ABSTRAK
Parate Eksekusi adalah salah satu cara
mengeksekusi barang yang dijaminkan dan atau berada dalam tanggungan oleh
debitur kepada kreditur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.
Dalam pelaksanaannya parate eksekusi menemui beberapa hambatan, salah satunya
adalah perlu atau tidaknya menggunakan putusan pengadilan dalam menjalankan
Parate Eksekusi. Pelaksanaan parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu
sisi pelaksanaannya langsung melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di
sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan
Pasal 224 HIR/258 RBg).
Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan
- Pendahuluan
Pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang
Hak Tanggungan bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor dalam
pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, yakni kreditor dapat menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tanpa harus melalui lembaga
peradilan. Hanya saja kemudahan yang dipunyai kreditor tersebut pada
kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi kerancuan pengaturan
mengenai parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996), pengaturan Hak Tanggungan di satu sisi diatur bahwa hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigen machtige
verkoop) lahir karena undang-undang, namun di sisi lain lahir dari
perjanjian, sehingga menimbulkan makna ganda atau kabur. Kerancuan pengaturan
parate eksekusi tersebut terlihat bilamana dihubungkan antara pasal 6 UUHT yang
menyatakan pelaksanaannya melaui lelang umum sedangkan Penjelasan Umum angka 9
yang agar parate eksekusi pelaksanaannya mendasarkan kepada pasal 224 HIR.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang perlu dibahas adalah
tentang (1) bagaimana pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang Hak
Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996), (2) apakah parate eksekusi obyek
Hak Tanggungan pada kreditor telah dilakukan sesuai dengan pasal 6
Undang-undang Nomor 4 tahuan 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT).
Beranjak dari permasalahan, kemudian dianalisis dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
Pengaturan yang mendasar parate eksekusi adalah prinsip perlindungan hukum bagi
kreditor bagi hak tanggungan pertama dengan tujuan sebagai sarana untuk
mempercepat pelunasan piutang manakala debitor wanprestasi.
- Pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang hak tanggungan
Sebenarnya
istilah parate ekskusi secara tersurat tidak pernah tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Istilah parate eksekusi sebagaimana yang telah diuraikan
pada bagian sebelumnya secara etimologis berasal dari kata “paraat”
artinya siap ditangan, sehingga parate eksekusi dikatakan sebagai sarana yang
siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate eksekusi mempunyai arti pelaksanaan
yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. (Kamus Hukum Edisi
Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs, Aneka, Semarang, 1977, hal. 655)
Pengertian
parate eksekusi yang diberikan oleh doktrin, (Pitlo, 1949, Dalam Herowati
Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008, hal. 242) kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti,
bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek
jaminan, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti
aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri. Tidak
perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya
prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih mudah.
Sehingga
istilah parate eksekusi dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk menjual atas
kekuasaan sendiri melaui lembaga pelelangan umum tanpa melaui fiat Ketua
Pengadilan.
Dalam
UUHT istilah parate ekskusi secara implicit justru tersurat dan tersirat,
khususnya diatur dalam penjelasan umum angka 9 UUHT, yang menyebutkan :
“Salah
satu cirri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang
eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu
untuk memasukkan secara khusus ketentuan tetnang eksekusi Hak Tanggungan dalam
Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate ekskusi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 R.Bg.”
Penjelasan
umum tersebut diatur, maksud pembentuk UUHT menyatakan meskipun pada dasarnya
eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata, namun untuk membuktikan
salah satu cirri Hak Tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah
mudah dan pasti. Oleh karena itu secara khusus ketentuan ekskusi Hak
Tanggungan diatur lemabga parate eksekusi.
- Dasar Pengaturan Eksekusi Parate dalam Undang-Undang Hak Tanggungan
Pengaturan
parate eksekusi dalam UUHT, maka dasar berpijaknya adalah pada pengaturan
mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUHT yang
menyatakan :
(1) Apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan :
- Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau
- Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunsan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
Jadi pada pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT,
dinyatakan bahwa apabila debotor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak Tangungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
UUHT. Sedangkan teks yuridis pasal 6 UUHT substansi adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari
hasil penjualan tersebut.”
Esensi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6
UUHT tersebut, adalah :
- Debitor cidera janji;
- Kreditor pemegang Hak Tangungan pertama diberi hak;
- Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekhususan sendiri;
- Syarat penjualan melaui pelelelangan umum;
- Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
- Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT
menunjukkan ada 2 (dua) hal yang penting manakala debitor wanprestasi, yaitu
hak dan pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama.
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri
pada pasal 6 UUHT seperti halnya dalam pasal 1155 B.W. yang mengatur tentang
parate eksekusi pada obyek gadai telah diberikan ex lege. Hal tersebut
jelas berbeda dengan hipotik, hak kreditor pemegang hipotik pertama mempunyai
hak parate eksekusi apabila telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor
selaku pemberi jaminan.
Dapat dipahami tujuan pembentuk UUHT untuk
membentuk lembaga parate eksekusi, selain memberikan sarana yang memang sengaja
diadakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan
kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah, dengan maksud untuk
menerobos formalitas hukum acara, di satu sisi tujuan pembentukan parate
eksekusi secara Undang-undang (ex lege), dengan maksud untuk
memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama pada
pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya.( Herowati Poesoko, Parate Executie
Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan
Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal. 282).
Dalam menggunakan pasal 6 UUHT dikarenakan
pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan hanya melaui pelelangan umum, tanpa
harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri.Terutama menunjukkan efisiensi waktu
dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Mengingat kalau prosedur eksekusi melalui
formalitas Hukum Acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang lama dan
rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan
eksekusi menggunakan titel eksekutorial, karena tidak menanggung biaya untuk
mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Maka
pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum berlakunya parate eksekusi manakala debitor wanprestasi,
yang dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap
kebutuhan ekonomi.
- Pasal 20 UUHT sebagai Dasar Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Salah satu fasilitas atau ciri yang diberikan
oleh Undang-undang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka
eksekusinya mudah dan pasti, hal tersebut dapat dilaksankan jika pemberi hak
tanggungan (debitor) tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah
diperjanjikan, demikian disebutkan dalam penjelasan angka 9 UUHT. Adapun mengenai
eksekusi obyek Hak Tanggungan yang diatur dalam pasal 20 UUHT pemegang Hak
Tanggungan diberikan pilihan eksekusi sebagai berikut :
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama sebagaimana
dimaksud di atas, telah pula dipertegas kembali di dalam Pasal 20 ayat (1)
UUHT, yang menyebutkan :
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
- hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
- titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.[1]
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal
20 ayat (1) UUHT ini sebenarnya tidak saja sejalan dan mempertajam apa yang
telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) atau apa yang diatur sebelumnya dalam
Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang beding van
eigenmachtige verkoop pada lembaga hipotik/credietverband, tapi
juga bermakna bahwa Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT ini menghendaki
kewenangan kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
tersebut, dapat diartikan bukan saja karena diperjanjikan, melainkan hak atau
kewenangan kreditor tersebut ada padanya karena memang undang-undang sendiri
juga memberikan padanya atau menetapkannya demikian (ex lege).
Menurut Herowati Poesoko dari konsep Rancangan
Undang-Undang terlihat adanya kehendak Pembentuk UUHT untuk menjadikan hak
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagai
suatu hak yang timbul karena Undang-Undang, bukan karena janji yang diberikan
oleh pemberi Hak Tanggungan. Tetapi kemudian, setelah melalui pembahasan di
DPR, terjadi perubahan dengan ditambahkannya janji untuk menjual atas kekuasan
sendiri ke dalam rangkaian janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).
(Herowati Poesoko, hal 283)
Terhadap adanya pendapat (sebagaimana juga
Herawati Poesoko) yang menyatakan bahwa substansi Penjelasan Pasal 6 UUHT jika
dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e dan blanko formulir Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang mencantumkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
adalah tidak sinkron dengan substansi Pasal 6, oleh karena berdasarkan Pasal 6
UUHT bahwa hak/kewenangan tersebut adalah didasarkan pada ex lege,
sedangkan Penjelasan Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e didasarkan pada
janji, sehingga dianggap membingungkan, mana yang benar, apakah kewenangan
tersebut diberikan secara ex lege atau karena diperjanjikan?, menurut
penulis hal ini sepintas memang terlihat demikian, seolah-olah terjadi
kontradiksi ataupun kerancuan yang menimbulkan inkonsistensi norma yang
berkaitan dengan hak/kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi).
Akan tetapi jika kita amati ketentuan yang dimuat
dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyatakan:
"Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan
yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama
dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut
didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari
pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa
hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.”
Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e yang juga
menyatakan “Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini”, maka penulis
sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi dan Gunaan Widjaja
yang menyatakan bahwa :
Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk
melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang.Walau demikian tidaklah berarti
hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh
para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah. (Kartini
Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta,
2006, hal. 32)
Sehingga jika hal tersebut tidak diperjanjikan
lebih dulu, maka kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidaklah mempunyai
hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 20 ayat (1) huruf a
UUHT, akan tetapi eksekusinya haruslah dilakukan melalui titel eksekutorial
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut.
Dari pemahaman ini akhirnya bisa dicermati maksud pembentuk undang-undang
mencantumkan/memberikan alternatif penyelesaian bagi kreditor/pemegang Hak
Tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20
ayat (1) UUHT, apakah dilakukan melalui Parate Eksekusi atau harus dilakukan
melalui titel eksekutorial yang proses pelaksanaannya harus melalui fiat
eksekusi dari pengadilan negeri.
Demi tercapainya suatu kepastian hukum dalam
rangka melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan pertama sesuai dengan
uraian pemahaman tersebut di atas, haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diperoleh oleh kreditor/pemegang
Hak Tanggungan pertama tidak semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi juga
karena undang-undang menetapkan demikian (setelah terlebih dahulu
diperjanjikan). Hal ini adalah untuk lebih menekankan bahwa undang-undang
memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa
“hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” tersebut adalah sarana yang utama
bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam
rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, yang merupakan salah satu
perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai olehnya sebagai
pemegang Hak Tanggungan pertama.
Untuk tidak menimbulkan multitafsir dalam proses
eksekusinya dikemudian hari, maka “janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri”
sebagaimana telah tercetak secara baku dalam blanko formulir Akta Pembebanan
Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan ataupun diperjanjikan oleh pemberi
maupun pemegang Hak Tanggungan agar hak/kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6
UUHT dapat dilaksanakan, kecuali pihak-pihak dari sejak semula memang
menginginkan ataupun menyepakati lain.
- Penjelasan Umum Angka 9 Dan Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996
Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT menyebutkan
salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum
ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku,
dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak
Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang
Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen
Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van
het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).
Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak
Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan,
dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak
Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek,
yang untuk eksekusi hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat
dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua reglemen tersebut.
Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian
mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam
Undang-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundangan-undangan yang
mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang diatur dalam
kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.[2]
Apabila Penjelasan Umum angka 9 tersebut
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT yang memberikan hak kepada
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, sedangkan Penjelasan Umum angka
9 mengatur agar parate eksekusi pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224
HIR/258 RBg yang sebenarnya ditujukan kepada grosse akta hipotik dan grosse
akta’ pengakuan hutang yang mempunyai hak eksekutorial sebagai suatu putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana eksekusinya tunduk dan
patuh sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri, maka jelas terlihat bahwa pembentuk
undang-undang sendiri juga telah mengulangi kekeliruan yang terdapat dalam
pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal
30 Januari 1986, yaitu dengan mencampuradukkan antara pengertian parate
eksekusi dengan pengertian eksekusi berdasarkan grosse akta/sertifikat Hak
Tanggungan dimana pelaksanaannya memang harus dilakukan menurut ketentuan Pasal
224 HIR/268 RBg.
Apa yang disebutkan dalam Penjelasan angka 9 UUHT
tersebut jelas tidak saja bertentangan dengan ratio legis dimuatnya
ketentuan Pasal 6 dalam UUHT tersebut, tetapi juga telah menunjukkan sikap
inkonsistensi dari pembentuk undang-undang yang telah memberikan kewenangan
kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dan keadaan ini
akhirnya kembali mementahkan harapan para pelaku ekonomi khususnya kalangan
perbankan. Untuk itu, nampaknya masih diperlukan suatu pembahasan yang lebih
mendalam agar tidak terjadi kerancuan pengaturan dan penganuliran terhadap
lembaga parate eksekusi dalam praktek hukum, sebab pengaturan parate eksekusi
dalam UUHT diharapkan dapat menjadi tiang pokok bagi lembaga jaminan Hak
Tanggungan.
Dalam Pengertian parate eksekusi (hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri) terkandung arti, bahwa kalau debitor
wanprestasi, kreditor bisa melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan (Hak
Tanggungan) melalui pelelangan umum, tanpa harus minta fiat dari Ketua
Pengadilan Negeri, tanpa harus mengikuti aturan main dalam hukum acara, tidak
perlu ada sita terlebih dahulu, karena itu prosedurnya lebih mudah dengan biaya
yang lebih murah. Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg harus
dilakukan di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dengan
mengikuti hukum acara yang berlaku layaknya eksekusi putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila pelaksanaan parate eksekusi harus melalui
dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 224 HIR/258 RBg), hal ini
jelas menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang merupakan peraturan yang sifatnya
substantif. Jadi seharusnya pembentuk undang-undang tidak mendasarkan
pelaksanaan parate eksekusi pada Pasal 224 HIR/258 RBg seperti yang disebutkan
oleh Penjelasan Umum angka 9 UUHT tersebut.
Kekeliruan pembentuk undang-undang yang telah
menyamakan pengertian/prosedur eksekusi berdasarkan parate eksekusi dengan
eksekusi berdasarkan titel eksekutorial (sertifikat Hak Tanggungan) sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Umum angka 9, ternyata telah diulangi kembali dalam
Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT dengan menyebutkan :
Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak
Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan
adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila
debitor cidera janji, siap untuk diseksekusi seperti halnya suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melaiui tata cara dan
dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara
Perdata.
Dari kedua penjelasan tersebut, pembentuk
undang-undang telah menafsirkan sama tentang prosedur parate eksekusi dengan
prosedur eksekusi sertifikat Hak Tanggungan, yaitu menggunakan prosedur sesuai
dengan Hukum Acara Perdata.
Jadi harus melalui izin dan atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri, dan jika debitor benar-benar cidera janji (wanprestasi),
maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat melaksanakan janji untuk menjual
atas kekuasaan sendiri dengan cara menjual lelang obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tapi penjualannya didasarkan kepada Pasal
224 HIR/258 RBg. Disini pelaksanaan parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda,
satu sisi pelaksanaannya langsung melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi
di sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan
Pasal 224 HIR/258 RBg).
Sebenarnya jika kita amati ketentuan Pasal 26
yang mengatur tentang Ketentuan Peralihan UUHT dimana disebutkan “Selama belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang
ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak
Tanggungan”, dan dengan memperhatikan pula penjelasannya yang menyebutkan :
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada
dalam pasai ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement,
Staatsblad 1941-44) Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten
Java en Madura, Staatsblad 1927-227).
Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah
bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat
tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah
sertifikat Hak Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan
khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang tersebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelesan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam
Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut.Ketentuan
hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan
sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaarnya.
Di sini pembentuk undang-undang telah memberikan
pemahaman yang benar, bahwa eksekusi Hak Tanggungan yang pelaksanaannya di
dasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg adalah eksekusi Hak Tanggungan
berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan (titel eksekutorial), yaitu dilaksanakan
dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.
Pemahaman inilah yang bersesuaian atau tidak menyimpang dengan apa yang
dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT tentang pilihan eksekusi Hak
Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan. Menurut Herowati Poesoko “Aturan yang menyimpang tentunya bukan
untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk diabaikan atau bahkan tidak
perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi salah satu tujuan hukum yakni
kegunaan (zwekmaszigkeit)” (Herowati Poesoko, hal 264)
Berkenaan dengan hal yang telah dikemukakan di
atas, dan agar tidak lagi ada keraguan dalam pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan berdasarkan parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT,
ada baiknya diperjelas terlebih dahulu, apakah hal-hal yang dikemukakan atau
ditentukan dalam memori penjelasan suatu undangundang mempunyai sifat mengikat
secara hukum ?, sebab apa yang telah dikemukakan oleh Penjelasan Umum angka 9
maupun Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT sebagaimana tersebut diatas,
sudah tidak lagi sekedar bersifat menjelaskan, tetapi telah memberikan
ketentuan baru di luar pasal yang dijelaskan.
Menurut Remy Sjandeini memori Penjelasan
Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan
ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya.
…. Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum karena
suatu undang-undang berlaku dan mengikat sekalipun seandainya telah dikeluarkan
tanpa diikuti Memori Penjelasan.Sebaliknya, suatu Memori Penjelasan dari suatu
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya undang-undang (yang
dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut) ( Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan,
asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan
(Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.
hal 55).
Apabila Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6
UUHT yang telah memberikan rumusan norma yang jelas tentang “hak pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk menjual dengan kekuasaan sendiri obyek Hak Tangggungan
melalui pelelangan umum (parate eksekusi)” dihubungkan dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Remy Sjandeini, maka Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan
Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT jelas tidak dapat dipakai sebagai sandaran
terhadap pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan, karena disamping
bertentangan dengan ratio legis pengaturan parate eksekusi, memori penjelasan
itu sendiri juga tidak mengikat secara hukum, sehingga oleh karenanya haruslah
diabaikan.
- Penutup
Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak
konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan
mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu
sisi hak itu lahir karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut terlahir
secara diperjanjikan, sehingga pengertian parate eksekusi menimbulkan makna
ganda / kabur. Maka satu sisi parate eksekusi berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu
melalui pelelangan umum dan di sisi lain melalui titel eksekutorial sehingga
melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak
Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dalam prakteknya selama
ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan
kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan
Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fiducia.
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak
Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT),
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008
Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia
– Ingirs, Aneka, Semarang, 1977,
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak
Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006
Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate
Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008
Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, asas-asas,
ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan (Suatu
Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung,
1999.
[1]Ibid, hal 13
[2] Mahkamah Agung Republik Indonesia,
op. cit., hal 26-27
SUMBER :
https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/inkonsistensi-pengaturan-parate-eksekusi-dalam-undang-undang-nomor-4-tahun-1996-tentang-hak-tanggungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar