BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dengan bertambah meningkatnya pembangunan
nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana
yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu
memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;”
Dikarenakan dana tersebut berasal dari
masyarakat, Bank dalam pemberian kredit perlu berhati-hati dan menerapkan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam pemberian kredit. Pemberian kredit
dengan jaminan dan pengikatan obyek jaminan kredit bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum bagi bank dalam menguasai obyek jaminan kredit sepanjang
dilakukan melalui lembaga jaminan. Lembaga jaminan yaitu Gadai, Hipotik,
Fidusia, dan Hak Tanggungan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah (selanjutnya disingkat sebagai UUHT) berbunyi “Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain;”
Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan jika
ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa
menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha
(Pasal 33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA). Kemudian apabila ditinjau
dari yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi
macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang
ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT)
menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang
berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan
oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya
didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara.
Dalam prakteknya, perolehan objek tanggungan yang
kemudian dijaminkan kepada kreditur dapat melalui hasil dengan cara melawan
hokum. Seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1842/K/Pdt/2003.
Koesnoto (Tergugat 1) hendak memberi pinjaman
kepada Penggugat uang sebesar Rp. 4. 500. 000 (empat juta lima ratus ribu
rupiah) dengan memberikan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik Nomor ak Milik No.194/Gambar Situasi No.125/tahun 1983 tertulis atas nama penggugat,
yakni atas tanah dan rumah yang terletak di Desa Cerme Kidul, Kecamatan Cerme,
Kabupaten Gresik, seluas kurang lebih 669 meter persegi.
Akan tetapi sebelum penggugat menerima uang yang
akan dipinjamkan oleh Tergugat 1, Tergugat 1 mengajak Penggugat dating ke Notaris
Irine Manibuy. SH untuk melakukan Perjanjian Jual-Beli pura-pura (schjn
handeling) yang ketika diminta keterangan oleh Penggugat, dikatakan oleh
Tergugat 1 bahwa tidak ada dampak hokum, bahwa tanah yang dijaminkan tersebut
tetaplah milik Penggugat dan bahwa perjanjian jual-beli tersebut adalah
perjanjian simulatif dan atau formalitas belaka, sehingga kemudian terbitlah
akta Nomor 93/30/CRM/V/1996, tertanggal 07 Mei 1996 yang dibuat dihadapan
Notaris/PPAT Irine Manibuy. SH. ;
Tanpa sepengetahuan Penggugat, tergugat 1
membalik nama Sertifikat Hak Milik No.194/Gambar
Situasi No.125/tahun 1983 atas nama
penggugat, yang disertakan pula Akta Jual Beli tersebut, sehingga timbul
Sertifikat baru Nomor 668/Gambar Situasi No.6487/1996,
tertanggal 01 Agustus 1996 ; atas nama Tergugat 1.
Tergugat 1 kemudian meminjam uang kepada
Perseroan Terbatas Bank Duta Cabang Surabaya (Tergugat 2) sebesar Rp. 125.
000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) yang mengakibatkan timbulnya Akta
Pengakuan Hutang No.4 tertanggal 03 Oktober 1996 dan Akta Kuasa Memasang Hak
Tanggungan No.5 tertanggal 03 Oktober 1996 yang keduanya sama-sama dibuat
dihadapan Notaris/PPAT H.Abdul Wahid Zainal, SH. dan akta Hak Tanggungan No.188/21/WS/CRM/X/1996 tertanggal 17 Oktober
1996 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT Wimphry Suwidnyo, SH., demikian pula
sertifikat Hak Tanggungan No.808/1996
yang menyangkut jaminan tanah sengketa milik Penggugat.
Lama setelah itu, setelah Tergugat terus berkelit
ketika ditanya keberadaan Sertifikat milik Penggugat oleh Penggugat tersebut,
akhirnya diketahui bahwa SHM milik Penggugat
telah dibalik nama menjadi nama Tergugat 1 dan telah dijaminkan kepada Tergugat
kedua. Penggugat dan Tergugat 1 kemudian membuat dan menandatangani Surat
Persetujuan yang isinya antara lain bahwa jual beli tanah sengketa berdasarkan
akta PPAT No. 93/30/CRM/V/1996, tertanggal 07 Mei 1996 adalah “tidak benar” dan
batal demi hukum, dan tanah sengketa adalah sepenuhnya milik Penggugat ;
Demikian pula mengenai hutang Penggugat kepada pihak Tergugat I telah
“dinyatakan lunas” ;
Bahwa, disamping itu untuk meluruskan kembali
hubungan hukum yang “sebenarnya” antara Penggugat dengan Tergugat I, maka
antara Penggugat dengan pihak Tergugat I sama-sama menghadap Notaris di Gresik,
untuk membuat akta Legalisasi Notaris, yang isinya antara lain bahwa hubungan
hukum antara Penggugat dengan Tergugat I dalam hal ini hutang piutang
dinyatakan selesai ; Karenanya Tergugat I “berkewajiban” untuk mengembalikan
Sertifikat Hak Milik No. 668/Gambar Situasi No.6487/1996,
tertanggal 01 Agustus 1996 yag telah dibalik nama menjadi atas nama
Tergugat I dengan tanpa syarat dan dalam keadaan baik kepada Penggugat selaku
pemiliknya yang sah ; Dan antara Penggugat dengan Tergugat I, masing-masing
sama-sama menyatakan bahwa akta Jual beli No. 1842 K/Pdt/2003 93/30/CRM/V/1996,
tertanggal 07 Mei 1996 adalah akta jual beli tanah sengketa yang seharusnya
batal demi hukum ;
Pada Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.
434/Pdt.G/1999/PN.SBY., tanggal 20
September 2000 yang dikuatkan oleh Putusan Pengadian Tinggi Surabaya No.
713/Pdt/2001/PT.SBY tanggal 8 Jauari
2002, menyatakan dan mengabulkan gugatan gugatan rekovensi tergugat 1 dan 2.
Akan tetapi kedua putusan tersebut dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Agung No.1842/K/Pdt/2003 yang mengabulkan permohonan
kasasi dari Penggugat tersebut diatas, yang menyatakan bahwa penggugat adalah
pemilik sah tanah dan rumah sengketa yakni tanah dan rumah seluas kurang
lebih 669 meter persegi yang terletak di Desa Cerme Kidul, Kecamatan Cerme, Kabupaten
Gresik sebagaimana terurai dalam Sertifikat Hak Milik No. 668/Gambar Situasi No.6487/1996, tertanggal 01 Agustus 1996,
semula atas nama Penggugat dan diubah menjadi atas nama Tergugat I ;
Membatalkan Akta Jual beli No. 93/30/CRM/V/1996, tertanggal 07 Mei 1996 yang
dibuat di hadapan Notaris/PPAT Irine Manibuy, SH. ; Membatalkan Akta Pengakuan
Hutang No.4 tertanggal 03 Oktober 1996 dan membatalkan Akta No.5 tertanggal
03 Oktober 1996 tentang Kuasa Memasang Hak Tanggungan masing-masing
yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT H.Abdul Wahid Zainal, SH.; Membatalkan
pula Akta Hak Tanggungan No.188/21/WS/CRM/X/1996
tertanggal 17 Oktober 1996 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT Wimphry
Suwidnyo, SH., demikian pula sertifikat Hak Tanggungan No.808/1996.
Permasalahan baru timbul ketika akta jual beli
tanah dan Akta hak tanggungan turut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Padahal
Akta Hak Tanggungan bukan accesoir dari perjanjian jual beli melainkan accesoir
pada perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yaitu perjanjian
kredit. Selain itu kreditur yang beritikad baik dalam hal ini adalah pihak bank
yang telah memberikan piutang kepada debitur tidak memperoleh suatu
perlindungan hukum. Dengan demikian rasanya perlu ditelaah lebih lanjut
mengenai dasar dicetuskannya putusan pada hal-hal tersebut.
- Rumusan Masalah
- Apakah yang dimaksud dengan perbuatan melawan hokum dalam konteks hokum perdata?
- Apa yang menjadi dasar putusan Hakim dalam membatalkan Hak Tanggungan yang disebabkan oleh batalnya jual beli obyek Hak Tanggungan yang diperoleh secara melawan hukum
BAB
II
PEMBAHASAN
- Perbuatan Hukum Dalam Konteks Perdata
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad)
dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam
Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi
Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Menurut Rosa Agustina, dalam
bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia
(2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai
melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
- Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
- Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
- Bertentangan dengan kesusilaan
- Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Perbedaan
perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum
Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang
bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Munir Fuady dalam
bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan
PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:
“Hanya
saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan
melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum
publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar
(disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan
melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
Dalam
hal ini, Tergugat 1 telah melakukan perbuatan melawan hokum yang menyebabkan
kerugian materiil kepada penggugat yaitu dengan mengajak penggugat yang awam
hokum untuk melakukan perjanjian jual-beli pura-pura di depan Notaris, tanpa
sepengetahuan penggugat, SHM tersebut dibalik nama menjadi nama Tergugat 1 dan
kemudian dijaminkan kepada tergugat 2, Penggugat dalam permohonan kasasinya
menjelaskan dalil-dalil permohonan bahwa pengadilan Negeri dan Tinggi yang
memutus menolak gugatan Penggugat teraebut mengabaikan bukti berupa Surat
Persetujuan yang isisnya antara lain bahwa jual-beli tanah sengketa berdasarkan
akta PPAT nomor 93/30/CRM/V/1996 tertanggal 07 mei 1996 adalah ‘tidak benar’
dan ‘batal demi hukum’ dan tanah sengketa adalah sepenuhnya milik penggugat
dengan demikian pula hutang penggugat kepada pihak tergugat 1 telah dinyatakan
lunas, dan akta Legalisasi Notaris, yang isinya antara lain bahwa hubungan
hokum antara penggugat dengan tergugat 1 dalam hal ini hutang-piutang
dinyatakan selesai; karenanya tergugat 1 berkewajiban untuk mngembalikan
sertifikat hak milik nomor 668/Gambar Situasi nomor 6487/1996 tertanggal 01
agustus 1996 yang telah dibalik nama menjadi atas nama tergugat 1 dengan tanpa
syarat dan dalam keadaan baik kepada penggugat selaku pemiliknya yang sah dan
antara penggugat dengan tergugat 1 masing-masing sama-sama menyatakan bahwa
akta jual-beli nomor 93/30/CRM/5/1996 tertanggal 7 mei 1996 adalah akta
jual-beli tanah sengketa yang seharusnya batal demi hukum.
Pasal 1365 KUHPerdata memberikan beberapa jenis
penuntutan, yaitu:
- ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang
- ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian pada keadaan semula
- pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hokum
- larangan untuk melakukan suatu perbuatan
- meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hokum
- pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki
Ganti rugi menurut Pasal 1246 KUHPerdata
memperincikan ke dalam 3 kategori yaitu:
- biaya, artinya setiap cost yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi.
- Kerugian, artinya keadaan merosotnya (berkurangnya) nilai kekayaan Kreditor sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi dari pihak Debitor.
- Bunga, adalah keuntungan yang seharusnys diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak Kreditor, dikarenakan adanya tindakan wanprestasi dari pihak Kreditor.
Kerugian yang timbul karena adanya perbuatan
melawan hukum menyebabkan adanya pembebanan kewajiban kepada pelaku untuk
memberikan ganti rugi kepada penderita adalah sedapat mungkin mengembalikan ke
keadaan semula yakni sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, maka menurut
undang-undang dan yurisprudensi dikenal berbagai macam penggantian kerugian
yang dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata oleh penderita, sebagai
upaya untuk mengganti kerugian maupun pemulihan kehormatan.
Macam kerugian tersebut yaitu:
- ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan
- ganti kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadan semula
- pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum
- dilarang dilakukannya suatu perbuatan
- pengumuman dalam putusan hakim.
Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan
termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada
pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut
harus juga dinilai dari sudut pandang
kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan
pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat
menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan
kerugian tadi sesuai atau tidak dengan
kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang
dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.
- Dasar putusan Hakim dalam membatalkan Hak Tanggungan yang disebabkan oleh batalnya jual-beli obyek Hak Tanggungan yang diperoleh secara melawan hokum.
Majelis Hakim tidak memberikan alasan dan dasar
putusan tentang pembatalan Akta Pengakuan Hutang, Akta Kuasa Memasang Hak
Tanggungan, Akta Hak Tanggungan serta Sertifikat Hak Tanggungannya ditinjau
dari pertimbangan hukum dalam putusan kasasinya. Dalam pertimbangan hukumnya,
Majelis Hakim hanya memberikan alasan dan dasar putusan tentang pembatalan Akta
Jual Beli yang telah dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat I yaitu bahwa akta
tersebut hanya bersifat formalitas saja, sebagaimana dituangkan dalam Surat
Perjanjian tanggal 1 April 1999 (bukti P-I dan P-II) adalah berupa perjanjian pinjam
meminjam uang sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah)
dengan jaminan Sertifikat Tanah No. 668 milik Penggugat dan bahwa tindakan
Tergugat I yang telah melakukan balik nama Sertifikat Tanah No. 668 dari nama
Penggugat menjadi Tergugat I dan telah menjaminkannya kepada Tergugat II adalah
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, yang menjadi dasar putusan Majelis
Hakim dalam membatalkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam perkara tersebut
adalah berdasarkan adanya unsur kepura-puraan dalam peristiwa jual beli obyek
Hak Tanggungan antara Juliati Rahayu sebagai Penggugat dan Koesnoto sebagai
Tergugat I.
Di sini, hakim tidak memberikan dasar dan alasan
yang jelas dalam membatalkan Hak Tanggungannya. Hakim menganggap bahwa
pembatalan Hak Tanggungan tersebut karena obyek jaminannya adalah bukan milik
debitur. Walaupun Akta Jual Beli No. 93/30/CRM/V/1996 tertanggal 7 Mei 1996
yang dibuat di hadapan Notaris/ PPAT Irine Manibuy, S.H. terkandung unsur
perbuatan pura-pura ( schjn handeling ) tetapi tata cara peralihan hak atas
tanah sengketa tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (1) dan (2) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997.
Begitu pula dengan penerbitan Sertifikat Hak Milik
No. 668/Cerme Kidul tertanggal 6 September 1996, sebagaimana diuraikan dalam
Gambar Situasi No. 6487/1996 tertanggal 1 Agustus 1996 tercatat nama pemegang
hak : Koesnoto sebagai pengganti Sertifikat Hak Milik No. 194/Cerme Kidul
tercatat pemegang hak : Juliati Rahayu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Gresik telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan, yaitu: (a)
Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, (b) PP No. 10 Tahun 1961 jo PP No. 24
Tahun 1997.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi yang diajukan
oleh Tergugat II dalam hal ini adalah Bank Duta Cabang Surabaya, Irine Manibuy,
S.H. menyatakan bahwa benar Penggugat dengan didampingi dan atas persetujuan
suaminya, pada tanggal 7 Mei 1996 telah datang kepada saksi selaku Notaris/
PPAT untuk melakukan transaksi jual beli dengan Tergugat I atas sebidang tanah
yang di atasnya berdiri sebuah bangunan dengan luas lebih kurang 669 meter
persegi, No 194/ Gambar situasi No. 125/1983 yang terletak di Desa Cerme Kidul,
Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik dan pada saat dilakukan transaksi
tersebut, baik Penggugat maupun Suaminya dan Tergugat I dalam keadaan bebas
untuk mengemukakan pendapatnya.
Bahwa dari keterangan saksi tersebut, terbukti
pada saat dilakukan transaksi (jual beli) tanah tersebut tidak terdapat adanya
paksaan ataupun tekanan dari masing-masing pihak oleh karena pada saat tersebut
kedua belah pihak dalam keadaan sehat jasmani, ditambah pula baik Penggugat
maupun Suaminya bukan orang yang tidak mengerti baca tulis, oleh karena
Penggugat sebagai seorang guru dan Suaminya sebagai seorang pegawai negeri
meskipun dengan alasan awam hukum, tentunya apa yang dikemukakan di hadapan
Notaris/ PPAT telah dimengerti akan akibat hukumnya oleh karena Notaris/ PPAT
tugasnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh Penggugat selaku penjual dan
Tergugat I selaku pembeli, tetapi Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki
kebenaran materiil dari apa yang dikemukakannya.
Selain hal tersebut, baik Penggugat maupun
Tergugat I sebelum menandatangani Akta Jual Beli tersebut, isi dari Akta
tersebut oleh Notaris telah dibacakan dan dimengerti kedua belah pihak.
Begitu pula dengan prosedur pemberian kredit antara Tergugat II sebagai
kreditur dan Tergugat I sebagai debitur berdasarkan Akta Pengakuan Hutang
dengan Pemberian Hak Tanggungan No. 4/ 1996 dan Akta Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan No. 5/ 1996 yang dibuat di hadapan Haji Abdul Wahib Zainal,
S.H., Notaris di Surabaya, sah menurut hukum karena telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sehingga mempunyai kekuatan mengikat kedua
belah pihak sesuai ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Bab IX Pasal 50 Ayat (1)
tentang Putusan Pengadilan disebutkan bahwa: “Putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 1842 K/Pdt/2003, yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah karena Akta
Jual Beli tersebut hanya bersifat formalitas dan merupakan perjanjian pinjam
meminjam uang sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah)
dengan jaminan Sertifikat Tanah No. 668 milik Penggugat dan tindakan Tergugat I
yang telah melakukan balik nama Sertifikat Tanah no. 668 tersebut dari nama
Penggugat menjadi Tergugat I dan telah menjaminkannya kepada Tergugat II yang
terbukti bahwa obyek jaminan bukan milik dari debitur, adalah perbuatan melawan
hukum.
Dalam pertimbangannya, Hakim tidak mencantumkan
bahwa perbuatan melawan hukum tersebut tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Begitu juga dengan pembatalan Akta Jual Belinya, Hakim tidak memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 68A Ayat
(1) dan (2) juga ditegaskan bahwa (1) Dalam memeriksa dan memutus perkara,
hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, (2)
Penetapan dan putusan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasar pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan
benar. Jadi berdasarkan kedua Undang-Undang di atas, Putusan Mahkamah Agung RI
No. 1842 K/Pdt/2003 didasari oleh alasan dan dasar bahwa karena Akta Jual
Beli yang menjadi obyek Hak Tanggungan hanya bersifat formalitas saja dan
sebenarnya adalah perjanjian pinjam meminjam uang sebesar Rp. 4.500.000,-
(empat juta lima ratus ribu rupiah). Pertimbangan tersebut membatalkan Akta
Jual Beli No. 93/30/CRM/V/1996 tertanggal 7 Mei 1996 berikut membatalkan pula
Akta Pemberian Hak Tanggungannya tetapi tidak memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tentang pembatalan Akta Jual
Beli dan Hak Tanggungan tersebut.
Putusan Hakim yang ideal ialah apabila mengandung
unsur-unsur keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), dan kepastian
hukum ( rechtssicherheit ) secara proporsional (Radbruch, 1946:30). Suatu
putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan
maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Pada praktiknya, dapat
dikatakan tidak mungkin untuk menghadirkan ketiga unsur Ideedes Recht itu
secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau konflik
antara ketiga unsur itu. Agar dalam menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak
menyimpang dari peraturan hukum, hakim harus mengusahakan terciptanya
keseimbangan antara ketiga unsur Ideedes Recht tersebut.
Untuk mengusahakan adanya keseimbangan antara
tiga unsur Ideedes Recht secara proporsional dalam suatu putusan tidaklah
mudah. Kalau keadilannya lebih dipentingkan, kepastian hukumnya dikorbankan.
Kalau kepastian hukumnya didahulukan, keadilannya dikorbankan.Dalam hal terjadi konflik antara
keadilan dan kepastian hukum, maka hakim berdasarkan Freies Ermessennya
(kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau negara.
Di sini hakim harus lebih mengutamakan
kepentingan pihak yang bersangkutan daripada kepastian hukum, tetapi tidak
bertentangan dengan kesusilaan, kepentingan umum atau negara. Pemikiran ini
dikenal sebagai problem oriented thinking. Di sini hakim lebih memperhatikan
kepentingan atau masalah yang dihadapi pihak yang bersangkutan daripada
hukumnya. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar Undang- Undang, tidak boleh
melanggar sistem, harus berpikir system oriented . Akan tetapi, kalau terjadi
konflik antara kepastian hukum dan keadilan dalam keadaan tertentu, kepentingan
pihak harus diutamakan.
Majelis Hakim dalam memutuskan perkara di atas
tidak memberikan keadilan bagi pihak bank selaku kreditur yang beritikad baik.
Bank dalam memberikan piutangnya kepada debitur telah melaksanakan prosedur
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu melalui lembaga jaminan
Hak Tanggungan. Jika Majelis Hakim hanya mempertimbangkan adanya unsur kepura-
puraan dalam proses jual beli yang dijadikan obyek Hak Tanggungan, maka hal ini
dapat dijadikan modus untuk membobol bank oleh debitur yang tidak beritikad
baik.
Penulis sependapat dengan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia
dalam membatalkan Akta Jual Beli antara Penggugat dan Tergugat karena terbukti
adanya unsur kepura-puraan (schn handeling). Akan tetapi, Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 1842 K/Pdt/2003 kurang bijaksana karena Majelis
Hakim pada tingkat kasasi tidak berlaku adil terhadap pihak Bank dalam kasus
ini adalah Bank Duta, yang telah beritikad baik memberikan kredit terhadap
debitur dengan prosedur pemberian kredit melalui lembaga jaminan Hak
Tanggungan. Kepastian hukum prosedur pemberian kredit tersebut jelas, sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak bank yang beritikad baik
memberikan kredit kepada debitur tidak mendapatkan suatu perlindungan hukum
dari putusan hakim yang membatalkan Hak Tanggungannya. Hal ini bisa saja
direncanakan oleh debitur yang tidak beritikad baik untuk melakukan pembobolan
terhadap bank dengan melakukan jual beli pura-pura.
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus
perkara antara Penggugat dan Tergugat tersebut, berdasarkan Freies Ermessen
(kebebasannya) lebih memilih keadilan bagi pemilik sertifikat tetapi tidak
memperhatikan keadilan bagi pihak bank selaku kreditur yang beritikad baik
dengan mengabaikan kepastian hukumnya. Hal ini nampak dengan dikabulkannya
gugatan Penggugat dan dibatalkannya Akta Jual Beli, Akta Pengakuan Hutang, Akta
Kuasa Memasang Hak Tanggungan, Akta Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak
Tanggungan walaupun ditilik dari prosedur pembuatan seluruh akta-akta tersebut
adalah sah menurut hukum.
BAB
III
PENUTUP
- Apa yang telah dilakukan tergugat 1 kepada penggugat adalah perbuatan yang digolongkan perbuatan melawan hokum, dimana penggugat menderita kerugian baik materiil dan immaterial, sehingga dalam gugatannya sudah tepat dengan menyatakan bahwa penggugat 1 telah melakukan perbuatan melawan hokum. Tergugat 2 tidak melakukan perbuatan melawan hokum, akan tetapi dikarenakan terancamnya tanah dan rumah sengketa milik penggugat yang nantinya dapat disita dan dijual kepada pihak lain oleh tergugat 2, maka penggugat turut meminta pembatalan atas akta pengakuan hutang, akta hak tanggungan dan sertifikat hak tanggungan.
- Akan tetapi putusan Mahkamah Agung yang turut membatalkan Akta Hak Tanggungan yang timbul akibat perbuatan dari tergugat 1 merugikan Tergugat 2. Jika hakim membatalkan Akta Hak Tanggungan dengan pertimbangan karena adanya unsur kepura-puraan dalam Akta Jual Beli Obyek Jaminannya maka dikhawatirkan hal ini dapat dijadikan modus oleh debitur nakal untuk membobol bank, karena orang dapat melakukan jual beli pura-pura dan kemudian dijadikan obyek jaminan di bank. Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit dan telah beritikad baik tidak memperoleh suatu perlindungan hukum walaupun telah melakukan pengikatan obyek Hak Tanggungan berdasarkan UUHT No. 4 Tahun 1996 melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.Putusan hakim yang demikian sangat merugikan pihak bank dan tidak berlaku adil bagi pihak bank.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1842/K/Pdt/2003
Munir
Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan
Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005)
Rosa
Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia (2003)
SUMBER ;
https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/analisa-putusan-mahkamah-agung-republik-indonesia-nomor-1842kpdt2003-tentang-hak-tanggungan/
GAME CASINO TERBARU WM CASINO ! BET HANYA 5RIBU SAJA ANDA BISA MERAIH
BalasHapusKEUNTUNGAN JUTAAN RUPIAH JIKA BERUNTUNG! MAINKAN SEKARANG JUGA~
INFOMASI LEBIH LANJUT SILAKAN KUNJUNGI WEBSITE RESMI KAMI
DI WWW. BOLAVITA .CLUB
ATAU BISA CHAT KAMI DI:
WA : 0812-2222-995
PENDAFTARAN GRATIS !!!