HUBUNGAN PERATURAN JABATAN
NOTARIS DAN KODE ETIK DALAM PELAKSANAAN TUGAS NOTARIS
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berintikan kebenaran dan keadilan
yang mana menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Untuk itu
dibutuhkan alat bukti tertulis otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui jabatan tertentu, yaitu oleh notaris
sebagai pejabat umum.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris atau disebut Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN)
sebagai pengganti dari Reglement op Het Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3)
atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Sejak berlakunya Undang-undang Jabatan
Notaris yang baru ini, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung
dengan dunia kenotariatan saat ini, yakni:
Adanya “perluasan kewenangan
Notaris”, yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f, yakni:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.
Kewenangan untuk membuat akta
risalah lelang. Akta risalah lelang ini sebelum lahirnya Undang-undang tentang
Jabatan Notaris menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Urusan Utang Piutang
dan Lelang Negara (BUPLN) berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960.
Memberikan kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan. Kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan ini merupakan kewenangan yang perlu dicermati, dicari dan
diketemukan oleh Notaris, karena kewenangan ini bisa jadi sudah ada dalam dalam
Peraturan Perundang-undangan, dan juga kewenangan yang baru akan lahir setelah
lahirnya Peraturan Perundang-undangan yang baru.
Segera setelah Peraturan mengenai jabatan notaris ini diberlakukan, maka
seluruh kegiatan kenotariatan di Indonesia berpedoman pada peraturan ini.
Namun, di dalam pelaksanaan tugas notaris sehari-hari tidak hanya berpedoman
pada peraturan ini. Para notaris sekarang ini telah membentuk suatu perhimpunan
yang disebut Ikatan Notaris Indonesia (INI). Dan diantara para anggota INI
telah sepakat untuk membentuk suatu peraturan lain berupa suatu kode etik
tersendiri bagi para notaris yang nantinya akan menjadi pedoman pendukung
selain peraturan jabatan notaris yang telah ada.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah :
Bagaimana Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Peraturan Jabatan
Notaris (UUJN)?
Bagaimana Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Kode Etik Notaris ?
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Tugas Notaris
Berkaitan Dengan Peraturan Jabatan Notaris (UUJN)
Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dapat
dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan
pemerintah sebagai organ negara mengangkat notaris bukan semata untuk
kepentingan notaris itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat
luas. Jasa yang diberikan oleh notaris terkait erat dengan persoalan trust
(kepercayaan diantara para pihak), artinya negara memberikan kepercayaan yang
besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian
kepercayaan kepada notaris berarti bahwa notaris itu mau tidak mau telah
memikul tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab
secara hukum maupun moral.
Untuk kewajiban notaris telah diatur secara khusus dan terperinci di dalam
Pasal 16 (1) huruf a-m. Sedangkan ketentuan sanksi dalam UUJN diatur dalam BAB XI pasal 84 dan 85. Pasal 84 menyatakan bahwa
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41,
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang
mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga kepada notaris.
Ketentuan Pasal 84 ini adalah ketentuan yang menunjukkan bahwa secara
formil notaris bertanggung jawab atas keabsahan akta otentik yang dibuatnya dan
jika ternyata terdapat cacat hukum sehingga akta tersebut kehilangan
otentitasnya serta merugikan pihak yang berkepentingan, maka notaris dapat
dituntut untuk mengganti biaya, ganti rugi dan bunga. Mengenai pelanggaran yang
dilakukan notaris terkait dengan hilangnya sifat otentitasnya suatu akta
sebagaimana Pasal 84 UUJN dapat dikemukakan karena notaris melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal berikut ini :
Pasal 16 ayat (1) huruf i : Dalam menjalankan kewajibannya notaris
berkewajiban mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h
(membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan
akta setiap bulan) atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar
Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.
Pasal 16 ayat (10 huruf k : Dalam menjalankan kewajibannya notaris
mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang
melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
Pasal 41 : Apabila ketentuan dalam Pasal 39 (berkaitan dengan penghadap)
dan Pasal 40 (berkenaan dengan saksi atas akta yang dibacakan oleh notaris)
tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan.
Pasal 44 : Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh
setiap penghadap, saksi dan notaris.
Pasal 48 : Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan
tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang
lain. Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam
akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan
lain oleh penghadap, saksi dan notaris.
Pasal 49 : Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta, jika tidak
demikian perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta,
dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.
Pasal 50 : Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau
angka, hal demikian dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai
dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret
dinyatakan dalam sisi akta. Pencoretan ini dinyatakan sah setelah diparaf atau
diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris. Pada penutup
setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.
Pasal 51 : Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
Pembetulan ini dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan
tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor
akta berita acara pembetulan.
Pasal 52 : Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri,
istris/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun
dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Ketentuan ini tidak
berlaku, apabila orang tersebut kecuali notaris sendiri, menjadi penghadap
dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di
hadapan notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota
rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris.
Tersimpul dalam pasal-pasal mengenai hal-hal yang mengakibatkan suatu akta
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu
akta menjadi batal demi hukum merupakan hal-hal yang bersifat teknis dan formal
serta merupakan standar yang harus dimengerti sepenuhnya oleh notaris.
Ketidakpahaman ataupun kelalaian terhadap hal-hal tersebut menyebabkan notaris
harus mempertanggungjawabkan atas kesalahannya sehingga pihak yang menderita
kerugian memiliki alasan yuridis untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi,
dan bunga kepada notaris.
Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut
Pasal 85 UUJN dapat berupa :
1. Teguran lisan;
2. Teguran tertentu;
3. Pemberhentian sementara;
4. Pemberhentian dengan hormat;
5. Pemberhentian dengan tidak hormat
Penjatuhan sanksi ini dapat diberikan bila notaris melanggar ketentuan yang diatur oleh UUJN
yakni melanggar Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a-k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal
27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63.
Ketentuan normatif ini mengatur notaris agar notaris dalam menjalankan
profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya
tuntutan profesi notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan
bukan substansi (materi) dari akta. Materi akta dan tanggung jawab atas isinya
berada di pundak para pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang dalam
suatu akta memuat konstruksi-konstruksi hukum tertentu yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan di bidang hukum perjanjian. Mengenai hal ini, notaris
berkewajiban untuk mengingatkan atau memberi tahu kepada para pihak bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Mengenai tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan
notaris perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta
notaris bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya untuk
membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta.
Akta notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya pihak-pihak yang
berkepentingan, bukan aktanya notaris yang bersangkutan. Karena itulah dalam
terjadinya sengketa dari perjanjian yang termuat dalam akta notaris yang dibuat
bagi mereka dan dihadapan notaris maka yang terikat adalah mereka yang
mengadakan perjanjian itu sendiri, Sedangkan notaris tidak terikat untuk
memenuhi janji ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta
notaris yang dibuat di hadapannya dan notaris sama sekali berada di luar mereka
yang menjadi pihak-pihak.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan akan adanya akta notaris yang
tendensius. Maksudnya adalah dalam pembuatan akta keterlibatan notaris tidak
sekedar legalisasi suatu akta namun menyangkut substansi akta (Abdul Ghofur
Anshori, 2009 : 47). Hal ini bisa terjadi ketika notaris sebagai pihak yang
semestinya netral melakukan hal-hal tertentu yang menyebabkan salah satu pihak
diuntungkan dan di satu sisi merugikan pihak lainnya dengan akta notariil
tersebut. Ketidaknetralan notaris dalam membuat suatu akta ini dapat menjadikan
notaris dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan
notaris yang demikian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa
notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur,
seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum. Selain Pasal 16 ayat (1) huruf a tersebut merupakan
pelanggaran yang bersifat prosedural.
B. Pelaksanaan Tugas Notaris
Berkaitan Dengan Kode Etik Notaris
Profesi notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu,
organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan negara (Abdul Ghofur Anshori,
2009 : 48). Tindakan notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut. Oleh
karenanya, suatu tindakan yang keliru dari notaris dalam menjalankan
pekerjaannya tidak hanya akan merugikan notaris itu sendiri namun juga dapat
merugikan organisasi profesi, masyarakat dan negara.
Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam
UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara hubungan profesi
notaris dengan organisasi profesi notaris diatur melalui kode etik notaris yang
ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi notaris. Keberadaan kode etik notaris
merupakan konsekuensi logis dari dan untuk suatu pekerjaan yang disebut sebagai
profesi. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum
yang diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan
perundang-undangan semata, namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa
kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
Terdapat hubungan antara kode etik dengan UUJN. Hubungan pertama terdapat
dalam Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji
untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai
dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai
notaris.
Adanya hubungan antara kode etik dan UUJNmemberikan arti terhadap profesi
notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada
UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab
kepada masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris
Indonesia atau INI) maupun terhadap negara. Dengan adanya hubungan ini, maka
terhadap notaris yang mengabaikan keluruhan dari martabat jabatannya selain
dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya
juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai notaris. Menurut Muhammad
sebagaimana dikutip Nico (Abdul Ghofur Anshori, 2009 : 48), bahwa notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya :
Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan karena jabatannya.
Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya, akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus
menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan
produk akta yang dibuatnya itu.
Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.
Pelanggaran terkait dengan kode etik notaris adalah perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh anggota perkumpulan
Organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau
disiplin organisasi. Ruang lingkup dari kode etik berlaku bagi seluruh anggota
perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku
dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaaan jabatan maupun dalam
kehidupan sehari-hari.
Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik notaris atas
pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan didiplin notaris. Sanksi
dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi
yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat
berupa teguran, peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah saya dikemukakan di atas, maka kesimpulan
yang dapat Saya berikan adalah :
Kewenangan notaris dalam pembuatan akta notaris bukan berarti notaris dapat
secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta otentik tanpa adanya para
pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Selain itu, notaris tidak terikat
untuk memenuhi janji ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta
notaris yang dibuat di hadapannya dan notaris sama sekali berada di luar mereka
yang menjadi pihak-pihak.
Ketidaknetralan notaris dalam membuat suatu akta dapat menjadikan notaris
dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan notaris yang
demikian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa notaris
dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum.
Sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik notaris atas pelanggaran
kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana,
upaya dan alat pemaksa ketaatan dan didiplin notaris. Sanksi dalam kode etik
notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan
terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran,
peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan,
onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan
tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan
Etika. UII Press. Yogyakarta. 2009.
Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama. Bandung. 2008.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar