan bersandar pada sifat tersebut, tak heran praktik-praktik penggunaan surat kuasa mutlak masih marak digunakan. Beberapa para praktisi hukum memiliki argumentasi, adanya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam hukum perdata Indonesia.
Berdasarkan asas inilah, segala ketentuan yang sudah dituangkan dalam suatu perjanjian oleh para pihak berlaku sebagai hukum bagi mereka yang mengikatkan diri di dalamnya. Namun, argumen lain pun muncul, asas kebebasan berkontrak tidak boleh bertentangan bukan saja dengan undang-undang, tetapi juga asas kepatutan dan ketertiban umum.
Penggunaan surat kuasa mutlak untuk menjual hak atas tanah sudah diinstruksikan untuk dilarang oleh Menteri Dalam Negeri demi kepentingan ketertiban status penggunaan tanah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14/1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah. Adanya surat kuasa mutlak ini rupanya digunakan sebagai dasar pemindahan hak-hak atas tanah yang seharusnya melekat pada pemegang hak menjadi beralih kepada penerima kuasa mutlak tersebut dengan tidak dapat ditarik kembali.
Dengan demikian alasan penarikan kembali oleh pemberi kuasa dengan cara apapun, ataupun bilamana pemberi kuasa meninggal, tidak dapat mengakhiri pemberian kuasa tersebut. Lebih aneh lagi apabila si penerima kuasanya sendiri yang kemudian meninggal dunia dan tidak lagi dapat menjalankan kuasa-kuasa yang diberikan kepadanya.
Untuk itu, pengaturan surat kuasa mutlak ini memang tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Dalam beberapa perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung, pada prinsipnya sama, membatalkan surat kuasa mutlak. Adapun yang menjadi rujukan adalah Putusan MA No. 2584K/PDT/1986 tanggal 14 April 1988.
Bagaimana dengan surat kuasa mutlak yang diberikan untuk menghadiri RUPS, mengeluarkan hak suara dan menjual saham? Berkaca dengan pengaturan larangan surat kuasa mutlak pada hak atas tanah, kita bisa nyatakan secara argumentatif bahwa surat kuasa mutlak dalam hal demikian pun bisa jadi dapat dibatalkan. Lalu, apakah masih aman menggunakan skema surat kuasa mutlak dalam transaksi anda?
Bimo Prasetio/ Niken Nydia Nathania
[1] Pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan yang opsional (aanvullend, optional) sifatnya. Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian yang mereka buat. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat opsional, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang opsional itu, adalah hanya untuk memberikan aturan ya ng berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar