ABSTRAK
Parate Eksekusi adalah salah
satu cara mengeksekusi barang yang dijaminkan dan atau berada dalam tanggungan
oleh debitur kepada kreditur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.
Dalam pelaksanaannya parate eksekusi menemui beberapa hambatan, salah
satunya adalah perlu atau tidaknya menggunakan putusan pengadilan dalam
menjalankan Parate Eksekusi. Untuk memahami persoalan ini perlu dipahami terlebih
dahulu mengenai pengaturan Parate Eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan.
Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut
UUHT) memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:
“Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Beranjak dari definisi di
atas, dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut.
- Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
- Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
- Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
- Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
- Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Obyek Hak Tanggungan diatur
dalam Pasal 4 UUHT, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Mengenai subjek Hak
Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadisubjek hukum dalam hak tanggungan
adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan
yaitu a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang
diberikan.
Permasalahan yang sering
timbul dalam persoalan ini adalah terjadinya cedera janji yang dilakukan
pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak
Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:
Apabila debitor cedera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Berkaitan dengan ketentuan
Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai
berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh
pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan
pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor
cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan
tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.
Ada
beberapa alternatif yang dapat dipilih oleh Kreditur dalam pelunanasan
piutangnya yaitu:
- Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiri atau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminan pertama;
- Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta;
- Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
Dengan mengacu pada ketentuan
Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk
melaksanakan eksekusi, salah satunya dengan parate eksekusi.
- Rumusan Masalah
Bagaimana pengaturan Parate
Eksekusi dalam Undang-Undang Hak Tanggungan?
- Tujuan Permasalahan
Mengetahui pengaturan Parate
Eksekusi dalam Undang-Undang Hak Tangungan
- PEMBAHASAN
- Pengaturan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang.
Eksekusi berasal dari kata
“executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim (ten uitvoer legging van
vonnissen). Di mana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Dalam pengertian yang lain ;
eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata
secara paksa sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku karena
pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Subekti
(Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : BPHN, 1977, hlm 128) dan
Retno Wulan Sutantio (Retno Wulan Susanti Susantie dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Bandung
: Alumni, 1979, hlm. 111) mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam
bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan” putusan. Pembakuan istilah
”pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab
jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel
keempat bagian keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan
”menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen).
Parate eksekusi atau hak
untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri dapat kita temukan dalam
beberapa lembaga jaminan kebendaan yaitu Gadai, Hipotik, Hak tanggungan,
Fidusia. Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi
pada lembaga gadai:
”apabila oleh para pihak tidak
telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak, jika siberutang atau
si pemberi gadai bercidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau,
atau jika telah tidak ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya
suatu peringatan, untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum
menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim
berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya beserta
bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”
Pasal 1178 Ayat (2) KUH
Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi untuk lembaga hipotik:
”namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4
tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan menyebutkan:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”
Pasal 15 Ayat (3)
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan:
”Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”
Kalau kita perhatikan Pasal
1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas, maka sebenarnya pembentuk undang-undang telah
menentukan bahwa setiap pemegang jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki
kewenangan parate eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah
memperjanjikan lain. Artinya sekalipun tidak diperjanjikan, maka dianggap hak
untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu selalu turut diperjanjikan. Hal ini
dapat kita fahami mengingat pada jaminan gadai objek jaminannya dikuasai oleh
si kreditur, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek benda
bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk melakukan penjualan
atas kekuasaannya sendiri ketika si debitur wanprestasi.
Berbeda dengan prinsip yang
diberikan undang-undang terhadap lembaga hipotik undang-undang mensyaratkan
agar hak untuk dapat melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan
secara tegas dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak
Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996. Sedangkan jaminan fidusia
memiliki karakteristik yang sama dengan jaminan gadai dimana para pihak tidak
perlu memperjanjikan akan ada hak parate eksekusi undang-undang telah secara
otomatis memberikan hak tersebut kepada si kreditur.
- Konflik Penalaran Mengenai Klausula “Menjual Atas Kekuasaan Sendiri
Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), kita dapat menemukan klausula ”hak untuk menjual
atas kekuasaan sendiri” atau ”beding van eigenmactig verkoop” adalah dari
kalimat ”… maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang
terikat itu dimuka umum…” dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata yang mengatur
tentang lembaga jaminan hipotik. Ketentuan tersebut diberikan oleh
undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk sarana/cara
pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia membutuhkannya, sehingga
orang menyebutnya sebagai eksekusi yang selalu siap di tangan atau parate
eksekusi. ( J. Satrio Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan
Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate
Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993,
hal: 23). Ketentuan yang maknanya sejenis dengan Pasal 1178 Ayat (2) KUH
Perdata diatas dapat kita temukan juga dalam Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata
yang mengatur tentang jaminan gadai, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
Ketentuan hak untuk menjual
atas kekuasaan sendiri dalam jaminan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996, mengalami miss understanding dari pembuat undang-undang
karena telah memberikan pengertian yang tidak konsisten dan saling
bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang
eksekusi grosse akta. Hal itu dapat kita lihat pada ketentuan penjelasan atas
Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana
terdapat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut: …”dipandang perlu untuk
memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam
undang-undang ini yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi
sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui
dan Pasal 258 Reglemen Acara Perdata untuk Daerah Luar jawa dan Madura”. Jika
kita telaah penjelasan undang-undang diatas menggambarkan bahwa pembentuk
undang-undang tidak memahami perbedaan antara parate eksekusi dengan eksekusi
grosse akta, sehingga pembentuk undang-undang menganggap bahwa parate eksekusi
tunduk pada ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg padahal parate eksekusi sama sekali
tidak berhubungan dengan Pasal 224HIR/258 Rbg. Berbeda dengan apa yang
disebutkan dalam penjelasan sub 9 tersebut justru dalam ketentuan Pasal 20 Ayat
(1) Bab V dua lembaga eksekusi tersebut dipisahkan secara tegas. Jadi disinilah
letak inkonsistensinya karena antara ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996 dengan ketentuan penjelasannya telah saling bertentangan.
Sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 memang telah terjadi pencampuradukan pengertian antara
lembaga parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, yaitu dengan munculnya
Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 terhadap
sengketa tentang pelaksanaan parate eksekusi yang dilakukan oleh kreditur
pemegang hipotik, dalam putusannya MA-RI memberikan perimbangan bahwa penjualan
lelang (parete eksekusi) tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, (J. Satrio
Hukum Jaminan, Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan buku I, Ibid, hal: 233).
Kesesatan dalam memahami
pengertian parate eksekusi pernah disampaikan juga oleh Budi Harsono dalam
sebuah seminar dengan menyatakan bahwa ”bagi kreditor pemegang hipotik atas
tanah, hukum menyediakan 2 (dua) kemudahan dalam melaksanakan eksekusi jika
debitur cidera janji. Tanpa harus melalui pengajuan gugatan perdata biasa
menurut Pasal 224 HIR kreditor dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
diadakan apa yang disebt parate eksekusi”.( Herowati Poesoko, Parate Eksekusi
Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal: 319, lihat
juga HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenai Perjanjian
Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992, hal: 320-321). Memang benar bahwa jaminan hipotik/hak tanggungan memiliki
dua lembaga eksekusi yaitu eksekusi grosse akte dan parate eksekusi berdasarkan
hak yang telah diperjanjiakan antara kreditur dan debitur bahwa kreditur
diberikan hak untuk menjual objek jaminan dalam kekuasaanya sendiri. Namun
walaupun kedua lembaga tersebut melekat pada satu kreditur karena kebetulan
sebagai pemegang hipotik/hak tanggungan pertama, secara substansial dua lembaga
tersebut jelas sangat berbeda karena hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri
(parate eksekusi) tidak tunduk pada Pasal 224 HIR/258 Rbg.
Beberapa kesimpangsiuran ini
bukan hanya membuat para pemegang jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan,
namun juga telah membuat para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk
melaksanakan penjualan umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua
pengadilan negeri dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak
pengajuan penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua
pengadilan, (Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988, hal: 113) dengan
alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan lelangnya dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan mempersulit kreditur pemegang
jaminan pertama untuk melakukan pelunasannya secara secerhana dan mudah.
- Parate Eksekusi dan Titel Eksekutorial
Titel eksekutorial yang
berbunyi ”DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA” memang merupakan simbol bahwa suatu
dokumen atau naskah memiliki kekuatan eksekusi (pelaksanaan secara paksa)
dengan bantuan alat negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk
putusan pengadilan, grosse akta hipotik, sertifikat hak tanggungan, sertifikat
fidusia, surat paksa yang
dikeluarkan oleh PUPN maupun grosse akta pengakuan utang. Atas adanya titel
eksekutorial tersebut si pemegangnya dapat mengajukan permohonan pelaksanaan
secara paksa kepada pengadilan dan pengadilan akan melaksanakannya melalui
prosedur eksekusi.
Ada anggapan bahwa parate
eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse
akta hipotik atau sertifikat hak tanggungan/fidusia, (Pemikiran pembentuk
undang-undang yang beranggapan bahwa pelaksanaan dari parate eksekusi adalah
dengan menggunakan titel eksekutorial dapat kita lihat dalam penjelasan atas
Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9) padahal
kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas suatu titel
eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa mutlak yang diberikan oleh si
pemberi jaminan (debitur) kepada si pemegang jaminan (kreditur) dalam bentuk
mandat. (J. Satrio Jaminan, Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan buku I, , Citra
Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224. catatan: menurut J Satrio bahwa kata
”secara mutlak akan dikuasakan” yang terkandung dalam Pasal 1178 Ayat (2) KUH
Perdata merupakan terjemahan dari kata ”onherroeppelik zal zijn gemachtigd”
yang arti sebenarnya adalah ”tidak bisa ditarik kembali dikuasakan”). Sebagai
bukti sederhana adalah pada jaminan gadai, meskipun pada jaminan gadai tanpa
adanya titel eksekutorial namun pemegang jaminan tetap dapat melakukan parate
eksekusi jika batas waktu penebusan telah terlewati, sehingga ada atau tidaknya
titel eksekutorial sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya
kewenangan kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan penjualan atas
kekuasaannya sendiri.
- PENUTUP
- Kesimpulan
Kemudahan yang ditawarkan undang-undang
dalam eksekusi kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, terlebih didalam
praktiknya proses pelaksanaan parate eksekusi telah mengalami pergeseran makna,
karena dewasa ini penjualan objek jaminan dengan kekuasaan sendiri (parate
eksekusi) tidak dapat lagi dipergunakan oleh para kreditur pertama dalam
Jaminan Hak Tanggungan dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang)
terhadap objek jaminan harus melalui fiat ketua pengadilan. Jika parate
eksekusi masih harus melalui fiat dari ketua pengadilan, maka letak parat-nya
sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri bias dikatakan tidak ada.
Karena pada prinsipnya parate eksekusi merupakan suatu pelaksanaan eksekusi
yang disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan. Jika dalam parate eksekusi
masih harus adanya perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka
penjualan tersebut bukan lagi ”atas kekuasaan sendiri” melainkan ”atas
kekuasaan pengadilan” sehingga tidak lagi ada bedanya dengan eksekusi grosse
akta dan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT).
Dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan maupun Undang-Undang Fidusia pada bab yang mengatur tentang eksekusi
telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel
eksekutorial dengan parate eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan
atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas
walaupun disatu sisi dan lainnya terdapat kesimpangsiuran pengertian antara
parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga keragu-raguan selama ini
karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa
fiat ketua pengadilan adalah suatu perbuatan melawan hukum sudah mulai dijawab
dengan keluarnya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo SE-23/PN/2000/ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal
6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996,
- Saran
- Peraturan Parate Eksekusi Hak Tanggungan dibuat dalam satu kesatuan sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam praktek.
- Lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu para kreditor dalam mengatasi masalah kredit macet di dunia perbankan.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan
Herowati Poesoko, Parate
Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,
2007, hal: 319, lihat juga HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung
RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan
(berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992,
- Satrio Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993,
Moch. Farhan Ismail, PARATE EKSEKUSI vs EKSEKUSI GROSSE AKTA (Dalam Lembaga Jaminan Hak Tanggungan), http://www.facebook.com/notes/mochfarhanismail
Retno Wulan Susanti Susantie
dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik,
Bandung : Alumni, 1979
Subekti, Hukum Acara
Perdata, Jakarta : BPHN, 1977,
Yahya Harahap, Kedudukan
Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun
III Oktober 1988,
SUMBER :
https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/pengaturan-parate-eksekusi-dalam-undang-undang-nomor-4-tahun-1996-tentang-hak-tanggungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar