Tindak Pidana
Pemalsuan Surat.
Sesuai dengan
pengertian yang diberikan pada kata faux
oleh para pembentuk Code
Penal, yakni yang dapat
dijadikan objek dari faux atau
pemalsuan hanya ecrtures atau
tulisan-tulisan saja. Menurut pengertian para pembentuk Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang berlaku, yang dapat menjadi objek dari tindak pidana
pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHPidana.
Dari Pasal 263
sampai dengan Pasal 276 yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan
pemalsuan surat yakni:
1. Pemalsuan Surat pada
Umumnya: bentuk pokok pemalsuan surat (Pasal 263).
2. Pemalsuan Surat yang Diperberat
(Pasal 264).
3. Menyuruh memasukan
keterangan palsu ke dalam Akta Otentik (Pasal 266).
4. Pemalsuan Surat Keterangan Dokter (Pasal 267,
266).
5.
Pemalsuan Surat-surat tertentu (Pasal
267,266).
6. Pemalsuan Surat Keterangan
Pejabat tentang Hak Milik (Pasal 274).
7. Menyimpan Bahan atau
Benda untuk Pemalsuan Surat (275).
8. Pasal 272 dan Pasal 273
telah dicabut melalui stb. 1926 No.359 jo.429. Pasal tidak memuat rumusan
kejahatan, melainkan tentang ketentuan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
penjatuhan hak-hak tertentu berdasarkan Pasal 35 No.1-4 bagi kejahatan
pemalsuan surat.
Pemalsuan Surat Pada Umumnya
Kejahatan
Pemalsuan Surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk
pokok (bentuk standar ) yang dimuat daclam Pasal 263, yang
merumuskan adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak,
perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal yang dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika
pemakaian tersebut dapat menimbulakan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama 6 tahun”
Dipidana dengan
pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan
seolah-olah jika pamakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian. Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan
pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat ke-1 terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:
1.
Unsur subjektif dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan
atau untuk membuat orang lain menggunakan orang tersebut.
Unsur-unsur objektif
Barang siapa;
Membuat secara palsu atau memalsukan;
Suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu
perikatan atau suatu pembebasan utang atau;
Suatu surat yang dimaksud untuk membuktikan suatu
kenyataan;
Penggunaannya dapat menimbulkan suatu
kerugian.
Sedang ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur-unsur obyektif :
Perbuatan : Memakai;
Objeknya :
a) surat palsu;
b) surat yang dipalsukan;
Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan
kerugian.
Unsur subyektif : dengan
sengaja.
Surat (grechrift) adalah suatu
lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan
huruf termasuk angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu,
yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, perinter komputer,
dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. Membuat surat palsu
(membuat palsu/valschelijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat
yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau
bertentangan dengan yang sebenarnya.
Membuat surat palsu dapat berupa hal-hal berikut.
1.
Membuat surat palsu yang sebagian atau
seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat
surat palsu yang demikian disebut pemalsuan intelektual (intelectuele valschelijk).
2.
Membuat surat palsu yang seolah-olah surat
itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang
demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil (materiele valschelijk).
Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat
surat.
Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat
palsu, apabila tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam
hal misalnya :
1.
Membuat dengan meniru tanda tangan
seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia
atau secara fiktif (dikarang-karang);
2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya
ataupun tidak.
Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk
tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini ternyata dari
suatu arrest HR (12-2-1920) yang menyatakan bahwa
disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan stempel tanda
tangannya (soenarto soerodibroto, 1994:154).
Sedangkan perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan
cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat
sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula.
Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah
tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah
itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, pemalsuan surat telah terjadi.
Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.
Sama halnya dengan membuat surat palsu,
memalsukan surat dapat terjadi selain terhadap sebagaian atau seluruh isi
surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan si pembuat surat. Misalnya
si pembuat dan yang bertanda tangan dalam surat bernama Parikun, diubah tanda
tangannya menjadi tanda tangan orang lain yang bernama Panirun. Menurut
Soenarto soerodibroto,(1994:154). Dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu pentulisan
membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan
orang tersebut telah memalsukan tulisan itu”
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat
surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu
surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat
yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau
palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat
surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak
asli.
Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini
dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang
asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli)
dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian
surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat,
melainkan terbatas pada 4 macam surat, yakni:
1) Surat yang menimbulkan suatu hak;
2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan;
3) Surat yang menimbulkan pembebasan hutang;
4) Surat yang diperuntuhkan bukti mengenai
sesuatu hal.
Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak
melahirkan secara lahir adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya
perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada
surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu
hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah
dan lain sebagainya. Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah
berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual
beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan
pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.
Begitu juga dengan surat yang berisi pembebasan
hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam
hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi
penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan
misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya. Mengenai unsur-unsur
surat yang diperuntuhkan sebagi bukti akan adanya sesuatu hal, didalamnya ada 2
hal yang perlu dibicarakan, yakni: Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti;
Tentang sesuatu hal.Menurut Soenarto
Soerodibroto (1994:155)
sesuatu hal, adalah: berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena
diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran
dan kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum.
HR dalam
suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa “yang
diperhatikan sebagai bukti suatu hal adalah kejadian yang menurut hukum
mempunyai, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang
bersangkutan”. Menurut Satochid
Kartanegara: (1890:278) .Yang dimaksud dengan bukti adalah: karena
sifatnya surat itu memiliki kekuatan pembuktian atau (bewijskracth). Siapa yang menentukan bahwa adanya
kekuatan pembuktian atas sesuatu hal dalam sebuah surat itu?.Dalam hal ini
bukan pembuat yang dapat menentukan demikian, melainkan UU atau kekuasaan tata
usah negara.
Dalam UU, seperti Pasal 1870 KUHPerdata yang
menyatakan “bahwa akta otentik bagi para
pihaknya beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripada
mereka merupakan bukti sempurna tantang apa yang dimuat di dalamnya”.
Surat-surat yang masuk dalam akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna akan sesuatu hal adalah surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat yang berwenang dan dalam bentuk yang ditentukan oleh UU. Surat yang
memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti ini misalnya surat nikah, akta
kelahiran, vonis hakim, sertifikat hak atas tanah dan lain sebagainya.
Sedangkan kekuatan pembuktian atas
surat-surat oleh kekuasaan tata usaha negara, misalnya buku kas, rekening koran
atau rekening giro dalam suatu bank, surat kelakuan baik, surat angkutan,
faktur dan lain sebagainya. Mengenai (a) diperuntukkan sebagai bukti dan
(b) mengenai sesuatu hal adalah berupa dua unsur yang tidak terpisahkan.
Sebuah surat yang berisi tentang suatu hal atau suatu kejadian tertentu, dimana
kejadian mempunyai pengaruh bagi yang bersangkutan, misalnya perkawinan yang
melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, dalam praktik diberi suatu
nama tertentu. Misalnya surat yang dibuat untuk membuktikan adanya kejadian
kelahiran disebut dengan surat keterangan kelahiran atau akta kelahira, surat
yang dibuat untuk membuktikan adanya suatu kejadian diberi nama surat kawin
atau surat nikah. Surat-surat semacam ini dibuat memang diperuntukkan untuk
membuktikan adanya kejadian tertentu itu.
Dalam hal surat-surat semacam ini selain di dalamnya menyatakan tentang
kejadian tertentu itu atau dapat juga disebut sebagai isi pokok dari surat itu,
juga memuat tentang keadaan-keadaan atau hal lain tertentu yang ada sekitar atau
berhubungan dengan kejadian sebaga isi pokok surat yang harus dibuktikan oleh
surat itu. Misalnya surat kematian isi pokoknya atau kejadia yang harus
dibuktikan oleh surat ituadalah adanya kematian dari seorang tertentu.
Adakalanya dalam surat itu dicantumkan juga sebab kematiannya, misalnya karena
penyakit TBC. Keterangan tentang sebab kematiannya bukanlah termasuk dalam
pengertian unsur hal atau kejadian yang harus dibuktikan oleh akta kematian
itu. Demikian juga dalam akta kelahiran, walaupun didalamnya disebutkan
kelahiran seorang bayi dari suami istri bernama tertentu, akta kelahiran itu
tidak untuk membuktikan tentang sahnya perkawinan antara ibu dan bapak si bayi.
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat ayat 1 yakni “Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur / kalimat ”seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung, makna:
(1)
adanya orang-orang yang terpedaya dengan di
gunakannya surat-surat yang demikian, dan
(2)
surat itu berupa alat yang digunakan untuk
memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan
tidak dipalsu, orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa
orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. Membuat SIM dirinya
secara palsu, yang terpedaya adalah Polisi, dan bila penggunaannya dengan
maksud untuk diterimanya bekerja sebagai sopir, maka yang terpedaya adalah
majikannya yang akan mempekerjakan orang itu.
Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam
ayat 1, ialah jika pemakaian surat palsu atau surat di palsu tersebut dapat
menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan / dimaksudkan
petindak.
Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa:
(1)
pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini
ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat/ unsur itu, dan
(2)
karena penggunaan pemakaian surat belum
dilakukan,maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga
dariadanya perkataan “dapat”. Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat
sebelum dilakukan, maka dengan dengan sendirinya kerugian itu bel;um ada. Hal
ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”.
Menurut Soenarto Soerodibroto (1994:156) “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau
surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”.
Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest
HR (8-6-1897) yang menyatakan
bahwa “petindak tidak perlu mengetahui
terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”. Tidak ada ukuran-ukuran
tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu
atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat
dipikrkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya
penggunaan surat semacam itu.
Pemalsuan Surat
Yang Diperberat
Pasal 264
merumuskan:
Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap:
1.
Akta-akta otentik
2.
Surat hutang atau sertifikat hutang
dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umumnya
3.
Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero
hutang dari suatu perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai;
4.
Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat yang diterangkan dalam 2 dan 3
atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntuhkan
untuk diedarkan
Dipidana dengan
pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama,
yang isinya tidak asli atau tidak dipalsukan seolah-olah benar dan tidak
dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian. Hal yang menyebabkan diperberat pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada
faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek
kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan
kebenaran isinya. Surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi
daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang
lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang
menyebabkan diperberat ancaman pidananya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar