Jumat, 17 Maret 2017

INKONSISTENSI PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN



ABSTRAK

Parate Eksekusi adalah salah satu cara mengeksekusi barang yang dijaminkan dan atau berada dalam tanggungan oleh debitur kepada kreditur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.  Dalam pelaksanaannya parate eksekusi menemui beberapa hambatan, salah satunya adalah perlu atau tidaknya menggunakan putusan pengadilan dalam menjalankan Parate Eksekusi. Pelaksanaan parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu sisi pelaksanaannya langsung melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg).

Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan
  1. Pendahuluan
Pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor dalam pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, yakni kreditor dapat menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tanpa harus melalui lembaga peradilan. Hanya saja kemudahan yang dipunyai kreditor tersebut pada kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi kerancuan pengaturan mengenai parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996), pengaturan Hak Tanggungan di satu sisi diatur bahwa hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigen machtige verkoop) lahir karena undang-undang, namun di sisi lain lahir dari perjanjian, sehingga menimbulkan makna ganda atau kabur. Kerancuan pengaturan parate eksekusi tersebut terlihat bilamana dihubungkan antara pasal 6 UUHT yang menyatakan pelaksanaannya melaui lelang umum sedangkan Penjelasan Umum angka 9 yang agar parate eksekusi pelaksanaannya mendasarkan kepada pasal 224 HIR. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang perlu dibahas adalah tentang (1) bagaimana pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996), (2) apakah parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor telah dilakukan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 4 tahuan 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT). Beranjak dari permasalahan, kemudian dianalisis dan selanjutnya ditarik kesimpulan. Pengaturan yang mendasar parate eksekusi adalah prinsip perlindungan hukum bagi kreditor bagi hak tanggungan pertama dengan tujuan sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang manakala debitor wanprestasi.

  1. Pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang hak tanggungan
Sebenarnya istilah parate ekskusi secara tersurat tidak pernah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Istilah parate eksekusi sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate eksekusi dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate eksekusi mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. (Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs, Aneka, Semarang, 1977, hal. 655)
Pengertian parate eksekusi yang diberikan oleh doktrin, (Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008, hal. 242) kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri. Tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih mudah.
Sehingga istilah parate eksekusi dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri melaui lembaga pelelangan umum tanpa melaui fiat Ketua Pengadilan.
Dalam UUHT istilah parate ekskusi secara implicit justru tersurat dan tersirat, khususnya diatur dalam penjelasan umum angka 9 UUHT, yang menyebutkan :
“Salah satu cirri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tetnang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate ekskusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 R.Bg.”
Penjelasan umum tersebut diatur, maksud pembentuk UUHT menyatakan meskipun pada dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata, namun untuk membuktikan salah satu cirri Hak Tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti. Oleh karena itu secara khusus ketentuan ekskusi Hak Tanggungan diatur lemabga parate eksekusi.
  1. Dasar Pengaturan Eksekusi Parate dalam Undang-Undang Hak Tanggungan
Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT, maka dasar berpijaknya adalah pada pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUHT yang menyatakan :
(1)  Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
  1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau
  2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunsan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
Jadi pada pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila debotor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tangungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT. Sedangkan teks yuridis pasal 6 UUHT substansi adalah :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil penjualan tersebut.”

Esensi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT tersebut, adalah :
  1. Debitor cidera janji;
  2. Kreditor pemegang Hak Tangungan pertama diberi hak;
  3. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekhususan sendiri;
  4. Syarat penjualan melaui pelelelangan umum;
  5. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
  6. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT menunjukkan ada 2 (dua) hal yang penting manakala debitor wanprestasi, yaitu hak dan pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama.

Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada pasal 6 UUHT seperti halnya dalam pasal 1155 B.W. yang mengatur tentang parate eksekusi pada obyek gadai telah diberikan ex lege. Hal tersebut jelas berbeda dengan hipotik, hak kreditor pemegang hipotik pertama mempunyai hak parate eksekusi apabila telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor selaku pemberi jaminan.

Dapat dipahami tujuan pembentuk UUHT untuk membentuk lembaga parate eksekusi, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah, dengan maksud untuk menerobos formalitas hukum acara, di satu sisi tujuan pembentukan parate eksekusi secara Undang-undang (ex lege), dengan maksud untuk memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama pada pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya.( Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek  Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal. 282).

Dalam menggunakan pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan hanya melaui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri.Terutama menunjukkan efisiensi waktu dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Mengingat kalau prosedur eksekusi melalui formalitas Hukum Acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang lama dan rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan eksekusi menggunakan titel eksekutorial, karena tidak menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Maka pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum berlakunya parate eksekusi manakala debitor wanprestasi, yang dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi.

  1. Pasal 20 UUHT sebagai Dasar Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Salah satu fasilitas atau ciri yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka eksekusinya mudah dan pasti, hal tersebut dapat dilaksankan jika pemberi hak tanggungan (debitor) tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, demikian disebutkan dalam penjelasan angka 9 UUHT. Adapun mengenai eksekusi obyek Hak Tanggungan yang diatur dalam pasal 20 UUHT pemegang Hak Tanggungan diberikan pilihan eksekusi sebagai berikut :
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama sebagaimana dimaksud di atas, telah pula dipertegas kembali di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan :

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
  1. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
  2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.[1]
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 ayat (1) UUHT ini sebenarnya tidak saja sejalan dan mempertajam apa yang telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) atau apa yang diatur sebelumnya dalam Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang beding van eigenmachtige verkoop pada lembaga hipotik/credietverband, tapi juga bermakna bahwa Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT ini menghendaki kewenangan kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut, dapat diartikan bukan saja karena diperjanjikan, melainkan hak atau kewenangan kreditor tersebut ada padanya karena memang undang­-undang sendiri juga memberikan padanya atau menetapkannya demikian (ex lege).

Menurut Herowati Poesoko dari konsep Rancangan Undang-Undang terlihat adanya kehendak Pembentuk UUHT untuk menjadikan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagai suatu hak yang timbul karena Undang-Undang, bukan karena janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan. Tetapi kemudian, setelah melalui pembahasan di DPR, terjadi perubahan dengan ditambahkannya janji untuk menjual atas kekuasan sendiri ke dalam rangkaian janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2). (Herowati Poesoko, hal 283)

Terhadap adanya pendapat (sebagaimana juga Herawati Poesoko) yang menyatakan bahwa substansi Penjelasan Pasal 6 UUHT jika dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e dan blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan yang mencantumkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah tidak sinkron dengan substansi Pasal 6, oleh karena berdasarkan Pasal 6 UUHT bahwa hak/kewenangan tersebut adalah didasarkan pada ex lege, sedangkan Penjelasan Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e didasarkan pada janji, sehingga dianggap membingungkan, mana yang benar, apakah kewenangan tersebut diberikan secara ex lege atau karena diperjanjikan?, menurut penulis hal ini sepintas memang terlihat demikian, seolah-olah terjadi kontradiksi ataupun kerancuan yang menimbulkan inkonsistensi norma yang berkaitan dengan hak/kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi).

Akan tetapi jika kita amati ketentuan yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyatakan:

"Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.”

Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e yang juga menyatakan “Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini”, maka penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi dan Gunaan Widjaja yang menyatakan bahwa :

Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang.Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 32)

Sehingga jika hal tersebut tidak diperjanjikan lebih dulu, maka kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidaklah mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, akan tetapi eksekusinya haruslah dilakukan melalui titel eksekutorial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut. Dari pemahaman ini akhirnya bisa dicermati maksud pembentuk undang-undang mencantumkan/memberikan alternatif penyelesaian bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, apakah dilakukan melalui Parate Eksekusi atau harus dilakukan melalui titel eksekutorial yang proses pelaksanaannya harus melalui fiat eksekusi dari pengadilan negeri.

Demi tercapainya suatu kepastian hukum dalam rangka melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan pertama sesuai dengan uraian pemahaman tersebut di atas, haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diperoleh oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidak semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi juga karena undang-undang menetapkan demikian (setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Hal ini adalah untuk lebih menekankan bahwa undang-undang memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa “hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” tersebut adalah sarana yang utama bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, yang merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai olehnya sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama.

Untuk tidak menimbulkan multitafsir dalam proses eksekusinya dikemudian hari, maka “janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri” sebagaimana telah tercetak secara baku dalam blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan ataupun diperjanjikan oleh pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan agar hak/kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT dapat dilaksanakan, kecuali pihak-pihak dari sejak semula memang menginginkan ataupun menyepakati lain.

  1. Penjelasan Umum Angka 9 Dan Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996
Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT menyebutkan salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).

Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua reglemen tersebut.

Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang­-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundangan­-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.[2]

Apabila Penjelasan Umum angka 9 tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT yang memberikan hak kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, sedangkan Penjelasan Umum angka 9 mengatur agar parate eksekusi pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg yang sebenarnya ditujukan kepada grosse akta hipotik dan grosse akta’ pengakuan hutang yang mempunyai hak eksekutorial sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, maka jelas terlihat bahwa pembentuk undang-undang sendiri juga telah mengulangi kekeliruan yang terdapat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, yaitu dengan mencampuradukkan antara pengertian parate eksekusi dengan pengertian eksekusi berdasarkan grosse akta/sertifikat Hak Tanggungan dimana pelaksanaannya memang harus dilakukan menurut ketentuan Pasal 224 HIR/268 RBg.

Apa yang disebutkan dalam Penjelasan angka 9 UUHT tersebut jelas tidak saja bertentangan dengan ratio legis dimuatnya ketentuan Pasal 6 dalam UUHT tersebut, tetapi juga telah menunjukkan sikap inkonsistensi dari pembentuk undang-undang yang telah memberikan kewenangan kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dan keadaan ini akhirnya kembali mementahkan harapan para pelaku ekonomi khususnya kalangan perbankan. Untuk itu, nampaknya masih diperlukan suatu pembahasan yang lebih mendalam agar tidak terjadi kerancuan pengaturan dan penganuliran terhadap lembaga parate eksekusi dalam praktek hukum, sebab pengaturan parate eksekusi dalam UUHT diharapkan dapat menjadi tiang pokok bagi lembaga jaminan Hak Tanggungan.

Dalam Pengertian parate eksekusi (hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri) terkandung arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan (Hak Tanggungan) melalui pelelangan umum, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri, tanpa harus mengikuti aturan main dalam hukum acara, tidak perlu ada sita terlebih dahulu, karena itu prosedurnya lebih mudah dengan biaya yang lebih murah. Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg harus dilakukan di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dengan mengikuti hukum acara yang berlaku layaknya eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila pelaksanaan parate eksekusi harus melalui dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 224 HIR/258 RBg), hal ini jelas menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Jadi seharusnya pembentuk undang-undang tidak mendasarkan pelaksanaan parate eksekusi pada Pasal 224 HIR/258 RBg seperti yang disebutkan oleh Penjelasan Umum angka 9 UUHT tersebut.

Kekeliruan pembentuk undang-undang yang telah menyamakan pengertian/prosedur eksekusi berdasarkan parate eksekusi dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial (sertifikat Hak Tanggungan) sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum angka 9, ternyata telah diulangi kembali dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT dengan menyebutkan :

Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk diseksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melaiui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.

Dari kedua penjelasan tersebut, pembentuk undang-undang telah menafsirkan sama tentang prosedur parate eksekusi dengan prosedur eksekusi sertifikat Hak Tanggungan, yaitu menggunakan prosedur sesuai dengan Hukum Acara Perdata. 

Jadi harus melalui izin dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, dan jika debitor benar-benar cidera janji (wanprestasi), maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat melaksanakan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dengan cara menjual lelang obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tapi penjualannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg. Disini pelaksanaan parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu sisi pelaksanaannya langsung melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg).

Sebenarnya jika kita amati ketentuan Pasal 26 yang mengatur tentang Ketentuan Peralihan UUHT dimana disebutkan “Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”, dan dengan memperhatikan pula penjelasannya yang menyebutkan : Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasai ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227).

Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan.

Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang tersebut di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelesan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut.Ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaarnya.

Di sini pembentuk undang-undang telah memberikan pemahaman yang benar, bahwa eksekusi Hak Tanggungan yang pelaksanaannya di dasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg adalah eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan (titel eksekutorial), yaitu dilaksanakan dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya. Pemahaman inilah yang bersesuaian atau tidak menyimpang dengan apa yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT tentang pilihan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan. Menurut Herowati Poesoko “Aturan yang menyimpang tentunya bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk diabaikan atau bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi salah satu tujuan hukum yakni kegunaan (zwekmaszigkeit)” (Herowati Poesoko, hal 264)

Berkenaan dengan hal yang telah dikemukakan di atas, dan agar tidak lagi ada keraguan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, ada baiknya diperjelas terlebih dahulu, apakah hal-hal yang dikemukakan atau ditentukan dalam memori penjelasan suatu undang­undang mempunyai sifat mengikat secara hukum ?, sebab apa yang telah dikemukakan oleh Penjelasan Umum angka 9 maupun Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT sebagaimana tersebut diatas, sudah tidak lagi sekedar bersifat menjelaskan, tetapi telah memberikan ketentuan baru di luar pasal yang dijelaskan.

Menurut Remy Sjandeini memori Penjelasan Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya. …. Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum karena suatu undang-undang berlaku dan mengikat sekalipun seandainya telah dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan.Sebaliknya, suatu Memori Penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut) ( Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999. hal 55).

Apabila Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 UUHT yang telah memberikan rumusan norma yang jelas tentang “hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual dengan kekuasaan sendiri obyek Hak Tangggungan melalui pelelangan umum (parate eksekusi)” dihubungkan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Remy Sjandeini, maka Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT jelas tidak dapat dipakai sebagai sandaran terhadap pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan, karena disamping bertentangan dengan ratio legis pengaturan parate eksekusi, memori penjelasan itu sendiri juga tidak mengikat secara hukum, sehingga oleh karenanya haruslah diabaikan.

  1. Penutup
Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu lahir karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian parate eksekusi menimbulkan makna ganda / kabur. Maka satu sisi parate eksekusi berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan umum dan di sisi lain melalui titel eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. 

Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dalam prakteknya selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.




DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia.
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek  Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008
Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs, Aneka, Semarang, 1977,
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006
Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008
Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.
[1]Ibid, hal 13
[2] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 26-27
SUMBER :
https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/inkonsistensi-pengaturan-parate-eksekusi-dalam-undang-undang-nomor-4-tahun-1996-tentang-hak-tanggungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar