RANCANGAN UU LELANG
UNDANG- UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.....TAHUN......
TENTANG
LELANG
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa
dalam kehidupan masyarakat yang dinamis diperlukan penataan ulang peraturan
lelang yang menyeluruh dan terpadu, yang mencerminkan keterbukaan, efisiensi
dan akuntabilitas, memberikan keadilan serta menjamin kepastian hukum, dan
dapat digunakan untuk mendukung perekonomian yang sehat dan dapat
diimplementasikan oleh masyarakat sebagai sarana menjual barang miliknya dengan
harga yang optimal, mendukung penegakan hukum, sarana pendukung tertib
pengelolaan dan pengamanan barang milik Negara/Daerah dan/atau Kekayaan Negara
yang dipisahkan;
b. bahwa Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement,
Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali
diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) yang merupakan produk hukum Hindia
Belanda tidak dapat lagi memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Lelang;
Mengingat:
1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ay at (1), Pasal 23 A, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LELANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka
untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin
meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan
pengumuman lelang.
2. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat
dijual secara lelang.
3. Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan
kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun
peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak ketiga yang berkepentingan.
4. Auksioner adalah pejabat umum yang berwenang
untukmelaksanakan Lelang dan membuat risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
5. Penjual adalah perorangan atau badan
hukum/usaha yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian
berwenang untuk menjual barang secara Lelang.
6. Pemilik Barang adalah perorangan atau badan
hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang.
7. Peserta Lelang adalah orang yang bertindak
atas namanya sendiri atau sebagai kuasa dari pihak lain, yang memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menawar barang yang dilelang.
8. Lelang Eksekusi adalah lelang untuk
melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen yang dipersamakan dengan itu
atau dokumen - dokumen lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dalam rangka penegakan hukum.
9. Lelang Non Eksekusi adalah lelang untuk
melaksanakan penjualan barang yang dikuasai/dimiliki oleh Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam rangka penghapusan, dan
lelang sukarela terhadap barang milik perorangan atau badan.
10. Nilai Limit
adalah nilai minimal barang yang dilelang dan ditetapkan oleh Penjual untuk
dicapai dalam suatu Pelelangan.
11. Uang Jaminan Lelang adalah uang yang disetor
kepada Kantor Lelang atau Auksioner Negara oleh calon Peserta Lelang sebelum
pelaksanaan lelang sebagai syarat menjadi Peserta Lelang.
12. Pembeli adalah pemenang Lelang yang disahkan
oleh Auksioner atas persetujuan Penjual.
13. Bea Lelang
adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipungut atas suatu pelaksanaan
lelang.
14. Harga Lelang
adalah harga penawaran tertinggi termasuk Bea Lelang yang harus dibayar oleh
Pembeli, tidak termasuk pungutan lainnya yang sah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
15. Hasil Bersih Lelang adalah Harga Lelang
setelah dikurangi pungutan sah sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
16. Pengawas
Lelang adalah pejabat Departemen Keuangan Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Menteri untuk
membina dan mengawasi pelaksanaan lelang, Auksioner, Kantor Lelang, dan Balai
Lelang.
17. Risalah
Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang merupakan akta otentik dan
dibuat oleh Auksioner menurut bentuk dan tata cara yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
18. Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah
Lelang berikut lampirannya yang merupakan dokumen/arsip negara.
19. Salinan
Risalah Lelang adalah salinan kata demi kata dari seluruh Risalah Lelang dan
pada bagian bawah tercantum frasa "Diberikan Sebagai Salinan Kepada
Penjual/Dinas".
20. Grosse Risalah Lelang adalah salinan Risalah
Lelang yang berkepala "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
21. Kutipan Risalah Lelang adalah kutipan kata
demi kata dari satu atau beberapa bagian Risalah Lelang dan pada bagian bawah
tercantum frasa "Diberikan Sebagai Kutipan Kepada Pembeli", yang
dapat berfungsi sebagai dasar peralihan hak.
22. Protokol Lelang Auksioner Negara adalah
kumpulan dokumen lelang yang terdiri dari Minuta Risalah Lelang, semua buku
yang dibuat oleh Auksioner Negara yang merupakan dokumen/arsip negara yang
harus disimpan dan dipelihara Auksioner Negara.
23. Protokol
Lelang Auksioner Swasta adalah kumpulan dokumen lelang yang terdiri dari Minuta
Risalah Lelang, semua buku yang dibuat oleh Auksioner Swasta dan tembusan
laporan administrasi yang dibuat oleh Balai Lelang yang merupakan dokumen/arsip
negara yang harus disimpan dan dipelihara Auksioner Swasta.
24. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Pasal 2
(1) Setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan
oleh dan/atau dihadapan Auksioner, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(2) Pelaksanaan lelang oleh orang atau Auksioner
yang tidak berwenang batal karena hukum.
(3) Pelaksanaan lelang yang tidak tunduk pada
Undang-Undang ini adalah:
a. lelang
Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
b. lelang
Surat Utang Negara (SUN);
c. lelang
ikan segar pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI);
d. lelang
alat-alat perlengkapan perang (mesiu, senjata api, dan sejenisnya);
e. lelang
amal;
f. lelang
penyerahan barang kemudian (future trading)',
g. lelang
lainnya yang diatur oleh Undang-Undang.
Pasal 3
(1) Setiap pelaksanaan lelang harus dihadiri oleh
Auksioner, Penjual dan Peserta Lelang,
(2) Menyimpang dari ketentuan pada ayat(1),
pelaksanaan lelang yang penawarannya menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi, Penjual dan Peserta Lelang tidak harus hadir di tempat pelaksanaan
lelang.
(3) Setiap pelaksanaan lelang harus diikuti oleh
paling sedikit 2 (dua) Peserta Lelang, kecuali untuk lelang ulang.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai lelang melalui teknologi informasi dan komunikasi diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 4
Semua
barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud,
yang dimiliki atau dikuasai Penjual, dapat dilelang, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Lelang dikelompokan menjadi 2 (dua):
a. Lelang
Eksekusi;
b. Lelang
Non Eksekusi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengelompokan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB II
PENYELENGGARA LELANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Penyelenggara Lelang adalah Kantor Lelang Negara dan Balai Lelang.
Pasal 7
(1) Penyelenggara
Lelang wajib menyelenggarakan administrasi perkantoran dan membuat laporan yang
berkaitan dengan pelaksanaan lelang.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyelenggaraan administrasi perkantoran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Kantor Lelang
Negara
Pasal 8
(1) Kantor Lelang Negara merupakan Kantor
Pemerintah yang berwenang menyelenggarakan Lelang Eksekusi oleh Auksioner
Negara.
(2) Bentuk, nomenklatur, susunan organisasi
dan wilayah kerja Kantor Lelang Negara sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Balai Lelang
Pasal 9
Balai
Lelang merupakan Kantor Swasta yang berwenang menyelenggarakan Lelang Non
Eksekusi.
Pasal 10
Balai
Lelang merupakan badan hukum yang didirikan oleh swasta nasional, atau patungan
swasta nasional dengan swasta asing, yang khusus didirikan untuk usaha jasa
penyelenggaraan lelang.
Pasal 11
Izin Operasional Balai Lelang diterbitkan dan dicabut oleh
Menteri.
Pasal 12
Wilayah kerja Balai Lelang meliputi seluruh Indonesia.
Pasal 13
(1) Kegiatan usaha Balai Lelang meliputi:
a. Jasa Pralelang
b. Jasa Pelaksanaan Lelang
c. Jasa Pascalelang
(2) Balai Lelang dapat memberikan Jasa
Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang, dan/atau Jasa Pascalelang untuk Lelang Non
Eksekusi yang dilaksanakan Auksioner Swasta.
(3) Balai Lelang dapat memberikan Jasa
Pralelang dan/atau Jasa Pascalelang untuk Lelang yang diselenggarakan oleh
Kantor Lelang Negara.
Pasal 14
(1) Jasa Pralelang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, diberikan kepada Penjual/Pemilik Barang yang meliputi:
a. menerima
dan mengumpulkan barang dari pemilik barang untuk dilelang;
b. meneliti dokumen barang, mengolah data,
memilah barang, memberikan label;
c. meningkatkan
kualitas barang yang akan dilelang;
d. menguji
kualitas dan menilai harga barang;
e. menyimpan
barang yang akan dilelang;
f. mengatur
asuransi barang yang akan dilelang; dan atau
g. memasarkan barang dengan cara-cara efektif,
terarah serta menarik baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara
pemasaran lainnya.
(2) Balai Lelang dalam memberikan Jasa Pralelang
harus mengadakan perjanjian dengan pemilik barang mengenai syarat-syarat
penjualan dan imbalan jasa pralelang.
(3) Imbalan jasa pralelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling banyak 10 % (sepuluh persen) dari Harga Lelang dan dibayar
oleh Penjual/Pemilik Barang.
Pasal 15
Balai
Lelang dalam menyelenggarakan Jasa Pelaksanaan Lelang wajib mengadakan
perikatan perdata dengan Auksioner Swasta untuk melaksanakan Lelang Non
Eksekusi.
Pasal 16
(1) Jasa Pasca
lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ay at (1) dapat diberikan kepada
Pembeli yang meliputi:
a. pengaturan sumber pembiayaan untuk memenuhi
pembayaran hasil lelang;
b. pengaturan pengiriman barang; dan
c. pengurusan balik nama barang yang dibeli
atas nama Pembeli.
(2) Dalam memberikan jasa Pascalelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Balai Lelang memungut imbalan jasa kepada Pembeli
sesuai dengan kesepakatan antara Pembeli dengan Balai Lelang.
Pasal 17
Dalam melakukan Jasa Penyelenggaraan Ldang, Balai Lelang dilarang
:
a. menjual selain dengan cara lelang terhadap
barang yang dikuasakan kepadanya untuk dijual secara lelang;
b. membeli sendiri baik langsung maupun tidak
langsung barang yang dikuasakan kepadanya untuk dijual secara lelang;
c. melakukan kegiatan usaha di luar izin yang
diberikan; dan/atau
d. menyelenggarakan lelang di luar
kewenangannya.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai Balai Lelang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PELAKSANAAN LELANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
(1) Perorangan
atau badan hukum/usaha yang akan menjual barangnya secara Lelang mengajukan
permohonan lelang kepada Penyelenggara Lelang sesuai dengan kewenangannya.
(2) Permohonan lelang sebagaimana dimaksud pada ay
at (1) diajukan secara tertulis disertai dokumen persyaratan lelang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen
persyaratan lelang diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 20
Penyelenggara Lelang tidak boleh menolak permohonan Lelang yang
telah memenuhi persyaratan Lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Waktu dan Tempat Lelang
Pasal 21
(1) Kanior Lelang Negara dan Balai Lelang
menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan lelang.
(2) Kantor Lelang Negara menetapkan waktu dan
tempat pelaksanaan lelang paling lambat 3 (tiga) hari setelah dokumen
persyaratan Lelang lengkap.
(3) Balai Lelang menetapkan waktu dan tempat
pelaksanaan lelang sesuai kesepakatan dengan Penjual/Pemilik Barang.
(4) Setiap pelaksanaan lelang harus dilaksanakan
pada hari dan jam kerja kecuali untuk Lelang Non Eksekusi.
Pasal 22
(1) Penjual dapat mengajukan syarat-syarat
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
antara lain:
a. jangka waktu bagi calon Pembeli untuk
melihat, meneliti secara fisik dan mendapat penjelasan barang yang akan
dilelang; dan/atau
b. jangka waktu pengambilan/penyerahan barang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat
yang diajukan oleh Penjual diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Lelang dilaksanakan di wilayah jabatan
Auksioner tempat barang berada.
(2) Lelang barang yang berada di luar wilayah
jabatan Auksioner dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangan yang
berlaku.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu dan tempat lelang diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pembatalan Sebelum Lelang
Pasal 25
(1) Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat
dibatalkan dengan putusan atau penetapan Peradilan atau atas permintaan
Penjual.
(2) Pembatalan lelang atas permintaan Penjual
disampaikan secara tertulis dan diterima oleh Auksioner selambat-lambatnya 3
(tiga) harikerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pembatalan lelang di luar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Auksioner, dalam hal:
a. surat keterangan tanah belum ada;
b. objek lelang dalam status sita pidana;
c. terdapat perbedaan data pada dokumen
persyaratan lelang;
d. asli dokumen kepemilikan tidak diserahkan
Penjual paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali
Lelang Eksekusi yang asli dokumen kepemilikannya tidak dikuasai oleh Penjual;
e. keadaan memaksa;
f. pelaksanaan lelang pertama diikuti kurang
dari 2 (dua) Peserta Lelang;
g. objek lelang dalam status sita jaminan/sita
eksekusi dalam hal Lelang Non Eksekusi; atau
h. penjual tidak menguasai barang bergerak yang
dilelang.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), peserta lelang yang telah
menyetorkan Uang Jaminan Lelang tidak berhak menuntut ganti rugi.
Bagian Keempat
Pengumuman Lelang
Pasal 26
(1) Setiap pelaksanaan lelang harus didahului
dengan Pengumuman Lelang oleh Penjual melalui surat kabar harian, atau tempelan yang mudah
dibaca oleh umum.
(2) Penjual dapat menambah pengumuman lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui teknologi informasi dan komunikasi,
selebaran, undangan.
(3) Pengumuman Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas Penjual;
b. hari, tanggal, waktu dan tempat lelang
dilaksanakan;
c. jenis dan jumlah barang;
d. lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah,
dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah
dan atau bangunan;
e. jangka waktu melihat barang yang akan
dilelang;
f. Uang Jaminan Lelang meliputi besaran,
jangka waktu dan cara penyetoran, kecuali Penjual tidak mensyaratkan adanya
Uang Jaminan Lelang dalam Lelang Non Eksekusi;
g. jangka waktu pembayaran Harga Lelang; dan
h. nilai Limit, kecuali tidak dikehendaki oleh
Penjual.
Pasal 27
(1) Pengumuman Lelang Eksekusi dilakukan :
a. Untuk barang bergerak 1 (satu) kal:', melalui
surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum
pelaksanaan lelang.
b. Untuk barang tidak bergerak 2 (dua) kali
berselang 15 (lima belas) hari, pengumuman kedua dilakukan melalui surat kabar harian 14 (empat belas) hari
sebelum pelaksanaan lelang.
c. Pengumuman pertama sebagaimana dimaksud pada
huruf b diperkenankan tidak menggunakan Surat Kabar Harian, tetapi dengan cara
pengumuman melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum .
d. Dalam hal barang bergerak dan barang tidak
bergerak dilelang bersama-sama dalam satu paket berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
(2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pengumuman Lelang Eksekusi untuk barang bergerak yang lekas
rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan barang tersebut
terlalu tinggi tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan
lelang.
(3) Pengumuman Lelang Non Eksekusi untuk barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum
pelaksanaan lelang.
Pasal 28
(1) Pengumuman Lelang Eksekusi dan Non Eksekusi
untuk barang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp 20.000.000,- (dua
puluh juta rupiah) dalam satu kali lelang, dapat dilakukan 1 (satu) kali melalui
tempelan yang mudah dibaca oleh umum, kecuali untuk tanah dan/atau bangunan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan
besaran Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan
Perraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Dalam hal Lelang Eksekusi telah dilaksanakan
dan akan dilelang ulang, Pengumuman Lelang ulang dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Pengumuman Lelang ulang dilakukan 1 (satu)
kali melalui surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang,
apabila waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh)
hari dari pelaksanaan lelang terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir;
b. Pengumuman Lelang ulang berlaku ketentuan
sebagaimana Lelang Eksekusi yang pertama kali, apabila waktu pelaksanaan lelang
ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang
terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir;
c. Pengumuman Lelang ulang sebagaimana dimaksud
pada huruf a menunjuk Pengumuman Lelang terakhir.
(2) Dalam hal Lelang Non Eksekusi telah
dilaksanakan dan akan dilelang ulang, Pengumuman Lelang ulang dilakukan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
Pasal 30
(1) Dalam hal terdapat kekeliruan atas Pengumuman
Lelang yang sudah diterbitkan, harus segera diralat.
(2) Ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. menaikkan besarnya Uang Jaminan;
b. memajukan jam dan tanggal pelaksanaan lelang;
c. memajukan batas waktu penyetoran Uang
Jaminan; atau
d. memindahkan lokasi lelang di luar kota tempat pelaksanaan lelang semula.
(3) Ralat Pengumuman Lelang diumumkan melalui surat kabar hariari atau media yang sama
dengan menunjuk pengumuman sebelumnya dan dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum pelaksanaan lelang.
(4) Materi ralat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Lelang yang bersangkutan
sebelum ralat pengumuman lelang dilaksanakan.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman lelang diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Uang Jaminan Lelang
Pasal 32
(1) Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan adanya
Uang Jaminan Lelang, kecuali Penjual tidak mensyaratkan adanya Uang Jaminan
Lelang dalam Lelang Non Eksekusi.
(2) Uang Jaminan Lelang harus disetor oleh
Peserta Lelang kepada Penyelenggara Lelang atau Auksioner.
(3) Besaran Uang Jaminan Lelang ditentukan oleh
Penjual paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dan paling banyak 50 % (lima
puluh persen) dari perkiraan Nilai Limit.
(4) Dalam hal tidak ada Nilai Limit, besaran Uang
Jaminan Lelang ditetapkan scsuai kehendak Penjual.
Pasal 33
(1) Uang Jaminan Lelang dari Peserta Lelang yang
ditunjuk sebagai Pembeli, diperhitungkan dengan pelunasan seluruh kewajibannya
sesuai dengan ketentuan lelang
(2) Uang Jaminan Lelang dari Peserta Lelang yang
tidak ditunjuk sebagai Pembeli dikembalikan seluruhnya tanpa potongan.
Pasal 34
Uang Jaminan Lelang dari Pembeli yang tidak melunasi
pembayaran Harga Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi) disetorkan ke Kas Negara
dan/atau Penjual, kecuali untuk Lelang Non Eksekusi yang diselenggarakan oleh
Balai Lelang atau dilaksanakan oleh Auksioner Swasta disetorkan kepada yang
berhak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai Uang Jaminan Lelang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Nilai Limit
Pasal 36
(1) Setiap pelaksanaan lelang harus ada Nilai
Limit, kecuali Lelang Non Eksekusi terhadap barang bergerak.
(2) Nilai Limit atas barang yang akan dilelang
ditetapkan oleh dan menjadi tanggung jawab Penjual.
(3) Nilai Limit atas barang yang akan dilelang
ditetapkan oleh Penjual berdasarkan mekanisme penilaian yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Nilai Limit dapat dicantumkan dalam
Pengumuman Lelang.
(5) Nilai Limit diserahkan kepada Auksioner
paling lambat pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.
(6) Nilai Limit tidak boleh diubah oleh Penjual
dalam satu pelaksanaan lelang pada hari yang sama.
Bagian Ketujuh
Penawaran Lelang
Pasal 37
(1) Penawaran lelang dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung dengan cara :
a. lisan, semakin meningkat atau menurun;
b. tertulis; atau
c. tertulis dilanjutkan dengan lisan.
(2) Cara penawaran lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan oleh Penjual.
(3) Dalam hal Penjual tidak menentukan cara
penawaran lelang, cara penawaran lelang ditentukan oleh Auksioner.
Pasal 38
Penawaran yang telah disampaikan kepada Auksioner tidak dapat
diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang.
Pasal 39
Dalam hal terdapat beberapa Peserta Lelang yang mengajukan
penawaran tertinggi secara lisan semakin menurun atau tertulis dengan nilai
yang sama dan mencapai atau melampaui Nilai Limit, Auksioner berhak menentukan
Pemenang Lelang dengan cara :
a. melakukan penawaran lanjutan secara lisan
naik-naik atau tertulis yang hanya diikuti oleh mereka yang melakukan penawaran
tertinggi yang sama; atau
b. melakukan pengundian yang hanya diikuti oleh
mereka yang melakukan penawaran tertinggi yang sama, apabila ketentuan sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak dapat dilaksanakan.
Pasal 40
(1) Dalam pelaksanaan lelang dengan cara
penawaran lisan, Auksioner dapat dibantu oleh Pemandu Lelang.
(2) PemanduLelang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertugas menjelaskandan ntenawarkan barang yang dilelang serta menunjuk
Pemenang Lelang.
(3) Pemandu Lelang dapat diusulkan Penjual dengan
Persetujuan Auksioner, atau dapat ditunjuk langsung oleh Auksioner.
Pasal 41
(1) Setiap orang dilarang mempengaruhi orang lain
dengan sengaja untuk tidak mengajukan penawaran atas barang yang dilelang,
dengan janji bahwa apabila ia disahkan sebagai Pembeli, akan mengalihkan haknya
kepada orang lain tersebut atau menentukan kembali pemilik barang yang dilelang
dengan cara apapun.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja mengancam
atau menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti lelang atau mengajukan
penawaran atas barang yang dilelang.
(3) Setiap orang dilarang dengan sengaja mengancam
atau menghalang-halangi Auksioner untuk melaksanakan lelang.
Pasal 42
(1) Termohon Eksekusi dapat menentukan urutan
penawaran barang yang akan dilelang.
(2) Dalam hal termohon eksekusi tidak menentukan
urutan barang yang akan dilelang, Auksioner menawarkan barang sesuai urutan
dalam Pengumuman Lelang.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran lelang diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Penjual/Pemilik Barang
Pasal 44
Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab terhadap keabsahan barang
yang dilelang dan dokumen persyaratan Lelang.
Pasal 45
(1) Pemilik Barang dapat menggunakan Jasa
Pralelang dan/atau Jasa Pascalelang oleh Balai Lelang dalam setiap pelaksanaan
Lelang Non Eksekusi.
(2) Penjual dalam Lelang Eksekusi dapat
menggunakan Jasa Pascalelang melalui Balai Lelang sepanjang tidak merugikan
Termohon Eksekusi.
Pasal 46
(1) Penjual/Pemilik Barang wajib menyerahkan asli
dokumen kepemilikan kepada Penyelenggara Lelang paling lambat 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan lelang.
(2) Penyelenggara Lelang wajib menyerahkan asli
dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada pembeli apabila
diminta oleh Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli
melunasi kewajibannya.
Pasal 47
Dalam hal yang dilelang barang bergerak, Penjual wajib menguasai
fisik barang bergerak yang akan dilelang.
Bagian Kesembilan
Pembeli
Pasal 48
(1) Peserta
Lelang dengan penawaran tertinggi yang telah mencapai atau melampaui Nilai
Limit ditetapkan sebagai Pemenang Lelang dan disahkan sebagai Pembeli oleh
Auksioner.
(2) Dalam hal pelaksanaan lelang tidak ada Nilai
Limit, Peserta Lelang dengan penawaran tertinggi ditetapkan sebagai Pemenang
Lelang dan disahkan sebagai Pembelioleh Auksioner.
Pasal 49
Auksioner, Penjual, Pemilik Barang, Pemandu Lelang, dan Penilai
yang terkait dengan pelaksanaan lelang, atau pihak lain yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilarang menjadi pembeli.
Pasal 50
(1) Pembeli yang tidak memenuhi kewajiban
pembayaran sesuai Undang-Undang ini dinyatakan wanprestasi oleh Auksioner.
(2) Pembeli wanprestasi sebagaimana dimaksud pada
ay at (1) pengesahannya sebagai pembeli dibatalkan oleh Auksioner.
(3) Dalam hal Pembeli wanprestasi, barang yang
dilelang dapat dilelang ulang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembeli
wanprestasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Bea Lelang dan Pembayaran Harga Lelang
Pasal 51
Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang, kecuali untuk
lelang tidak ada penawaran.
Pasal 52
Bea Lelang mempunyai hak mendahulu.
Pasal 53
Ketentuan mengenai besaran dan perubahan tarif Bea Lelang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Pembayaran Harga Lelang dilakukan secara
tunai oleh Pembeli kepada Penyelenggara Lelang/Auksioner selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
(2) Pengecualian jangka waktu pembayaran Harga
Lelang diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus dimintakan
persetujuan oleh Penjual kepada Menteri sebelum pelaksanaan lelang dilakukan.
(3) Dalam hal pengecualian jangka waktu pembayaran
Harga Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui harus dicantumkan
dalam Pengumuman Lelang.
(4) Setiap Pembayaran Harga Lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuat Kuitansi atau tanda bukti
pembayaran Harga Lelang oleh Penyelenggara Lelang/Auksioner.
Pasal 55
(1) Penyelenggara Lelang menyerahkan Hasil Bersih
Lelang kepada Penjual/Pemilik Barang selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
setelah pembayaran diterima.
(2) Penyelenggara Lelang menyetorkan Bea Lelang,
dan Pungutan Lain berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ke Kas
Negara, dalam waktu 2 (dua) hari kerja setelah pembayaran diterima
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemungutan, penyetoran dan pembayaran Harga Lelang, Hasil Bersih
Lelang, Bea Lelang diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesebelas
Perlindungan Pembeli
Pasal 57
Lelang yang telah dilaksanakan sesuai Undang-Undang ini tidak
dapat dibatalkan untuk melindungi kepentingan Pembeli yang beritikad baik,
kecuali dibatalkan dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
BAB IV
AUKSIONER
Bagian Kesatu
Pengangkatan, Pemberhentian dan Kewenangan
Pasal 58
Auksioner diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 59
(1) Auksioner dibedakan menjadi:
a. Auksioner Negara;
b. Auksioner Swasta.
(2) Auksioner Negara diangkat dari pegawai negeri
sipil untuk jabatan itu.
(3) Auksioner Swasta diangkat dari orang-orang
tertentu untuk jabatan itu.
(4) Orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berasal dari:
a. Notaris;
b. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
pernah menjadi Auksioner; atau
c. lulusan Pendidikan dan Pelatihan Auksioner
Swasta.
(5) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk diangkat
menjadi Auksioner Swasta disyaratkan lulus ujian profesi Auksioner yang
diselenggarakan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri.
Pasal 60
(1) Auksioner Negara berwenang melaksanakan
Lelang Eksekusi dalam wilayah jabatannya.
(2) Auksioner Swasta berwenang melaksanakan
Lelang Non Eksekusi dalam wilayah jabatannya melalui Balai Lelang.
(3) Auksioner Negara dapat melaksanakan Lelang
Non Eksekusi,dalam hal di wilayah jabatannya tidak terdapat Auksioner Swasta
dan/atau Balai Lelang/Cabang Balai Lelang yang berkedudukan.
Pasal 61
(1) Sebelum menjalankan jabatannya, Auksioner
wajib mengucapkan Sumpahatau Janji menurut agamanya dan di hadapan Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk.
(2) Bunyi Sumpah atau Janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan
sungguh-sungguh bahwa saya untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya,
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya,
akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
Dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-Undang,
serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji
bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan
akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Auksioner yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 62
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian Auksioner diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak, Kewajiban
dan Larangan
Pasal 63
Auksioner
berhak:
a. memimpin Lelang, melaksanakan lelang,
menghentikan sementara waktu dan melanjutkan
kembalipelaksanaanlelang,mengesahkanPembeli,danmembatalkanPembeliyang
wanprestasi; dan
b. membuat Minuta Risalah Lelang.
Pasal 64
Auksioner
berkewajiban:
a. bertindak jujur, mandiri, dan tidak berpihak;
b. meneliti kelengkapan dan kebenaran formal
dokumen persyaratan Lelang;
c. membuat dan menyimpan Minuta Risalah Lelang;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini;
e. membacakan bagian Kepala Risalah Lelang di
hadapan penjual dan peserta lelang kecuali lelang melalui teknologi informasi
dan komunikasi;
f. menjaga kelancaran pelaksanaan lelang;
g. menyerahkan Grosse Risalah Lelang, Salinan
Risalah Lelang dan Kutipan Risalah Lelang kepada yang berhak; dan
h. membuat Protokol Lelang dan menyimp mnya,
khusus untuk Auksioner Swasta.
Pasal 65
Auksioner dilarang:
a. menolak pelaksanaan Lelang yang telah
memenuhi persyaratan Lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
b. menjalankan jabatan di luar wilayah
jabatannya;
c. membeli barang yang dilelang di hadapannya
baik secara langsung maupun melalui perantaraan orang lain;
d. melaksanakan lelang eksekusi atas barang
miliknya atau milik orang yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan dirinya;
e. melaksanakan lelang diluar kewenangannya;
dan
f. merangkap jabatan sebagai pengurus Balai
Lelang.
Pasal 66
Auksioner dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara, Juru
Sita, Kurator, Panitera, Penyidik, Penilai, Pengacara/Advokat, atau jabatan
lain yang oleh peraturan perundangan dilarang dirangkap dengan jabatan
Auksioner.
Pasal 67
Auksioner melaksanakan lelang terhadap barang dalam kondisi apa
adanya.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan, Wilayah Jabatan,
Kantor Auksioner dan Formasi Jabatan
Pasal 68
Auksioner mempunyai tempat kedudukan di kabupaten atau kota dalam wilayah jabatannya.
Pasal 69
(1) Auksioner Negara mempunyai wilayah jabatan
sesuai dengan wilayah kerja Kantor Lelang Negara tempat kedudukannya.
(2)
Auksioner Swasta mempunyai wilayah
jabatan tertentu.
Pasal 70
(1) Auksioner Negara berkantor pada Kantor Lelang
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
(2) Auksioner Swasta wajib mempunyai hanya 1
(satu) kantor.
(3) Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus berada di tempat kedudukannya.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jabatan
Auksioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan kantor Auksioner Swasta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 72
(1) Menteri berwenang menentukan formasi jabatan
Auksioner di tempat kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi
Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pindah Wilayah Jabatan
Pasal 73
(1) Auksioner Swasta dapat mengajukan permohonan
pindah wilayah jabatan kepada Menteri.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
perpindahan wilayah jabatan Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Cuti Auksioner
Pasal 74
(1) Auksioner
memiliki hak cuti.
(2) Hak cuti AuksionerNegaradiatur berdasarkan
ketentuan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti
Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pemanggilan Auksioner
Pasal 75
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum
berwenang memangggil Auksioner dengan Persetujuan tertulis Pengawas Lelang,
untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Risalah Lelang yang
dibuatnya.
Bagian Ketujuh
Honorarium dan Insentif Lelang
Pasal 76
(1) Honorarium adalah uang jasa yang diterima
oleh Auksioner Swasta atas pelaksanaan lelang non eksekusi.
(2) Auksioner Swasta berhak menerima honorarium
atas jasa pelaksanaan lelang yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.
(3) Besarnya honorarium yang diterima oleh
Auksioner Swasta ditentukan berdasarkan perjanjian antara Auksioner Swasta
dengan Balai Lelang.
(4) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibebankan kepada Balai Lelang.
Pasal 77
(1) Auksioner dan Pengawas Lelang berhak menerima
Insentif Lelang atas jasa pelaksanaan lelang yang diberikan sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Besarnya Insentif Lelang yang diterima oleh
Auksioner Negara dan Pengawas Lelang paling banyak 5 % (lima persen) dari Bea Lelang.
(3) Besarnya Insentif Lelang yang diterima oleh
Auksioner Swasta dan Pengawas Lelang paling banyak 50 % (lima puluh persen) dari Bea Lelang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Insentif
Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
RISALAH LELANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 78
(1) Setiap pelaksanaan lelang wajib dibuatkan
Risalah Lelang.
(2) Risalah Lelang bukan merupakan objek Tata
Usaha Negara.
(3) Minuta Risalah Lelang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Bagian Kedua
Bentuk Risalah Lelang
Pasal 79
(1) Risalah Lelang terdiri
atas:
a. Bagian
Kepala;
b. Bagian
Badan; dan
c. Bagian
Kaki.
(2) Bagian Kepala Risalah
Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a. hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan
huruf dan angka;
b. nama lengkap, pekerjaan dan tempat
tinggal/domisili dari Auksioner;
c. nomor, dan tanggal Surat Keputusan
Pengangkatan Auksioner;
d. nama lengkap, pekerjaan dan tempat
tinggal/domisili penjual;
e. nomor, dan tanggal surat permohonan lelang;
f. tempat pelaksanaan lelang;
g. sifat barang yang dilelang dan alasan barang
tersebut dilelang;
h. dalam hal yang dilelang barang bergerak
harus disebutkan jumlah, jenis/ spesifikasi; i.dalam hal yang dilelang
barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan harus disebutkan:
1. status hak tanah atau surat-surat lain yang
menjelaskan bukti kepemilikan;
2. surat keterangan tanah dari Kantor Pertanahan;
dan
3. keterangan lain yang membebani tanah
tersebut; j.pengumuman lelang; dan
k. syarat-syarat lelang.
(3) Bagian Badan Risalah Lelang sekurang-kurangnya
memuat:
a. banyaknya penawaran lelang yang masuk dan
sah;
b. nama barang yang dilelang;
c. nama, pekerjaan dan alamat Pembeli, sebagai
Pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain;
d. bank kreditor sebagai Pembeli untuk orang
atau Badan yang akan ditunjuk namanya, dalam hal bank kreditor sebagai Pembeli;
e. Harga Lelang dengan angka dan huruf; dan
f. daftar barang yang laku terjual/ditahan
memuat nilai, nama, alamat Pembeli.
(4) Bagian Kaki Risalah
Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a. banyaknya barang yang ditawarkan/ dilelang
dengan angka dan huruf;
b. jumlah nilai barang-barang yang telah terjual
dengan angka dan huruf;
c. jumlah nilai barang-barang yang ditahan
dengan angka dan huruf;
d. banyaknya surat-surat yang dilampirkan pada
Risalah Lelang dengan angka dan huruf;
e. jumlah perubahan yang dilakukan (tambahan,
coretan dengan penggantin atau coretan tanpa penggantian) maupun tidak adanya
perubahan ditulis dengan angka dan huruf; dan
f. tanda tangan Auksioner dan Penjual/kuasa Penjual dalam hal
lelang barang bergerak; atau tanda tangan Auksioner, Penjual/kuasa Penjual dan
Pembeli/kuasa Pembeli dalam hal lelang barang tidak bergerak.
Pasal 80
(1) Penandatangan Risalah Lelang dilakukan oleh
Auksioner pada tiap lembar bagian kanan atas Minuta Risalah Lelang dengan
pengecualian lembar terakhir.
(2) Lembar terakhir Minuta Risalah Lelang barang
bergerak ditandatangani oleh Auksioner dan Penjual.
(3) LembarterakhirMinutaRisalah Lelang barang
tidak bergerak ditandatangani oleh Auksioner, Penjual dan Pembeli.
(4) Penandatanganan Minuta Risalah Lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan pada hari pelaksanaan
lelang.
(5) Dalam hal Penjual tidak menghendaki untuk
menandatangani atau tidak hadir pada waktu penandatanganan Minuta Risalah
Lelang, hal tersebut dicatat pada bagian bawah Kaki Risalah Lelang dan berlaku
sebagai tanda tangan.
(6) Bea meterai untuk Minuta Risalah Lelang
menjadi beban Penjual.
Pasal 81
(1) Apabila terjadi hal-hal penting yang
diketahui setelah penandatanganan Minuta Risalah Lelang, Auksioner mencatat hal-hal
tersebut di bawah bagian Kaki Risalah Lelang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Minuta, Grosse, Salinan dan Kutipan
Risalah Lelang
Pasal 82
Kantor Lelang Negara/Auksioner Swasta hanya dapat memperlihatkan
atau memberitahukan Minuta Risalah Lelang, kepada orang yang berkepentingan
langsung dengan Risalah lelang, ahli waris atau orang yang memperoleh hak
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah lelang
atau Kutipan Risalah Lelang dibuat oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau
Auksioner Swasta dengan diberikan tanggal pengeluaran dan tanda tangan.
(2) Kantor Lelang Negara/Auksioner memberikan
Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah Lelang atau Kutipan Risalah Lelang
kepada orang yang berkepentingan langsung dengan Risalah lelang atau ahli
warisnya atau orang yang memperoleh hak kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan
Pasal 84
(1) Auksioner membuat catatan pada Minuta Risalah
lelang mengenai penerima Grosse Risalah Lelang dan tanggal pengeluaran dan
catatan tersebut ditandatangani olehnya.
(2) Grosse Risalah lelang yang dibuat Auksioner
merupakan salinan Risalah lelang yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
(3) Grosse Risalah Lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pada bagian kepala Risalah Lelang memuat frasa "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan pada lembar terakhir
Risalah Lelang memuat frasa "diberikan sebagai grosse pertama" dengan
menyebutkan nama orang yang memintanya dan tanggal pembuatannya.
(4) Pengeluaran Grosse Risalah Lelang kedua atau
selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 ayat (2) berdasarkan penetapan pengadilan.
Pasal 85
(1) Minuta Risalah Lelang, Grosse Risalah Lelang,
Salinan Risalah lelang atau Kutipan Risalah Lelang wajib dibubuhi teraan
cap/stempel.
(2) Teraan cap sebagimana dimakud pada ayat (1)
harus pula dibubuhkan pada salinan surat yang dilekatkan pada Minuta Risalah
Lelang.
Pasal 86
(1) Kutipan Risalah Lelang diserahkan oleh
Penyelenggara Lelang kepada Pembeli paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
Pembeli melunasi seluruh kewajibannya.
(2) Kutipan Risalah Lelang untuk barang bergerak
yang tidak memerlukan balik nama dapat tidak dibuat dalam hal Pembeli tidak
memintanya.
Bagian Keempat
Penyimpanan Minuta Risalah Lelang
Pasal 87
(1) Minuta Risalah Lelang yang dibuat oleh
Auksioner Negara disimpan oleh Kantor Lelang Negara.
(2) Minuta Risalah Lelang dibuat dan disimpan oleh
Auksioner Swasta.
(3) Jangka Waktu Simpan Minuta Risalah Lelang
selama 30 (tiga puluh) tahun.
Bagian Kelima
Pengambilan Minuta Risalah Lelang
Pasal 88
(1) Minuta Risalah Lelang tidak dapat diambil oleh
siapapun kecuali oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau Auksioner Swasta dalam
rangka pembuktian di muka Hakim.
(2) Dalam rangka kepentingan proses peradilan,
fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta
Risalah Lelang dapat diberikan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim,
dengan persetujuan Pengawas Lelang Daerah bagi Auksioner Swasta atau Kepala
Kantor Lelang Negara bagi Auksioner Negara.
(3) Pengambilan fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berita acara pcnyerahan.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai Risalah Lelang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LELANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 90
(1) Pembinaan dan Pengawasan terhadap Penyelenggara
Lelang dan Auksioner dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan pejabat yang diangkat
sebagai Pengawas Lelang.
(3) Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. teknis operasional lelang;
b. administrasi lelang;
c. Auksioner yang melakukan perbuatan tercela;
atau
d. Auksioner Negara yang melakukan pelanggaran
yang dijatuhi hukuman disiplin sedang atau berat berdasarkan peraturan perundang-undangan
kepegawaian.
Bagian Kedua
Pengawas Lelang
Pasal 91
Pengawas Lelang terdiri atas :
a. Pengawas Lelang Daerah
b. Pengawas Lelang
Pusat
Pasal 92
Pengawas Lelang Daerah mempunyai wilayah kerja satu provinsi atau
lebih dan berkedudukan di salah satu ibukota provinsi yang bersangkutan.
Pasal 93
(1) Pengawas Lelang Daerah
berwenang untuk :
a. menerima laporan dari masyarakat mengenai
adanya dugaan yang berkaitan dengan perbuatan tercela yang dilakukan oleh
Auksioner;
b. melakukan pemeriksaan dan mengambil
kesimpulan mengenai adanya dugaan yang berkaitan dengan perbuatan tercela yang
dilakukan oleh Auksioner;
c. memberikan sanksi berupa teguran tertulis
kepada Auksioner;
d. mengusulkan pemberhentian Auksioner dengan
hormat;
e. mengusulkan pemberian sanksi terhadap
Auksioner kepada Pengawas Lelang Pusat sebagaimana dimaksud pada huruf b
berupa:
1. pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan
sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2. pemberhentian dengan tidak hormat;
f. menentukan pelayanan lelang lebih lanjut
dalam hal Auksioner Swasta diberhentikan sementara;
g. menentukan tempat penyimpanan Protokol Lelang
dari Auksioner Swasta yang diberhentikan tidak dengan hormat atau dengan
hormat;
h. menentukan tempat penyimpanan Protokol
Lelang yang pada saat serah terima telah berumur 30 (tiga puluh) tahun;
i. memberikan izin pelaksanaan Lelang Non
Eksekusi di luar wilayah kerja Kantor Lelang dalam wilayah pengawasannya tempat
barang berada; j.memberikan izin pelaksanaan lelang di luar hari dan jam kerja
untuk Kantor Lelang Negara dalam wilayah pengawasannya;
k. mengusulkan formasi bagi Auksioner; dan
l. memanggil Auksioner terlapor untuk
dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Keputusan Pengawas Lelang Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c bersifat final.
Pasal 94
Pengawas Lelang Daerah memiliki kewajiban untuk :
a. memeriksa, membuat berita acara pemeriksaan
dan mengambil kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan menyampaikan tembusannya kepada
Pengawas Lelang Pusat, pihak yang melaporkan, Auksioner yang bersangkutan dan
Organisasi Auksioner;
b. merahasiakan hasil pemeriksaan;
c. menyampaikan keputusan pemberian cuti kepada
Auksioner Swasta;
d. menyampaikan permohonan banding terhadap
putusan atas usul penjatuhan sanksi atau penolakan cuti kepada Pengawas Lelang
Pusat;
e. mengawasi agar lelang dilaksanakan sesuai
ketentuan;
f. melakukan verifikasi serta mengesahkan
laporan-laporan lelang;
g. melakukan verifikasi Risalah Lelang;
h. melaksanakan pemeriksaan terhadap kinerja
Auksioner yang berada dalam wilayah kerjanya secara berkala 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan Kantor
Lelang yang ada di Wilayah Kerjanya
j. menyampaikan putusan pemberian sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf c dan huruf d kepada
Auksioner yang bersangkutan dan Pengawas Lelang Pusat.
k. membuat berita acara pemeriksaan dan putusan
penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b, huruf
c, huruf d, dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada huruf f;
dan
l. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i dan
huruf j kepada Pengawas Lelang Pusat
Pasal 95
Pengawas Lelang Pusat
berkedudukan di ibukota negara.
Pasal 96
(1) Pengawas Lelang Pusat
berwenang untuk :
a. memeriksa, meneliti dan mengambil keputusan
terhadap usul penjatuhan sanksi;
b. mengambil keputusan dalam tingkat banding
terhadap penolakan cuti Auksioner Swasta;
c. memanggil Auksioner terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
e. mengusulkan pemberian sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri; dan
f. memberikan izin pelaksanaan lelang non
eksekusi atas barang yang berada antar wilayah pengawasan Pengawas Lelang
Daerah;
(2) Keputusan Pengawas Lelang Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d bersifat final.
Pasal 97
Pengawas Lelang Pusat berkewajiban untuk :
a. menyampaikanputusansebagaimanadimaksud dalam
Pasal 96 ayat (1) huruf a kepada Menteri dan Auksioner yang bersangkutan dengan
tembusan kepada Pengawas Lelang Daerah yang bersangkutan dan Organisasi
Auksioner;
b. mengawasi agar lelang dilaksanakan sesuai
ketentuan;
c. melakukan verifikasi serta mengesahkan
laporan-laporan lelang;
d. melakukan verifikasi Risalah Lelang;
e. melakukan pembinaan dan pengawasan Kantor
Lelang;
f. membuat berita acara pemeriksaan, putusan
penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a; dan
g. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e dan huruf f diatas kepada
Menteri.
Pasal 98
Pengawas
Lelang Daerah menyimpan Protokol Lelang dari Auksioner Swasta yang
diberhentikan sementara.
Pasal 99
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Pembinaan dan Pengawasan Lelang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI DAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi
Pasal 100
(1) Auksioner yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 34, Pasal 48, Pasal 49,
Pasal 55, Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 59 ayat (4), Pasal 59
ayat (5), Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 70, Pasal 87 ayat (2), dikenakan
sanksi oleh Pengawas Lelang, berupa:
a. Peringatan Tertulis;
b. Pemberhentian Sementara; dan/atau
c. Pemberhentian tidak dengan hormat.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menutup kemungkinan gugatan perdata maupun tuntutan pidana.
(3) Auksioner Negara yang dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan dikenakan sanksi
tambahan sesuai dengan Peraturan Kepegawaian yang berlaku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi bagi
Auksioner diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Balai Lelang yang melanggar atau lalai dalam
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 11, Pasal
15, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 33 ayat (2), Pasal 34, Pasal 46, Pasal 54 ayat
(4), Pasal 55, dan Pasal 86, dapat dikenakan sanksi, berupa:
a. Peringatan tertulis; dan/atau
b. Pencabutan izin operasional.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menutup kemungkinan gugatan perdata maupun tuntutan pidana
kepada Balai Lelang dan/atau komisaris/dewan pengawas, direksi/pengurus baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi bagi
Balai Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 102
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 2
ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan
dan/atau pidana denda paling rendah 100 % (seratus persen) dari Harga Lelang.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) apabila dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum/usaha, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap badan hukum/usaha dan/atau komisaris/dewan
pengawas, direksi/pengurus baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 103
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal
41 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam)
bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pelanggaran.
Pasal 104
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal
41 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189
sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 106
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, Pejabat Lelang Klas I dinyatakan sebagai
Auksioner Negara dan Pejabat Lelang Klas II dinyatakan sebagai Auksioner
Swasta, tetap dapat melaksanakan kewenangan jabatannya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 107
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Balai Lelang yang sudah ada
masih dapat melakukan kegiatan usahanya sepaniang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang
ini Minuta Risalah Lelang yang telah melewati jangka waktu penyimpanan 30 (tiga
puluh) tahun harus diserahkan kepada Arsip Nasional.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Lelang
(Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana
beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 110
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan sejak
tanggal pengundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal............................,.................
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
(tanda
tangan)
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...........
MENTERI..............
(tanda tangan)
NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN.......... NOMOR..........
PENJELASAN
ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR............TAHUN.............
TENTANG LELANG
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin seluruh sendi kehidupan
rakyat Indonesia termasuk pembangunan hukum nasional.
Pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional,
yang dilakukan dengan pembontukan hukum baru, khususnya produk hukum yang
dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.
Produk hukum nasional yang menjamin
kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan
nasional sehingga tercipta suatu keselarasan dan keseimbangan antara
kejtentingan negara, perseorangan, dan kepentingan umum.Salah satu sarana hukum
yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah
peraturan tentang Lelang. Selarna ini yang menjadi dasar hukum Lelang di
Indonesia adalah Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari
1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan
Staatsblad 1941:3), sebagai produk peninggalan pemerintah kolonial Belanda,
yang kurang memperhatikan tatanan hukum nasional bangsa Indonesia. Selain itu
Vendu Reglement tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena sebagian besar pasalnya
sudah dicabut, tidak efektif, dan sudah tidak dapat menampung adanya
perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang dinamis khususnya tuntutan peran
swasta pada pelayanan Lelang Non Eksekusi dan penggunaan teknologi dalam
pelaksanaan Lelang.
Lelang menjadi suatu bagian penting yang
tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional karena dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, lelang merupakan salah satu
sarana penegakan hukum untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Atas dasar kenyataan tersebut, perlu
segera ditetapkan Undang-Undang tentang Lelang untuk memberikan landasan hukum
yang kuat untuk menjamin hak dan kewajiban para pihak yang menggunakan lelang,
menjamin rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan motivasi kepada masyarakat
untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui lelang, memelihara integritas
Auksioner dan melindungi kepentingan profesi Auksioner sesuai standar dan kode
etik profesi.
Selain itu, Undang-Undang Lelang ini juga
dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum Lelang sebagai penjualan barang
yang terbuka untuk umum dengan penawaran secara kompetisi untuk mencapai harga
tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, dan harus dilakukan oleh
dan/atau dihadapan Auksioner, dan olehnya dibuat berita acara pelaksanaan
lelang yang disebut Risalah Lelang. Pengumuman lelang dimaksudkan untuk
menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak ketiga yang
berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan(verzet). Auksioner adalah
pejabat umum yang berwenang untuk
melaksanakan Lelang
dan membuat Risalah Lelang yang merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini. Sebagai akta otentik Risalah Lelang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna, sehingga diharapkan mampu menjamin kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan sekaligus bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Pengadaan barang/jasa yang pelaksanaannya
dilakukan dengan "penawaran umum" atau yang lazim disebut dengan
"lelang tender" tidak termasuk ruang lingkup lelang yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Menteri Keuangan
menyelenggarakan fungsi regulator lelang. Dalam rangka menjalankan fungsi regulator lelang, Menteri Keuangan
berwenang untuk:
1. Menyusun, menetapkan dan memberlakukan
standar Jasa Pelayanan Lelang oleh Kantor Lelang dan Balai Lelang;
2. Menyusun kebijakan Pendidikan dan Pelatihan
dan Uji Kelayakan/Sertifikasi Auksioner;
3. Melakukan Pengangkatan dan Pemberhentian
Auksioner;
4. Melakukan Pembinaan dan Pengawasan Auksioner;
5. Melakukan Registrasi Asosiasi Profesi
Auksioner;
6. Memberikan dan mencabut izin operasional
Balai lelang;
7. Melakukan Pembinaan dan Pengawasan Kantor
Lelang dan Balai Lelang; dan
8. Memberikan Sanksi Administrasi kepada Auksioner
dan Balai Lelang.
Lelang yang diatur dalam Undang-Undang
ini dalam pelaksanaannya memiliki dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi privat yang tercermin pada saat
digunakan masyarakat yang secara sukarela memilih menjual barang miliknya
secara lelang untuk memperoleh harga yang optimal.
2. Fungsi publik yang tercermin pada saat
digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di
bidang penegakan hukum sesuai ketentuan yang diatur dalam berbagai Peraturan
Perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Acara
Pidana dan Perdata, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Panitia Urusan
Piutang Negara Undang-Undang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Kepailitan. Selain
itu Lelang juga digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah dan/atau Kekayaan Negara yang dipisahkan sesuai ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan/atau Pemindahtanganan
Barang-Barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara sekaligus untuk mengumpulkan
penerimaan negara.
Kedua fungsi tersebut akan dapat dicapai
apabila dalam setiap pelaksanaan lelang selalu memperhatikan asas lelang yaitu:
Asas Keterbukaan, Asas Keadilan, Asas Kepastian Hukum, Asas Efisiensi dan Asas
Akuntabilitas.
Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang
sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap
pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga
untuk mencegah terjadi praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak
memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa
dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara
proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah
terjadinya keberpihakan Auksioner kepada peserta lelang tertentu atau berpihak
hanya pada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi penjual
tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat
merugikan pihak tereksekusi.
Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang
yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat
Risalah Lelang oleh Auksioner yang merupakan akte otentik. Risalah Lelang
digunakan Penjual/Pemilik barang, Pembeli dan Auksioner untuk mempertahankan
dan melaksanakan hak dan kewajibannya .
Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan
lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang
dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan Pembeli disahkan pada
saat itu juga.
Asas Akuntabilitas menghendaki agar
lelang yang dilaksanakan oleh Auksioner dapat dipertanggungjawabkan kepada
semua pihak yang berkepentingan. Pertanggung-jawaban Auksioner meliputi
administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Lelang
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)" adalah Lelang SBI yang dilaksanakan oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Lelang Surat
Utang Negara (SUN)" adalah lelang surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Lelang Ikan
Segar" adalah lelang ikan dan sejenisnya dari hasil tangkapan nelayan yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan "Lelang Amal"
adalah lelang dalam rangka pengumpulan dana yang hasilnya untuk kepentingan
sosial.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "Lelang
Penyerahan Kemudian (future trading)" adalah lelang terhadap
komoditi yang akan ada di kemudian hari.
Huruf g
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksuddengan "teknologi
informasi dan komunikasi"antara lain Internet, telepon.
Ayat (3)
Dalam pelaksanaan lelang ulang, lelang
tetap sah meskipun diikuti oleh l(satu) peserta lelang.
Ayat (4)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. batasan
jenis teknologi informasi dan komunikasi;
b. batasan
penyelenggara leiang teknologi informasi dan komunikasi;
c. pelaksanaan
lelang teknologi informasi dan komunikasi;
d. pembayaran
hasil lelang teknologi informasi dan komunikasi;
Pasal 4
Pada dasarnya semua barang dapat
dilelang. Meskipun demikian, peraturan Perundang-undangan dapat menetapkan
larangan lelang barang tertentu. Pengertian Barang Bergerak, Barang Tidak
Bergerak, Barang Berwujud dan Tidak Berwujud adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual atau ketentuan Undang-Undang lain
yang berlaku.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi :
a. jenis
Buku Administrasi Lelang yang harus dibuat;
b. jenis
laporan yang harus dibuat;
c. batasan
waktu penyampaian laporan.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Penjual menggunakan Jasa
Pascalelang Balai Lelang harus memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari
Pemilik barang aslinya. Apabila ada pihak yang dirugikan karena penggunaan Jasa
Pascalelang Balai Lelang, maka Penjual dan Balai Lelang bertanggungjawab
terhadap kerugian yang timbul.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain meliputi:
a. kriteria
pemberian dan pencabutan izin operasional;
b. syarat-syarat
pendirian;
c. tata
cara jasa Pralelang dan Jasa Pascalelang.
d. bentuk
klausula perikatan perdata Balai Lelang dengan Auksioner Swasta
Pasal 19
Ayat (1)
Permohonan Lelang Eksekusi diajukan ke
Kantor Lelang Negara, sedangkan permohonan Lelang Non Eksekusi diajukan ke
Balai Lelang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi
a. rincian
dokumen persyaratan lelang menurut jenis lelangnya;
b. pengurusan
Surat Keterangan Tanah.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kantor Lelang dalam menetapkan waktu dan
tempat pelaksanaan lelang dapat mempertimbangkan usulan penjual.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. tata cara pengajuan syarat-syarat lelang
yang diajukan oleh Pemohon Lelang;
b. rincian dan batasan syarat-syarat khusus.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri adalah
serendah-rendahnya Pejabat Eselonll yang bidang tugasnya berkaitan dengan
Lelang.
Pasal 24
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. kriteria waktu lelang eksekusi;
b. batasan tempat pelaksanaan lelang non
eksekusi atas barang yang berada di luar wilayah jabatan Auksioner.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud Peradilan meliputi Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Lelang Eksekusi yang dimaksud dalam
ketentuan ini antara lain meliputi Lelang Eksekusi Pengadilan terhadap barang
sitaan yang tidak dibebani Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi Piutang Negara
terhadap harta kekayaan lain, Lelang Eksekusi Pajak.
Huruf e
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa
dalam ketentuan ini antara lain objek lelang musnah, terjadi bencana alam, huru
hara atau ancaman langsung terhadap keselamatan Auksioner.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setelah Pengumuman Lelang, Penjual juga
diperkenankan mengundang pihak lain melalui selebaran atau undangan untuk
menjadi peserta lelang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hari"
adalah hari kalender.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghindari penurunan nilai ekonomis sesuai sifat dan kondisi barang yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi Harga Lelang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
efisiensi, karena biaya pengumuman tidak sebanding dengan nilai barang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain
a. kriteria surat kabar harian untuk Pengumuman Lelang
Eksekusi;
b. pencantuman pengumuman lelang pada surat kabar harian "halaman utama"
bukan halaman suplemen;
c. ukuran minimal pengumuman lelang dan tidak
boleh menggunakan iklan baris pada surat kabar harian.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Yang dimaksud dengan yang berhak adalah
Balai Lelang, Pemilik Barang, dan Auksioner Swasta.
Pasal 35
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain mengenai penatausahaan Uang Jaminan Lelang.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
1. Yang dimaksud dengan "Penawaran Lelang
secara Langsung" adalah penawaran lelang yang dilakukan oleh peserta
Lelang di tempat lelang.
2. Yang dimaksud
dengan "Penawaran Lelang Tidak langsung" adalah penawaran lelang yang
dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dan Peserta Lelang
tidak berada di tempat lelang.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penawaran
lelang dengan cara tertulis dilanjutkan dengan lisan" adalah penawaran
lelang yang dimulai dengan penawaran tertulis dan apabila belum mencapai Nilai
Limit, penawaran dilanjutkan dengan cara lisan semakin meningkat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Penentuan Pemenang Lelang
sebagaimanadimaksud pada huruf adilakukan apabila disetujui oleh semua Penawar
tertinggi yang sama.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. tata
cara perhitungan dalam penawaran lelang inklusif dan eksklusif;
b. administrasi
penawaran lelang secara tertulis.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan
karena penggunaan Jasa Pasca lelang oleh Balai Lelang, Penjual bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "Penjual"
meliputi juga semua anggota Panitia Lelang, dalam hal penjual merupakan Panitia
Lelang.
Yang dimaksud dengan "pihak
lain" antara lain Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat/Pengacara, Notaris, dan
Juru Sita.
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kewajiban pembayaran"
adalah kewajiban pembayaran Harga Lelang dan Bea Lelang sesuai ketentuan yang
berlaku
Yang dimaksud dengan
"Wanprestasi" adalah Pembeli tidak memenuhi seluruh kewajiban
pembayaran daiam tenggang waktu yang telah ditentukan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. pembagian uang jaminan pembeli
wanprestasiKas Negara, Kas Daerah, Penjual, dan/atau Balai Lelang;
b. tata cara pernyataan sebagai Pembeli
wanprestasi;
c. sanksi bagi Pembeli wanprestasi.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mengamankan hak negara atas Pelaksanaan lelang.
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara
tunai" adalah pembayaran yang dilakukan secara kontan dan sekaligus.
Pembayaran tunai dapat dilakukan dengan uang tunai, cek/giro, atau melalui
transfer.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain mengenai tata cara pemungutan, penyetoran dan pembayaran
Harga Lelang, Hasil Bersih Lelang, Bea Lelang.
Pasal 57
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
melindungi Pembeli yang beritikad baik. Pihak-pihak yang dirugikan akibat dari
pelaksanaan lelang hanya dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi melalui
Pengadilan Negeri dan tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut
pengembalian barang yang telah dilelang.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Notaris yang diangkat menjadi Auksioner
Swasta tetap dapat melaksanakan tugas sebagai Notaris.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain meliputi:
a. kriteria
pengangkatan Auksioner;
b. kriteria
pemberhentian Auksioner.
Pasal 63
Huruf a
Yang dimaksud dengan " melaksanakan
lelang" adalah Auksioner langsung melaksanakan lelang sendiri dan/atau
melaksanakan lelang yang diselenggarakan oleh Balai Lelang. Yang dimaksud
dengan "menghentikan sementara waktu" adalah menunda sementara
pelaksanaan lelang untuk kemudian dilanjutkan kembali pada hari yang sama.
Misalnya dalam hal terjadi ketidaktertiban pada saat pelaksanaan lelang.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 64
Huruf a
Yang dimaksud dengan:
(l) "jujur" adalah tidak curang atau
tidak berbohong;
(2) //mandiri// adalah
tidak bergantung pada orang lain;
(3) "tidak berpihak" adalah tidak memihak
kepada salah satu peserta lelang atau kepada Penjual dalam melaksanakan lelang.
Huruf b
Penelitian yang dimaksud adalah yang
berkaitan dengan legalitas subyek dan objek lelang. Namun demikian Auksioner
tidak bertanggung jawab atas kebenaran materiil barang yang akan dilelang.
Huruf c
Kewajiban membuat dan menyimpan
MinutaRisalah Lelang dimaksudkan untuk menjaga keotentikan Risalah Lelang
dalambentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan Grosse,
Salinan atau Kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokan
dengan Minuta (asli) Risalah Lelang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Untuk menjaga kelancaran pelaksanaan
lelang Auksioner dapat meminta bantuan aparat keamanan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 65
Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin
kepentingan pengguna jasa lelang.
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan untuk memberi
kepastian hukum kepada pengguna jasa lelang dan sekaligus mencegah terjadinya
persaingan tidak sehat antara Auksioner dalam menjalankan tugasnya.
Huruf c
Auksioner dilarang membeli barang yang
dilelang di hadapannya, termasuk pada lelang melalui teknologi inf ormasi dan
komunikasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hubungan
langsung" adalah Auksioner mempunyai hubungan darah atau semenda sampai
derajat kedua dengan pemilik barang yang dilelang, sedangkan yang dimaksud
dengan "hubungan tidak langsung" adalah Auksioner mempunyai hubungan
hukum dengan pemilik barang yang dilelang.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 66
Jabatan Auksioner dilarang dirangkap
dengan jabatan tersebut untuk lebih menjamin profesionalisme dan independensi
Auksioner serta menghindari timbulnya benturan kepentingan dari perangkapan
jabatan tersebut.
Yang dimaksud dengan "Pejabat
Negara", antara lain Presiden, Menteri, anggota Lembaga Negara seperti
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 67
Yang dimaksud dengan "barang dalam
kondisi apa adanya" adalah keadaan barang dengan segala
kekurangan-kekurangan/kerusakan-kerusakan dan/atau kelebihan-kelebihan baik
yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Pembeli dianggap telah mengetahui
barang yang dilelang dan apabila terdapat kekurangan/kerusakan baik yang
terlihat maupun tidak terlihat, Pembeli tidak berhak menolak atau menarik diri
setelah disahkan sebagai Pembeli dan melepaskan segala hak untuk meminta
kerugian atas pembelian tersebut.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Dengan hanya memiliki satu kantor,
berarti Auksioner Swasta dilarang memiliki kantor cabang, perwakilan, dan/atau
bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 71
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. batasan
wilayah jabatan Auksioner Swasta.
b. Kriteria
Kantor Auksioner Swasta
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Formasi"
adalah kebutuhan akan pengisian jabatan Auksioner.
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain mengenai kriteria penentuan formasi jabatan Auksioner
Swasta ditentukan dengan perekonomian daerah yang bersangkutan dan potensi
lelang.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalamPeraturan
Menteri antara lain mengenai prosedur dan kriteria perpindahan wilayah jabatan
Auksioner Swasta.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal terjadi Auksioner Negara cuti,
Pengawas Lelang menunjuk Auksioner Negara lain yang berada dalam wilayah kerja
Pengawas Lelang untuk melaksanakan Lelang sampai dengan Auksioner yang
bersangkutan bertugas kembali.
Ayat (3)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain mengenai prosedur dan kriteria cuti Auksioner Swasta.
Pasal 75
Cukup jeias
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Insentif lelang dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai stimulus bagi Auksioner Negara untuk mengoptimalkan Harga
Lelang dan sesuai dengan besarnya risiko dan beban kerja dalam melaksanakan
lelang.
Ayat (3)
Insentif lelang dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai stimulus bagi Auksioner Swasta untuk mengoptimalkan Harga
Lelang dan sesuai dengan besarnya risiko dan beban kerja dalam melaksanakan
lelang juga sebagai biaya operasional.
Ayat (4)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain mengenai prosedur dan kriteria Insentif Lelang.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2).;
Cukup jelas.
Ayat (3)
Minuta Risalah Lelang dibuat dalam bahasa
Indonesia, namun untuk Kutipan Risalah Lelang dapat dibuat dalam Bahasa Asing
oleh penterjemah yang telah diangkat sumpah oleh pemerintah atas beban Pembeli.
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. kriteria
hal-hal penting;
b. tata
cara pencatatan pada bagian Kaki Risalah Lelang.
Pasal 82
Pihak yang berkepentingan langsung dalam
hal ini adalah Penjual, Pembeli atau Instansi pemerintah.
Pasal 83
Ayat (1)
Penandatanganan Kutipan Risalah Lelang
atas Tanah dan/atau Bangunan dilakukan setelah Pembeli menunjukkan bukti
pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Grosse Risalah Lelang dibuat antara lain
untuk digunakan oleh Pembeli dalam rangka upaya paksa pengosongan tanah dan
atau bangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran Grosse Risalah Lelang kedua
atau selanjutnya hanya disebabkan Grosse Risalah Lelang pertama hilang.
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan seluruh kewajibannya
adalah pembayaran Harga Lelang, Bea Lelang, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
atau Bangunan (BPHTB) dan pungutan lain yang diatur peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Setelah melewati jangka waktu 30 (tga
puluh) tahun, maka Minuta Risalah Lelang diserahkan kepada Arsip Nasional.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. tata
cara pembuatan Risalah Lelang;
b. standarisasi
klausul Risalah Lelang;
c. tata
cara pembetulan atau pencoretan Risalah Lelang.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbuatan
Tercela" adalah perbuatan yang bertentangan dengan Norma Agama, Norma
Susila, dan Norma Adat.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Menteri antara lain meliputi:
a. tata
cara pengawasan dan pembinaan Kantor Lelang;
b. tata
cara pengawasan dan pembinaan Auksioner;
Pasal 100
Ayat (1)
Pengenaan sanksi oleh Pengawas Lelang
pada ayat ini berkaitan dengan status sebagai Auksioner
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengenaan sanksi tambahan untuk Auksioner
Negara pada ayat ini berkaitan dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (4)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain meliputi:
a. kriteria penjatuhan sanksi Teguran Tertulis,
Pemberhentian Sementara, Pemberhentian tidak dengan hormat;
b. tata cara penjatuhan sanksi.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2).
Cukup jelas
Ayat (3);
Hal yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain meliputi:
a. kriteria penjatuhan sanksi Peringatan
Tertulis dan Pencabutan izin operasional;
b. tata cara penjatuhan sanksi;
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar