Jumat, 17 Maret 2017

PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN


ABSTRAK 

Parate Eksekusi adalah salah satu cara mengeksekusi barang yang dijaminkan dan atau berada dalam tanggungan oleh debitur kepada kreditur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.  Dalam pelaksanaannya parate eksekusi menemui beberapa hambatan, salah satunya adalah perlu atau tidaknya menggunakan putusan pengadilan dalam menjalankan Parate Eksekusi. Untuk memahami persoalan ini perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pengaturan Parate Eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan

1.      PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT) memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Beranjak dari definisi di atas, dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut.
  1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
  2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
  3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
  4. Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 4 UUHT, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadisubjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan  perjanjian pemberi hak tanggungan yaitu a.  Pemberi Hak Tanggungan,  adalah orang perorangan atau badan hukum  yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;  b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang diberikan.

Permasalahan yang sering timbul dalam persoalan ini adalah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:
Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.

Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih oleh Kreditur dalam pelunanasan piutangnya yaitu:
  1. Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiri atau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminan pertama;
  2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta;
  3. Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi, salah satunya dengan parate eksekusi.
  • Rumusan Masalah
Bagaimana pengaturan Parate Eksekusi dalam Undang-Undang Hak Tanggungan?
  • Tujuan Permasalahan
Mengetahui pengaturan Parate Eksekusi dalam Undang-Undang Hak Tangungan
  1. PEMBAHASAN
  2. Pengaturan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang.
Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Di mana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Dalam pengertian yang lain ; eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Subekti (Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : BPHN, 1977, hlm 128) dan Retno Wulan Sutantio (Retno Wulan Susanti Susantie dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Bandung : Alumni, 1979, hlm. 111) mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan” putusan. Pembakuan istilah ”pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan ”menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen).

Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri dapat kita temukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan yaitu Gadai, Hipotik, Hak tanggungan, Fidusia. Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi pada lembaga gadai:

”apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”

Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi untuk lembaga hipotik:

”namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan menyebutkan:

”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”

Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan:

”Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”

Kalau kita perhatikan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas, maka sebenarnya pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Artinya sekalipun tidak diperjanjikan, maka dianggap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu selalu turut diperjanjikan. Hal ini dapat kita fahami mengingat pada jaminan gadai objek jaminannya dikuasai oleh si kreditur, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitur wanprestasi.

Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap lembaga hipotik undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996. Sedangkan jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama dengan jaminan gadai dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan ada hak parate eksekusi undang-undang telah secara otomatis memberikan hak tersebut kepada si kreditur.
  1. Konflik Penalaran Mengenai Klausula “Menjual Atas Kekuasaan Sendiri
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), kita dapat menemukan klausula ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” atau ”beding van eigenmactig verkoop” adalah dari kalimat ”… maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu dimuka umum…” dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata yang mengatur tentang lembaga jaminan hipotik. Ketentuan tersebut diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang selalu siap di tangan atau parate eksekusi. ( J. Satrio Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993, hal: 23). Ketentuan yang maknanya sejenis dengan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata diatas dapat kita temukan juga dalam Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatur tentang jaminan gadai, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Ketentuan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri dalam jaminan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, mengalami miss understanding dari pembuat undang-undang karena telah memberikan pengertian yang tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat kita lihat pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut: …”dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui dan Pasal 258 Reglemen Acara Perdata untuk Daerah Luar jawa dan Madura”. Jika kita telaah penjelasan undang-undang diatas menggambarkan bahwa pembentuk undang-undang tidak memahami perbedaan antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga pembentuk undang-undang menganggap bahwa parate eksekusi tunduk pada ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg padahal parate eksekusi sama sekali tidak berhubungan dengan Pasal 224HIR/258 Rbg. Berbeda dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan sub 9 tersebut justru dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Bab V dua lembaga eksekusi tersebut dipisahkan secara tegas. Jadi disinilah letak inkonsistensinya karena antara ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 dengan ketentuan penjelasannya telah saling bertentangan.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memang telah terjadi pencampuradukan pengertian antara lembaga parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, yaitu dengan munculnya Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 terhadap sengketa tentang pelaksanaan parate eksekusi yang dilakukan oleh kreditur pemegang hipotik, dalam putusannya MA-RI memberikan perimbangan bahwa penjualan lelang (parete eksekusi) tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, (J. Satrio Hukum Jaminan, Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan buku I, Ibid, hal: 233).

Kesesatan dalam memahami pengertian parate eksekusi pernah disampaikan juga oleh Budi Harsono dalam sebuah seminar dengan menyatakan bahwa ”bagi kreditor pemegang hipotik atas tanah, hukum menyediakan 2 (dua) kemudahan dalam melaksanakan eksekusi jika debitur cidera janji. Tanpa harus melalui pengajuan gugatan perdata biasa menurut Pasal 224 HIR kreditor dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diadakan apa yang disebt parate eksekusi”.( Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal: 319, lihat juga HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal: 320-321). Memang benar bahwa jaminan hipotik/hak tanggungan memiliki dua lembaga eksekusi yaitu eksekusi grosse akte dan parate eksekusi berdasarkan hak yang telah diperjanjiakan antara kreditur dan debitur bahwa kreditur diberikan hak untuk menjual objek jaminan dalam kekuasaanya sendiri. Namun walaupun kedua lembaga tersebut melekat pada satu kreditur karena kebetulan sebagai pemegang hipotik/hak tanggungan pertama, secara substansial dua lembaga tersebut jelas sangat berbeda karena hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak tunduk pada Pasal 224 HIR/258 Rbg.

Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua pengadilan, (Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988, hal: 113) dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan mempersulit kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan pelunasannya secara secerhana dan mudah.
  1. Parate Eksekusi dan Titel Eksekutorial
Titel eksekutorial yang berbunyi ”DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA” memang merupakan simbol bahwa suatu dokumen atau naskah memiliki kekuatan eksekusi (pelaksanaan secara paksa) dengan bantuan alat negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk putusan pengadilan, grosse akta hipotik, sertifikat hak tanggungan, sertifikat fidusia, surat paksa yang dikeluarkan oleh PUPN maupun grosse akta pengakuan utang. Atas adanya titel eksekutorial tersebut si pemegangnya dapat mengajukan permohonan pelaksanaan secara paksa kepada pengadilan dan pengadilan akan melaksanakannya melalui prosedur eksekusi.

Ada anggapan bahwa parate eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse akta hipotik atau sertifikat hak tanggungan/fidusia, (Pemikiran pembentuk undang-undang yang beranggapan bahwa pelaksanaan dari parate eksekusi adalah dengan menggunakan titel eksekutorial dapat kita lihat dalam penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9) padahal kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitur) kepada si pemegang jaminan (kreditur) dalam bentuk mandat. (J. Satrio Jaminan, Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan buku I, , Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224. catatan: menurut J Satrio bahwa kata ”secara mutlak akan dikuasakan” yang terkandung dalam Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata merupakan terjemahan dari kata ”onherroeppelik zal zijn gemachtigd” yang arti sebenarnya adalah ”tidak bisa ditarik kembali dikuasakan”). Sebagai bukti sederhana adalah pada jaminan gadai, meskipun pada jaminan gadai tanpa adanya titel eksekutorial namun pemegang jaminan tetap dapat melakukan parate eksekusi jika batas waktu penebusan telah terlewati, sehingga ada atau tidaknya titel eksekutorial sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya kewenangan kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri.
  • PENUTUP
  1. Kesimpulan
Kemudahan yang ditawarkan undang-undang dalam eksekusi kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, terlebih didalam praktiknya proses pelaksanaan parate eksekusi telah mengalami pergeseran makna, karena dewasa ini penjualan objek jaminan dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak dapat lagi dipergunakan oleh para kreditur pertama dalam Jaminan Hak Tanggungan dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus melalui fiat ketua pengadilan. Jika parate eksekusi masih harus melalui fiat dari ketua pengadilan, maka letak parat-nya sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri bias dikatakan tidak ada. Karena pada prinsipnya parate eksekusi merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan. Jika dalam parate eksekusi masih harus adanya perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka penjualan tersebut bukan lagi ”atas kekuasaan sendiri” melainkan ”atas kekuasaan pengadilan” sehingga tidak lagi ada bedanya dengan eksekusi grosse akta dan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT).

Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan maupun Undang-Undang Fidusia pada bab yang mengatur tentang eksekusi telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel eksekutorial dengan parate eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas walaupun disatu sisi dan lainnya terdapat kesimpangsiuran pengertian antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga keragu-raguan selama ini karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa fiat ketua pengadilan adalah suatu perbuatan melawan hukum sudah mulai dijawab dengan keluarnya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo SE-23/PN/2000/ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996,
  1. Saran
  2. Peraturan Parate Eksekusi Hak Tanggungan dibuat dalam satu kesatuan sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam praktek.
  3. Lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu para kreditor dalam mengatasi masalah kredit macet di dunia perbankan.

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal: 319, lihat juga HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,
  1. Satrio Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993,
Moch. Farhan Ismail, PARATE EKSEKUSI vs EKSEKUSI GROSSE AKTA (Dalam Lembaga Jaminan Hak Tanggungan), http://www.facebook.com/notes/mochfarhanismail
Retno Wulan Susanti Susantie dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Bandung : Alumni, 1979
Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : BPHN, 1977,
Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988,
SUMBER :
 https://sleepingfailure.wordpress.com/2015/01/17/pengaturan-parate-eksekusi-dalam-undang-undang-nomor-4-tahun-1996-tentang-hak-tanggungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar