BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang.
Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid)
dalam hukum pidana dikenal ada dua macam, yaitu perbuatan melawan hukum dalam
pengertian formal dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian materiil.
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan
inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk
melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat
dipandang keliru, itu tidak masuk akal. Sekarang soalnya ialah : apakah ukuran
keliru atau tidaknya suatu perbuatan ? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang
pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka
disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari
sifat melanggar ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang
telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti
melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian
dinamakan pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum
tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat
melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang
saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak
tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiel.[1]
Menurut Profesor van Hattum, mengenai wederrechtelijkheid
itu terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut orang dengan perkataan
formele wederrechtelijkheid dengan apa yang disebut materieele
wederrechtelijkheid atau tentang apa yang disebut wederrechtelijkheid
dalam arti formal dengan apa yang disebut wederrechtelijkheid dalam
arti material. Menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal
suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk
apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan
suatu delik menurut undang-undang. Sedang menurut ajaran wederrechtelijkheid
dalam arti material, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai
bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus
ditinjau sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga
harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.[2]
Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang
formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur
yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak
pidana. Sedangkan ajaran yang materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi
syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan
delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela.[3] Sifat melawan hukum formal
berarti : semua bagian (tertulis dalam undang-undang) dari rumusan delik telah
terpenuhi. Sedangkan sifat melawan hukum materiel berarti : bahwa karena
perbuatan itu, kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu
telah dilanggar.[4]
Sedangkan Profesor Satochid Kartanegara, S.H.
mengatakan bahwa wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang,
sedangkan wederrechtelijk materiil bukan pada undang-undang, namun
pada “asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan
algemene beginsel.[5]
Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa pengertian “secara melawan
hukum” adalah dalam pengertian formil maupun materiil. Hal mana jelas
dinyatakan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, yang dikutip berbunyi
sebagai berikut : “Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi
penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan
sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi secara ‘melawan hukum’ dalam pengertian
formil dan materiil.” Selanjutnya penjelasan pasal 2 ayat (1)-nya sendiri
menyatakan bahwa : “yang dimaksud dengan secara ‘melawan hukum’ dalam
pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal 2
ayat (1) yang sedemikian itu, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,
menegaskan bahwa dalam tindak pidana korupsi, pengertian perbuatan melawan
hukum adalah dalam pengertiannya yang formil mau pun yang materiil. Hal
tersebut mengingat pula bahwa tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ini ditegaskan pula dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa.
Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dengan Putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 dalam amarnya
menyatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,
sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil,
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, maka pengertian perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tersebut, hanya perbuatan melawan hukum dalam pengertian formil saja.
Dalam pandangan sociological jurisprudence,
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat.[6] Bahkan functional (sociological)
jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of law
sebagai amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum itu, sesungguhnya
berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut pengikut aliran
ini, “We can understand what a thing is only if we examine what is does.”[7]
Tindak pidana korupsi adalah masalah sosial yang
dihadapi oleh masyarakat Indonesia
sejak bertahun-tahun silam. Oleh karena tindak pidana korupsi sebagai masalah
sosial tidak juga dapat ditanggulangi dalam beberapa dekade tersebut, maka
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan
pengertian perbuatan melawan hukum tidak saja dalam pengertian formil,
melainkan juga dalam pengertian materiil, satu dan lain agar dapat menjangkau
berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit dan
canggih. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 Nomor :
003/PUU-IV/2006 tersebut diatas, telah mengubah paradigma yang dimaksud dalam
undang-undang tentang pemberantasan korupsi dimaksud, sehingga pengertian
perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi hanya menjadi perbuatan
melawan hukum dalam pengertian formil saja, dalam arti dikatakan telah terjadi
perbuatan melawan hukum hanya apabila telah melanggar peraturan
perundang-undangan atau peraturan tertulis saja.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan
dalam paparan diatas itulah, makalah ini mencoba untuk melihat Putusan Mahkamah
Konstitusi 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli tersebut sebagai suatu
produk hukum yang hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang
mengalami masalah sosial yang disebut tindak pidana korupsi, selama bertahun-tahun
tersebut, dalam perspektif functional (sociological) jurisprudence,
bahwa kehadiran hukum adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial.
Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan diatas,
maka tampaklah bahwa paradigma yang ditawarkan oleh Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, yang mengartikan perbuatan melawan hukum dalam tindak
pidana korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dalam pengertian formil mau pun
dalam pengertian materiil, telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusannya tertanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006, sehingga perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi menjadi hanya perbuatan melawan hukum
dalam pengertian formil saja.
- Rumusan Masalah.
- Bagaimana perspektif functional (sociological) jurisprudence terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 ?
- Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006 sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) ?
- Metode Pendekatan.
Makalah ini ingin melihat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut diatas dari
perspektif ajaran filsafat hukum functional (sociological) jurisprudence,
sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam penulisan makalah
ini adalah pendekatan perundang-undangan (satutory approach),
pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan analitis (analitical
approach).
- Pendekatan Perundang-undangan (statutory approach).
Pendekatan perundang-undangan (statutory
approach), yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan undang-undang
(satute approach)[8] dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio
legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan
mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti
sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang
undang-undang itu. Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang
undang-undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada
tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.[9] Pendekatan ini digunakan in
casu terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan kasus (case approach)
dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.[10] Yang menjadi kajian pokok di dalam
pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.[11] Pendekatan ini digunakan in
casu terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007.
- Pendekatan Analitis (analitical approach).[12]
Pendekatan analitis ini diperlukan terutama
dikarenakan penulisan makalah ini terutama menggunakan data-data sekunder yang
berwujud bahan-bahan hukum, yaitu undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud diatas, sehingga timbul kebutuhan untuk menganalisis
undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
- Kerangka Teoritik.
Sebagaimana tergambar dari judul makalah ini,
maka kerangka teoritik atau landasan teori yang akan digunakan untuk
menganalisis permasalahan dalam makalah ini adalah teori hukum atau filsafat
hukum functional (sociological) jurisprudence.
Istilah “jurisprudence” berasal dari
kata Latin, juris, yang artinya hukum, dan prudence yang
berarti pengetahuan. Dengan demikian, jurisprudence dapat diartikan
sebagai pengetahuan tentang hukum.[13] Hingga saat ini belum didapat
kata atau istilah yang tepat dalam Bahasa Indonesia untuk menterjemahkan kata jurisprudence.
Masalahnya karena dalam istilah ini tercakup materi baik filsafat hukum mau pun
teori hukum. Barangkali istilah “filsafat (teori) hukum” sebagaimana yang
digunakan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
dapat digunakan sebagai pegangan (lihat Pedoman Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran tahun 1985), selain “ilmu hukum” dari Satjipto Rahardjo (1985).[14] Hal serupa dikemukakan pula
oleh Achmad Ali yang mengatakan bahwa jurisprudence berasal dari dua
kata Latin, yaitu “juris” yang berarti hukum, dan “prudence”
yang berarti keahlian atau keterampilan, atau ilmu, teori dan bahkan juga
mencakup makna filsafat. Sehingga umumnya istilah jurisprudence
diartikan sebagai ilmu hukum, teori hukum, atau filsafat hukum.[15]
Sociological jurisprudence adalah teori
hukum yang menekankan studi tentang bekerjanya hukum secara aktual dalam suatu
masyarakat tertentu (Charles Conway, 1971 : 2-3).[16] Roscoe Pound yang oleh banyak pakar
dianggap sebagai the founding father of sociological
jurisprudence[17] menunjuk kajian (sociological
jurisprudence) ini sebagai suatu studi yang berkarakter khas tertib hukum,
yaitu merupakan suatu aspek ilmu hukum yang sebenarnya.[18] Lloyd menuliskan bahwa sociological
jurisprudence ini adalah suatu cabang dari ilmu-ilmu normatif yang bertujuan
untuk lebih mengefektifkan perundang-undangan di dalam pelaksanaannya, dan
didasarkan pada nilai-nilai yang subyektif. Beberapa penulis menggunakan
istilah-istilah ini untuk menunjukkan pada aliran sosiologis dalam ilmu hukum,
yaitu para yuris yang melihatnya sebagai suatu studi tentang masyarakat untuk
membuat ilmu hukum menjadi lebih akurat.[19]
Sociological jurisprudence merupakan
jalan tengah atas kritik pengikut aliran/mazhab sejarah yang dipelopori oleh
Friedrerich Carl von Savigny terhadap ajaran positivisme dengan tokoh-tokohnya,
John Austin, Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Dalam rangka kepentingan memberikan
jaminan kepastian hukum, mazhab positivisme hukum mengindentifikasi hukum
dengan perundang-undangan. Hanya dengan itu kepastian hukum akan diperoleh,
karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya.
Pemikiran ini mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum
ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan
oleh penguasa yang sah.[20] Ajaran ini dikritik keras oleh Friederich
Carl von Savigny yang kemudian diteruskan oleh muridnya, Pucha,
yang kemudian meluas pula ke Inggris dan dikembangkan oleh Henry Maine.
Kelompok ini menyerang mazhab positivisme hukum dengan mengatakan bahwa hukum
bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa dalam bentuk undang-undang, namun
hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan substansinya adalah aturan
tentang kebiasaan hidup masyarakat. Tidak hanya penguasa, rakyat yang terdiri
dari kompleksitas unsur individu dan kelompok juga mempunyai kekuatan
melahirkan hukum. Hukum bukan diciptakan, melainkan ditemukan.[21] Ditengah pertentangan itulah lahir sociological
jurisprudence sebagai jalan tengah dengan mensintesiskan basis argumentasi
yang berkembang pada kedua mazhab ini. Sociological jurisprudence
menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan
masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum, dengan living law
sebagai wujud penghargaan terhadap kepentingan peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum, dengan melihat hubungan timbal balik antara hukum dan
masyarakat. Roscoe Pound kemudian menemukan konsep “hukum sebagai alat untuk
merekayasa sosial (law as a tool of social engineering), atau dengan
kata lain, hukum sebagai suatu independent variable yang dapat
menimbulkan dampak berbagai aspek kehidupan sosial.[22]
Menurut Roscoe Pound, sociological
jurisprudence hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan
sosiologi hukum. Sociological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat dan sebaliknya, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala
yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut, disamping juga
diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting
adalah bahwa kalau sociological jurisprudence cara pendekatannya
bermula dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya, dari
masyarakat ke hukum.[23]
Inti pemikiran sociological jurisprudence
ini ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di dalam masyarakat.[24] Mazhab ini mengetengahkan tentang
pentingnya living law, hukum yang hidup di
dalam masyarakat. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup
terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah
pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh
pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal yang
diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan
dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.[25]
Menurut Eugen Ehrlich, terdapat perbedaan antara hukum
positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
di lain pihak. Selanjutnya Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan
memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat tadi. Dan disamping itu, pusat perkembangan hukum
pada waktu sekarang dan juga pada waktu yang lain, tidak terletak pada
perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, atau pun pada keputusan hakim,
tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan berpegang pada ajaran tersebut,
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain
itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in
action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in books)
(Soerjono Soekanto, 1980 : 45).[26]
Selaras
dengan pendapat Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound tersebut diatas,
Paton (1951 : 3), yang menggunakan
terminologi functional (sociological) jurisprudence untuk menyebut sociological
jurisprudence, mengatakan bahwa functional (sociological)
jurisprudence menganggap pandangan pure science of law (yang
mengkosentrasikan penyelidikannya pada teori-teori hukum yang bersifat abstrak,
yaitu berusaha untuk menemukan elemen-elemen dari ilmu hukum murni berupa faktor-faktor
yang diakui kebenarannya secara universal, terlepas dari preferensi, pandangan
yang etis dan sosiologis) sebagai amat terbatas, dikaitkan dengan kehadiran
hukum itu sesungguhnya berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial.
Menurut para pengikut aliran ini, “We can understand what a thing is only
if we examine what is does.”[27]
BAB
II
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 003/PUU-IV/2006 TANGGAL 25 JULI
2006
- Amar/Diktum Putusan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
003/PUU-IV/2006 dijatuhkan pada tanggal 25 Juli 2006 atas permohonan Ir. Dawud
Djatmiko yang pada saat itu sedang menjalani proses pidana dan ditahan oleh
penyidik dan penuntut umum Kejaksaan Agung, selanjutnya perkaranya dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemudian mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar pasal 2 ayat (1), penjelasan pasal
2 ayat (1), pasal 3, penjelasan pasal 3, dan pasal 15 (sepanjang mengenai kata
percobaan) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, dinyatakan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945.[28]
Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan sebagian, yaitu sebagaimana dinyatakan dalam amar/diktum putusannya
yang dikutip berbunyi sebagai berikut :
“M E N
G A D I L I :
-Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian;
-Menyatakan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud
dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
-Menyatakan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud
dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
-Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
-Menolak
permohonan Pemohon selebihnya.”
Dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka permohonan yang dikabulkan hanya
permohonan yang berkenaan dengan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sehingga pengertian
perbuatan melawan hukum yang merupakan salah satu unsur dari tindak pidana
korupsi yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) tersebut, hanya dalam pengertian
perbuatan melawan hukum formal saja. Penjelasan mengenai perbuatan melawan
hukum dalam pengertiannya yang materiil sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
pasal 2 ayat (1) tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dasar
1945, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Pertimbangan (ratio decidendi) Putusan.
Untuk sampai pada amar/diktum putusan sebagaimana
dimaksud diatas, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pertimbangan-pertimbangan
hukum sebagai ratio decidendi putusan dimaksud, yaitu yang dikutip
berbunyi sebagai berikut :
“Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat
perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon
sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak
memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat
(1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana,
tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga
dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan
hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian,
maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig,
namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma
sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma
sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar
kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan
orang-perorang dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah
memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang
dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa
keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma
moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu
perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya
dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya
bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan
telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak
tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang
dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang
dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad),
seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana
(wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang
berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang
di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh
jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;
Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di
atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan
bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan
perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam
pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama
sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah
pula dikuatkan dalam Butir E Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan antara lain menentukan:
- Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang- undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
- Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut;
- Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai
memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut
hal-hal sebagai berikut:
- Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
- Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta;
- Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas,
konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang
merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan
kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah
merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan
masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan
hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu
yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan
masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah,
S.H. dalam persidangan;
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai
dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’
dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;”
Dari pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya sebagaimana dikutip tersebut diatas, maka yang
menjadi ratio decidendi putusannya tersebut adalah bahwa ukuran
perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk),
yang dipergunakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tersebut, adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel),
norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat
telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan
yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil. Apa yang patut dan
yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat,
yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa
yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh
jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Hal ini oleh Mahkamah
Konstitusi dinilai sebagai suatu ukuran yang tidak pasti, yang bertentangan
dengan pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakui dan melindungi hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum
yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas
legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut
merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut
dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex
scripta) yang telah lebih dahulu ada.
BAB
III
ASPEK LIVING LAW DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 003/PUU-IV/2006 TANGGAL 25 JULI 2006
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab
terdahulu bahwa inti pemikiran dari sociological jurisprudence, yang
oleh Paton digunakan terminologi functional (sociological) jurisprudence, adalah
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. “Sesuai” dalam pengertian ini ialah bahwa hukum itu mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law).
Terlihat betapa sociological jurisprudence mengetengahkan pentingnya living
law ini. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal
yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat.
Hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi.
Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang
amar/diktum dan pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi-nya
sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu, terlihat bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengabaikan rasa keadilan (rechtsgevoel),
norma kesusilaan atau etik, norma-norma kepatutan yang memenuhi syarat
moralitas dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat sebagai apa yang
diatas disebut the living law tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut lebih mementingkan kepastian hukum tertulis, sehingga akhirnya
perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi sebagai dirumuskan dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya dipandang sebatas
perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan (peraturan tertulis). Dengan
demikian, rasa keadilan masyarakat (rechtsgevoel), norma kesusilaan
atau etik, norma-norma kepatutan yang memenuhi syarat moralitas dan norma-norma
moral lainnya yang berlaku di masyarakat menjadi tidak diperhitungkan dalam
menentukan apakah suatu perbuatan itu tercela atau melawan hukum dalam suatu
tindak pidana korupsi karena telah melanggar norma-norma kepatutan hidup dalam
bermasyarakat.
Memang,
seperti diuraikan dalam ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap orang atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Hal mana dalam implementasinya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dituangkan dalam pasal 1 ayat (1)-nya sebagai
asas legalitas atau yang dikenal dengan nullum delictum sine praevia lege
poenali (artinya : peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana
dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu).[29] Namun, dari ketentuan tersebut, yang
dipersyaratkan sebagai harus ada terlebih dahulu dalam bentuk undang-undang itu
adalah ketentuan pidananya, bukan unsur dari tindak pidananya. Unsur adalah
bagian dari suatu tindak pidana. Untuk terjadinya suatu
tindak pidana, semua unsur dalam tindak pidana dimaksud harus terpenuhi. In
casu ketentuan pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud telah dituangkan
dalam undang-undang, yaitu telah dituangkan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
Dengan demikian, sesungguhnya dalam menentukan
apakah suatu perbuatan itu memenuhi kualifikasi sebagai ‘unsur melawan hukum’
dalam suatu delik korupsi, tidaklah tepat dihubungkan dengan pasal 1 ayat
(1) KUHP, apalagi dibawa-bawa sampai ke tingkat konstitusi negara,
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu memenuhi
kriteria sebagai melawan hukum dalam suatu tindak pidana korupsi, disamping
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (tertulis), maka itu juga
sesungguhnya merupakan wilayah nilai atau norma kepantasan/kepatutan hidup
dalam masyarakat. Sehinggga apa yang dikatakan Eugen Ehrlich bahwa hukum
positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi, telah secara tepat dituangkan
dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun hal tersebut
justru dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut diatas, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak
mengakui adanya living law yang dipergunakan oleh Undang-Undang
pemberantasan korupsi tersebut sebagai salah satu ukuran perbuatan melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi.
BAB
IV
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 003/PUU-IV/2006 TANGGAL 25 JULI
2006
DAN PENYELESAIAN MASALAH SOSIAL
Eugen Ehrlich mengatakan sebagaimana telah
diuraikan dalam bab sebelumnya, bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif
di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di
lain pihak. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa hukum positif akan memiliki
daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat tadi. Dan disamping itu, pusat perkembangan hukum pada
waktu sekarang dan juga pada waktu yang lain, tidak terletak pada perundang-undangan,
tidak pada ilmu hukum, atau pun pada putusan hakim, tetapi pada masyarakat itu
sendiri. Dengan berpegang pada ajaran tersebut, Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
Sejalan dengan pendapat Eugen Ehrlich dan Roscoe
Pound tersebut diatas, Paton dengan functional (sociological)
jurisprudence-nya mengatakan bahwa kehadiran hukum itu sesungguhnya
berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut para pengikut
aliran ini, “We can understand what a thing is only if we examine
what is does.”
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 sebagaimana telah diuraikan dalam bab
sebelumnya, telah menyatakan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sepanjang mengenai penjelasan
mengenai perbuatan melawan hukum dalam pengertian materiil, bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatah hukum mengikat.
Kalau diperhatikan penjelasan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999, maka dalam penjelasan umum Undang-Undang tersebut telah
diuraikan argumentasinya mengapa sampai pengertian unsur “secara melawan” hukum
dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) tersebut
diartikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil mau pun dalam arti
materiil, yaitu agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit,
sehingga pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana.[30]
Dari argumentasi dalam penjelasan umum Undang-Undang
tersebut diatas, maka pembuat undang-undang menyadari betul bahwa tindak pidana
korupsi adalah masalah sosial dalam masyarakat yang dilakukan dengan modus
opreandi yang semakin hari semakin canggih dan rumit. Sebagaimana pula
konsideran yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa mengingat korupsi
di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya
merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan
dengan cara luar biasa.[31]
Dengan melihat dan
menghubungkan teori functional (sociological) jurisprudence dengan
upaya-upaya pembentukan hukum sebagaimana pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka pembentukan kedua
undang-undang tersebut, khususnya dengan mengartikan perbuatan melawan hukum
dalam tindak pidana korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil
mau pun dalam arti materiil, yakni mencakup pula perbuatan-perbuatan tercela
yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, maka
kedua undang-undang tersebut sebagai hukum positif telah berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga kedua undang-undang dimaksud
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan telah memenuhi fungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial sebagaimana dikatakan oleh Roscoe Pound, mengingat
tindak pidana korupsi telah menjadi masalah sosial yang sangat serius dalam
masyarakat Indonesia
dewasa ini. Begitu pula jika dikaitkan dengan teori functional
(sociological) jurisprudence sebagaimana pendapat Paton, yang mengatakan
bahwa kehadiran hukum itu sesungguhnya berfungsi untuk menyelesaikan berbagai
masalah sosial, maka kehadiran kedua undang-undang tersebut memang berfungsi
untuk menyelesaikan masalah sosial yang bernama tindak pidana korupsi tersebut.
Akan tetapi ternyata pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil
dalam undang-undang dimaksud, oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya
tersebut diatas, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dus
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, dilihat dari perspektif tersebut
diatas, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25
Juli 2006 tersebut adalah kontraproduktif, oleh karena dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi hanya menjadi dalam arti yang formil saja, yaitu hanya sebatas yang
melanggar peraturan perundang-undangan (peraturan tertulis) saja, sehingga akan
semakin banyak kasus-kasus tindak pidana korupsi yang tidak terjangkau oleh
peraturan perundangan-undangan (peraturan tertulis). Padahal sejarah panjang
pemberantasan korupsi di Indonesia
merupakan masalah sosial kebangsaan yang tidak berkesudahan. Kehadiran hukum
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut justru tidak berfungsi untuk (ikut)
menyelesaikan masalah sosial yang bernama tindak pidana korupsi tersebut, akan
tetapi sebaliknya. Sehingga dari perspektif functional (sociological)
jurisprudence, kehadiran Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
kontraproduktif bagi penyelesaian masalah sosial tindak pidana korupsi itu
sendiri.
Oleh sebab itu pulalah Mahkamah Agung Republik
Indonesia tetap berpendirian bahwa pengertian perbuatan melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil mau pun
materiil, sebagaimana ternyata dalam putusan-putusannya setelah dijatuhkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, yang salah satunya adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007 dalam perkara
atas nama Terdakwa Theodorus Fransisco Toemion alias Theo F. Toemion.
Dalam
putusan mana Mahkamah Agung memberi pertimbangan yang dikutip berbunyi sebagai
berikut :
“1.bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2
ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo
Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah
dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud
dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair
(la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan
memperhatikan :
- bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
- bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak public yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
- bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid) (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak tabir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002, hal.140);
- bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kakurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)
- bahwa Mahkamah Agung dalam hubungan dengan perkara ini adalah akan mengadopsi ajaran prioritas baku dari Gustav Radbruch yang berpendapat tujuan hukum berdasarkan prioritas adalah keadilan, manfaat baru kepastian hukum;
- bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur ”secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur ”secara melawan hukum” dengan tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :
- bahwa ”Tujuan diperluasnya unsur ”perbuatan melawan hukum”, yang tidak lagi dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang pandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum seara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil (Dr.Indriyanto Seno Adji. SH. MH., Korupsi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, hlm.14);
- bahwa pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan mesyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat;
- bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI. Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan melawan hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi ”maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan sarana ”melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang lazim atau bertentngan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya;
- bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275K/Pid/1983, untuk peretama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat;
- bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta trakat yang tepat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsisten penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidan korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;[32]
Dengan pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai ratio
decidendi putusannya tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, penjelasan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, maka pengertian unsur “melawan hukum” dalam dalam
tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
tersebut, menjadi tidak jelas, oleh karena itulah kemudian Mahkamah Agung
melakukan penemuan hukum dengan menggunakan doktrin Sen-Clair (la doctrine
du senclair), yang mengatakan bahwa penemuan hukum dibutuhkan apabila
peraturannya belum ada untuk suatu kasus in concreto; atau
peraturannya sudah ada tetapi belum jelas. Dalam hal ini Mahkamah Agung
berpendapat bahwa peraturan yang mengatur pengertian perbuatan melawan hukum
dalam tindak pidana korupsi sudah ada, yaitu pasal 2 ayat (1) tersebut diatas,
akan tetapi peraturan itu menjadi tidak jelas karena adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut diatas. Disamping itu, hakim memang wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 (sekarang pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009)
tentang Kekuasaan Kehakiman, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 (sekarang pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009),
pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut sangat tepat dan sesuai
dengan apa yang disebut sebagai the living law tersebut diatas.
BAB V
K E S I M P U L A N
Berdasarkan
seluruh uraian dan pembahasan serta analisis yang tergambar dalam keseluruhan
bab makalah ini, kiranya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
- Inti pemikiran sociological jurisprudence ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) ;
- Sociological jurisprudence bertujuan untuk lebih mengefektifkan perundang-undangan dalam pelaksanannya ;
- Sociological jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Sosiological jurisprudence adalah teori hukum yang mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat, pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum merupakan cabang ilmu sosiologi yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dengan titik tolak pendekatannya dari masyarakat ke hukum ;
- Hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ;
- Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ;
- Dalam pandangan functional (sociological) jurisprudence, kehadiran hukum di tangah-tengah masyarakat adalah berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dalam masyarakat itu sendiri ;
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak sesuai dengan dan mengabaikan hukum atau peraturan tidak tertulis, rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat Indonesia sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (the living law) ;
- Dalam perspektif functional (sociological) jurisprudence, kehadiran hukum dalam bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 adalah kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam mana korupsi (tindak pidana korupsi) adalah masalah sosial kebangsaan yang tidak berkesudahan sejak bertahun-tahun silam. Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hukum pemberantasan korupsi, dalam sudut pandang functional (sociological) jurisprudence adalah berfungsi untuk menyelesaikan masalah sosial korupsi itu sendiri. Akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 justru menganulir dengan mempersempit batasan perbuatan “melawan hukum” yang diatur dalam kedua undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, sehingga hanya menjadi perbuatan “melawan peraturan perundang-undangan” saja, bukan lagi “melawan hukum”. Dengan demikian pemberantasan korupsi akan semakin sulit, dus penyelesaian masalah sosial korupsi yang diharapkan itu menjadi semakin sulit diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA :
Achmad
Ali, Prof., DR., S.H., M.H., Menguak Teori Hukum
(Legal) Theory dan
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence), Prenada media Group, Jakarta, Cetakan Ke-2,
November 2009.
Andi
Hamzah, DR, S.H., Asas–Asas
Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta,
Cetakan
Ke-Dua, Edisi Revisi, Februari 1994.
Johny
Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing,
Malang, Cetakan Ke-Dua, 2006.
Komariah
Emong Sapardjaja, Dr., S.H., Ajaran Sifat
Melawan Hukum Materiel
Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung,
Cetakan
Ke-1,
Edisi Pertama, 2002.
Lamintang,
Drs., P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti
Bandung,
Cetakan III, 1997.
Leden
Marpaung, Dr., S.H., Asas – Teori – Praktik Hukum
Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta,
Cetakan Pertama, Mei 2005.
Lili
Rasjidi, Prof., Dr., H., S.H., S.Sos., LL.M., & Ira
Thania Rasjidi, S.H., M.H.,
CELCS.
(M), Dasar-Dasar Filsafat dan
Teori Hukum, Citra
Aditya
Bakti, Bandung, Cetakan X, 2007.
Lili
Rasjidi, Prof. (EM), Dr., H., S.H., S.Sos., LL.M., & Ira
Thania Rasjidi, S.H.,
M.H.,
CELCS. (M), Pengantar Filsafat Hukum,
Mandar Maju,
Bandung,Cetakan
Ke-5, Juli 2010.
Moeljatno,Prof.,
S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, Cetakan
Ke-tujuh,
September 2002.
Peter
Mahmud Marzuki, Prof., Dr., S.H., M.S., LL.M., Penelitian
Hukum, Prenada
Media
Group, Jakarta, Cetakan Ke-6, Februari 2010.
Schaffmeister,
Prof., DR., D., N. Keijzer, Prof., DR., Sutorius, MR, E. PH., Hukum
Pidana, Editor
Penerjemahan : Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A.
Soesilo,
R., Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Cetakan
Ulang, 1993.
Widodo
Dwi Putro, ”Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah
Awal Memasuki
Diskursus
Metodologis Dalam Penilitian Hukum” dalam Metode
Penelitian Hukum, Konstelasi
dan Refleksi, Editor Sulistyowati
Irianto
& Shidarta, Penerbit Yayasan
Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta,
Cetakan Ke-dua, Januari 2011.
__________,
Undang-Undang Dasar 1945.
__________,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi.
__________,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi.
__________,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan
Kehakiman.
__________,
Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor :
003/PUU-IV/2006
Tanggal 25 Juli 2006.
__________,
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor :
103K/Pid/2007
Tanggal 28 Februari 2007.
________________
[1] Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas
Hukum Pidana, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke-tujuh,
September 2002, hlm. 130-131.
[2] Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cetakan III, Tahun 1997, hlm. 351.
[3] Dr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., Ajaran
Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT.
Alumni, Bandung, Cetakan Ke-1, Tahun 2002, hlm. 25.
[4] Prof, DR. D. Schaffmeister, Prof. DR. N.
Keijzer, Mr. E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemahan Prof.
Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.H., Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan Ke-2,
Tahun 2003, hlm. 50.
[5] Dr. Leden Marpaung, S.H., Asas-Teori-Praktik
Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Pertama, Mei 2005,
hlm. 45.
[6] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Dasar-Dasar
Filsafat dan Teori Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Cetakan X, Tahun 2007, hlm. 66.
[7] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Pengantar
Filsafat Hukum, Penerbit C.V. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke-lima, Juli
2010, hlm. 36.
[8] Prof. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S.,
LL.M., Penelitian Hukum, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta,
Cetakan ke-6, Februari 2010, hlm. 93.
[9] Ibid., hlm. 93-94.
[10] Ibid., hlm. 94.
[11] Ibid.
[12] Johny Ibrahim, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan
Ke-dua, 2006, hlm. 301.
[13] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Pengantar
Filsafat Hukum,op.cit., hlm.
29.
[14] Ibid.
[15] Prof. DR. Achmad Ali, S.H., M.H., Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Penerbit Prenada Media
Group, Jakarta, Cetakan ke-2, November 2009, hlm. 13.
[16] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Pengantar
Filsafat Hukum,op.cit., hlm.
31.
[18] Ibid., hlm. 103.
[19] Ibid.
[20]Widodo Dwi Putro, “Mengkritisi
Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki Diskursus Metodologis Dalam Penelitian
Hukum” dalam Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Editor
Sulistyowati Irianto & Sidharta, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta, Cetakan Ke-dua, Januari 20011, hlm. 8-9.
[21] Ibid., hlm. 24-25.
[22] Ibid., hlm. 25.
[23] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Dasar-Dasar
Filsafat dan Teori Hukum, op.cit.,
hlm. 66-67.
[24] Ibid., hlm. 66.
[25] Ibid., hlm. 67.
[26] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Pengantar
Filsafat Hukum,op.cit., hlm.
66.
[27] Prof. (EM) DR. H. Lili Rasjidi, S.H.,
S.Sos., LL.M & Ira Thania Rasjidi, S.H., M.H., CELCS (M), Pengantar
Filsafat Hukum,op.cit., hlm.
36.
[28] Lebih detail dapat dilihat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006.
[29] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Penerbit Politeia, Bogor, Cetakan Ulang, 1993, hlm. 27.
[30] Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999.
[31] Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
[32] Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007.
SUMBER :
https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-003puu-iv2006-tanggal-25-juli-2006-dalam-perspektif-functional-sociological-jurisprudence/