Senin, 13 Maret 2017

RANCANGAN UU LELANG



RANCANGAN UU LELANG

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.....TAHUN......

TENTANG
LELANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :     a.   bahwa dalam kehidupan masyarakat yang dinamis diperlukan penataan ulang peraturan lelang yang menyeluruh dan terpadu, yang mencerminkan keterbukaan, efisiensi dan akuntabilitas, memberikan keadilan serta menjamin kepastian hukum, dan dapat digunakan untuk mendukung perekonomian yang sehat dan dapat diimplementasikan oleh masyarakat sebagai sarana menjual barang miliknya dengan harga yang optimal, mendukung penegakan hukum, sarana pendukung tertib pengelolaan dan pengamanan barang milik Negara/Daerah dan/atau Kekayaan Negara yang dipisahkan;
                           b.   bahwa Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) yang merupakan produk hukum Hindia Belanda tidak dapat lagi memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat;
                           c.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Lelang;

Mengingat: 1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ay at (1), Pasal 23 A, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:     UNDANG-UNDANG TENTANG LELANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1.    Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.
2.    Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara lelang.
3.    Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak ketiga yang berkepentingan.
4.    Auksioner adalah pejabat umum yang berwenang untukmelaksanakan Lelang dan membuat risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
5.    Penjual adalah perorangan atau badan hukum/usaha yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara Lelang.
6.    Pemilik Barang adalah perorangan atau badan hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang.
7.    Peserta Lelang adalah orang yang bertindak atas namanya sendiri atau sebagai kuasa dari pihak lain, yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menawar barang yang dilelang.
8.    Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen yang dipersamakan dengan itu atau dokumen - dokumen lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka penegakan hukum.
9.    Lelang Non Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang dikuasai/dimiliki oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam rangka penghapusan, dan lelang sukarela terhadap barang milik perorangan atau badan.
10. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang dilelang dan ditetapkan oleh Penjual untuk dicapai dalam suatu Pelelangan.
11.  Uang Jaminan Lelang adalah uang yang disetor kepada Kantor Lelang atau Auksioner Negara oleh calon Peserta Lelang sebelum pelaksanaan lelang sebagai syarat menjadi Peserta Lelang.
12.  Pembeli adalah pemenang Lelang yang disahkan oleh Auksioner atas persetujuan Penjual.
13. Bea Lelang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipungut atas suatu pelaksanaan lelang.
14. Harga Lelang adalah harga penawaran tertinggi termasuk Bea Lelang yang harus dibayar oleh Pembeli, tidak termasuk pungutan lainnya yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15.  Hasil Bersih Lelang adalah Harga Lelang setelah dikurangi pungutan sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16. Pengawas Lelang adalah pejabat Departemen Keuangan Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Menteri untuk membina dan mengawasi pelaksanaan lelang, Auksioner, Kantor Lelang, dan Balai Lelang.
17. Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang merupakan akta otentik dan dibuat oleh Auksioner menurut bentuk dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
18.  Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah Lelang berikut lampirannya yang merupakan dokumen/arsip negara.
19. Salinan Risalah Lelang adalah salinan kata demi kata dari seluruh Risalah Lelang dan pada bagian bawah tercantum frasa "Diberikan Sebagai Salinan Kepada Penjual/Dinas".
20.  Grosse Risalah Lelang adalah salinan Risalah Lelang yang berkepala "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
21.  Kutipan Risalah Lelang adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian Risalah Lelang dan pada bagian bawah tercantum frasa "Diberikan Sebagai Kutipan Kepada Pembeli", yang dapat berfungsi sebagai dasar peralihan hak.
22.  Protokol Lelang Auksioner Negara adalah kumpulan dokumen lelang yang terdiri dari Minuta Risalah Lelang, semua buku yang dibuat oleh Auksioner Negara yang merupakan dokumen/arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara Auksioner Negara.
23. Protokol Lelang Auksioner Swasta adalah kumpulan dokumen lelang yang terdiri dari Minuta Risalah Lelang, semua buku yang dibuat oleh Auksioner Swasta dan tembusan laporan administrasi yang dibuat oleh Balai Lelang yang merupakan dokumen/arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara Auksioner Swasta.
24. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Pasal 2

(1)   Setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Auksioner, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(2)   Pelaksanaan lelang oleh orang atau Auksioner yang tidak berwenang batal karena hukum.
(3)   Pelaksanaan lelang yang tidak tunduk pada Undang-Undang ini adalah:
a.    lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
b.    lelang Surat Utang Negara (SUN);
c.     lelang ikan segar pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI);
d.    lelang alat-alat perlengkapan perang (mesiu, senjata api, dan sejenisnya);
e.    lelang amal;
f.      lelang penyerahan barang kemudian (future trading)',
g.    lelang lainnya yang diatur oleh Undang-Undang.

Pasal 3

(1)   Setiap pelaksanaan lelang harus dihadiri oleh Auksioner, Penjual dan Peserta Lelang,
(2)   Menyimpang dari ketentuan pada ayat(1), pelaksanaan lelang yang penawarannya menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, Penjual dan Peserta Lelang tidak harus hadir di tempat pelaksanaan lelang.
(3)   Setiap pelaksanaan lelang harus diikuti oleh paling sedikit 2 (dua) Peserta Lelang, kecuali untuk lelang ulang.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang melalui teknologi informasi dan komunikasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 4

Semua barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, yang dimiliki atau dikuasai Penjual, dapat dilelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

(1)   Lelang dikelompokan menjadi 2 (dua):
a.    Lelang Eksekusi;
b.    Lelang Non Eksekusi.
(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB II
PENYELENGGARA LELANG

Bagian Kesatu
Umum

 

Pasal 6

Penyelenggara Lelang adalah Kantor Lelang Negara dan Balai Lelang.

Pasal 7

(1) Penyelenggara Lelang wajib menyelenggarakan administrasi perkantoran dan membuat laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan administrasi perkantoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kedua
Kantor Lelang Negara

Pasal 8
(1)   Kantor Lelang Negara merupakan Kantor Pemerintah yang berwenang menyelenggarakan Lelang Eksekusi oleh Auksioner Negara.
(2)      Bentuk, nomenklatur, susunan organisasi dan wilayah kerja Kantor Lelang Negara sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Balai Lelang
 
Pasal 9
Balai Lelang merupakan Kantor Swasta yang berwenang menyelenggarakan Lelang Non Eksekusi.

Pasal 10

Balai Lelang merupakan badan hukum yang didirikan oleh swasta nasional, atau patungan swasta nasional dengan swasta asing, yang khusus didirikan untuk usaha jasa penyelenggaraan lelang.

Pasal 11

Izin Operasional Balai Lelang diterbitkan dan dicabut oleh Menteri.

Pasal 12

Wilayah kerja Balai Lelang meliputi seluruh Indonesia.

 

Pasal 13

(1)   Kegiatan usaha Balai Lelang meliputi:
a.    Jasa Pralelang
b.    Jasa Pelaksanaan Lelang
c.    Jasa Pascalelang
(2)      Balai Lelang dapat memberikan Jasa Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang, dan/atau Jasa Pascalelang untuk Lelang Non Eksekusi yang dilaksanakan Auksioner Swasta.
(3)      Balai Lelang dapat memberikan Jasa Pralelang dan/atau Jasa Pascalelang untuk Lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara.

Pasal 14

(1)      Jasa Pralelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, diberikan kepada Penjual/Pemilik Barang yang meliputi:
a.    menerima dan mengumpulkan barang dari pemilik barang untuk dilelang;
b.    meneliti dokumen barang, mengolah data, memilah barang, memberikan label;
c.     meningkatkan kualitas barang yang akan dilelang;
d.    menguji kualitas dan menilai harga barang;
e.    menyimpan barang yang akan dilelang;
f.      mengatur asuransi barang yang akan dilelang; dan atau
g.    memasarkan barang dengan cara-cara efektif, terarah serta menarik baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara pemasaran lainnya.
(2)   Balai Lelang dalam memberikan Jasa Pralelang harus mengadakan perjanjian dengan pemilik barang mengenai syarat-syarat penjualan dan imbalan jasa pralelang.
(3)   Imbalan jasa pralelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak 10 % (sepuluh persen) dari Harga Lelang dan dibayar oleh Penjual/Pemilik Barang.

Pasal 15

Balai Lelang dalam menyelenggarakan Jasa Pelaksanaan Lelang wajib mengadakan perikatan perdata dengan Auksioner Swasta untuk melaksanakan Lelang Non Eksekusi.

Pasal 16

(1) Jasa Pasca lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ay at (1) dapat diberikan kepada Pembeli yang meliputi:
a.    pengaturan sumber pembiayaan untuk memenuhi pembayaran hasil lelang;
b.    pengaturan pengiriman barang; dan
c.    pengurusan balik nama barang yang dibeli atas nama Pembeli.
(2)   Dalam memberikan jasa Pascalelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Balai Lelang memungut imbalan jasa kepada Pembeli sesuai dengan kesepakatan antara Pembeli dengan Balai Lelang.

Pasal 17

Dalam melakukan Jasa Penyelenggaraan Ldang, Balai Lelang dilarang :
a.    menjual selain dengan cara lelang terhadap barang yang dikuasakan kepadanya untuk dijual secara lelang;
b.    membeli sendiri baik langsung maupun tidak langsung barang yang dikuasakan kepadanya untuk dijual secara lelang;
c.     melakukan kegiatan usaha di luar izin yang diberikan; dan/atau
d.    menyelenggarakan lelang di luar kewenangannya.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai Balai Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PELAKSANAAN LELANG

Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 19
 (1) Perorangan atau badan hukum/usaha yang akan menjual barangnya secara Lelang mengajukan permohonan lelang kepada Penyelenggara Lelang sesuai dengan kewenangannya.
(2)   Permohonan lelang sebagaimana dimaksud pada ay at (1) diajukan secara tertulis disertai dokumen persyaratan lelang.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen persyaratan lelang diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 20

Penyelenggara Lelang tidak boleh menolak permohonan Lelang yang telah memenuhi persyaratan Lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Bagian Kedua

Waktu dan Tempat Lelang
 
Pasal 21
(1)   Kanior Lelang Negara dan Balai Lelang menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan lelang.
(2)   Kantor Lelang Negara menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan lelang paling lambat 3 (tiga) hari setelah dokumen persyaratan Lelang lengkap.
(3)   Balai Lelang menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan lelang sesuai kesepakatan dengan Penjual/Pemilik Barang.
(4)   Setiap pelaksanaan lelang harus dilaksanakan pada hari dan jam kerja kecuali untuk Lelang Non Eksekusi.

Pasal 22

(1)   Penjual dapat mengajukan syarat-syarat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:
a.    jangka waktu bagi calon Pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik dan mendapat penjelasan barang yang akan dilelang; dan/atau
b.    jangka waktu pengambilan/penyerahan barang.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat yang diajukan oleh Penjual diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1)   Lelang dilaksanakan di wilayah jabatan Auksioner tempat barang berada.
(2)   Lelang barang yang berada di luar wilayah jabatan Auksioner dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu dan tempat lelang diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pembatalan Sebelum Lelang

Pasal 25
(1)   Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan putusan atau penetapan Peradilan atau atas permintaan Penjual.
(2)   Pembatalan lelang atas permintaan Penjual disampaikan secara tertulis dan diterima oleh Auksioner selambat-lambatnya 3 (tiga) harikerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan.
(3)   Pembatalan lelang di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Auksioner, dalam hal:
a.    surat keterangan tanah belum ada;
b.    objek lelang dalam status sita pidana;
c.    terdapat perbedaan data pada dokumen persyaratan lelang;
d.    asli dokumen kepemilikan tidak diserahkan Penjual paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali Lelang Eksekusi yang asli dokumen kepemilikannya tidak dikuasai oleh Penjual;
e.    keadaan memaksa;
f.     pelaksanaan lelang pertama diikuti kurang dari 2 (dua) Peserta Lelang;
g.    objek lelang dalam status sita jaminan/sita eksekusi dalam hal Lelang Non Eksekusi; atau
h.    penjual tidak menguasai barang bergerak yang dilelang.
(4)   Dalam hal terjadi pembatalan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), peserta lelang yang telah menyetorkan Uang Jaminan Lelang tidak berhak menuntut ganti rugi.

Bagian Keempat
Pengumuman Lelang

 

Pasal 26

(1)   Setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang oleh Penjual melalui surat kabar harian, atau tempelan yang mudah dibaca oleh umum.
(2)   Penjual dapat menambah pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui teknologi informasi dan komunikasi, selebaran, undangan.
(3)   Pengumuman Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a.    identitas Penjual;
b.    hari, tanggal, waktu dan tempat lelang dilaksanakan;
c.     jenis dan jumlah barang;
d.    lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan;
e.    jangka waktu melihat barang yang akan dilelang;
f.      Uang Jaminan Lelang meliputi besaran, jangka waktu dan cara penyetoran, kecuali Penjual tidak mensyaratkan adanya Uang Jaminan Lelang dalam Lelang Non Eksekusi;
g.    jangka waktu pembayaran Harga Lelang; dan
h.     nilai Limit, kecuali tidak dikehendaki oleh Penjual.

Pasal 27

(1)   Pengumuman Lelang Eksekusi dilakukan :
a.    Untuk barang bergerak 1 (satu) kal:', melalui surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang.
b.    Untuk barang tidak bergerak 2 (dua) kali berselang 15 (lima belas) hari, pengumuman kedua dilakukan melalui surat kabar harian 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.
c.     Pengumuman pertama sebagaimana dimaksud pada huruf b diperkenankan tidak menggunakan Surat Kabar Harian, tetapi dengan cara pengumuman melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum .
d.    Dalam hal barang bergerak dan barang tidak bergerak dilelang bersama-sama dalam satu paket berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
(2)   Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengumuman Lelang Eksekusi untuk barang bergerak yang lekas rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan barang tersebut terlalu tinggi tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang.
(3)   Pengumuman Lelang Non Eksekusi untuk barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang.

Pasal 28

(1)   Pengumuman Lelang Eksekusi dan Non Eksekusi untuk barang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dalam satu kali lelang, dapat dilakukan 1 (satu) kali melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum, kecuali untuk tanah dan/atau bangunan.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan besaran Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Perraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1)   Dalam hal Lelang Eksekusi telah dilaksanakan dan akan dilelang ulang, Pengumuman Lelang ulang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Pengumuman Lelang ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang, apabila waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir;
b.    Pengumuman Lelang ulang berlaku ketentuan sebagaimana Lelang Eksekusi yang pertama kali, apabila waktu pelaksanaan lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir;
c.     Pengumuman Lelang ulang sebagaimana dimaksud pada huruf a menunjuk Pengumuman Lelang terakhir.

(2)   Dalam hal Lelang Non Eksekusi telah dilaksanakan dan akan dilelang ulang, Pengumuman Lelang ulang dilakukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).

Pasal 30

(1)   Dalam hal terdapat kekeliruan atas Pengumuman Lelang yang sudah diterbitkan, harus segera diralat.
(2)   Ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a.    menaikkan besarnya Uang Jaminan;
b.    memajukan jam dan tanggal pelaksanaan lelang;
c.     memajukan batas waktu penyetoran Uang Jaminan; atau
d.    memindahkan lokasi lelang di luar kota tempat pelaksanaan lelang semula.
(3)   Ralat Pengumuman Lelang diumumkan melalui surat kabar hariari atau media yang sama dengan menunjuk pengumuman sebelumnya dan dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan lelang.
(4)   Materi ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Lelang yang bersangkutan sebelum ralat pengumuman lelang dilaksanakan.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman lelang diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Uang Jaminan Lelang


Pasal 32
(1)   Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan adanya Uang Jaminan Lelang, kecuali Penjual tidak mensyaratkan adanya Uang Jaminan Lelang dalam Lelang Non Eksekusi.
(2)   Uang Jaminan Lelang harus disetor oleh Peserta Lelang kepada Penyelenggara Lelang atau Auksioner.
(3)   Besaran Uang Jaminan Lelang ditentukan oleh Penjual paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dan paling banyak 50 % (lima puluh persen) dari perkiraan Nilai Limit.
(4)   Dalam hal tidak ada Nilai Limit, besaran Uang Jaminan Lelang ditetapkan scsuai kehendak Penjual.

Pasal 33

(1)   Uang Jaminan Lelang dari Peserta Lelang yang ditunjuk sebagai Pembeli, diperhitungkan dengan pelunasan seluruh kewajibannya sesuai dengan ketentuan lelang
(2)   Uang Jaminan Lelang dari Peserta Lelang yang tidak ditunjuk sebagai Pembeli dikembalikan seluruhnya tanpa potongan.

Pasal 34

Uang Jaminan Lelang dari Pembeli yang tidak melunasi pembayaran Harga Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi) disetorkan ke Kas Negara dan/atau Penjual, kecuali untuk Lelang Non Eksekusi yang diselenggarakan oleh Balai Lelang atau dilaksanakan oleh Auksioner Swasta disetorkan kepada yang berhak sesuai dengan perjanjian.
 
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai Uang Jaminan Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Nilai Limit

Pasal 36
(1)   Setiap pelaksanaan lelang harus ada Nilai Limit, kecuali Lelang Non Eksekusi terhadap barang bergerak.
(2)   Nilai Limit atas barang yang akan dilelang ditetapkan oleh dan menjadi tanggung jawab Penjual.
(3)   Nilai Limit atas barang yang akan dilelang ditetapkan oleh Penjual berdasarkan mekanisme penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)   Nilai Limit dapat dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.
(5)   Nilai Limit diserahkan kepada Auksioner paling lambat pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.
(6)   Nilai Limit tidak boleh diubah oleh Penjual dalam satu pelaksanaan lelang pada hari yang sama.

Bagian Ketujuh
Penawaran Lelang
 
Pasal 37
(1)   Penawaran lelang dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan cara :
a.    lisan, semakin meningkat atau menurun;
b.    tertulis; atau
c.     tertulis dilanjutkan dengan lisan.
(2)   Cara penawaran lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Penjual.
(3)   Dalam hal Penjual tidak menentukan cara penawaran lelang, cara penawaran lelang ditentukan oleh Auksioner.

Pasal 38

Penawaran yang telah disampaikan kepada Auksioner tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang.

Pasal 39

Dalam hal terdapat beberapa Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tertinggi secara lisan semakin menurun atau tertulis dengan nilai yang sama dan mencapai atau melampaui Nilai Limit, Auksioner berhak menentukan Pemenang Lelang dengan cara :
a.    melakukan penawaran lanjutan secara lisan naik-naik atau tertulis yang hanya diikuti oleh mereka yang melakukan penawaran tertinggi yang sama; atau
b.    melakukan pengundian yang hanya diikuti oleh mereka yang melakukan penawaran tertinggi yang sama, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dilaksanakan.

Pasal 40
(1)   Dalam pelaksanaan lelang dengan cara penawaran lisan, Auksioner dapat dibantu oleh Pemandu Lelang.
(2)   PemanduLelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas menjelaskandan ntenawarkan barang yang dilelang serta menunjuk Pemenang Lelang.
(3)   Pemandu Lelang dapat diusulkan Penjual dengan Persetujuan Auksioner, atau dapat ditunjuk langsung oleh Auksioner.

Pasal 41

(1)   Setiap orang dilarang mempengaruhi orang lain dengan sengaja untuk tidak mengajukan penawaran atas barang yang dilelang, dengan janji bahwa apabila ia disahkan sebagai Pembeli, akan mengalihkan haknya kepada orang lain tersebut atau menentukan kembali pemilik barang yang dilelang dengan cara apapun.
(2)   Setiap orang dilarang dengan sengaja mengancam atau menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti lelang atau mengajukan penawaran atas barang yang dilelang.
(3)   Setiap orang dilarang dengan sengaja mengancam atau menghalang-halangi Auksioner untuk melaksanakan lelang.

Pasal 42

(1)   Termohon Eksekusi dapat menentukan urutan penawaran barang yang akan dilelang.
(2)   Dalam hal termohon eksekusi tidak menentukan urutan barang yang akan dilelang, Auksioner menawarkan barang sesuai urutan dalam Pengumuman Lelang.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran lelang diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Penjual/Pemilik Barang

Pasal 44
Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab terhadap keabsahan barang yang dilelang dan dokumen persyaratan Lelang.

Pasal 45

(1)   Pemilik Barang dapat menggunakan Jasa Pralelang dan/atau Jasa Pascalelang oleh Balai Lelang dalam setiap pelaksanaan Lelang Non Eksekusi.
(2)   Penjual dalam Lelang Eksekusi dapat menggunakan Jasa Pascalelang melalui Balai Lelang sepanjang tidak merugikan Termohon Eksekusi.

Pasal 46

(1)   Penjual/Pemilik Barang wajib menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Penyelenggara Lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang.
(2)   Penyelenggara Lelang wajib menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada pembeli apabila diminta oleh Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli melunasi kewajibannya.

Pasal 47

Dalam hal yang dilelang barang bergerak, Penjual wajib menguasai fisik barang bergerak yang akan dilelang.

Bagian Kesembilan
Pembeli

Pasal 48

(1) Peserta Lelang dengan penawaran tertinggi yang telah mencapai atau melampaui Nilai Limit ditetapkan sebagai Pemenang Lelang dan disahkan sebagai Pembeli oleh Auksioner.
(2)   Dalam hal pelaksanaan lelang tidak ada Nilai Limit, Peserta Lelang dengan penawaran tertinggi ditetapkan sebagai Pemenang Lelang dan disahkan sebagai Pembelioleh Auksioner.

Pasal 49

Auksioner, Penjual, Pemilik Barang, Pemandu Lelang, dan Penilai yang terkait dengan pelaksanaan lelang, atau pihak lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilarang menjadi pembeli.

 

Pasal 50

(1)   Pembeli yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran sesuai Undang-Undang ini dinyatakan wanprestasi oleh Auksioner.
(2)   Pembeli wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ay at (1) pengesahannya sebagai pembeli dibatalkan oleh Auksioner.
(3)   Dalam hal Pembeli wanprestasi, barang yang dilelang dapat dilelang ulang.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembeli wanprestasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesepuluh
Bea Lelang dan Pembayaran Harga Lelang

Pasal 51

Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang, kecuali untuk lelang tidak ada penawaran.

Pasal 52

Bea Lelang mempunyai hak mendahulu.

Pasal 53

Ketentuan mengenai besaran dan perubahan tarif Bea Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 54

(1)   Pembayaran Harga Lelang dilakukan secara tunai oleh Pembeli kepada Penyelenggara Lelang/Auksioner selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
(2)   Pengecualian jangka waktu pembayaran Harga Lelang diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus dimintakan persetujuan oleh Penjual kepada Menteri sebelum pelaksanaan lelang dilakukan.
(3)   Dalam hal pengecualian jangka waktu pembayaran Harga Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.
(4)   Setiap Pembayaran Harga Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuat Kuitansi atau tanda bukti pembayaran Harga Lelang oleh Penyelenggara Lelang/Auksioner.
 
Pasal 55
(1)   Penyelenggara Lelang menyerahkan Hasil Bersih Lelang kepada Penjual/Pemilik Barang selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah pembayaran diterima.
(2)   Penyelenggara Lelang menyetorkan Bea Lelang, dan Pungutan Lain berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ke Kas Negara, dalam waktu 2 (dua) hari kerja setelah pembayaran diterima

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan, penyetoran dan pembayaran Harga Lelang, Hasil Bersih Lelang, Bea Lelang diatur dengan Peraturan Menteri.
 
Bagian Kesebelas
Perlindungan Pembeli

Pasal 57

Lelang yang telah dilaksanakan sesuai Undang-Undang ini tidak dapat dibatalkan untuk melindungi kepentingan Pembeli yang beritikad baik, kecuali dibatalkan dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

BAB IV
AUKSIONER

Bagian Kesatu

Pengangkatan, Pemberhentian dan Kewenangan


Pasal 58

Auksioner diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 59


(1)   Auksioner dibedakan menjadi:
a.    Auksioner Negara;
b.    Auksioner Swasta.
(2)   Auksioner Negara diangkat dari pegawai negeri sipil untuk jabatan itu.
(3)   Auksioner Swasta diangkat dari orang-orang tertentu untuk jabatan itu.
(4)   Orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari:
a.    Notaris;
b.    Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pernah menjadi Auksioner; atau
c.     lulusan Pendidikan dan Pelatihan Auksioner Swasta.
(5)   Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk diangkat menjadi Auksioner Swasta disyaratkan lulus ujian profesi Auksioner yang diselenggarakan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri.

Pasal 60

(1)   Auksioner Negara berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi dalam wilayah jabatannya.
(2)   Auksioner Swasta berwenang melaksanakan Lelang Non Eksekusi dalam wilayah jabatannya melalui Balai Lelang.
(3)   Auksioner Negara dapat melaksanakan Lelang Non Eksekusi,dalam hal di wilayah jabatannya tidak terdapat Auksioner Swasta dan/atau Balai Lelang/Cabang Balai Lelang yang berkedudukan.
Pasal 61
(1)   Sebelum menjalankan jabatannya, Auksioner wajib mengucapkan Sumpahatau Janji menurut agamanya dan di hadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
(2)   Bunyi Sumpah atau Janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
        "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-Undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Auksioner yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 62

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian Auksioner diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Hak, Kewajiban dan Larangan

Pasal 63
Auksioner berhak:
a.    memimpin Lelang, melaksanakan lelang, menghentikan sementara waktu dan melanjutkan kembalipelaksanaanlelang,mengesahkanPembeli,danmembatalkanPembeliyang wanprestasi; dan
b.    membuat Minuta Risalah Lelang.

Pasal 64

Auksioner berkewajiban:
a.    bertindak jujur, mandiri, dan tidak berpihak;
b.    meneliti kelengkapan dan kebenaran formal dokumen persyaratan Lelang;
c.     membuat dan menyimpan Minuta Risalah Lelang;
d.    memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
e.    membacakan bagian Kepala Risalah Lelang di hadapan penjual dan peserta lelang kecuali lelang melalui teknologi informasi dan komunikasi;
f.      menjaga kelancaran pelaksanaan lelang;
g.    menyerahkan Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah Lelang dan Kutipan Risalah Lelang kepada yang berhak; dan
h.     membuat Protokol Lelang dan menyimp mnya, khusus untuk Auksioner Swasta.

Pasal 65

Auksioner dilarang:
a.    menolak pelaksanaan Lelang yang telah memenuhi persyaratan Lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
b.    menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
c.     membeli barang yang dilelang di hadapannya baik secara langsung maupun melalui perantaraan orang lain;
d.    melaksanakan lelang eksekusi atas barang miliknya atau milik orang yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan dirinya;
e.    melaksanakan lelang diluar kewenangannya; dan
f.      merangkap jabatan sebagai pengurus Balai Lelang.

 

Pasal 66

Auksioner dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara, Juru Sita, Kurator, Panitera, Penyidik, Penilai, Pengacara/Advokat, atau jabatan lain yang oleh peraturan perundangan dilarang dirangkap dengan jabatan Auksioner.

Pasal 67
Auksioner melaksanakan lelang terhadap barang dalam kondisi apa adanya.

Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan, Wilayah Jabatan,
Kantor Auksioner dan Formasi Jabatan

Pasal 68
Auksioner mempunyai tempat kedudukan di kabupaten atau kota dalam wilayah jabatannya.
Pasal 69
(1)   Auksioner Negara mempunyai wilayah jabatan sesuai dengan wilayah kerja Kantor Lelang Negara tempat kedudukannya.
(2)   Auksioner Swasta mempunyai wilayah jabatan tertentu.

Pasal 70
(1)   Auksioner Negara berkantor pada Kantor Lelang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
(2)   Auksioner Swasta wajib mempunyai hanya 1 (satu) kantor.
(3)   Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus berada di tempat kedudukannya.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jabatan Auksioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan kantor Auksioner Swasta sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 72
(1)   Menteri berwenang menentukan formasi jabatan Auksioner di tempat kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Pindah Wilayah Jabatan

Pasal 73
(1)   Auksioner Swasta dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan kepada Menteri.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai perpindahan wilayah jabatan Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Cuti Auksioner

Pasal 74
(1)   Auksioner memiliki hak cuti.
(2)   Hak cuti AuksionerNegaradiatur berdasarkan ketentuan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Auksioner Swasta diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Pemanggilan Auksioner

Pasal 75
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum berwenang memangggil Auksioner dengan Persetujuan tertulis Pengawas Lelang, untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Risalah Lelang yang dibuatnya.

Bagian Ketujuh
Honorarium dan Insentif Lelang

Pasal 76
(1)   Honorarium adalah uang jasa yang diterima oleh Auksioner Swasta atas pelaksanaan lelang non eksekusi.
(2)   Auksioner Swasta berhak menerima honorarium atas jasa pelaksanaan lelang yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.
(3)   Besarnya honorarium yang diterima oleh Auksioner Swasta ditentukan berdasarkan perjanjian antara Auksioner Swasta dengan Balai Lelang.
(4)   Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Balai Lelang.

Pasal 77
(1)   Auksioner dan Pengawas Lelang berhak menerima Insentif Lelang atas jasa pelaksanaan lelang yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.
(2)   Besarnya Insentif Lelang yang diterima oleh Auksioner Negara dan Pengawas Lelang paling banyak 5 % (lima persen) dari Bea Lelang.
(3)   Besarnya Insentif Lelang yang diterima oleh Auksioner Swasta dan Pengawas Lelang paling banyak 50 % (lima puluh persen) dari Bea Lelang.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Insentif Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
RISALAH LELANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 78
(1)   Setiap pelaksanaan lelang wajib dibuatkan Risalah Lelang.
(2)   Risalah Lelang bukan merupakan objek Tata Usaha Negara.
(3)   Minuta Risalah Lelang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Bagian Kedua
Bentuk Risalah Lelang

Pasal 79
(1)   Risalah Lelang terdiri atas:
a.    Bagian Kepala;
b.    Bagian Badan; dan
c.     Bagian Kaki.
(2)   Bagian Kepala Risalah Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a.    hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan angka;
b.    nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili dari Auksioner;
c.     nomor, dan tanggal Surat Keputusan Pengangkatan Auksioner;
d.    nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili penjual;
e.    nomor, dan tanggal surat permohonan lelang;
f.      tempat pelaksanaan lelang;
g.    sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang;
h.     dalam hal yang dilelang barang bergerak harus disebutkan jumlah, jenis/ spesifikasi; i.dalam hal yang dilelang barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan harus disebutkan:
1.     status hak tanah atau surat-surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan;
2.     surat keterangan tanah dari Kantor Pertanahan; dan
3.     keterangan lain yang membebani tanah tersebut; j.pengumuman lelang; dan
k.     syarat-syarat lelang.
(3)   Bagian Badan Risalah Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a.    banyaknya penawaran lelang yang masuk dan sah;
b.    nama barang yang dilelang;
c.     nama, pekerjaan dan alamat Pembeli, sebagai Pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain;
d.    bank kreditor sebagai Pembeli untuk orang atau Badan yang akan ditunjuk namanya, dalam hal bank kreditor sebagai Pembeli;
e.    Harga Lelang dengan angka dan huruf; dan
f.      daftar barang yang laku terjual/ditahan memuat nilai, nama, alamat Pembeli.
(4)   Bagian Kaki Risalah Lelang sekurang-kurangnya memuat:
a.    banyaknya barang yang ditawarkan/ dilelang dengan angka dan huruf;
b.    jumlah nilai barang-barang yang telah terjual dengan angka dan huruf;
c.     jumlah nilai barang-barang yang ditahan dengan angka dan huruf;
d.    banyaknya surat-surat yang dilampirkan pada Risalah Lelang dengan angka dan huruf;
e.    jumlah perubahan yang dilakukan (tambahan, coretan dengan penggantin atau coretan tanpa penggantian) maupun tidak adanya perubahan ditulis dengan angka dan huruf; dan
f.      tanda tangan Auksioner dan Penjual/kuasa Penjual dalam hal lelang barang bergerak; atau tanda tangan Auksioner, Penjual/kuasa Penjual dan Pembeli/kuasa Pembeli dalam hal lelang barang tidak bergerak.
 
Pasal 80
(1)   Penandatangan Risalah Lelang dilakukan oleh Auksioner pada tiap lembar bagian kanan atas Minuta Risalah Lelang dengan pengecualian lembar terakhir.
(2)   Lembar terakhir Minuta Risalah Lelang barang bergerak ditandatangani oleh Auksioner dan Penjual.
(3)   LembarterakhirMinutaRisalah Lelang barang tidak bergerak ditandatangani oleh Auksioner, Penjual dan Pembeli.
(4)   Penandatanganan Minuta Risalah Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan pada hari pelaksanaan lelang.
(5)   Dalam hal Penjual tidak menghendaki untuk menandatangani atau tidak hadir pada waktu penandatanganan Minuta Risalah Lelang, hal tersebut dicatat pada bagian bawah Kaki Risalah Lelang dan berlaku sebagai tanda tangan.
(6)   Bea meterai untuk Minuta Risalah Lelang menjadi beban Penjual.
 
Pasal 81
(1)   Apabila terjadi hal-hal penting yang diketahui setelah penandatanganan Minuta Risalah Lelang, Auksioner mencatat hal-hal tersebut di bawah bagian Kaki Risalah Lelang.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Minuta, Grosse, Salinan dan Kutipan Risalah Lelang

Pasal 82
Kantor Lelang Negara/Auksioner Swasta hanya dapat memperlihatkan atau memberitahukan Minuta Risalah Lelang, kepada orang yang berkepentingan langsung dengan Risalah lelang, ahli waris atau orang yang memperoleh hak kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
 
Pasal 83
(1)   Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah lelang atau Kutipan Risalah Lelang dibuat oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau Auksioner Swasta dengan diberikan tanggal pengeluaran dan tanda tangan.
(2)   Kantor Lelang Negara/Auksioner memberikan Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah Lelang atau Kutipan Risalah Lelang kepada orang yang berkepentingan langsung dengan Risalah lelang atau ahli warisnya atau orang yang memperoleh hak kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
 
Pasal 84
(1)   Auksioner membuat catatan pada Minuta Risalah lelang mengenai penerima Grosse Risalah Lelang dan tanggal pengeluaran dan catatan tersebut ditandatangani olehnya.
(2)   Grosse Risalah lelang yang dibuat Auksioner merupakan salinan Risalah lelang yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
(3)   Grosse Risalah Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bagian kepala Risalah Lelang memuat frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan pada lembar terakhir Risalah Lelang memuat frasa "diberikan sebagai grosse pertama" dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan tanggal pembuatannya.
(4)   Pengeluaran Grosse Risalah Lelang kedua atau selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) berdasarkan penetapan pengadilan.
 
Pasal 85
(1)   Minuta Risalah Lelang, Grosse Risalah Lelang, Salinan Risalah lelang atau Kutipan Risalah Lelang wajib dibubuhi teraan cap/stempel.
(2)   Teraan cap sebagimana dimakud pada ayat (1) harus pula dibubuhkan pada salinan surat yang dilekatkan pada Minuta Risalah Lelang.
 
Pasal 86
(1)   Kutipan Risalah Lelang diserahkan oleh Penyelenggara Lelang kepada Pembeli paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Pembeli melunasi seluruh kewajibannya.
(2)   Kutipan Risalah Lelang untuk barang bergerak yang tidak memerlukan balik nama dapat tidak dibuat dalam hal Pembeli tidak memintanya.
 
Bagian Keempat
Penyimpanan Minuta Risalah Lelang

Pasal 87
(1)   Minuta Risalah Lelang yang dibuat oleh Auksioner Negara disimpan oleh Kantor Lelang Negara.
(2)   Minuta Risalah Lelang dibuat dan disimpan oleh Auksioner Swasta.
(3)   Jangka Waktu Simpan Minuta Risalah Lelang selama 30 (tiga puluh) tahun.

Bagian Kelima
Pengambilan Minuta Risalah Lelang

Pasal 88
(1)   Minuta Risalah Lelang tidak dapat diambil oleh siapapun kecuali oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau Auksioner Swasta dalam rangka pembuktian di muka Hakim.
(2)   Dalam rangka kepentingan proses peradilan, fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta Risalah Lelang dapat diberikan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim, dengan persetujuan Pengawas Lelang Daerah bagi Auksioner Swasta atau Kepala Kantor Lelang Negara bagi Auksioner Negara.
(3)   Pengambilan fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berita acara pcnyerahan.
 
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai Risalah Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LELANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 90
(1)   Pembinaan dan Pengawasan terhadap Penyelenggara Lelang dan Auksioner dilakukan oleh Menteri.
(2)   Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan pejabat yang diangkat sebagai Pengawas Lelang.
(3)   Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    teknis operasional lelang;
b.    administrasi lelang;
c.     Auksioner yang melakukan perbuatan tercela; atau
d.    Auksioner Negara yang melakukan pelanggaran yang dijatuhi hukuman disiplin sedang atau berat berdasarkan peraturan perundang-undangan kepegawaian.

Bagian Kedua
Pengawas Lelang

Pasal 91
Pengawas Lelang terdiri atas :
a. Pengawas Lelang Daerah
b. Pengawas Lelang Pusat
 
Pasal 92
Pengawas Lelang Daerah mempunyai wilayah kerja satu provinsi atau lebih dan berkedudukan di salah satu ibukota provinsi yang bersangkutan.
 
Pasal 93
(1)   Pengawas Lelang Daerah berwenang untuk :
a.    menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan yang berkaitan dengan perbuatan tercela yang dilakukan oleh Auksioner;
b.    melakukan pemeriksaan dan mengambil kesimpulan mengenai adanya dugaan yang berkaitan dengan perbuatan tercela yang dilakukan oleh Auksioner;
c.     memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Auksioner;
d.    mengusulkan pemberhentian Auksioner dengan hormat;
e.    mengusulkan pemberian sanksi terhadap Auksioner kepada Pengawas Lelang Pusat sebagaimana dimaksud pada huruf b berupa:
1.     pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2.     pemberhentian dengan tidak hormat;
f.      menentukan pelayanan lelang lebih lanjut dalam hal Auksioner Swasta diberhentikan sementara;
g.    menentukan tempat penyimpanan Protokol Lelang dari Auksioner Swasta yang diberhentikan tidak dengan hormat atau dengan hormat;
h.     menentukan tempat penyimpanan Protokol Lelang yang pada saat serah terima telah berumur 30 (tiga puluh) tahun;
i.      memberikan izin pelaksanaan Lelang Non Eksekusi di luar wilayah kerja Kantor Lelang dalam wilayah pengawasannya tempat barang berada; j.memberikan izin pelaksanaan lelang di luar hari dan jam kerja untuk Kantor Lelang Negara dalam wilayah pengawasannya;
k.     mengusulkan formasi bagi Auksioner; dan
l.      memanggil Auksioner terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2)   Keputusan Pengawas Lelang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bersifat final.
 
Pasal 94
Pengawas Lelang Daerah memiliki kewajiban untuk :
a.    memeriksa, membuat berita acara pemeriksaan dan mengambil kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan menyampaikan tembusannya kepada Pengawas Lelang Pusat, pihak yang melaporkan, Auksioner yang bersangkutan dan Organisasi Auksioner;
b.    merahasiakan hasil pemeriksaan;
c.     menyampaikan keputusan pemberian cuti kepada Auksioner Swasta;
d.    menyampaikan permohonan banding terhadap putusan atas usul penjatuhan sanksi atau penolakan cuti kepada Pengawas Lelang Pusat;
e.    mengawasi agar lelang dilaksanakan sesuai ketentuan;
f.      melakukan verifikasi serta mengesahkan laporan-laporan lelang;
g.    melakukan verifikasi Risalah Lelang;
h.     melaksanakan pemeriksaan terhadap kinerja Auksioner yang berada dalam wilayah kerjanya secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
i.      melakukan pembinaan dan pengawasan Kantor Lelang yang ada di Wilayah Kerjanya
j.      menyampaikan putusan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf c dan huruf d kepada Auksioner yang bersangkutan dan Pengawas Lelang Pusat.
k.     membuat berita acara pemeriksaan dan putusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada huruf f; dan
l.      membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j kepada Pengawas Lelang Pusat
 
Pasal 95
Pengawas Lelang Pusat berkedudukan di ibukota negara.
 
Pasal 96
(1)   Pengawas Lelang Pusat berwenang untuk :
a.    memeriksa, meneliti dan mengambil keputusan terhadap usul penjatuhan sanksi;
b.    mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti Auksioner Swasta;
c.     memanggil Auksioner terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d.    menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
e.    mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri; dan
f.      memberikan izin pelaksanaan lelang non eksekusi atas barang yang berada antar wilayah pengawasan Pengawas Lelang Daerah;
(2)   Keputusan Pengawas Lelang Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d bersifat final.
 
Pasal 97
Pengawas Lelang Pusat berkewajiban untuk :
a.    menyampaikanputusansebagaimanadimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a kepada Menteri dan Auksioner yang bersangkutan dengan tembusan kepada Pengawas Lelang Daerah yang bersangkutan dan Organisasi Auksioner;
b.    mengawasi agar lelang dilaksanakan sesuai ketentuan;
c.     melakukan verifikasi serta mengesahkan laporan-laporan lelang;
d.    melakukan verifikasi Risalah Lelang;
e.    melakukan pembinaan dan pengawasan Kantor Lelang;
f.      membuat berita acara pemeriksaan, putusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a; dan
g.    membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e dan huruf f diatas kepada Menteri.

Pasal 98
Pengawas Lelang Daerah menyimpan Protokol Lelang dari Auksioner Swasta yang diberhentikan sementara.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembinaan dan Pengawasan Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
BAB VII
KETENTUAN SANKSI DAN PIDANA

Bagian Kesatu
Sanksi

Pasal 100
(1)   Auksioner yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 34, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 55, Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 59 ayat (4), Pasal 59 ayat (5), Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 70, Pasal 87 ayat (2), dikenakan sanksi oleh Pengawas Lelang, berupa:
a.    Peringatan Tertulis;
b.    Pemberhentian Sementara; dan/atau
c.     Pemberhentian tidak dengan hormat.
(2)   Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan gugatan perdata maupun tuntutan pidana.
(3)   Auksioner Negara yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan dikenakan sanksi tambahan sesuai dengan Peraturan Kepegawaian yang berlaku.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi bagi Auksioner diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 101
(1)   Balai Lelang yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 11, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 33 ayat (2), Pasal 34, Pasal 46, Pasal 54 ayat (4), Pasal 55, dan Pasal 86, dapat dikenakan sanksi, berupa:
a.    Peringatan tertulis; dan/atau
b.    Pencabutan izin operasional.
(2)   Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan gugatan perdata maupun tuntutan pidana kepada Balai Lelang dan/atau komisaris/dewan pengawas, direksi/pengurus baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi bagi Balai Lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Ketentuan Pidana

Pasal 102
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling rendah 100 % (seratus persen) dari Harga Lelang.
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum/usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap badan hukum/usaha dan/atau komisaris/dewan pengawas, direksi/pengurus baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
(3)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 103
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
 
Pasal 104
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 41 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 105
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
 
Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pejabat Lelang Klas I dinyatakan sebagai Auksioner Negara dan Pejabat Lelang Klas II dinyatakan sebagai Auksioner Swasta, tetap dapat melaksanakan kewenangan jabatannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
 
Pasal 107
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Balai Lelang yang sudah ada masih dapat melakukan kegiatan usahanya sepaniang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 108
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini Minuta Risalah Lelang yang telah melewati jangka waktu penyimpanan 30 (tiga puluh) tahun harus diserahkan kepada Arsip Nasional.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 109
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 
Pasal 110
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan sejak tanggal pengundangan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal............................,.................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

(tanda tangan)

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...........
MENTERI..............

(tanda tangan)

NAMA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN.......... NOMOR..........





PENJELASAN
ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR............TAHUN.............
TENTANG LELANG

I.      UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin seluruh sendi kehidupan rakyat Indonesia termasuk pembangunan hukum nasional. Pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembontukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.

Produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional sehingga tercipta suatu keselarasan dan keseimbangan antara kejtentingan negara, perseorangan, dan kepentingan umum.Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang Lelang. Selarna ini yang menjadi dasar hukum Lelang di Indonesia adalah Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3), sebagai produk peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yang kurang memperhatikan tatanan hukum nasional bangsa Indonesia. Selain itu Vendu Reglement tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena sebagian besar pasalnya sudah dicabut, tidak efektif, dan sudah tidak dapat menampung adanya perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang dinamis khususnya tuntutan peran swasta pada pelayanan Lelang Non Eksekusi dan penggunaan teknologi dalam pelaksanaan Lelang.

Lelang menjadi suatu bagian penting yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional karena dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, lelang merupakan salah satu sarana penegakan hukum untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Atas dasar kenyataan tersebut, perlu segera ditetapkan Undang-Undang tentang Lelang untuk memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjamin hak dan kewajiban para pihak yang menggunakan lelang, menjamin rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui lelang, memelihara integritas Auksioner dan melindungi kepentingan profesi Auksioner sesuai standar dan kode etik profesi.

Selain itu, Undang-Undang Lelang ini juga dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum Lelang sebagai penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran secara kompetisi untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, dan harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Auksioner, dan olehnya dibuat berita acara pelaksanaan lelang yang disebut Risalah Lelang. Pengumuman lelang dimaksudkan untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan(verzet). Auksioner adalah pejabat umum yang berwenang untuk

melaksanakan Lelang dan membuat Risalah Lelang yang merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sebagai akta otentik Risalah Lelang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, sehingga diharapkan mampu menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Pengadaan barang/jasa yang pelaksanaannya dilakukan dengan "penawaran umum" atau yang lazim disebut dengan "lelang tender" tidak termasuk ruang lingkup lelang yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Menteri Keuangan menyelenggarakan fungsi regulator lelang. Dalam rangka menjalankan fungsi regulator lelang, Menteri Keuangan berwenang untuk:
1.    Menyusun, menetapkan dan memberlakukan standar Jasa Pelayanan Lelang oleh Kantor Lelang dan Balai Lelang;
2.    Menyusun kebijakan Pendidikan dan Pelatihan dan Uji Kelayakan/Sertifikasi Auksioner;
3.    Melakukan Pengangkatan dan Pemberhentian Auksioner;
4.    Melakukan Pembinaan dan Pengawasan Auksioner;
5.    Melakukan Registrasi Asosiasi Profesi Auksioner;
6.    Memberikan dan mencabut izin operasional Balai lelang;
7.    Melakukan Pembinaan dan Pengawasan Kantor Lelang dan Balai Lelang; dan
8.    Memberikan Sanksi Administrasi kepada Auksioner dan Balai Lelang.
Lelang yang diatur dalam Undang-Undang ini dalam pelaksanaannya memiliki dua fungsi, yaitu:
1.    Fungsi privat yang tercermin pada saat digunakan masyarakat yang secara sukarela memilih menjual barang miliknya secara lelang untuk memperoleh harga yang optimal.
2.    Fungsi publik yang tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di bidang penegakan hukum sesuai ketentuan yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Acara Pidana dan Perdata, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Panitia Urusan Piutang Negara Undang-Undang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Kepailitan. Selain itu Lelang juga digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan/atau Kekayaan Negara yang dipisahkan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan/atau Pemindahtanganan Barang-Barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara sekaligus untuk mengumpulkan penerimaan negara.

Kedua fungsi tersebut akan dapat dicapai apabila dalam setiap pelaksanaan lelang selalu memperhatikan asas lelang yaitu: Asas Keterbukaan, Asas Keadilan, Asas Kepastian Hukum, Asas Efisiensi dan Asas Akuntabilitas.

Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadi praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan Auksioner kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.

Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Auksioner yang merupakan akte otentik. Risalah Lelang digunakan Penjual/Pemilik barang, Pembeli dan Auksioner untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan kewajibannya .

Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan Pembeli disahkan pada saat itu juga.

Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Auksioner dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggung-jawaban Auksioner meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.

 

II.    PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
        Cukup jelas
Pasal 2
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI)" adalah Lelang SBI yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Lelang Surat Utang Negara (SUN)" adalah lelang surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Lelang Ikan Segar" adalah lelang ikan dan sejenisnya dari hasil tangkapan nelayan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan "Lelang Amal" adalah lelang dalam rangka pengumpulan dana yang hasilnya untuk kepentingan sosial.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "Lelang Penyerahan Kemudian (future trading)" adalah lelang terhadap komoditi yang akan ada di kemudian hari.
Huruf g
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksuddengan "teknologi informasi dan komunikasi"antara lain Internet, telepon.
Ayat (3)
Dalam pelaksanaan lelang ulang, lelang tetap sah meskipun diikuti oleh l(satu) peserta lelang.
Ayat (4)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.     batasan jenis teknologi informasi dan komunikasi;
b.     batasan penyelenggara leiang teknologi informasi dan komunikasi;
c.     pelaksanaan lelang teknologi informasi dan komunikasi;
d.     pembayaran hasil lelang teknologi informasi dan komunikasi;
Pasal 4
            Pada dasarnya semua barang dapat dilelang. Meskipun demikian, peraturan Perundang-undangan dapat menetapkan larangan lelang barang tertentu. Pengertian Barang Bergerak, Barang Tidak Bergerak, Barang Berwujud dan Tidak Berwujud adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual atau ketentuan Undang-Undang lain yang berlaku.
Pasal 5
        Cukup jelas
Pasal 6
        Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi :
a.     jenis Buku Administrasi Lelang yang harus dibuat;
b.     jenis laporan yang harus dibuat;
c.     batasan waktu penyampaian laporan.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Penjual menggunakan Jasa Pascalelang Balai Lelang harus memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari Pemilik barang aslinya. Apabila ada pihak yang dirugikan karena penggunaan Jasa Pascalelang Balai Lelang, maka Penjual dan Balai Lelang bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain meliputi:
a.    kriteria pemberian dan pencabutan izin operasional;
b.    syarat-syarat pendirian;
c.     tata cara jasa Pralelang dan Jasa Pascalelang.
d.    bentuk klausula perikatan perdata Balai Lelang dengan Auksioner Swasta
Pasal 19
Ayat (1)
Permohonan Lelang Eksekusi diajukan ke Kantor Lelang Negara, sedangkan permohonan Lelang Non Eksekusi diajukan ke Balai Lelang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi
a.     rincian dokumen persyaratan lelang menurut jenis lelangnya;
b.     pengurusan Surat Keterangan Tanah.
Pasal 20
        Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kantor Lelang dalam menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan lelang dapat mempertimbangkan usulan penjual.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.     tata cara pengajuan syarat-syarat lelang yang diajukan oleh Pemohon Lelang;
b.     rincian dan batasan syarat-syarat khusus.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri adalah serendah-rendahnya Pejabat Eselonll yang bidang tugasnya berkaitan dengan Lelang.
Pasal 24
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.    kriteria waktu lelang eksekusi;
b.    batasan tempat pelaksanaan lelang non eksekusi atas barang yang berada di luar wilayah jabatan Auksioner.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud Peradilan meliputi Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Lelang Eksekusi yang dimaksud dalam ketentuan ini antara lain meliputi Lelang Eksekusi Pengadilan terhadap barang sitaan yang tidak dibebani Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi Piutang Negara terhadap harta kekayaan lain, Lelang Eksekusi Pajak.
Huruf e
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa dalam ketentuan ini antara lain objek lelang musnah, terjadi bencana alam, huru hara atau ancaman langsung terhadap keselamatan Auksioner.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setelah Pengumuman Lelang, Penjual juga diperkenankan mengundang pihak lain melalui selebaran atau undangan untuk menjadi peserta lelang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hari" adalah hari kalender.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penurunan nilai ekonomis sesuai sifat dan kondisi barang yang pada akhirnya dapat mempengaruhi Harga Lelang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk efisiensi, karena biaya pengumuman tidak sebanding dengan nilai barang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain
a.    kriteria surat kabar harian untuk Pengumuman Lelang Eksekusi;
b.    pencantuman pengumuman lelang pada surat kabar harian "halaman utama" bukan halaman suplemen;
c.     ukuran minimal pengumuman lelang dan tidak boleh menggunakan iklan baris pada surat kabar harian.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Yang dimaksud dengan yang berhak adalah Balai Lelang, Pemilik Barang, dan Auksioner Swasta.
Pasal 35
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengenai penatausahaan Uang Jaminan Lelang.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
1.     Yang dimaksud dengan "Penawaran Lelang secara Langsung" adalah penawaran lelang yang dilakukan oleh peserta Lelang di tempat lelang.
2.     Yang dimaksud dengan "Penawaran Lelang Tidak langsung" adalah penawaran lelang yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dan Peserta Lelang tidak berada di tempat lelang.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penawaran lelang dengan cara tertulis dilanjutkan dengan lisan" adalah penawaran lelang yang dimulai dengan penawaran tertulis dan apabila belum mencapai Nilai Limit, penawaran dilanjutkan dengan cara lisan semakin meningkat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Penentuan Pemenang Lelang sebagaimanadimaksud pada huruf adilakukan apabila disetujui oleh semua Penawar tertinggi yang sama.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.    tata cara perhitungan dalam penawaran lelang inklusif dan eksklusif;
b.    administrasi penawaran lelang secara tertulis.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan karena penggunaan Jasa Pasca lelang oleh Balai Lelang, Penjual bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "Penjual" meliputi juga semua anggota Panitia Lelang, dalam hal penjual merupakan Panitia Lelang.
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat/Pengacara, Notaris, dan Juru Sita.
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kewajiban pembayaran" adalah kewajiban pembayaran Harga Lelang dan Bea Lelang sesuai ketentuan yang berlaku
Yang dimaksud dengan "Wanprestasi" adalah Pembeli tidak memenuhi seluruh kewajiban pembayaran daiam tenggang waktu yang telah ditentukan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.     pembagian uang jaminan pembeli wanprestasiKas Negara, Kas Daerah, Penjual, dan/atau Balai Lelang;
b.     tata cara pernyataan sebagai Pembeli wanprestasi;
c.     sanksi bagi Pembeli wanprestasi.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengamankan hak negara atas Pelaksanaan lelang.
Pasal 53
        Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara tunai" adalah pembayaran yang dilakukan secara kontan dan sekaligus. Pembayaran tunai dapat dilakukan dengan uang tunai, cek/giro, atau melalui transfer.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain mengenai tata cara pemungutan, penyetoran dan pembayaran Harga Lelang, Hasil Bersih Lelang, Bea Lelang.
Pasal 57
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi Pembeli yang beritikad baik. Pihak-pihak yang dirugikan akibat dari pelaksanaan lelang hanya dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri dan tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Notaris yang diangkat menjadi Auksioner Swasta tetap dapat melaksanakan tugas sebagai Notaris.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Hal-hal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain meliputi:
a.    kriteria pengangkatan Auksioner;
b.    kriteria pemberhentian Auksioner.
Pasal 63
Huruf a
Yang dimaksud dengan " melaksanakan lelang" adalah Auksioner langsung melaksanakan lelang sendiri dan/atau melaksanakan lelang yang diselenggarakan oleh Balai Lelang. Yang dimaksud dengan "menghentikan sementara waktu" adalah menunda sementara pelaksanaan lelang untuk kemudian dilanjutkan kembali pada hari yang sama. Misalnya dalam hal terjadi ketidaktertiban pada saat pelaksanaan lelang.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 64
Huruf a
Yang dimaksud dengan:
(l)     "jujur" adalah tidak curang atau tidak berbohong;
(2)   //mandiri// adalah tidak bergantung pada orang lain;
(3)   "tidak berpihak" adalah tidak memihak kepada salah satu peserta lelang atau kepada Penjual dalam melaksanakan lelang.
Huruf b
Penelitian yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan legalitas subyek dan objek lelang. Namun demikian Auksioner tidak bertanggung jawab atas kebenaran materiil barang yang akan dilelang.
Huruf c
Kewajiban membuat dan menyimpan MinutaRisalah Lelang dimaksudkan untuk menjaga keotentikan Risalah Lelang dalambentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan Grosse, Salinan atau Kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokan dengan Minuta (asli) Risalah Lelang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Untuk menjaga kelancaran pelaksanaan lelang Auksioner dapat meminta bantuan aparat keamanan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 65
Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan pengguna jasa lelang.
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada pengguna jasa lelang dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antara Auksioner dalam menjalankan tugasnya.
Huruf c
Auksioner dilarang membeli barang yang dilelang di hadapannya, termasuk pada lelang melalui teknologi inf ormasi dan komunikasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hubungan langsung" adalah Auksioner mempunyai hubungan darah atau semenda sampai derajat kedua dengan pemilik barang yang dilelang, sedangkan yang dimaksud dengan "hubungan tidak langsung" adalah Auksioner mempunyai hubungan hukum dengan pemilik barang yang dilelang.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 66
Jabatan Auksioner dilarang dirangkap dengan jabatan tersebut untuk lebih menjamin profesionalisme dan independensi Auksioner serta menghindari timbulnya benturan kepentingan dari perangkapan jabatan tersebut.
Yang dimaksud dengan "Pejabat Negara", antara lain Presiden, Menteri, anggota Lembaga Negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 67
Yang dimaksud dengan "barang dalam kondisi apa adanya" adalah keadaan barang dengan segala kekurangan-kekurangan/kerusakan-kerusakan dan/atau kelebihan-kelebihan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Pembeli dianggap telah mengetahui barang yang dilelang dan apabila terdapat kekurangan/kerusakan baik yang terlihat maupun tidak terlihat, Pembeli tidak berhak menolak atau menarik diri setelah disahkan sebagai Pembeli dan melepaskan segala hak untuk meminta kerugian atas pembelian tersebut.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Dengan hanya memiliki satu kantor, berarti Auksioner Swasta dilarang memiliki kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 71
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.    batasan wilayah jabatan Auksioner Swasta.
b.    Kriteria Kantor Auksioner Swasta
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Formasi" adalah kebutuhan akan pengisian jabatan Auksioner.
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain mengenai kriteria penentuan formasi jabatan Auksioner Swasta ditentukan dengan perekonomian daerah yang bersangkutan dan potensi lelang.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalamPeraturan Menteri antara lain mengenai prosedur dan kriteria perpindahan wilayah jabatan Auksioner Swasta.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal terjadi Auksioner Negara cuti, Pengawas Lelang menunjuk Auksioner Negara lain yang berada dalam wilayah kerja Pengawas Lelang untuk melaksanakan Lelang sampai dengan Auksioner yang bersangkutan bertugas kembali.
Ayat (3)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain mengenai prosedur dan kriteria cuti Auksioner Swasta.
Pasal 75
Cukup jeias
Pasal 76
        Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Insentif lelang dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai stimulus bagi Auksioner Negara untuk mengoptimalkan Harga Lelang dan sesuai dengan besarnya risiko dan beban kerja dalam melaksanakan lelang.
Ayat (3)
Insentif lelang dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai stimulus bagi Auksioner Swasta untuk mengoptimalkan Harga Lelang dan sesuai dengan besarnya risiko dan beban kerja dalam melaksanakan lelang juga sebagai biaya operasional.
Ayat (4)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengenai prosedur dan kriteria Insentif Lelang.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2).;
Cukup jelas.
Ayat (3)
Minuta Risalah Lelang dibuat dalam bahasa Indonesia, namun untuk Kutipan Risalah Lelang dapat dibuat dalam Bahasa Asing oleh penterjemah yang telah diangkat sumpah oleh pemerintah atas beban Pembeli.
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.     kriteria hal-hal penting;
b.     tata cara pencatatan pada bagian Kaki Risalah Lelang.
Pasal 82
Pihak yang berkepentingan langsung dalam hal ini adalah Penjual, Pembeli atau Instansi pemerintah.
Pasal 83
Ayat (1)
Penandatanganan Kutipan Risalah Lelang atas Tanah dan/atau Bangunan dilakukan setelah Pembeli menunjukkan bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Grosse Risalah Lelang dibuat antara lain untuk digunakan oleh Pembeli dalam rangka upaya paksa pengosongan tanah dan atau bangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran Grosse Risalah Lelang kedua atau selanjutnya hanya disebabkan Grosse Risalah Lelang pertama hilang.
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan seluruh kewajibannya adalah pembayaran Harga Lelang, Bea Lelang, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) dan pungutan lain yang diatur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Setelah melewati jangka waktu 30 (tga puluh) tahun, maka Minuta Risalah Lelang diserahkan kepada Arsip Nasional.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.    tata cara pembuatan Risalah Lelang;
b.    standarisasi klausul Risalah Lelang;
c.     tata cara pembetulan atau pencoretan Risalah Lelang.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbuatan Tercela" adalah perbuatan yang bertentangan dengan Norma Agama, Norma Susila, dan Norma Adat.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
        Cukup jelas
Pasal 94
        Cukup jelas
Pasal 95
        Cukup jelas
Pasal 96
        Cukup jelas
Pasal 97
        Cukup jelas
Pasal 98
        Cukup jelas
Pasal 99
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri antara lain meliputi:
a.    tata cara pengawasan dan pembinaan Kantor Lelang;
b.    tata cara pengawasan dan pembinaan Auksioner;
Pasal 100
Ayat (1)
Pengenaan sanksi oleh Pengawas Lelang pada ayat ini berkaitan dengan status sebagai Auksioner
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengenaan sanksi tambahan untuk Auksioner Negara pada ayat ini berkaitan dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (4)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain meliputi:
a.     kriteria penjatuhan sanksi Teguran Tertulis, Pemberhentian Sementara, Pemberhentian tidak dengan hormat;
b.     tata cara penjatuhan sanksi.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2).
Cukup jelas
Ayat (3);
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain meliputi:
a.     kriteria penjatuhan sanksi Peringatan Tertulis dan Pencabutan izin operasional;
b.     tata cara penjatuhan sanksi;
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
        Cukup jelas
Pasal 104
        Cukup jelas
Pasal 105
        Cukup jelas
Pasal 106
        Cukup jelas
Pasal 107
        Cukup jelas
Pasal 108
        Cukup jelas
Pasal 109
        Cukup jelas
Pasal 110
        Cukup Jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar