Jumat, 17 Maret 2017

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO 49/P/HUM/2010 (Persekutuan Perdata Notaris)



BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang
Persekutuan Perdata atau dalam bahasa Belanda disebut Burgelijke Maatschap diatur dalam pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) yang berbunyi:
“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.”

Dari pasal ini dapat ditarik unsur-unsur dalam membentuk persekutuan perdata yaitu adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng), bermaksud membagi keuntungan bersama.

Ada dua macam bentuk persekutuan perdata menurut pasal 1620 sampai dengan pasal 1623 KUH Perdata yaitu:
  1. Persekutuan umum (algehele maatschap) yaitu perserikatan yang tidak mengadakan perincian, baik seluruhnya ataupun sebagian harta kekayaan tertentu yang dimasukkan oleh para teman serikat (pesero/teman serikat).
  2. Persekutuan khusus (bijzondere maatschap) yaitu perserikatan yang inbreng (pemasukan)nya dari para teman serikat ditentukan secara terperinci baik seluruhnya maupun sebagian.
Keahlian sebagai Notaris dapat menjadi modal bagi para notaris untuk membuka kantor bersama. Hal ini dikarenakan keahlian sebagai notaris merupakan suatu keterampilan yang khusus dan spesifik sehingga dapat memberikan manfaat bagi perserikatan perdata. Hal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyatakan:
“Notaris dapat menjalankan dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.”

Penggunaan kata ‘persekutuan’ dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris berbeda dengan pasal 20 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya ditulis UU 30/2004) yang menggunakan istilah ‘perserikatan’.
Istilah perserikatan juga digunakan dalam peraturan organic sebagai perpanjangan pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 yaitu Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata (selanjutnya disebut Permen Perserikatan Perdata Notaris).
Dalam kepustakaan ilmu hukum, istilah persekutuan bukanlah istilah tunggal, karena ada istilah pendampingnya yaitu perseroan, dan perserikatan.[1] Dalam tulisan ini akan digunakan terminologi ‘perserikatan perdata’ yang mengacu pada terminologi yang digunakan dalam Permen Perserikatan Perdata Notaris.
Adapun Persyaratan untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan perdata Notaris diatur di dalam Bab II Persyaratan Pendirian Perserikatan Pasal 3 ayat (1) Permen Perserikatan Perdata:
(1) a. telah diangkat dan mengucapkan sumpah/janji untuk menjalankan jabatannya;
  1. mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota yang sama;
  2. tidak dalam proses pemberhentian sementara atau pemberhentian sebagai Notaris;
  3. tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat negara;
  4. mempunyai kondite baik; dan
  5. tidak dalam hubungan perkawinan atau semenda dan/atau tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, atau garis ke samping sampai derajat kedua, dengan teman serikat lainnya.
Kemudian untuk persyaratan pendirian Perserikatan Perdata Notaris telah dirumuskan di dalam pasal 4  ayat (1) dan ayat (2) Permen Perserikatan Perdata sebagai berikut :
(1) Perserikatan didirikan oleh 2 (dua) atau lebih Notaris berdasarkan perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal tardapat Teman Serikat dalam Perserikatan yang mempunyai hubungan:
  1. perkawinan atau semenda; dan/atau
  2. darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau garis ke samping sampai derajat kedua harus ada Teman Serikat lainnya yang tidak mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan/atau huruf b, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Teman Serikat yang bersangkutan dan surat keterangan tersebut dilampirkan bersama dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
Masalah kemudian timbul ketika ada Notaris yang ingin membentuk persekutuan perdata bersama Notaris lain yang masih memiliki hubungan sedarah dan kekeluargaan seperti dimaksud pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata, walaupun berada dalam satu wilayah kerja yang sama.
Kasus ini dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung  Nomor 49/P/HUM/2010 tentang permohonan uji materiil yang diajukan oleh Sutjipto SH., M.Kn, Aristiya Agung Setiawan, SH., M.Kn., dan Arianti Artisari, SH., M.Kn, (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon) yang pada tanggal 30 Juli 2010 mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil terhadap pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata (Permen Perserikatan Perdata Notaris) melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberi kuasa kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH., Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kmenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31 Agustus 2010 selanjutnya memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum. Drs. Suparno, SH., MH., Nur Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH., MH., Hedra Adi Satya untin, SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah disebut memegang jabatan masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum dan Hak Asasi Manusia , selanjutnya disebut sebagai Termohon.

  • Rumusan Masalah
Untuk menganalisan Putusan Mahkamah Agung Nomor 49P/HUM/2010 perlu dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
  1. Bagaimana posisi kasus terkait dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010 ?
  2. Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan melakukan Hak Uji Materiil terhadap Permen Perserikatan Perdata Notaris ?
  3. Bagaimana Legal Standing para Pemohon ?
  4. Mengapa Notaris yang memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan perserikatan perdata Notaris ?

  • Tujuan Permasalahan
  1. Untuk mengetahui posisi kasus sebelum menganalisa lebih jauh tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010.
  2. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam melakukan Hak Uji Materiil (judicial review) terhadap Permen Perserikatan Perdata Notaris.
  3. Untuk mengetahui kedudukan hokum (legal standing) para Pemohon dalam mengajukan permohonan Hak Uji Materiil.
  4. Untuk mengetahui alasan dan/atau dasar pertimbangan sehingga Notaris yang memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan perserikatan perdata Notaris
BAB II
PEMBAHASAN

  • Posisi Kasus Putusan MA No. 49 P/HUM/2010
Bahwa 1, Sutjipto, SH M.Kn, 2, Aristiya Agung setiawan SH, M.Kn dan Aryanti Artisari SH,M.Kn selanjutnya disebut sebagai para Pemohon mengajukan permohanan hak uji materiel pada tanggal 29 Juli 2010 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 30 Juli 2010 dan didaftar dibawah register No. 49 P/HUM/2010.
Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Agung melakukan pengujian pada pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan perdata Notaris dianggap bertentangan pasal 1320, pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) pasal 20 ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004, pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h, huruf I, dan huruf j UU pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahwa para pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya pasal 3 ayat 1 huruf d dan huruf f, serta pasal 4 ayat 2 Permen perserikatan perdata Notaris. Dalam surat permohonannya para pemohon memuat:
  1. Bahwa PEMOHON I adalah notaris yang sedang mengambil cuti karena diangkat sebagai Pejabat Negara, sehingga dengan berlakunya peraturan menteri tersebut menjadi tidak dapat menjalankan perserikatan perdata. Hal ini merupakan diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris yang menjalankan cuti karena alasan lain.
  2. Bahwa PEMOHON I sebagai notaris yang mempunyai keluarga notaris tidak dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata. Hal ini merupakan diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris lain yang tidak memiliki keluarga yang berprofesi sebagai notaris. Hal ini juga tidak memenuhi asas keadilan dibandingkan dengan profesi advokat dan akuntan publik yang menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata tanpa pembatasan apapun untuk memilih teman serikat.
  3. Bahwa PEMOHON II dan PEMOHON III sebagai calon notaris yang mempunyai keluarga notaris, pada saat menjadi notaris tidak dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata.
Bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberi kuasa kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH., Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kmenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31 Agustus 2010 selanjutnya memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum. Drs. Suparno, SH., MH., Nur Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH., MH., Hedra Adi Satya untin, SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah disebut memegang jabatan masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum dan Hak Asasi Manusia , selanjutnya disebut sebagai Termohon, dalam jawabannya tanggal 17 september 2010 menolak pendapat dan permohonan pemohon karena pemohon tidak mempunyai dasar hokum yang kuat dan hanya didasarkan pada pendapat pribadi semata-mata.
Dalam jawabannya, Termohon menjawab:
  1. Pasal 1320, Pasal 1338 juncto Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung norma bahwa persekutuan perdata (perserikatan) dibuat berdasarkan perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih. Para pihak memiliki kebebasan dalam berkontrak sepanjang Para pihak tersebut cakap untuk membuat perjanjian, sehingga perjanjian tersebut menjadi sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi Para pihak yang membuatnya.
  2. Sebagai fakta hukum bahwa para advokat maupun akuntan publik di Indonesia yang membuat perserikatan perdata adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak membatasi dan tidak ada.
Bahwa Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menetapkan bahwa : “Perserikatan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam perserikatan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadinya karenanya”. (dua) orang yang dimaksud dalam Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah 2 (dua) orang yang mandiri, yang mempunyai hak dan kewajiban (atau tanggung jawab) masing-masing, sedangkan antara lelaki dan perempuan yang menikah terjadi percampuran harta, sehingga selanjutnya dianggap satu pihak.

Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang persetujuan kebebasan berkontrak, sedangkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 mengatur mengenai bentuk yang khusus dalam berkontrak. Jadi dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu undang-undang yang bersifat umum, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan suatu undang-undang yang bersifat khusus, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Sesuai aksioma yang berlaku bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum (lex specialis derogat lex generalis), sehingga dengan demikian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Dalam Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perserikatan Perdata tidak bertentangan dengan Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Bahwa pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (3) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2010 tentang Jabatan Notaris mengandung norma bahwa setiap notaris mempunyai hak cuti maksimum selama 12 (dua belas) tahun dan tidak dibedakan alasan apapun untuk menggunakan hak cutinya, sehingga baik notaris yang cuti karena diangkat menjadi pejabat negara maupun notaris yang cuti karena alasan lain memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama, termasuk notaris penggantinya. Oleh karena itu, Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:M.HH.01.AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, seorang notaris dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat negara harus diperlakukan sama dengan notaris yang mengambil cuti karena alasan lain, beserta notaris penggantinya.
Bahwa pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 belum secara rinci diatur persyaratan pendirian perserikatan, tujuan perserikatan, hak, kewajiban, tanggung jawab dan berakhirnya teman serikat, pengurusan perserikatan, perubahan akta pendirian dan pembubaran perserikatan. Dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur persyaratan pendirian perserikatan dalam Pasal 20 UUJN tersebut, selain menyulitkan para Notaris yang akan mendirikan perserikatan Perdata dan petugas yang berwenang melayani penerimaan permohonan pendaftaran pendirian perserikatan karena tidak ada standar acuan yang dijadikan pedoman, juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang berkewajiban merinci aturan lebih lanjut apabila ada suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir, dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga tercipta kepastian hukum. Dengan tujuan itulah maka dibuat Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri tersebut telah memberikan kesempatan dan tidak membatasi hak asasi manusia para notaris dalam mendirikan Perserikatan Perdata, tetapi hanya mengatur dan menata tata cara pendirian Perserikatan sehingga hakekat dan tujuan pendirian Perserikatan Perdata tersebut sejalan dengan hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia.
Bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010, dibuat dengan tujuan untuk mempermudah penerapan hukumnya dengan merinci dan memperjelas ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dengan demikian asas pembuktian dengan mudah dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Tidak ada satu asas pun yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta Peraturan pelaksanaannya yang dilanggar Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut.
Pada ringkasan posisi kasus tersebut diatas, pemohon tidak saja mempermasalahkan tidak diperbolehkannya Notaris yang memiliki keluarga Notaris untuk melakukan perserikatan perdata Notaris, tetapi juga Notaris yang dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat Negara juga tidak dapat melakukan perserikatan perdata Notaris.

Mahkamah Agung setelah membaca, mempelajari dan memahami substansi permohonan keberatan yang diajukan oleh pemohon dan jawaban dari temohon, dalam amar putusannya pada hari kamis tanggal 11 nopember 2010 mengadili; menolak permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon, dan menghukum para pemohon membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).

2.2       Kewenangan Mahkamah Agung
Kewenangan Mahkamah Agung dalam judicial review merupakan kewenangan atributif yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil menyebutkan tentang pengertian Hak Uji Materiil yaitu:
“Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi”.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/PERPU ;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain dari pada urutan hierarki peraturan perundang-undangan diatas, adapula jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jenis peraturan perundang-undangan lainnya tersebut yaitu sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mencakup:

“peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pedoman mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dimuat di dalam Pasal 7 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi sebagai berikut:
  • Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.
  • Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dikarenakan permohonan 49 P/HUM/2010 diajukan sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka sesuai pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Permen Perserikatan Perdata Notaris adalah peraturan dibawah undang-Undang yang terjadi akibat dari ditentukannya pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Melihat dari ketentuan tersebut diatas maka Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan uji materiil terhadap peraturan dibawah peraturan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, yang ditetapkan pada tanggal 8 Pebruari 2010, dan Permen Perserikatan Perdata Notaris tersebut dapat dijadikan obyek Permohonan Keberatan dan dapat dimohonkan Hak Uji Materiil.

  • Kedudukan Legal Standing para Pemohon
Legal standing menurut Black’s Law Dictionary adalah “A Party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right”.[2] Yaitu hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan. Hak mengajukan permohonan pengujian atau legal standing tersebut dapat dikatakan serupa dengan doktrin konvensional perbuatan melawan hukum di Indonesia yang menganut asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum (point d’ interest, point d’ action). Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang atau kelompok dikatakan dapat memiliki standing apabila terdapat kepentingan hukum yang dikaitkan dengan kepentingan kepemilikan (propietary interest) atau kerugian langsung yang dialami oleh seorang penggugat (injury in fact) .
Legal Standing dalam pengajuan permohonan uji materiil diatur di dalam pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomr 3 Tahun 2009. Lebih lengkapnya Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi :
  • Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
  • Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang; atau c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
  • Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
Berdasar pada ketentuan tersebut, maka Pemohon telah memenuhi legal standing. Pemohon adalah warga Negara Indonesia yang menganggap haknya dirugikan oleh Permen Perserikatan Perdata Notaris.
2.4       Alasan tidak diperbolehkannya Notaris yang memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan perserikatan perdata Notaris.
Dalam jawaban Termohon, Termohon menjelaskan bahwa munculnya ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f serta Pasal 4 ayat (2) pada saat penyusunan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, dilandasi pemikiran agar para Notaris yang menjadi anggota Teman Serikat:
  • lebih obyektif dalam menangani dan menghadapi suatu masalah. hukum;
  • mencegah terjadi conflic of interest atau perbenturan kepentingan di antara Teman Serikat; serta
  • mencegah agar tidak saling menutupi apabila terjadi pelanggaran.
Dilihat dari alasan tersebut, pencantuman pasal 3 ayat 1 huruf d dan huruf f, serta pasal 4 ayat 2 Permen Perserikatan perdata adalah sebagai kontrol terhadap perserikatan agar tidak merugikan masyarakat apabila ada Notaris yang memiliki itikad tidak baik dan mencegah kartel keluarga. Hal ini berarti bila ada Suami-isteri yang kedua-duanya Notaris, tidak tertutup sama sekali untuk mendirikan Perserikatan, asalkan dalam Perserikatan tersebut terdapat Teman Serikat yang tidak mempunyai hubungan perkawinan atau semenda dan/atau tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, atau garis ke samping sampai derajat kedua, dengan teman serikat lainnya, ini sesuai dengan pasal 4 ayat 2 Permen Perserikatan perdata Notaris.
Sedang mengenai Persyaratan Notaris menjadi Teman Serikat dalam Perserikatan tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat Negara dilandasi pemikiran bahwa yang dapat mendirikan Perserikatan adalah Notaris yang aktif atau nyata menjalankan jabatannya, tidak dalam keadaan cuti, sehingga secara hukum Notaris tersebut kewenangannya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak berkurang. Karena saat Notaris menjadi pejabat Negara, dia tidak berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam UU 30/2004 karena yang bersangkutan menjalani cuti. Pendirian perserikatan perdata atau menjadi teman serikat dalam perserikatan perdata adalah kapasitas sebagai Notaris aktif bukan dalam kedudukan sebagai Notaris yang sedang cuti atau menjadi pejabat Negara.
Termohon dalam surat jawabannya mengatakan bahwa dalil yang digunakan oleh pemohon yang kesemuanya mempunyai hubunan keluarga Notaris dianggap menunjukan bahwa Pemohon berniat atau beritikad untuk membentuk kartel keluarga Notaris, padahal Notaris harus bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hokum.
Mahkamah Agung dalam dasar pertimbangannya juga mengungkapkan kesepakatannya terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh Termohon.

Menimbang bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI dimaksud merupakan pelaksanan dari ketentuan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2004 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata;
Menimbang, bahwa adapun pertimbangan Menteri Hukum dan HAM menerbitkan peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat di bidang kenotariatan, dan meningkatkan pengetahuan dan keahlian para Notaris;
Menimbang, bahwa terhadap ketentuan Pasal 3 ayat 1 huruf d dan f serta Pasal 4 ayat 2 dimaksud dilandasi agar Notaris dalam bentuk perserikatan perdata diharapkan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2004;

Menimbang, bahwa adanya norma persyaratan Notaris menjadi Teman Serikat dalam perserikatan perdata tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai Pejabat Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 huruf d Peraturan Menteri tersebut tidaklah bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 20 ayat 3, Pasal 25 ayat 1, Pasal 26 ayat 3 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tetapi malahan sejalan dengan ketentuan tersebut, karena pada asasnya Notaris yang dapat mendirikan perserikatan perdata adalah Notaris yang aktif atau nyata menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris; Menimbang, bahwa keberadaan ketentuan dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 KUH Perdata merupakan norma yang bersifat umum, sedangkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya (in casu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata) merupakan ketentuan yang bersifat khusus, sehingga dalam membentuk perserikatan perdata, Notaris wajib mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan notaris;

Menimbang, bahwa sifat/kharakter jabatan Notaris dibandingkan dengan jabatan akuntan publik dan advokat adalah berbeda, sehingga pengaturan terhadap jabatan- jabatan tersebut juga terdapat adanya perbedaan, sehingga eksistensi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata tidaklah bersifat diskriminatif dan tidaklah bertentangan dengan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h dan huruf j UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan;

Akan tetapi ada keganjilan pada tujuan dibentuknya perserikatan perdata notaries pada huruf (a) dan (b), yang dicantumkan Termohon dalam jawabannya. Yaitu tujuan dibentuknya perserikatan perdata yang meliputi:
  1. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang kenotarisan;
  2. meningkatkan pengetahuan dan keahlian Teman Serikat; dan
  3. efisiensi biaya pengurusan kantor.
Lumban Tobing mengtakan[3] bahwa perserikatan perdata notaries tidak menguntunkan bagi masyarakat umum karena hal itu menurangi persaingan dan pilihan masyarakat tentan notaris yang dikehendakinya, lebih-lebih ditempat-tempat dimana hanya ada beberapa orang notaries. Pada poin (b) perlu dipahami bahwa notaries adalah pejabat umum, sebuah profesi, sebuah keahlian, yan memiliki kewenangan-kewenangan yan ada didalam undang-undang. Artinya notaries dituntut untuk memahami seluruh kewenangannya dan dianggap telah ahli untuk melakukan kewajiban dan kewenangan notaries. Sehinga poin (b) dirasakan kurang tepat menggunakan kata ‘meningkatkan’.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan
  1. Peserikatan perdata Notaris tidak lepas dari pro dan kontra. Adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010 menandakan bahwa masih banyak hal yang dapat disoroti dari Perserikatan Perdata Notaris.
  2. Berdasarkan uraian yang telah diurai di pembahasan, para pemohon telah memenuhi persyaratan formil, kepentingan dan legal standing untuk mengajukan permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004.
  3. Termohon dalam jawabannya telah menanggapi seluruh pasal dan ketentuan yang dijadikan dalil oleh Pemohon dengan memberikan penjelasan demi penjelasan. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Termohon dalam jawabannya atas pasal 1320, pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) pasal 20 ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004, pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h, huruf I, dan huruf j UU pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat daripada dalil yang dikemukakan oleh pemohon. Mahkamah Agung sebagai judex factie mempunya fungsi menganalisan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang. Pada dasarnya persoalan ini hanya persoalan mengemukakan argumentasi, terlepas dari benar atau tidaknya suatu produk hokum.
  • Saran
  1. Perserikatan perdata notaries sebaiknya menyangkut perserikatan dalam arti yang sempit, yaitu penggunaan gedung dan fasilitas yang sama, sedangkan mengenai pembuatan akta dan pertanggungjawaban hokum terhadap akta yang dibuat merupakan tanggungjawab oleh masing-masing anggota perserikatan.
  2. Harus ada penyatuan istilah ‘persekutuan’ dengan ‘perserikatan’ yang mana hendak digunakan. KUHPerdata menggunakan istilah Persekutuan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Jabatan Notaris terbaru menggunakan istilah persekutuan, maka perlu adanya Peraturan Menteri yang mengatur Persekutuan Perdata, bukan lagi Perserikatan Perdata.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010

  1. Buku
Ali, Chidir, Badan Hukum, 1996,  Penerbit : Alumni, Bandung.
Henry Campbell Black. 1999.  Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Group
Tobing, Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, 1996, Cetakan keempat, Penerbit : Erlanga, Jakarta

  1. Internet

Hamdy, M Kholis, http://www.jimlyschool.com/read/news/338/hak-uji-materiil-di-mahkamah-agung/, diakses tanggal 01/04/2014 jam 10.03 WIB

[1]  Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal.133
[2] Henry Campbell black. 1999.  Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Group
[3] Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan keempat, Erlanga, Jakarta, 1996, hal. 107
SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar