Notaris “Openbare Amtbtenaren”
Jabatan Notaris sesungguhnya menjadi bagian penting dari negara Indonesia
yang menganut prinsip Negara hukum (Ps.1 ay.3 UUD NRI Th 1945). Dengan
prinsip ini, Negara menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum, melalui alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Salah satu jaminan
atas kepastian hukum yang memberikan perlindungan
hukum adalah alat bukti yang terkuat dan terpenuh, dan
mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana
dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris.
Ps
1868 BW : suatu akta
otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat
umum yg berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Ps
1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adl alat pembuktian yg sempurna bagi
kedua pihak & AW,sekalian org yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan
kpd pihak-pihak suatu pembuktian yg mutlak.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian
lahiriah,formil dan materil:
- Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yg mengaturnya;
- Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.
- Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd peristiwa,apa yg diterangkan dlm akta itu benar.
Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang
disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum
dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan
kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti
Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat
disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika ketentuan
dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan
untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN
yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan
(3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus
dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang
berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN
dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi Notaris adalah menjalankan
sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan keperdataan, yang
dilindungi oleh UU.
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari
istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal
1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal
1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare
ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle
handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene
verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek
geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in
bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te
geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening
niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.
Notaris
adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta
itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI) dengan Putusan nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13
September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.
Istilah
Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris
Ambt
in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum
oleh G.H.S.
Lumban Tobing, op.cit., hlm. V. Istilah
Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi
Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain). Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah
suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris
adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari
Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare
Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan
kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai
Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang
diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi
tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan
kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum sebagaimana
tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak memberikan batasan atau
definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi kualifikasi
sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian
kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah
Openbare diterjemahkan sebagai Umum.
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat
Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa
Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut
tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian
wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak
berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan
fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh
aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula
sebagai Pegawai Negeri.
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris
berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut
aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Notaris sebagai
Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Berkaitan dengan wewenang
tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak
dapat dilaksanakan (nonexecutable). Pihak atau mereka yang merasa
dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat
digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada
Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari
akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan
aturan hukum yang berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau
ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau
menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya
sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan
pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan
Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya
maka akta tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang
sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan
saksi-saksi yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan konstruksi pemahaman seperti di
atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat
diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang
pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah
ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas
terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang
berlaku.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27
Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR
jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak
dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. Pasal 50 KUHP berbunyi : Tidaklah dapat
dihukum, barang siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu
peraturan perundang-undangan.
Notaris
sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian.
Dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik
yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai
pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Akta
otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila
terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para
pihak yang bersengketa. Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar
belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri
atas :
1.
bukti tulisan;
2.
bukti dengan saksi-saksi;
3.
persangkaan-persangkaan;
4.
pengakuan;
5.
sumpah
Pembuktian
tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik
maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta
otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa
membuat akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera
pada Pasal 1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu
pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan
akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang
yang digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah
Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Notaris Dalam Memberikan Pelayanan Kepada
Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesiî.
Bagaimana kalau notaris dipanggil sebagai saksi akta?
Dalam
kedudukan notaris sebagai saksi (perkara perdata) notaris dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk membuat kesaksian karena jabatannya
menurut UU diwajibkan untuk merahasiakannya (Ps 1909 ay 3 BW). Dalam hal
ini notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri
notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada
notaris.
HAK INGKAR dan KEWAJIBAN INGKAR
“DIBEBASKAN DARI KEWAJIBANNYA MEMBERIKAN
KESAKSIAN”
↓
(Pasal 1909 Ayat 3 KUHPerdata, Pasal 322 KUHP)
↓
WAJIB MERAHASIAKAN
↓
(Pasal 4, 16, 54 UUJN)
↓
“KECUALI : Undang-Undang Menentukan Lain”
Adanya
Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk
menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para
pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang
memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan
tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu
kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16
ayat (1) huruf e UUJN.
Pasal
1909 ayat 3 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala siapa yang karena
kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan
merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayahkan kepadanya sebagai demikian.
Pasal
170 ayat (1) KUHAP:
(1).
Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2). Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Ketentuan
dalam KUHAP, secara materil dituangkan Pasal 322 ayat 1 KUH
Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu
rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaan baik yang
sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
sembilan bulan.
Selanjutnya beberapa pasal dalam UUJN mengatur mengenai rahasia jabatan
Notaris, yaitu: Pasal 4 ayat 2 UU Jabatan Notaris (sumpah jabatan) yang
berbunyi: “….Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.” Terdapat pula rumusan Pasal 16
ayat 1 huruf a UU JN menyatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris
berkewajiban: a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; dan (e) merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
undang-undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf e ini
menerangkan bahwak Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua
pihak yang terkait dengan akta tersebut. Dengan demikian, dalam
konteks filosofis, maka rahasia jabatan merupakan bagian dari instrumen
perlindungan hak pribadi para pihak yang terkait dengan akta yang dibuat oleh
notaris, sehingga tidak dapat direduksi menjadi instrumen untuk semat-mata
melindungi notaris.
Pasal 54 UU Jabatan Notaris berbunyi “Notaris hanya dapat memberikan,
memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan
Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli
waris atau orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan.”
Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk
terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan
jabatannya telah mengikuti prosedur yang ditentukan oleh Undang-undang (
lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan
larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut
maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh
karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan
perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki
perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik,
kecuali kalau Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah
sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the
law dan tidak “kebal hukum….”
Untuk
melihat akta notaris, notaris harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus
dinilai benar berkata seperti yang disampaikan yang dituangkan dalam akta
tersebut. Notaris dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal seperti
yang disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA
No.702K/Sip/1973. Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan
apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris
tersebut. Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil hal-hal yang
dikemukakan para penghadap notaris.
Sepanjang notaris menjalankan jabatan dan profesinya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris, dan asas-asas
hukum, maka notaris tersebut tidak dapat
dipersalahkan.(Syafran Sofyan). Termasuk untuk menjadi saksi, karena akta notaris tersebut sendiri
merupakan akta otentik, yakni akta yang mempunyai kebenaran lahir, formil dan
materil, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menyangkalnya.
Janganlah belum apa-apa, penyidik dengan gampangnya memanggil
notaris, sementara para pihaknya saja belum dipanggil ?.
Berkaitan
dengan masalah rahasia jabatan notaris, pada intinya berisikan kewajiban
notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut:
- Bahwa para notaris wajib untuk
merahasiakan, tidak hanya apa yang dicantumkan dalam akta-aktanya, akan
tetapi juga semua apa yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam
kedudukannya sebagai notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam
akta-aktanya;
- Bahwa hak ingkar dari para notaris
tidak hanya merupakan hak (verschoningsrecht), akan tetapi merupakan
kewajiban (verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini
tidak didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang hanya
memberikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan
tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
- Bahwa di dalam menentukan sampai
seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari para notaris, harus bertitik tolak
dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak bicara mengenai isi
akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta-aktanya
maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam
kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal
dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal dimana
untuk itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku
membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.
Sehubungan
dengan penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan dengan ketentuan
pasal 4, 16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta beserta
hal-hal yang diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta
tersebut adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan
demikian untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk memeberikan
keterangan sebagai saksi bukan hanya merupakan hak tapi juga merupakan suatu
kewajiban bagi notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar
(verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar
(verschoningssplicht).
[1]
Notaris-PPAT-Pejabat Lelang di Jakarta Selatan, Majelis Pengawas Daerah
Notaris, Dosen : Lemhannas RI, Kementerian Pertahanan, Magister Kenotariatan
(Univ Brawijaya, Jayabaya, Untag), Dosen Pasca/S2 Hukum, Bareskrim Mabes Polri,
Mabes TNI, Diklat Perbankan, Jimly School at Law and Government ), Nara-sumber
Seminar Hukum, Konstitusi, Politik dan Demokrasi, Saksi Ahli, di Pengadilan dan
Polri, Pendiri/Ketua Ikatan sarjana Hukum Indonesia (ISHI).
Email: syafran.dosen@gmail.com
Hp.08111986768.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar